Share

Ikut Suami

Pov : Hana

**Sylviana.M***

“Ya sudah, menjauhlah! Aku mau mandi,” ucapku sambil mendorong dadanya dengan jari telunjuk.

Tubuh pria itu perlahan menjauh, mengikuti dorongan jariku. Segera aku beranjak menuju kamar mandi. Ingat wajah yang katanya seperti dakocan, aku memilih berdiri di depan meja rias, memperhatikan wajah sesaat dan membersihkannya. Baru saja tangan terayun hendak membersihkan wajah dengan kapas yang sudah ditetesi toner, tiba-tiba pria itu mengembuskan napas berat. Dia mendekat, lalu mengangkat tubuhku.

“Apa-apaan? Turunin!” teriakku marah.

“Mandi! Nanti kalau sudah mandi bukan hanya muka yang bersih, tapi semuanya.”

“Aku bisa sendiri.”

“Lama!”

Sampailah kami di depan kamar mandi. Dia menurunkan dan mendorongku masuk, setelahnya menutup pintu dan membuatku super kesal.

“Berani sekali memperlakukan aku seperti ini!” teriakku dari dalam kamar mandi.

“Si Prio tuh berani sekali bikin Mas Irwan marah, sampai kayak mau bunuh orang sekampung.”

Aku diam. Tiba-tiba rasa sedih memenuhi rongga dada. Rasa marah yang sempat meluap-luap, hilang seketika. Aku melepas pakaian, dan berdiri di bawah shower. Kusiram kepala sambil mengingat kebersamaan kami sebelum hari H. Meskipun tak banyak memori yang melekat di otak, tapi cukup membuatku terluka. Bayanganku, kami akan menjadi keluarga yang bahagia. Dia juga berjanji memboyongku ke Singapura untuk tinggal bersama kedua orang tuanya.

“Kamu mau mas kawin apa nanti di acara ijab kita?” tanyanya saat itu.

“Aku enggak ingin membebanimu, Mas. Enggak mau yang muluk-muluk. Yang penting bermanfaat, dan kamu ikhlas memberikannya padaku.”

Kemudian kami tersenyum.

Selama ini, Mas Prio tak pernah menunjukkan perilaku yang aneh. Pertanyaannya, kenapa dia tiba-tiba meninggalkanku? Aku menunduk, membiarkan tetes demi tetes air mata luruh bersama air yang jatuh dari shower. Kupejamkan mata, mencoba menerima takdir yang Allah gariskan. Puas menangis sambil membersihkan diri, aku mematikan shower, lalu hendak mengambil handuk. Sialnya, aku lupa membawa benda tersebut. Aku kesal, lalu berjongkok karena harus meminta tolong pria itu mengambilkannya untukku. Kenapa aku bisa lupa?

Tok! Tok! Tok! Aku mengetuk pintu kamar mandi.

“Masuk!” teriaknya dari sana.

Dia pikir aku tamu, yang dipersilakan masuk. “Hai, Anda! Tolong ambilkan handuk!”

“Yang sopan kalau minta tolong, yang manis ngomongnya.”

Ah, kenapa aku bicara formal sekali? Aku mengulum bibir sendiri, kesal. Kemudian mencoba mengulang kata-kata. “Iya, maaf. Eh, tolong ambilkan handuk, ya.”

“Apa? Enggak dengar!”

Aku diam, meredam kesal yang kembali menyumpal dada. “Suhada, tolong ambilkan handuk saya.”

“Kurang sopan panggil suami cuma nama saja!”

Kini kupejamkan mata sambil menarik napas yang panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah cukup tenang, aku kembali mencoba bicara, “Mas Suhada, kalau boleh minta tolong, tolong ambilkan handukku yang warna pink. Handuk yang tergantung di belakang pintu.”

“Pintu mana? Yang jelas kalau minta tolong. Pintu dapur, atau pintu depan.”

Aku berlagak ingin memutusnya dari balik pintu kamar ini. Kesal sekali rasanya! Bibir ini diam kembali dengan mata terpejam, berusaha mengontrol rasa kesal yang sudah berdesak-desakan dalam dada. “Di belakang pintu kamar, Mas.”

“Oh, bentar.” Kemudian hening. “Tapi bukan warna pink ini?”

Dahiku mengerut. Ke mana handukku? “Iyakah, Mas? Perasaan, handukku warna pink, Mas.”

“Bukan, ini warna merah muda. Bener punyamu?”

Sabar Hana, sabar ... sabar .... Aku mengelus dada. “Ya Allah, kok bisa lupa, ya? Bener Mas yang itu punyaku hehehe.”

Terdengar dia tertawa kecil, padahal aku di sini dongkol luar biasa. Tidak berapa lama, pria itu mengetuk pintu dan aku membukanya sedikit, lalu tanganku menyembul keluar. Segera dia meletakkan handuk ke telapak tanganku.

“Makasih,” katanya, setelah aku menutup pintu.

Aku diam saja. Karena aku lupa juga membawa baju ganti dan dia pasti akan bertele-tele mengambilkan jika aku meminta tolong, maka kuputuskan tetap memakai pakaian sebelumnya. Selesai, aku keluar. Dia yang sedang duduk di sisi ranjang memperhatikanku dengan saksama. Jadi agak canggung, karena pandangannya tak lepas dari sosokku.

Aku membuka lemari, ekor matanya masih mengikuti. Aku berjongkok mencari dalaman, wajahnya ikut menunduk memperhatikan. Aku berdiri lagi mencari baju tidur, kepalanya ikut mendongak tetap fokus padaku. Dengan gerakan yang cepat, aku jongkok serta berdiri berulang kali. Kepala itu masih mengikuti. Ah, maksudnya apa, sih? Akhirnya aku berhenti, kemudian menghadap ke arahnya. “Maksudnya apa seperti itu?”

“Seperti itu bagaimana?”

“Ya seperti itu, ngelihatin terus!”

“Enggak boleh? Masa lihatin istri sendiri enggak boleh, sih?”

“Enggak boleh!” kataku dengan mata melotot.

“Soalnya ... kamu cantik.”

Aku terdiam, kemudian mengalihkan pandangan. “Apa?”

“Iya, kamu cantik. Tadi, kan kamu tahu sendiri wajahmu seperti dakocan. Setelah mandi dan bersih, kamu cantik.”

Rasa hangat menjalari pipi. Aku tidak jadi marah. Dengan segera aku mengambil pakaian, dan sedikit berlari menuju ke kamar mandi. Sampai di kamar mandi kututup pintunya rapat-rapat, dan menelangkupkan telapak tangan di kedua pipi. Aku tersenyum sendiri. Maksudnya apa, sih, bilang begitu? Dia pikir aku suka? Tapi ... memang aku suka, sih.

Selesai berganti pakaian, aku keluar lagi. Ternyata dia tak ada di kamar. Aku keluar, dan mendapati pria itu sedang bicara dengan Mas Irwan. Ada Ibu menyiapkan secangkir kopi panas untuk keduanya. Aku pura-pura duduk di dekat mereka dan memainkan gawai. Padahal, aslinya cuma kepo dengan apa yang akan mereka bicarakan.

“Jadi, kamu mau membawa Hana ke rumahmu malam ini juga?” tanya Mas Irwan.

“Iya, Mas. Soalnya Ibu sendirian, saya minta tolong saudara menjaganya. Minggu depan, insyaallah saya ajak Ibu main ke sini. Dia pasti senang mendengar saya sudah menikah.”

“Benar-benar enggak ada yang menyangka, kalau Hana akan menikah denganmu, Nak. Terima kasih banyak, kamu sudah membantu kami.”

“Sama-sama, Bu. Kebetulan, dari dulu Ibu selalu memaksa saya menikah. Saya bingung harus menikah dengan siapa, karena tidak punya teman dekat wanita. Karena itu, saat Mas Irwan menawarkan, dengan keteguhan hati saya maju.”

Mas Irwan menepuk-nepuk pundaknya. “Kamu kerja apa?”

“Saya hanya seorang office boy di sebuah universitas. Di sana saya kerja sambil kuliah. Maaf kalau pekerjaan saya hanya itu. Tapi saya berjanji, akan mencari pekerjaan lain setelah menikah.”

“Oh iya, enggak apa-apa. Yang penting halal. Saya percaya kamu pria yang bertanggung jawab. Di universitas mana kalau boleh tahu?”

Dia menyebut nama universitas, membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Di sana juga aku kuliah saat ini. Bagaimana ini?

“Ambil jurusan apa dan semester berapa, Nak?” tanya Ibu.

“Saya ambil jurusan manajemen dan semester tujuh, Bu.”

“Bentar lagi kelar, ya? Semoga lancar semuanya.”

“Aamiin. Makasih, Bu.”

Rasanya aku mau pingsan. Kami kuliah di universitas yang sama. Jurusan yang sama, kemungkinan hanya beda kelas saja. Astagfirullahalazim! Bagaimana kalau teman-temanku tahu soal ini? Mereka semua pasti tak ada yang kenal dengan pria ini kemarin. Bagaimana kalau suatu saat, mereka menyadari ternyata aku menikah dengan seorang OB di kampus?

Aku menoleh, dengan dada bergemuruh mendengar kenyataan ini. Aku gagal menikah dengan Mas Prio yang jabatannya sudah tinggi di sebuah perusahaan, dan kini malah menikah dengan pria ini. Pria yang hanya seorang petugas bersih-bersih di mana aku mengemban ilmu. Bahuku lemas, tenagaku seolah melayang. Aku berdiri dan kembali ke kamar. Sampai di kamar, gawai berdering nyaring. Panggilan dari K**i, teman sekampusnya.

Aku mengangkatnya, kemudian menempelkannya di telinga. “Ya.”

“Hana, aku ganggu enggak?”

“Enggak, Ki.”

“Aku cuma mau bilang, kayak pernah lihat suami kamu di kampus. Apa dia teman kuliah kita, ya?”

Deg!

Apa yang harus kukatakan. Aku diam beberapa saat, sampai K**i memanggilku berulang. “Oh, ya?”

“Iya. Masa kamu enggak ingat, Han?”

“Aku ... aku benar-benar lupa.”

“Nanti, deh, kalau kamu sudah masuk, kita coba cari dia, ya! Mirip banget, Han.”

“Oh.” Hanya itu jawabanku.

“Ya sudah, deh. Selamat bermalam Minggu, pengantin baru.”

“Makasih.” Kemudian telepon mati.

Kreak! Pintu terbuka. Pria itu tersenyum kecil seraya masuk ke kamar. “Sudah siap?”

“Ke mana?”

“Kita ke rumahku.”

Aku mengalihkan pandangan. Tak menjawab sepatah kata pun.

“Kenapa? Ada masalah? Kok, diam?” tanyanya duduk agak jauh dariku.

“Selain masa lalu, kamu juga sering memperhatikanku, kan di kampus?”

Dia diam, menatap sayu wajahku. Setelah lama diam, dia menjawab, “Ya.”

“Apa kamu sengaja menikahiku untuk membuatku malu? Bagaimana bisa aku mendapatkan seorang pria yang hanya seorang office boy sepertimu?”

Kami bertatapan lama hingga tanpa kusangka, dia mendekat dan begitu saja mencium bibirku. Aku mendorong dadanya, saat rasa lembut baru saja mendarat di bibir. Kutatap pria dengan tatapan tajam. Niatnya supaya dia takut, tapi malah ....

“Lancang sekali!” kataku sedikit bergumam, karena mulut tertutup tangan.

“Itu balasannya kalau kamu marah-marah. Kamu dengar aku bicara di depan tadi, kan? Kamu pasti malu punya suami office boy seperti aku. Tenang saja, aku enggak akan mengatakan pada siapa-siapa mengenai status hubungan kita di kampus. Aku akan mengatakan pada dunia bahwa aku suamimu, setelah punya pekerjaan yang jauh lebih baik nanti.”

“Pegang janji!”

“Iya.”

“Enggak boleh cium-cium asal lagi.”

“Kalau yang itu insyaallah.”

“Hai!”

Dia tertawa. Pria itu berdiri, dan memintaku membereskan pakaian karena akan mengajakku ke rumahnya. Sedangkan aku masih mematung. Apa benar dia pria dekil itu, kenapa dia berbeda? Kenapa dia sekarang ... jauh lebih tampan?

*** SM***

Kami mengendarai sepeda motor Supra X 125 hitam menuju RT sebelah. Di jalan, kami hanya diam. Kemarin kami belum kenal. Eh, sudah tapi hanya dia yang mengenalku, aku tidak begitu kenal. Kini kami diikatkan dalam tali perkawinan. Rencana Allah benar-benar ajaib.

“Mau beli makanan dulu enggak?” teriaknya dari depan sana.

“Makanan apa?”

“Kamu penginnya apa?”

“Enggak, deh!” sahutku singkat. Aku paham dia sulit cari uang. Menyapu kampus sebesar itu setiap hari bukanlah pekerjaan yang mudah.

“Kita beli martabak, ya!”

“Enggak usah!”

“Iya!”

“Aku bilang enggak usah!”

“Aku juga bilang iya.”

“Terserah!” sahutku kesal, dan dia hanya tersenyum kecil.

Sepeda motor berhenti di sebuah gerobak martabak di pinggir jalan. Aku enggan mendekat, jadi hanya menunggu di samping motor saja. Pria itu mengobrol sangat akrab dengan si penjual martabak. Apa dia bersikap seperti itu pada semua orang? Tiba-tiba pria itu menoleh, saat aku sedang mengamatinya. Mendadak aku pura-pura memeriksa kuku tangan. Tidak berapa lama, dia datang, menenteng kantong di tangan. “Kita pulang.”

Tanpa menjawab, aku langsung naik ke sepeda motor. Lagi, sepeda motor berjalan santai melewati beberapa perumahan dan gang. Sesekali pria yang bernama Suhada ini menunduk sambil mengurai senyuman untuk semua orang. Hingga tibalah kami di depan rumah yang cukup kecil dan sederhana. Rumah berwarna hijau, tapi catnya sudah banyak mengelupas. Aku turun dari sepeda motor dan memperhatikan rumah ini.

“Yuk, masuk!”

“Kita tinggal di sini?”

“Iya. Kenapa?”

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum samar.

Mas Suhada menenteng tas berisi pakaianku, lalu mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum, Ibu.”

“W*’alaikumsalam.”

Tidak berapa lama, wanita paruh baya membukakan pintu. Dia tersenyum pada anaknya, dan Mas Suhada langsung mengambil punggung tangan sang ibu. “Kenapa pulang malam, Nak?”

“Nanti aku ceritakan. Mana Bik Rahmi?”

“Baru saja pulang.”

Kemudian pria itu menuntun ibunya masuk dan duduk di kursi kayu di ruang depan. Mas Suhada memandang ibunya lama, lalu merapikan rambut beliau. “Bu, aku ada kabar bagus.”

“Apa, Nak?”

“Aku sudah pulang bersama wanita. Dia istri sah Hada, Bu.”

“Oh, ya? Mana dia? Mana?”

Aku heran. Sejak tadi aku ada di sampingnya, kenapa Ibu tak melihatku?

Mas Suhada mengarahkan tangan Ibu ke mukaku, lalu Ibu merabanya dengan mata berkaca-kaca. “Ya ampun! Ini pasti wanita yang sangat cantik. Namamu siapa, Nak?”

Aku menatap Mas Suhada, dia memberi isyarat kalau ternyata Ibu tidak bisa melihat. Seketika, rasa sedih menyeruak di hati. Aku memegang tangan keriputnya dan mencoba tersenyum tipis. “Hana, Bu.”

“Ya Allah, suaranya merdu sekali.” Ibu mendekat dan memeluk, sedangkan mataku tak lepas memperhatikan pria itu.

“Makasih, Bu,” sahutku membalas pelukannya.

Puas bercerita banyak hal dan kejadian yang sesungguhnya, Mas Suhada mengantar Ibu istirahat di kamar. Setelahnya, kembali mendekatiku.

“Mas, sejak kapan Ibu seperti itu?”

“Sejak lahir. Sudah dari tahun kemarin Ibu terus saja mengatakan ingin aku menikah. Aku bingung, aku belum punya tabungan. Bagaimana aku mau melamar seorang wanita? Hingga saat undangan itu datang, akhirnya aku ke sana. Tanpa kusangka ada kejadian tak terduga. Sejak SMP aku menyukaimu, bahkan kita kuliah di kampus yang sama. Saat Mas Irwan mengatakan itu, aku langsung berdiri dan memberanikan diri untuk menikahimu.”

“Siapa yang mengundangmu?”

“Prio. Sebenarnya dia adalah ... sahabatku.”

“Hah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status