Share

Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai
Suami Pengganti Untuk Wanita yang Kucintai
Penulis: Sylviana Mustofa

Gadis di Atas Pelaminan Itu

POV : Hada

**Sylviana.M**

"Gila! Aku mana bisa menikahi gadis sembarangan. Aku memang ingin menikah, tapi tentu saja dengan wanita yang kucintai, Yo!”

Malam ini Prio tiba-tiba datang ke rumah. Dia memintaku menggantikan posisinya sebagai pengantin pria, karena Prio mendadak akan pergi ke Belanda besok. Dia diam, berdiri kaku di hadapanku, lalu mengangsurkan secarik kertas bermeterai yang entah apa isinya.

“Apa ini?” tanyaku bingung, menerima kertas itu dari tangannya.

“Itu surat perjanjian, Suhada. Bulan lalu aku berjanji akan membawa Ibu operasi mata, dan kamu tahu dia sangat bahagia. Maaf, sampai kapan pun, kurasa kau tak akan mampu membuatnya bisa melihat. Jika kau mau menggantikan posisiku besok, aku berjanji, begitu pulang dari Belanda, donor mata itu sudah kudapat. Ibu langsung operasi, supaya bisa melihat.”

Aku duduk di kursi kayu yang ada di samping rumah.

“Hada, mudah saja. Datang besok ke alamat yang kuberikan, dan saat kekacauan terjadi ... katakan kau mau menggantikanku sebagai pengantin pria di sana. Tapi ingat, tugasmu hanya menjaga calon istriku supaya tak diambil oleh pria lain selama aku ada di Belanda. Tidak susah, kan?”

Aku masih diam, galau. Apa yang harus kulakukan? Membuat Ibu bisa melihat adalah impian terbesarku, tapi ... bukan seperti ini caranya! “Akan kupikirkan,” sahutku kemudian sambil mengusap wajah kasar.

“Ya sudah, kalau begitu aku pamit. Sekaligus besok mau berangkat ke Belanda. Aku titip calon istriku. Ini surat undangannya.” Kemudian Prio pergi dari hadapanku.

Setelah dia berlalu dengan mobil mewahnya, perlahan aku menoleh ke arah samping. Di sana surat undangan berwarna putih tergeletak. Tanganku terulur mengambilnya. Undangan yang sangat elegan. Terdapat huruf timbul dan gambar indahnya bunga mawar putih. Kubuka perlahan dan membaca nama Prio, lalu istrinya. Dahiku sedikit berkerut membaca nama tersebut.

“Hana,” ucapku lirih. Nama ini menerbangkan anganku pada sosok wanita yang pernah mencaciku dulu. Meski alamatnya berbeda, tapi nama orang tuanya pun sama. “Apa mungkin dia?”

Sayang, tak ada foto di undangan ini. Akhirnya, malam itu kuputuskan akan datang ke tempat acara besok. Hanya untuk melihat apa yang akan terjadi di sana, tanpa ada pengantin pria.

***SM***

Sudah dua jam aku duduk di bawah tenda. Aku berada di tengah-tengah keramaian tamu undangan. Beberapa orang di depan sana terlihat sibuk. Di atas panggung yang megah, sudah tersusun empat kursi putih yang dihias bunga saling berhadapan. Ada juga meja di tengah-tengah yang sepertinya untuk melakukan ijab. Aku mengenali seseorang, itu ... benar ibunya Hana. Hana adalah wanita yang dulu kusuka, bahkan sampai sekarang rasa itu masih ada. Lalu, terlihat saudara satu-satunya Hana turun dari panggung dan masuk rumah.

Aku masih menunggu aksi berikutnya. Telepon Prio berulang kali tak kuhiraukan. Aku fokus pada kejadian yang akan berlanjut. Mata ini membulat, saat melihat Mas Irwan naik ke panggung dengan muka penuh amarah. Dia membawa sebilah parang. Di belakangnya, seorang wanita dengan riasan yang sangat berantakan mencoba menenangkan.

“Prio, dengar aku! Jangan pikir mentang-mentang kami tak memiliki bapak lagi, seenaknya kamu memperlakukan kami! Dasar kamu banci!” teriak Mas Irwan dari atas panggung, menantang Prio agar keluar dari rumah.

Padahal, Prio sudah tak ada lagi di rumah. Dia sudah pergi ke Belanda satu jam yang lalu. Semua tamu undangan heboh melihat adegan di depan sana, di mana Mas Irwan mengamuk tak terkendali. Ibunya maju, kemudian menangis saat Hana membisikkan sesuatu. Ya Allah, sungguh aku tak tega melihat wanita itu seperti ini. Kasihan sekali mereka. Mengapa Prio tega melakukan semuanya? Apa bisnis di Belanda itu lebih penting daripada resepsi pernikahan ini?

Tanpa kuduga, Mas Irwan kembali berteriak, “Kalian—pria lajang yang ada di sini, siapa yang bersedia menikahi adikku? Akan kuberikan satu unit mobil sebagai maharnya. Bukan kalian yang memberi mahar pada adikku, tapi aku yang akan memberi mahar pada kalian!”

Beberapa pria lajang saling pandang. Ada yang berbisik, hanya ingin memanfaatkan kejadian karena tergiur dengan hadiahnya.

“Ayo, maju! Lumayan hadiahnya. Nanti kita bagi dua,” bisik pria berbaju biru yang tak jauh dariku kepada salah satu temannya.

Aku masih diam. Mencoba berpikir apa yang akan aku lakukan.

“Kalau kamu enggak mau, aku saja yang maju!” Pria itu menawarkan diri. Dia hendak beranjak, tapi aku sudah berdiri lebih dulu sehingga membuatnya kembali duduk. Dengan keyakinan penuh, aku maju. Kini semua mata tertuju padaku. Niat hati hanya satu, menyelamatkan Hana dari rasa malu.

“Mas, perkenalkan, nama saya Suhada. Saya akan menikahi Hana Andriana, tanpa meminta imbalan apa pun,” ucapku mantap, menatap mata berkilatan itu dengan sungguh-sungguh.

“Kamu serius?” tanya Mas Irwan kurang yakin dengan pernyataanku.

Aku mengangguk.

Mas Irwan menarik tangan ini, dan mendudukkanku di kursi untuk ijab kabul. Di sana sudah ada penghulu dan saksi yang akan menikahkan. Setelahnya, Mas Irwan menggandeng tangan Hana dan Ibu, lalu memaksa wanita itu duduk di sampingku. Sedangkan Ibu di kursi lainnya. Karena mendadak, mengenai surat-menyurat akan diurus belakangan. “Pak, tolong nikahkan mereka!”

“Tapi, Mas ....” Si penghulu tampak merasa keberatan.

Melihat Mas Irwan masih memegang parang, nyali sang penghulu ciut. Dia langsung meminta Mas Irwan menjadi wali untuk Hana. Dengan satu tarikan napas, aku berhasil menghalalkannya menjadi istriku. Setelah Ijab, langsung acara makan-makan.

“Nak, terima kasih banyak sudah mau menjadi mempelai pria untuk anak kami,” kata Ibu, saat kami sudah ada di dalam. Hana hanya diam, menunduk dalam.

“Sama-sama, Bu. Kebetulan dari awal melihat kejadian ini, saya sudah berniat ingin membantu. Jika dengan menjadi pengantin pria bisa membantu, saya pun rela melakukannya. Ya, meskipun setelahnya entah kami cocok atau tidak.” Aku tertawa tipis, begitu pun Ibu dan Mas Irwan.

“Kami lega. Untung ada kamu, Suhada. Sekali lagi, terima kasih banyak. Aku akan tetap membelikanmu sebuah mobil, karena ini sudah janjiku.”

“Mas, saya ikhlas, insyaallah. Tolong jangan lakukan itu.”

“Serius?”

“Dua rius, Mas.”

Mas Irwan mengulurkan tangan, dan aku menerimanya. Kami bersalaman sambil saling melempar senyum satu sama lain. Sayang, sejak tadi Hana hanya diam. “Silakan istirahat di kamar sama Hana, ya.”

“Oh, eh ... iya, Mas,” sahutku agak kikuk. Aku mengusap tengkuk untuk menghilangkan grogi, lalu berjalan mengiringi langkah Hana menuju kamar. Sampai di kamar Hana duduk di tepi ranjang, sementara aku berdiri di dekat jendela. Kamar ini sudah dihias sangat indah.

“Apa yang membuatmu mau menikahiku?” tanyanya dari balik tubuhku.

Tidak mungkin kukatakan kalau aku memang sudah diutus Prio untuk menggantikannya. Awalnya aku ingin mengurungkan dan membatalkan semua, tapi saat sadar kalau pengantin wanitanya benar-benar Hana—wanita yang pernah kusuka, dan aku tidak tega membuat keluarganya malu, akhirnya aku mau menggantikan posisi Prio. Bukan untuk perjanjian kami, tapi memang hatiku ingin membantu.

“Karena masa lalu,” sahutku berusaha jujur.

“Masa lalu?”

“Ya. Dulu—saat kita kelas 2 SMP—aku mengatakan secara terang-terangan kalau aku menyukaimu, lalu di pinggir sawah itu ....” Kuceritakan semua yang pernah terjadi pada kami. Barangkali dia lupa, dan akan ingat setelah aku menceritakannya.

“Kamu sudah ingat?” tanyaku sambil membalikkan badan, menatapnya yang masih terlihat mengingat-ingat.

Hana mengangkat wajah. Dengan saksama, dia memperhatikanku yang kini melipat tangan di depan dada. “Jadi, anak dekil itu ... kamu?”

“Ya.”

“Jadi niat kamu menikahiku apa?” tanyanya penuh dengan penekanan.

“Hanya ingin membuktikan, kalau yang kamu katakan beberapa tahun yang lalu bisa saja akan berbalik, dan aku ingin kamu merasakan rasanya menjadi ....” Aku sengaja menggantung kalimat supaya dia penasaran. Aku mendekat dan berdiri di depannya. “Sudahlah jangan pikirkan. Perhatikan saja wajahmu itu di sini.”

Aku memberikan cermin sebesar telapak tangan orang dewasa yang tadi kuambil dari meja rias. Dia mengambilnya, perlahan mengangkat benda tersebut sampai di depan muka. Ekspresi kaget Hana membuat wajah yang sudah tak keruan itu semakin lucu. Riasan wanita itu sudah tak beraturan; maskara meleleh dari mata sampai ke dagu, lipstik hanya bagian atas bibir saja yang berwarna merah, bulu mata copot sebelah, bedak tebal di bagian kening dan dagu saja, sedangkan di bagian bawah mata sudah hilang tersapu air mata.

Aku tersenyum tipis, saat melihat dia berusaha menutupi sebagian wajah dengan telapak tangan. Hana meletakkan kaca ke kasur, dan menunduk lemas. “Mandi sana. Aku akan membawamu pulang ke rumahku. Menyesal tidak akan berguna, semua orang sudah melihat tampang dakocanmu itu.”

“Apa? Dakocan katamu?” tanyanya, kembali menampakkan wajah yang semakin lucu. “Kenapa kamu mau menikahiku?”

“Apa perlu kujelaskan berulang kali, sampai kamu paham?”

“Aku tahu, kamu ada maksud lain melakukan ini, kan?”

Aku diam, tubuhku condong ke depan, ke arahnya. Wajah Hana tampak ketakutan, sementara aku tersenyum samar saat wajah kami berdekatan. “Apa perlu suamimu ini yang mandikan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status