Share

Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai
Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai
Penulis: Sylviana Mustofa

Gadis di Atas Pelaminan Itu

last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-26 17:48:53

POV : Hada

**Sylviana.M**

"Gila! Aku mana bisa menikahi gadis sembarangan. Aku memang ingin menikah, tapi tentu saja dengan wanita yang kucintai, Yo!”

Malam ini Prio tiba-tiba datang ke rumah. Dia memintaku menggantikan posisinya sebagai pengantin pria, karena Prio mendadak akan pergi ke Belanda besok. Dia diam, berdiri kaku di hadapanku, lalu mengangsurkan secarik kertas bermeterai yang entah apa isinya.

“Apa ini?” tanyaku bingung, menerima kertas itu dari tangannya.

“Itu surat perjanjian, Suhada. Bulan lalu aku berjanji akan membawa Ibu operasi mata, dan kamu tahu dia sangat bahagia. Maaf, sampai kapan pun, kurasa kau tak akan mampu membuatnya bisa melihat. Jika kau mau menggantikan posisiku besok, aku berjanji, begitu pulang dari Belanda, donor mata itu sudah kudapat. Ibu langsung operasi, supaya bisa melihat.”

Aku duduk di kursi kayu yang ada di samping rumah.

“Hada, mudah saja. Datang besok ke alamat yang kuberikan, dan saat kekacauan terjadi ... katakan kau mau menggantikanku sebagai pengantin pria di sana. Tapi ingat, tugasmu hanya menjaga calon istriku supaya tak diambil oleh pria lain selama aku ada di Belanda. Tidak susah, kan?”

Aku masih diam, galau. Apa yang harus kulakukan? Membuat Ibu bisa melihat adalah impian terbesarku, tapi ... bukan seperti ini caranya! “Akan kupikirkan,” sahutku kemudian sambil mengusap wajah kasar.

“Ya sudah, kalau begitu aku pamit. Sekaligus besok mau berangkat ke Belanda. Aku titip calon istriku. Ini surat undangannya.” Kemudian Prio pergi dari hadapanku.

Setelah dia berlalu dengan mobil mewahnya, perlahan aku menoleh ke arah samping. Di sana surat undangan berwarna putih tergeletak. Tanganku terulur mengambilnya. Undangan yang sangat elegan. Terdapat huruf timbul dan gambar indahnya bunga mawar putih. Kubuka perlahan dan membaca nama Prio, lalu istrinya. Dahiku sedikit berkerut membaca nama tersebut.

“Hana,” ucapku lirih. Nama ini menerbangkan anganku pada sosok wanita yang pernah mencaciku dulu. Meski alamatnya berbeda, tapi nama orang tuanya pun sama. “Apa mungkin dia?”

Sayang, tak ada foto di undangan ini. Akhirnya, malam itu kuputuskan akan datang ke tempat acara besok. Hanya untuk melihat apa yang akan terjadi di sana, tanpa ada pengantin pria.

***SM***

Sudah dua jam aku duduk di bawah tenda. Aku berada di tengah-tengah keramaian tamu undangan. Beberapa orang di depan sana terlihat sibuk. Di atas panggung yang megah, sudah tersusun empat kursi putih yang dihias bunga saling berhadapan. Ada juga meja di tengah-tengah yang sepertinya untuk melakukan ijab. Aku mengenali seseorang, itu ... benar ibunya Hana. Hana adalah wanita yang dulu kusuka, bahkan sampai sekarang rasa itu masih ada. Lalu, terlihat saudara satu-satunya Hana turun dari panggung dan masuk rumah.

Aku masih menunggu aksi berikutnya. Telepon Prio berulang kali tak kuhiraukan. Aku fokus pada kejadian yang akan berlanjut. Mata ini membulat, saat melihat Mas Irwan naik ke panggung dengan muka penuh amarah. Dia membawa sebilah parang. Di belakangnya, seorang wanita dengan riasan yang sangat berantakan mencoba menenangkan.

“Prio, dengar aku! Jangan pikir mentang-mentang kami tak memiliki bapak lagi, seenaknya kamu memperlakukan kami! Dasar kamu banci!” teriak Mas Irwan dari atas panggung, menantang Prio agar keluar dari rumah.

Padahal, Prio sudah tak ada lagi di rumah. Dia sudah pergi ke Belanda satu jam yang lalu. Semua tamu undangan heboh melihat adegan di depan sana, di mana Mas Irwan mengamuk tak terkendali. Ibunya maju, kemudian menangis saat Hana membisikkan sesuatu. Ya Allah, sungguh aku tak tega melihat wanita itu seperti ini. Kasihan sekali mereka. Mengapa Prio tega melakukan semuanya? Apa bisnis di Belanda itu lebih penting daripada resepsi pernikahan ini?

Tanpa kuduga, Mas Irwan kembali berteriak, “Kalian—pria lajang yang ada di sini, siapa yang bersedia menikahi adikku? Akan kuberikan satu unit mobil sebagai maharnya. Bukan kalian yang memberi mahar pada adikku, tapi aku yang akan memberi mahar pada kalian!”

Beberapa pria lajang saling pandang. Ada yang berbisik, hanya ingin memanfaatkan kejadian karena tergiur dengan hadiahnya.

“Ayo, maju! Lumayan hadiahnya. Nanti kita bagi dua,” bisik pria berbaju biru yang tak jauh dariku kepada salah satu temannya.

Aku masih diam. Mencoba berpikir apa yang akan aku lakukan.

“Kalau kamu enggak mau, aku saja yang maju!” Pria itu menawarkan diri. Dia hendak beranjak, tapi aku sudah berdiri lebih dulu sehingga membuatnya kembali duduk. Dengan keyakinan penuh, aku maju. Kini semua mata tertuju padaku. Niat hati hanya satu, menyelamatkan Hana dari rasa malu.

“Mas, perkenalkan, nama saya Suhada. Saya akan menikahi Hana Andriana, tanpa meminta imbalan apa pun,” ucapku mantap, menatap mata berkilatan itu dengan sungguh-sungguh.

“Kamu serius?” tanya Mas Irwan kurang yakin dengan pernyataanku.

Aku mengangguk.

Mas Irwan menarik tangan ini, dan mendudukkanku di kursi untuk ijab kabul. Di sana sudah ada penghulu dan saksi yang akan menikahkan. Setelahnya, Mas Irwan menggandeng tangan Hana dan Ibu, lalu memaksa wanita itu duduk di sampingku. Sedangkan Ibu di kursi lainnya. Karena mendadak, mengenai surat-menyurat akan diurus belakangan. “Pak, tolong nikahkan mereka!”

“Tapi, Mas ....” Si penghulu tampak merasa keberatan.

Melihat Mas Irwan masih memegang parang, nyali sang penghulu ciut. Dia langsung meminta Mas Irwan menjadi wali untuk Hana. Dengan satu tarikan napas, aku berhasil menghalalkannya menjadi istriku. Setelah Ijab, langsung acara makan-makan.

“Nak, terima kasih banyak sudah mau menjadi mempelai pria untuk anak kami,” kata Ibu, saat kami sudah ada di dalam. Hana hanya diam, menunduk dalam.

“Sama-sama, Bu. Kebetulan dari awal melihat kejadian ini, saya sudah berniat ingin membantu. Jika dengan menjadi pengantin pria bisa membantu, saya pun rela melakukannya. Ya, meskipun setelahnya entah kami cocok atau tidak.” Aku tertawa tipis, begitu pun Ibu dan Mas Irwan.

“Kami lega. Untung ada kamu, Suhada. Sekali lagi, terima kasih banyak. Aku akan tetap membelikanmu sebuah mobil, karena ini sudah janjiku.”

“Mas, saya ikhlas, insyaallah. Tolong jangan lakukan itu.”

“Serius?”

“Dua rius, Mas.”

Mas Irwan mengulurkan tangan, dan aku menerimanya. Kami bersalaman sambil saling melempar senyum satu sama lain. Sayang, sejak tadi Hana hanya diam. “Silakan istirahat di kamar sama Hana, ya.”

“Oh, eh ... iya, Mas,” sahutku agak kikuk. Aku mengusap tengkuk untuk menghilangkan grogi, lalu berjalan mengiringi langkah Hana menuju kamar. Sampai di kamar Hana duduk di tepi ranjang, sementara aku berdiri di dekat jendela. Kamar ini sudah dihias sangat indah.

“Apa yang membuatmu mau menikahiku?” tanyanya dari balik tubuhku.

Tidak mungkin kukatakan kalau aku memang sudah diutus Prio untuk menggantikannya. Awalnya aku ingin mengurungkan dan membatalkan semua, tapi saat sadar kalau pengantin wanitanya benar-benar Hana—wanita yang pernah kusuka, dan aku tidak tega membuat keluarganya malu, akhirnya aku mau menggantikan posisi Prio. Bukan untuk perjanjian kami, tapi memang hatiku ingin membantu.

“Karena masa lalu,” sahutku berusaha jujur.

“Masa lalu?”

“Ya. Dulu—saat kita kelas 2 SMP—aku mengatakan secara terang-terangan kalau aku menyukaimu, lalu di pinggir sawah itu ....” Kuceritakan semua yang pernah terjadi pada kami. Barangkali dia lupa, dan akan ingat setelah aku menceritakannya.

“Kamu sudah ingat?” tanyaku sambil membalikkan badan, menatapnya yang masih terlihat mengingat-ingat.

Hana mengangkat wajah. Dengan saksama, dia memperhatikanku yang kini melipat tangan di depan dada. “Jadi, anak dekil itu ... kamu?”

“Ya.”

“Jadi niat kamu menikahiku apa?” tanyanya penuh dengan penekanan.

“Hanya ingin membuktikan, kalau yang kamu katakan beberapa tahun yang lalu bisa saja akan berbalik, dan aku ingin kamu merasakan rasanya menjadi ....” Aku sengaja menggantung kalimat supaya dia penasaran. Aku mendekat dan berdiri di depannya. “Sudahlah jangan pikirkan. Perhatikan saja wajahmu itu di sini.”

Aku memberikan cermin sebesar telapak tangan orang dewasa yang tadi kuambil dari meja rias. Dia mengambilnya, perlahan mengangkat benda tersebut sampai di depan muka. Ekspresi kaget Hana membuat wajah yang sudah tak keruan itu semakin lucu. Riasan wanita itu sudah tak beraturan; maskara meleleh dari mata sampai ke dagu, lipstik hanya bagian atas bibir saja yang berwarna merah, bulu mata copot sebelah, bedak tebal di bagian kening dan dagu saja, sedangkan di bagian bawah mata sudah hilang tersapu air mata.

Aku tersenyum tipis, saat melihat dia berusaha menutupi sebagian wajah dengan telapak tangan. Hana meletakkan kaca ke kasur, dan menunduk lemas. “Mandi sana. Aku akan membawamu pulang ke rumahku. Menyesal tidak akan berguna, semua orang sudah melihat tampang dakocanmu itu.”

“Apa? Dakocan katamu?” tanyanya, kembali menampakkan wajah yang semakin lucu. “Kenapa kamu mau menikahiku?”

“Apa perlu kujelaskan berulang kali, sampai kamu paham?”

“Aku tahu, kamu ada maksud lain melakukan ini, kan?”

Aku diam, tubuhku condong ke depan, ke arahnya. Wajah Hana tampak ketakutan, sementara aku tersenyum samar saat wajah kami berdekatan. “Apa perlu suamimu ini yang mandikan?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai    Bertemu Prio

    Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me

  • Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai    Positif

    Aku diam cukup lama di dalam kamar mandi, sementara Mas Hada sudah gelisah menungguku di luar sana. Bagaimana kalau dia tahu, kalau ternyata hasilnya seperti ini? Kira-kira reaksinya bagaimana, ya? Aku menarik napas panjang, bersiap untuk keluar menemui Mas Hada. Setelah cukup tenang, kubuka pintu dan langsung tampak wajah Mas Hada yang terlihat tegang. “Sayang, bagaimana? Mas sampai izin loh hari ini. Enggak masuk kerja, karena ingin nemenin kamu pakai alat itu.”“Mas pakai alat ini enggak sampai hitungan jam, bahkan menit.”“Mas, deg-degan soalnya.” Dia memang terlihat sangat tegang. Aku langsung melewati tubuhnya dan duduk di ujung kasur. Mas Hada mengekorku dari belakang dan duduk di bawah, menghadap ke arahku. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat wajahnya seperti itu. “Mas, maaf, ya,” ucapku kemudian dengan wajah penuh dengan penyesalan.Mas Hada menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. Dia memegang sebelah tanganku dan menciumnya. “Enggak apa, belum rezeki. Kita coba la

  • Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai    Mual

    Samar-samar, aku merasa ada yang membelai lembut kepala. Aku membuka mata, dan mendapati Mas Hada sudah ada di sampingku. Aku mengucek mata, memastikan kalau yang kulihat bukan hantu.“Mas, ini serius kamu?” Aku langsung memeluk erat tubuhnya, lalu cemberut. “Ih, jahat! Kok, enggak bilang pulang lebih awal? Aku, kan belum siap-siap. Mana sudah tidur lagi, pas kamu pulang.”“Jangan cemberut. Kan jadi pengin ci—”“Langsung saja kenapa, sih? Pakai bilang begitu.”Mas Hada tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu itu makin lucu, deh! Ya sudah, jadi boleh nih?”“Memang aku pernah nolak?”Malam itu, kami tuntaskan rasa rindu selama hampir satu minggu tak bertemu. Seperti biasa, dia amat manis memperlakukanku. Keringat dan peluh melebur menjadi satu.“Baca doa enggak tadi sebelum mulai?” tanyanya seraya mengecup pucuk kepala, setelah kami selesai. “Doa apa?”“Kalau Mas berdoa. Semoga segera ada langkah kaki anak kecil di rumah kita yang sederhana ini.”Aku tersenyum, lalu menyandarkan kep

  • Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai    Menelepon Hana

    POV : Hana“Iya, Mas?” Dengan semangat, aku mengangkat telepon Mas Hada. Ini pertama kalinya dia menelepon, setelah beberapa hari belakangan hanya bisa membalas chat sesekali. “Han, ada yang mau bicara.”“Siapa?”“Halo, Hana?”“I-iya?”“Saya, Fika. Jangan ditutup teleponnya. Ini saya speaker, supaya kamu dan Mas Hada sama-sama mendengar pengakuanku. Jadi, aku dan Prio pernah menjadi teman yang sangat dekat. Kami sering ke kelab malam bersama teman-teman. Bahkan tanpa ingat dosa, kami sering tidur bersama.”“Astagfirullahalazim.”“Aku tahu, perbuatan kami itu sangat enggak terpuji. Aku bahkan pernah hamil, karena sering tidur dengan Prio.”Aku memejamkan mata.“Dulu, Prio pernah memintaku menikah dengan Suhada, tapi mendengar cerita darinya ... aku menolak, karena Suhada hanya seorang office boy. Bagiku, itu sangat memalukan.” Dia terisak. “Aku terus mendesak Prio bertanggung jawab atas anak yang ada di kandunganku, tapi dia terus menolak dan memaksaku menikah dengan Hada. Katanya, Ha

  • Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai    Hidayah

    Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu

  • Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai    Penggoda Iman

    POV : Hada“Oke, untuk malam ini sampai di sini dulu pelatihannya. Kita akan sambung besok dengan materi yang berbeda. Selamat malam,” ucap seorang pemateri malam ini.Pelatihan khusus malam ini telah selesai. Aku bersiap kembali ke kamar. Kebetulan, pelatihan menggunakan aula khusus di hotel tempat kami menginap. Baru saja akan kembali ke kamar, aku bertemu Jefri—teman yang baru kukenal. Dia supervisor dari salah satu perusahaan yang ada di Pulau Kalimantan. “Hada, mau ke mana?” tanyanya yang membuatku menghentikan langkah.“Balik ke kamar, Jef. Kamu?”“Mau keluar cari angin. Mau ikut?”“Ah, capek banget nih! Aku mau tidur saja.”“Selesai pelatihan ini, kita enggak akan ketemu lagi, loh. Ayolah!” katanya sambil merangkul lengan, dan akhirnya aku mengikutinya.Tanpa kusangka, Jefri membawaku main biliar. Gedung yang cukup besar, di dalam sini berjajar meja panjang sebanyak enam buah. Terdapat lampu sorot di atas setiap mejanya, lalu bola warna-warni yang menghiasi bagian atas meja-m

  • Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai    Bertemu Prio

    “Han, kenapa kamu diam saja, sih?” tanya Kiki.“Kamu kenapa lagi? Ada masalah sama Mas Hada?”Aku diam saja. Hanya melipat tangan di meja, dan menatap papa tulis kosong di depan sana. Masih kuingat perpisahanku dan Mas Hada tadi pagi. Rasanya, masih cukup membuat hati teriris. Itu baru pisah sementara, bagaimana nanti jika Tuhan memisahkan kami selamanya?“Astagfirullah.” Aku mengusap wajah kasar.Benar saja kata Mas Hada, Allah itu enggak suka umatnya terlalu mencintai dunia beserta isinya, melebihi rasa cinta terhadap Dia. Allah itu pencemburu. Dia akan merasa cemburu, jika aku mencintai yang lain lebih dari rasa cintaku terhadap Dia.“Astagfirullah,” ucapku sekali lagi.“Han, kamu enggak kesurupan, kan? Di kelas ini tinggal kita bertiga loh!” Kiki tampak khawatir.“Ini jam berapa, sih?” tanyaku tiba-tiba.“Wah beneran nih anak kesurupan.” Isna menjaga jarak.“Jam berapa?” tanyaku sekali lagi, tak memedulikan ocehan mereka.“Pukul 10.30. Dosen enggak masuk, kita dari tadi bengong di

  • Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai    Kepergian Mas Hada

    POV : Hada Tok! Tok! Tok!“Assalamu’alaikum, Pak.” Aku membuka pintu ruangan Pak Reo.“Oh, iya. Wa’alaikumsalam, Hada. Masuk sini!”Aku masuk, lalu duduk di depan kursi Pak Reo. “Ternyata jadwal pelatihan karyawan dimajukan jadi besok. Jadi, hari ini kamu pulang, terus siap-siap. Besok, pagi-pagi, kumpul di sini sekitar pukul 09.00. Kalian keluar kota naik mobil dinas.”“Dimajukan, Pak?” tanyaku bingung, karena aku belum mengatakan apa pun pada Hana.“Iya, Hada. Surat edarannya baru dikirim melalui fax malam ini.”“Baik, Pak. Kalau begitu, saja permisi dulu.”Aku keluar ruangan, lalu masuk ke ruanganku. Sepi, tak ada orang. Ketiga teman di ruangan ini memang jarang sekali ada di tempat. Mereka sering bepergian entah ke mana. Aku membereskan meja dan bersiap akan pulang, setelah itu keluar ruangan menuju parkiran. “Pulang, Mas?” tanya Pak Sekuriti.“Iya, Pak. Soalnya mau pergi pelatihan besok.”“Oke, Mas!” Pak Sekuriti melambaikan tangan, saat sepeda motorku melewati gerbang. Di ja

  • Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai    Belanja

    “Mas!” Aku terpekik kecil, saat Mas Hada membawaku ke tempat baju di sebuah mall. Sudah lama aku berpuasa membeli pakaian, karena tidak memungkinkan. Meskipun tempat ini bukan butik di mana biasanya aku memesan pakaian dengan harga yang cukup tinggi, tapi aku sudah bahagia. Aku menyentuh setiap baju yang tergantung rapi di mall ini. Kuangkat dan kutatap dengan mata berbinar bahagia. Mas Hada mengikutiku dari belakang. Dengan senyum yang terus melengkung, dia setia menemaniku memilih pakaian. Hingga aku menemukan pakaian yang pas untuk Bik Romlah dan Ibu. Mas Hada terlihat bingung dengan baju yang kupilih. “Sayang, itu bukannya untuk orang tua, ya?”“Iya, Mas. Untuk Ibu dan Bik Romlah dulu,” kataku tanpa menoleh ke arahnya, masih sibuk memilih beberapa pakaian.Mas Hada tersenyum sedikit. Kenapa baru-baru ini dia pelit sekali tersenyum? Aku mengabaikan, saat dia terpaku menatapku dengan tangan yang melipat di depan dada. Selesai memilih pakaian Ibu dan Bik Romlah, aku pergi ke arah l

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status