LOGINTali kimono sutra itu terasa dingin di antara jari-jari Venus saat ia mengikatnya perlahan. Eric atau pria yang mengaku sebagai Ian, terus menatapnya dengan senyum yang terlalu sempurna. Matanya berbinar dengan kehangatan yang tidak pernah ia lihat pada suaminya selama enam bulan terakhir.
"Kamu ... Kamu jadi aneh. Kemarin lusa kita sempet bertengkar lho pas aku nyiapin makan malam romantis," Venus mencoba protes, suaranya bergetar. Namun, pria itu hanya tertawa lembut sebelum tiba-tiba meraih tangannya. Bibirnya yang hangat menyentuh buku-buku jari Venus dengan kelembutan yang membuat lututnya melemah. "Aku Ian, suami pengganti," bisiknya, napasnya hangat di kulit Venus. "Aku bakalan jadi Eric, suami kamu. Tapi, dalam versi yang lebih sempurna." Sebelum Venus sempat bereaksi, dunia di sekelilingnya tiba-tiba berputar. Ian dengan mudah mengangkat tubuhnya dalam gendongan. Satu tangan Ian menopang punggungnya, yang lain di bawah lututnya, seperti mempelajari setiap lekuk tubuh Venus dari manual. "Tunggu! Kamu—" "Ssstth," Ian memotong sambil menapaki tangga menuju kamar tidur. “Aku tahu kamu suka digendong kayak gini. Tanggal 15 Mei 2019, setelah makan malam ulang tahun pernikahan pertama, Eric menggendongmu seperti ini dari restoran ke taksi. Kamu bilang itu membuatmu merasa seperti putri." Venus membeku. Bagaimana mungkin dia tahu detail itu? Bahkan Eric, suaminya yang asli mungkin sudah lupa. Pintu kamar terbuka, mengungkapkan pemandangan yang membuat Venus terkesiap. Tempat tidur mereka sekarang tiba-tiba saja ditaburi kelopak mawar merah. Persis seperti yang gagal ia siapkan beberapa malam sebelumnya. Lilin aroma vanila menyala di setiap sudut, dan di atas bantal, tergeletak kotak kecil dengan pita emas. Ian dengan hati-hati menurunkan Venus di tepi ranjang, lalu berlutut di hadapannya. "Sebelum kita lanjut," ujarnya sambil mengambil kotak itu, “aku punya sesuatu yang harus dikembalikan padamu." Di dalam kotak itu, cincin perak dengan ukiran daun oak. Cincin yang sama yang pernah diberikan Eric di bioskop, yang hilang tiga bulan lalu saat ia mencuci. "Gimana kamu—" "Aku membaca semua catatan," Ian tersenyum, matanya berkilau. "Setiap detail. Setiap ingatan. Setiap ...," Tangannya menyentuh lembut pipi Venus. "... air mata." Tiba-tiba, dari bawah bantal, terdengar getar ponsel. Layar menyala dengan notifikasi pesan masuk. [mountbatten.com] : Jangan lupa, produk ini masih masa uji coba. Batas waktu 7 hari. Jika terjadi masalah selama masa uji coba, Anda bisa segera menghubungi kami. Venus semula hendak meraih ponselnya. Namun, Ian menarik tangan Venus dengan lembut. Jari-jarinya yang hangat terkait erat dengan miliknya. “Ayo kita mandi bersama," bisiknya. Suaranya seperti madu yang mengalir pelan. Matanya seolah memancarkan cahaya yang membuat Venus terpukau. Terlalu sempurna, terlalu fokus, seperti bintang buatan di langit malam. Venus membiarkan dirinya dibimbing ke kamar mandi, yang entah sejak kapan bak berisi air hangat itu menunggu. Busa putih bermandikan cahaya lilin aromaterapi mengambang di permukaan air, memancarkan wangi lavender dan sedikit kayu manis. Kombinasi favorit Venus yang bahkan mungkin Eric, suaminya yang asli sudah lupa. "Gimana kamu tahu kalau ak—" "Shhh," Ian meletakkan jari di bibir Venus, lalu dengan gerakan seperti ahli mulai melepaskan kimono sutranya. "Aku mau manjain kamu, mandiin kamu seperti yang selalu kamu impikan." Saat tubuh Venus menyentuh air, ia menarik napas dalam. Suhunya pas. Tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin, persis seperti yang ia suka. Ian mengambil spons mandi dan menuangkan cairan sabun berbentuk mutiara, yang langsung berubah menjadi busa lembut saat terkena air. Venus memejamkan matanya. Ia berharap jika semua itu bukanlah khayalannya lagi. "Tanggal 3 September 2020," Ian mulai berbicara sambil dengan hati-hati membersihkan punggung Venus, "kamu mandi air hujan di balkon saat Eric tidak pulang semalaman. Kamu berharap suatu hari, dia akan memandikanmu seperti ini setelah kamu masuk angin." Venus bergetar. Bukan karena air, tetapi karena ingatan yang seharusnya tidak ada orang lain yang tahu. "Kamu ... baca diary aku?" Ian tersenyum misterius, tangannya bergerak ke bahu Venus, memijat dengan tekanan lembut yang terasa sempurna. "Aku membaca semuanya tentang kamu." Uap panas mulai mengaburkan cermin kamar mandi. Venus menatap bayangan mereka yang samar. Ian di belakangnya, wajahnya terdistorsi oleh kabut, hampir seperti topeng yang mulai meleleh. Tiba-tiba, tangan Ian berhenti. "Venus," bisiknya dengan suara yang tiba-tiba berbeda. Lebih dalam, lebih terdengar seperti Eric saat sedang menahan diri untuk tidak terlalu cepat orgasme. “Ada sesuatu yang harus kuakui—" Ponsel Venus bergetar dari meja di kejauhan kamar membuat Ian menghentikan kalimatnya. Sebuah notifikasi pesan ke ponselnya masuk. [mountbatten.com]: Jika produk berhasil melewati masa uji coba, Anda berhak menjalani hidup baru sampai masa garansi berakhir. Terima kasih. Dalam sekejap, ekspresi Ian berubah. Senyum sempurnanya kembali. "Ayo kita bilas rambut kamu dulu sebelum kita ke permainan inti," ujarnya, seolah gangguan yang sempat mengalihkan fokusnya tidak pernah terjadi. Venus menikmati sentuhan lembut tangan Ian di kepalanya. “Habis ini, gantian aku yang mandiin kamu,” kata Venus manja. Ian tersenyum, “boleh,” jawabnya. Saat bertukar posisi, Venus tak berkedip melihat tubuh pria yang wajahnya sama seperti Eric itu. “Ah, maaf. Aku nggak fokus,” kata Venus. “Aku sebagai suami pengganti bisa sedih kalau kamu ngerasa aku bukan sebagai suami kamu,” kata Ian. Venus mengangguk-angguk lalu meraih spons. Foam sabun berbentuk awan kecil di antara jari-jari Venus saat ia perlahan memijat punggung Ian. Otot-otot di bawah kulitnya terasa sempurna. Bahkan terlalu sempurna, seperti patung Yunani yang dihidupkan. "Apa kamu mau makan malam bareng?" tanya Venus, mencoba menyembunyikan getar di suaranya. Ian memutar badan, air memercik saat wajahnya tiba-tiba sangat dekat. "Jam 7:15 malam, meja sudut kiri di resto Italia dekat taman. Tempat pertama kali Eric membatalkan kencan karena sibuk bekerja," gumamnya sambil menyingkap rambut Venus yang basah. "Kalau itu aku, aku akan tepat waktu supaya tak membuatmu kecewa." Venus menjatuhkan spons. Sabun berbentuk mahkota jatuh membentuk bayangan di permukaan air. *** Lilin di atas meja resto berkedip saat Ian menyuapkan carbonara ke mulut Venus. "37 menit," bisiknya tiba-tiba. Venus mengernyit. "Apa?" "Waktu yang kamu habiskan untuk menunggu sebelum mulai makan saat kencan pertama dengan Eric. Kamu takut lipstikmu luntur." Ian menyeka sudut bibir Venus dengan serbet. "Aku lebih suka kamu natural." Di seberang resto, seorang wanita paruh baya tertegun melihat mereka, lalu berbisik ke temannya. Venus tahu persis apa yang mereka pikirkan: pasangan sempurna. Tiba-tiba, ponsel Ian bergetar di saku celananya. Sebuah notifikasi pesan muncul di layar. [Server] : Uji coba emosional berlebihan. Reboot setelah makan. Usai makan malam dan meninggalkan restoran, Ian menggenggam tangan Venus sepanjang perjalanan. Angin malam menerbangkan rok Venus saat mereka berjalan menyusuri trotoar. Lalu, langkah Ian tiba-tiba berhenti di depan toko kue. "Kamu mau cheesecake stroberi," katanya. Itu bukan sebuah pertanyaan. "Tapi—" "Tanggal 12 April 2019. Kamu menangis karena Eric lupa membawakan cheesecake pesananmu setelah USG pertama calon anak." Ian menatap kosong ke arah display kue. "Aku .... Data itu seharusnya tidak ... aku ...." Mata Ian berkedip cepat, seperti komputer yang overheating.Pagi itu, cahaya matahari menyinari kantor catatan sipil dengan lembut. Venus dan Ian berdiri berdekatan, tangan tak lepas saling menggenggam. Untuk pertama kalinya sejak ‘kembali’ menjadi normal, Ian tidak mengenakan topi atau berusaha menutupi bekas luka di pipi kirinya.Ian berdiri tegak, dengan sedikit senyum simpul di bibirnya, membiarkan dunia melihatnya apa adanya. Dan bagi Venus, itu justru membuatnya semakin tampan. Sebuah bukti nyata dari ketangguhan g dan keberaniannya.“Kamu yakin dengan pilihan ini?” bisik Ian, tatapannya menatap Venus dalam-dalam, seolah masih tidak percaya dengan kebahagiaan yang dialaminya.Venus hanya menjawab dengan menggenggam tangannya lebih erat. “Aku nggak pernah seyakin ini tentang apapun sebelumnya.”Cincin sederhana di jari Venus berkilau samar, sebuah janji yang kini akan mereka wujudkan dalam sebuah ikatan sakral. Proses itu berjalan lancar, penuh dengan pandangan penuh berkah dari pe
Hari itu Venus memberanikan diri untuk memeriksa kandungannya. Tanpa meminta waktu Eric untuk mendampinginya, dia memutuskan mengunjungi dokter kandungan sendiri.Saat menunggu panggilan untuk bertemu dokter, Venus mendengar suara lelaki yang familiar memanggil namanya. Dia menoleh ke arah suara, dan matanya terbelalak saat melihat pria itu. Pertemuan tak terduga itu membuat ruang tunggu dokter kandungan terasa sempit.“Kamu periksa kandungan? Eric, suami kamu gimana kabarnya?” tanya pria itu.“Eric baik-baik saja, katanya.Kalimat kebohongan itu terasa pahit di ujung lidah Venus. Venus masih terduduk, mencoba mencerna kata-katanya sendiri yang terlanjur meluncur sebagai pertahanan diri untuk menjaga citra pernikahannya dengan Eric sebelum putusan resmi dari pengadilan.Venus balik bertanya, “kamu, nemenin istri ke sini?”Pria itu—Virgo tertawa pelan, dan tawanya seperti mengurai sedikit ketegangan.
Empat bulan kemudian ….Ruang sidang itu terasa pengap, meski pendingin ruangan dinyalakan di angka 17 derajat Celsius. Setiap tarikan napas Venus terasa berat, dipenuhi ketegangan.Venus duduk tegak, tetapi tangan yang tergenggam di pangkuannya menghujam pucat. Di sampingnya, Arjuna menyusun berkas-berkas dengan tenang. Sorot matanya tajam, terpaku pada Eric yang duduk di seberang mereka dengan wajah dingin.“Yang Mulia,” suara Arjuna menggelegar, memecah kesunyian ruangan itu. “Kami hari ini tidak hanya akan membuktikan adanya keretakan perkawinan yang tidak dapat diperbaiki lagi, tetapi juga menunjukkan bahwa pihak Termohon, Tuan Eric, telah secara sadar dan berulang kali melanggar janji suci pernikahan melalui hubungan di luar pernikahan dengan saudari Venus John Eleanor.”Dari dalam map berwarna coklat, Arjuna mengeluarkan setumpuk dokumen. Venus menunduk, napasnya tersendat. Ini adalah momen yang paling ditakutkan dan sek
Ruangan konsultasi yang rapi dan sejuk itu tiba-tiba terasa seperti perangkap. Venus duduk kaku, menatap tak percaya pada pria yang duduk di seberangnya. Bukan pengacara biasa yang dia harapkan, tetapi Arjuna, suami Felicia, dan yang dia curigai terlibat jauh lebih dalam dengan situs Mountbatten.com.“Aku tidak menyangka kamu akan melakukan hal seperti ini, Venus,” ucap Arjuna, suaranya datar, tetapi matanya yang tajam menelusuri setiap ekspresi di wajah Venus.Venus menahan gejolak di dadanya. “Aku sudah muak. Aku lelah bertahan, Arjuna," jawabnya, suaranya tegas meski tangannya menggenggam erat tepi kursi.Venus sudah muak dengan semua kebohongan, semua permainan, dan semua orang yang tampaknya tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri.Arjuna menyeringai, sebuah ekspresi yang membuat Venus merinding. Pria itu tidak terkejut. Sepertinya dia sudah menunggu. Dengan gerakan santai, dia mengeluarkan sebuah map d
Tanpa berkata-kata, Venus merogoh amplop cokelat yang dia sembunyikan dan mengeluarkan sebuah foto. Foto itu jelas, bujti yang tak lagi terbantahkan.Foto itu menangkap wajah Eric dan Nova, sedang keluar dari sebuah pintu kamar hotel, sedang bertatapan mesra sambil tangan mereka saling menggenggam.Wajah Eric berubah seketika. Darahnya mengalir menjauh dari wajahnya, meninggalkan warna pucat yang mencolok. Matanya membelalak, tidak percaya. “A-apa ini?” dia tergagap-gagap dengan suara serak.“Eric.” Venus menatapnya langsung, matanya yang biasanya lembut sekarang penuh dengan kekecewaan dan keputusan yang tak tergoyahkan. “Maafkan aku, aku ingin bercerai.”“Tidak!” Eric berseru, panik. Tangannya meraih lengan Venus, tapi Venus menariknya kembali. “Semuanya salah paham, Sayang!”“Tidak perlu mengelak, Eric.” Venus menggeleng, suaranya datar, lelah. Semua drama, semua kebohongan, sudah cukup. “Aku sudah tahu semuany
Udara di antara mereka terasa pengap. Nova mendekap bayinya lebih erat, wajahnya campur aduk antara terkejut, tidak percaya, dan sedikit harap saat mendengar ucapan Venus.“Aku akan bercerai dari Eric,” ucap Venus.Dia berbicara seolah Keputusannya sudah bulat.Nova terbelalak. “Apa? Kamu yakin? Kamu nggak bercanda?” Bayi di gendongan Nova menggeliat, seolah merasakan ketegangan.“Aku udah janji,” jawab Venus, menatap langsung ke mata Nova. “Begitu anak itu lahir, aku akan mengurus perceraian dengan Eric.” Janji itu, yang dulu diucapkan dalam keputusasaan untuk menenangkan Nova, untuk memenangkan hati Eric, kini dia tepati. Venus memenuhi janji itu bukan untuk Nova, melainkan untuk dirinya sendiri. Untuk kebebasannya. Untuk Ian.“Ta-tapi ..." Nova tampak bingung dengan perubahan drastis itu. “Tapi Eric bilang, dia menyuruhku menjauh dari hidup kalian.” Ucapan itu seperti pengakuan, sebuah pengakuan







