Pintu kamar terkunci dengan suara klik yang segera mengisolasi mereka sepenuhnya dari dunia luar. Udara di dalam kamar terasa hangat dan beraroma harum, berasal dari lilin aromaterapi dari wangi yang sebelumnya sudah dinyalakan Venus.
Ian tidak membuang waktu. Dengan gerakan cepat dan tak ragu-ragu, jari-jarinya yang terampil membuka kancing jasnya, melemparkannya ke kursi di sudut ruangan. Dasinya mengikuti, terlepas dengan satu tarikan halus. Kemudian, kancing kemeja putihnya dibuka satu per satu, memperlihatkan dengan jelas dada yang berotot dan kulit yang mulai berwarna kecokelatan.Venus, yang berdiri di dekat tempat tidur, hanya bisa menatap, napasnya mulai memburu. Pria dihadapannya adalah sebuah ilusi nyata. Pencahayaan lampu kamar menyoroti setiap otot di lengannya, setiap gerakannya membuat Venus meneguk ludah.“Matikan lampunya,” bisik Venus, suaranya serak oleh rasa malu dan sebuah hasrat yang membara.Namun Ian menPagi datang dengan harapan baru bagi Venus. Usai sarapan bersama, Venus mengatakan jadwal kelas melukisnya hari itu. Dan Ian bersedia mengantarkan sekaligus menjemputnya hari itu.Mobil hitam yang dikemudikan Ian berhenti dengan halus di sisi trotoar. Venus mendekatkan tas lukisnya ke pangkuannya, bersiap untuk turun.Ian membungkuk, bibirnya menyentuh pipi Venus dengan lembut, hangat, dan familiar. Lalu, dengan gerakan alami, dia mengecup bibir istrinya itu. Singkat, manis, penuh sisi romantis. Sebuah ritual perpisahan yang sudah menjadi rutinitas mereka.“Hati-hati di jalan,” pesan Venus, tangannya membelai lengan Ian sebentar. “Jangan ngebut.” Sebuah pesan yang tulus terpancar dari matanya.Ian mengangguk, senyum kecil menghiasi bibirnya. “Iya. Aku akan menjemputmu selesai kuliah hari ini,” dia berjanji. Suaranya terdengar seperti sebuah melodi di telinga Venus.“Iya. Bye,” ucap Venus, membuka pintu dan melangk
Sementara itu, cahaya lilin temaram menari-nari di dinding kamar, memantulkan bayangan tubuh Venus yang sedang bersiap. Aroma vanilla dan sandalwood, parfum favorit Ian—memenuhi udara, menciptakan aura sensual yang memabukkan.Venus berdiri di depan cermin panjang, menatap pantulan dirinya. Lingerie merah darah itu melekat sempurna di tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk yang biasanya tersembunyi. Kain rendanya transparan di beberapa tempat, memberikan bayangan kulitnya yang mulus dan sudah dibalur lotion berkilau.Dia menggosok tubuhnya lebih lama tadi, bukan hanya untuk membersihkan kotoran dan debu halus, tetapi untuk memastikan setiap inci kulitnya terasa seperti sutra, siap untuk disentuh. Jari-jarinya dengan hati-hati mengatur rambutnya yang tergerai bebas di bahu, menambahkan sentuhan akhir yang sempurna.Drrtt … drrttt …Ponselnya bergetar di atas meja rias. Sebuah pesan dari Ian.[Ian]: Aku pulang, sayang.
Mobil yang dikemudikan Ian meluncur pelan memasuki area apartemen mewah. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di wajahnya yang tegang. Dia memarkir mobilnya di tempat yang sedikit tersembunyi, matanya mengamati sekeliling dengan waspada sebelum akhirnya mematikan mesin.Dia tidak langsung keluar. Tangannya masih memegang kemudi, erat, seolah mencari kekuatan. Pikirannya berputar pada grafik medis yang diberikan Dokter Argus, pada ancaman halus Arjuna, dan pada suara Venus yang masih hangat di telinganya. Semuanya bertabrakan, menciptakan badai dalam kepalanya.Dengan napas berat, dia akhirnya keluar dari mobil. Langkahnya mantap menuju pintu masuk apartemen, melewati lobi yang sepi dengan kepala ditundukkan. Dia naik lift menuju lantai tujuh, jarinya menekan tombol di lift dengan pasti.Ding.Pintu lift terbuka. Koridor yang mewah dan sepi terbentang di depannya. Ian berjala
Ponsel Ian menempel di telinganya, mesin mobil masih menyala lembut. Suara Venus di seberang sana terasa hangat, sebuah kontras tajam dari dinginnya malam dan beban di pundaknya.“Halo, Sayang,” sapanya, berusaha menormalkan suaranya, menyembunyikan kelelahan dan ketegangan dari kunjungannya dari pertemuan dengan Arjuna dan laboran bernama Steel itu.“Ya? Kamu di mana?” tanya Venus, nada suaranya menunjukkan sedikit kekhawatiran.“Maaf, aku akan pulang terlambat,” jawab Ian, matanya menatap jalanan sepi di depan. “Aku juga harus cuti dua hari dari Kampus karena mendadak ada pekerjaan mendesak selain mengajar.” Ian tak sepenuhnya bohong, hanya alasan itu sangat disederhanakan demi tetap mendapatkan kepercayaan Venus. “Kita bertemu lagi besok, Sayang.”Dia mendengar Venus menghela napas, tapi bukan sebuah kekecewaan. “Iya. Jangan lupa makan. Kamu harus menjaga kesehatan.”Ian tersenyum tipis. Kekhawatiran Venus yang
Gedung menjulang itu berdiri seperti monumen kesunyian di tengah malam, jendela-jendelanya gelap kecuali beberapa titik lampu yang berpendar seperti kunang-kunang yang sedang mengundang calon pasangannya untuk kawin. Ian melangkah keluar dari mobilnya, wajahnya keras diterpa cahaya bulan yang pucat.Seorang lelaki bertubuh tegap dengan masker hitam dan kacamata gelap muncul dari balik dinding seperti bayangan, menyambutnya dengan anggukan singkat. Tidak ada kata yang diucapkan. Lelaki itu hanya menuntun Ian melalui serangkaian pintu baja yang masing-masing terkunci dengan sistem biometrik canggih.Mereka memasuki ruang ganti yang steril. Di sana, Ian harus mengganti dan menanggalkan pakaian sipilnya. Jas, kemeja, ikat pinggang, dan semuanya lalu mengenakan pakaian khusus Laboratorium yang terbuat dari bahan polymer putih tanpa cela. Setiap gerakan terlatih, efisien, seolah ini adalah ritual yang telah dijalani berulang kali.Pintu pembersiha
Pintu kamar terkunci dengan suara klik yang segera mengisolasi mereka sepenuhnya dari dunia luar. Udara di dalam kamar terasa hangat dan beraroma harum, berasal dari lilin aromaterapi dari wangi yang sebelumnya sudah dinyalakan Venus.Ian tidak membuang waktu. Dengan gerakan cepat dan tak ragu-ragu, jari-jarinya yang terampil membuka kancing jasnya, melemparkannya ke kursi di sudut ruangan. Dasinya mengikuti, terlepas dengan satu tarikan halus. Kemudian, kancing kemeja putihnya dibuka satu per satu, memperlihatkan dengan jelas dada yang berotot dan kulit yang mulai berwarna kecokelatan.Venus, yang berdiri di dekat tempat tidur, hanya bisa menatap, napasnya mulai memburu. Pria dihadapannya adalah sebuah ilusi nyata. Pencahayaan lampu kamar menyoroti setiap otot di lengannya, setiap gerakannya membuat Venus meneguk ludah.“Matikan lampunya,” bisik Venus, suaranya serak oleh rasa malu dan sebuah hasrat yang membara.Namun Ian men