Share

Nafkah dari Mas Hada

POV : Hana

***

Aku telah sampai di rumah. Kuucapkan salam, dan seseorang membuka pintu. Ternyata Bik Romlah. “Bik Romlah,” sapaku seraya mengulas senyum.

“Rahmi, Nak.”

Aku terdiam mendengar sahutannya. Apa aku tidak salah dengar? Perasaan namanya Bik Romlah.

“Oh, salah panggilkah, Bik?” Aku meyakinkan.

Wanita setengah baya itu tersenyum, lalu merangkul tubuh ini, setelahnya ia mengajakku masuk ke dalam. Kami masuk beriringan, sambil jalan beliau menjelaskan. “Jadi, Rahmi dan Romlah adalah orang yang berbeda. Kami kembar, Nak Hana. Secara bergantian, jaga Mbak Rohiyah di sini.”

“Ya ampun.” Aku tertawa, menutup mulutku dengan sebelah tangan, karena jujur saja, aku baru tahu kalau ternyata Bik Romlah dan Bik Rahmi itu kembar.

"Duh, maaf ya, Bik. jangan-jangan selama ini aku sering salah panggil lagi. Soalnya wajah kalian berdua sama, Bik."

"Nggak apa-apa, Nak. Namanya juga nggak tahu. Yang penting sekarang udah tahu, ya. Bibik juga lupa ... terus mau kasih tahu, kalau sebenarnya yang suka jaga ibunya Hada itu kami berdua."

Aku mengangguk tanda mengerti. Kami langsung menuju ke belakang, di mana Ibu sedang duduk di kursi meja makan. sampai di sana aku langsung mendekati Ibu, dan duduk di sampingnya.

“Ibu,” sapaku sambil mengambil punggung tangannya, kemudian mencium punggung tangan itu dengan takzim.

“Baru pulang, Nak?”

“Iya, Bu.”

“Suhada mana? Kalian enggak pergi bareng?”

“Eh, enggak, Bu. Soalnya mata kuliahku selesai lebih dulu.”

Aku sengaja mengalihkan pembicaraan, supaya ibu tidak bertanya lebih jauh soal ini. Jangan sampai aku keceplosan, mengatakan kalau Mas Suhada sedang bekerja, sehingga belum pulang. Tidak berapa lama datang Bik Rahmi memberikan semangkuk bubur kacang hijau untuk ibu.

"Nak Hana kalau mau sekalian Bibik ambilin."

"Nggak usah, Bik. Nanti aku ambil sendiri aja. Yang penting ibu dulu yang makan."

"Makan apa, Nak?" tanya Ibu penasaran.

"Bubur kacang hijau, Bu. Bau santannya wangi sekali. Biar Hana suapin ya, Bu."

"Tapi ... apa kamu nggak capek, Nak?"

"Nggak kok, Bu."

Sambil menyuapi Ibu makan bubur kacang hijau, aku kembali berbincang dengan Bik Rahmi. “Jadi, cara bedain kalian itu bagaimana, Bik?”

“Kalau Bibi, punya tahi lalat di dekat mata. Kalau Romlah,enggak ada.”

“Iya, soalnya kalian sama persis,” kataku sambil tersenyum.

“Kenapa ini?” tanya Ibu ikut menyimak pembicaraan kami.

“Ini, Mbak, si Hana bingung antara aku dan Romlah. Aku lupa kasih tahu, kalau kami tuh kembar. Jadi, jaga Mbak suka gantian.”

“Oh, iya. Mereka ini kembar, Nak. Kalau Romlah lebih pendiam, kalau Rahmi lebih rame orangnya. Dia yang suka cerita soal gosip artis sama Ibu."

Kami semua langsung tertawa menengar perkataan ibu. Setelah tawa mereda, kembali kami mengobrol banyak hal. Ibu menceritakan soal masa lalu Mas Suhada, kesusahan mereka, dan lain sebagainya. Dari sini bisa kusimpulkan, kalau Mas Suhada memang pria yang sangat bertanggung jawab dan sangat sayang dengan keluarga. Aku mengantar Ibu ke kamar, setelah beliau mengatakan mengantuk, sementara Bik Rahmi pulang karena Ibu sudah bersamaku. Aku langsung masuk ke kamar usai mengantar Ibu berbaring di kamarnya. Kututup pintu dan membuka hijab, lalu memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Biasanya aku mandi hanya berdiri di bawah shower. Semenjak di sini, aku mandi menggunakan gayung untuk menyiram tubuh. Biasanya aku memakai sabun cair, di sini aku pakai sabun mandi batangan biasa yang seharga dua ribuan. Biarlah, yang penting bersih dan wangi, meskipun tak sewangi sabun cair di rumahku.

Selesai mandi, aku keluar hanya mengenakan handuk di bandan. Seketika aku terpekik, saat menyadari ternyata Mas Hada sedang menatapku dengan saksama. Mendengar aku memekik,dia langsung membuang pandangan. Aku langsung berlari, kembali masuk ke kamar mandi dan bersembunyi.

“Mas, kenapa, sih,enggak ketuk pintunya dulu?”

“Sudah. Enggak ada sahutan. Ternyata kamu ada di kamar mandi. Kenapa juga enggak bawa pakaian ganti? Ah, pandanganku jadi ternoda karena melihat tubuhmu, Han.”

Aku mengulum bibir geram. Dia bilang pandangan matanya ternoda? Aku memperhatikan tubuhku sendiri. Perasaan tubuhku ideal, kenapa dia bisa mengatakan ternoda? “Keluar kalau begitu. Aku mau pakai baju!” pintaku dengan bibir yang sudah mengerucut kesal.

“Enggak kamu suruh juga, aku mau keluar ini. Ah, ya ampun, rugi banget hari ini. pandangan mataku benar-benar ternodai.”

Kemudian terdengar suara pintu ditutup. Aku keluar kamar mandi dan memperhatikan diri di cermin. Biasanya, para pria kalau lihat yang seperti ini akan bilang rezeki nomplok. Kenapa dia bilang seolah aku menodai pandangannya? Ish! Kelewatan! Segera aku mencari baju tidur dan langsung memakainya. Kupilih hijab yang panjangnya sampai perut, untuk menutupi lekuk tubuh. Aku segera berbaring miring menghadap ke dinding. Malam ini, menjadi malam pengantin kedua kami. Beruntung dia tidak pernah menuntut hak. Hanya saja, kadang suka jahil sok mau cium-cium asal.

“Sudah pakai baju ternyata. Alhamdulillah.”

Aku diam saja.

“Sudah salat?”

“Sudah. Mas tadi kenapa enggak salat Isya di musala kampus?”

“Oh, itu.” Seperti biasa,dia membentang ambal dan duduk di sana. Aku beringsut duduk dan bersandar pada dinding.

“Tadi aku lagi ngepel kantor dosen, jadi agak terlambat pas datang ke sana.”

“Oh, mengenai ... kotak makan. Maaf,enggak ketemu.”

“Enggak apa-apa. Nanti kita beli lagi saja.”

“Aku saja yang beli.”

“Kamu punya uang?”

“Punya. Mas Irwan masih transferin aku uang, Mas.”

Dia diam, kemudian beranjak dan duduk di hadapanku. Mata ini tak berkedip melihatnya. Tiba-tiba ingat kejadian di kampus tadi, saat ia tiba-tiba memangkas jarak, membuat pipiku jadi menghangat. Aku menunduk, tidak berani menatapnya.

“Han, maaf sebelumnya.”

“Kenapa, Mas?” tanyaku masih terus menunduk.

“Kamu sudah menjadi istriku, otomatis saat ini kamu itu tanggung jawabku. Kalau kamu enggak keberatan dan jika boleh aku sedikit memaksa, tolong jangan lagi terima bantuan dari Mas Irwan.”

Seketika aku mendongak. “Loh, kenapa, Mas?”

“Jujur, Mas merasa rendah diri jika terus mendapat bantuan dari keluargamu. Kita coba ubah kebiasaan dan cara hidupmu. Gunakan uang yang Mas kasih ke kamu kemarin untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk bensin dan makan Mas, biar Mas tanggung sendiri. Para dosen sering memberikan tip saat minta dibelikan makanan, dan itu Mas gunakan untuk ongkos sehari-hari.”

“Mas, uang tiga juta enggak akan cukup untuk biaya hidup kita.”

“Cukup jika untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan enggak akan cukup jika untuk memenuhi gaya hidup, Han. Mas percaya, kamu bisa mengelola uang itu dengan baik. Mas saja bisa, enggak mungkin kamu enggak bisa.”

Aku membuang napas kasar. Bagaimana bisa aku harus melakukan semua ini? Aku terbiasa mentraktir teman-teman makan. Aku akan membeli apa pun yang aku inginkan. “Mas—”

“Please, tolong jangan rendahkan harga diri suamimu ini di depan keluargamu. Kita coba hidup sederhana, hidup apa adanya.”

Aku terdiam. Kenapa menikah harus semenyedihkan ini, sih?

“Kalau pagi sarapan dari rumah, supaya enggak jajan di kampus. Naik ojek saja, jangan taksi OL, atau Mas akan mengantarmu.”

“Enggak perlu!”

Dia tersenyum.

“Biaya kuliahku?”

“Soal itu, biar Mas yang urus semuanya nanti.”

Aku membuang muka.

“Mas akan mencari pekerjaan tambahan. Kebetulan, mata kuliah Mas tinggal beberapa saja. Mas bisa isi kekosongan dengan bekerja di tempat lain.”

Aku masih enggan bersuara.

Dia mendekat, mengusap pucuk kepalaku sekilas, dan berbaring di bawah sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status