INICIAR SESIÓNIan terjatuh seperti boneka yang talinya terputus. Tubuhnya yang biasanya begitu gagah kini tergeletak kaku di trotoar, wajahnya pucat di bawah cahaya lampu jalan berwarna kuning keemasan. Venus menjatuhkan diri di sampingnya, tangannya gemetar menekan nomor medis darurat.
"Tolong, suami saya pingsan!" teriaknya pada operator, suaranya pecah. Di kejauhan, sirene ambulans mulai terdengar. Ambulans berhenti dengan ban berdecit. Pintu terbuka, dan seorang dokter berjas putih melompat keluar. Wajah yang sama yang memeriksa Venus setelah ia pingsan di garasi. “Dokter?” gumam Venus saat mereka bertatapan. Nama di kalung identitasnya tertulis Dr. Argus Watson. “Kita bertemu lagi, Nyonya Eleanor," katanya sambil berlutut di sebelah Ian. Venus mengangguk. Tangan dokter Argus dengan cepat memeriksa denyut nadi lalu pupil mata Ian. "Kondisinya stabil. Tapi saya perlu membawanya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut,” katanya. Dia mengangkat pandangannya, menatap Venus dengan tatapan tak biasa. "Ini nomor pribadi saya," bisiknya sambil menyelipkan kartu nama ke saku Venus. "Jika ada hal lebih buruk dari ini … Anda bisa menghubungi saya.” Venus hanya mengangguk sekali lagi. Mereka membawanya serta bersama Ian menuju Rumah Sakit. Di ruang gawat darurat, Ian terbangun setelah menjalani pemeriksaan. Matanya terbuka lebar, bernafas berat seperti orang yang baru diselamatkan dari tenggelam. "Venus?" suaranya serak, berbeda dari biasanya. Tangannya meraih tangan Venus dengan genggaman yang hampir putus asa. Dr. Argus dengan sigap memeriksa monitor EKG. "Ada yang Anda ingat, Tuan?" tanyanya. Ian mengerutkan kening, lalu tiba-tiba ekspresinya berubah. Wajahnya kembali menjadi senyum sempurna yang sudah dikenal Venus. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Dokter. Aku hanya lelah." Dia duduk tegak, lalu dengan lancar berdiri dan meraih jaketnya. "Ayo pulang, Sayang," ujarnya pada Venus, seolah lima menit lalu dia tidak tergeletak tak berdaya. Di dalam taksi pulang, Venus merogoh sakunya. Kartu nama Dr. Argus terasa aneh di jarinya. Kartunya terlalu berat untuk selembar kertas. Saat Venus membalik kartu itu, ada tulisan kecil di belakangnya. "Produk kami masih dalam tahap pengujian beta. Cari saya di Rumah Sakit Anggrek, basement lantai tiga jika terjadi sesuatu pada suami Anda.” Ian yang duduk di sampingnya tiba-tiba menatap tajam ke arah kartu itu. “Kamu pegang apa, Sayang?" Venus dengan cepat menyembunyikannya. "Ah, ini hanya struk parkir," ia berbohong. Venus menatap keluar jendela pada bayangan mereka yang terpantul di kaca, di mana bayangan Ian sama sekali tak terlihat seperti bayangan lelaki pada umumnya. Venus membatin, ‘aku yakin nggak akan ada masalah sama dia. Dia tetap Eric, suamiku.’ *** Lampu kamar mandi menyala redup, menciptakan bayangan bergoyang di dinding yang lembab. Venus berdiri di depan cermin berkabut, memandangi siluet tubuhnya yang dibalut lingerie merah dengan renda dan belahan rendah. Warna yang pernah Eric sebut terlalu vulgar untuknya. "Kamu terlihat seperti api," suara Ian tiba-tiba terdengar rendah dari belakang. Tangannya yang dingin menyentuh pundak Venus, perlahan menyingkap tali tipis yang menahan bustier. Venus menahan napas saat bayangan mereka bersatu di cermin. Ian terlalu sempurna. Otot-ototnya simetris seperti patung, kulitnya mulus tanpa satu pun tahi lalat seperti yang dimiliki Eric di punggung sebelah kiri. Air hangat mengalir di tubuh mereka saat Venus mendorong Ian duduk di bangku marmer. Dengan spons berbusa, ia menyapukan sabun ke setiap inci tubuhnya, mencari sesuatu yang bisa membangkitkan sisi liarnya. Venus akan melakukan apa saja untuk membuktikan jika Ian adalah manusia, sama seperti Eric. "Kamu mencari ini?" Ian tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya. Di bawah ketiak kirinya, Venus melihat bekas jahitan halus, seperti sebuah operasi kecil untuk menutup sebuah luka. Darahnya membeku. Namun, sebelum Venus sempat bereaksi, Ian sudah menariknya ke dalam bak, menciptakan percikan air ke mana-mana. "Jangan khawatir," bisik Ian sambil mengecup leher Venus. “Aku dirancang untuk segala kebutuhan biologis seorang istri." Kalimat itu menjadi pembuka permainan mereka malam itu. Ranjang berderit di bawah berat mereka. Ian bergerak dengan presisi. Setiap sentuhan, setiap desahan, tepat pada titik yang membuat Venus merintih. "Di sini," bisiknya sambil menekan titik di belakang telinga Venus. "Kamu paling sensitif di sini sejak 14 Februari 2020, saat Eric—" "Stop!" Venus menyumbat bibir Ian dengan sebuah ciuman. Tubuhnya menanggapi, tetapi pikirannya seketika menjerit. Ian seperti bukan suaminya. Seolah ia adalah suami ciptaan dari semua momen memalukan dalam pernikahannya sendiri bersama Eric. Saat Ian mencapai klimaks dengan erangan yang sempurna di telinga Venus, ia merasa kembali menemukan dirinya yang telah lama terkubur diam-diam dalam pernikahan dengan Eric. Mereka kelelahan dan tertidur dalam pelukan satu sama lain. Jam menunjuk pukul 03.17 saat Venus terjaga sesaat dengan tubuh terbaring di samping suaminya. Ponselnya bergetar dengan notifikasi dari nomor tak dikenal. [mounbatten.com]: Produk #E-742 kini dalam mode normal. Segera hapus data emosional terkini sebelum korupsi sistem. Di sisinya, kelopak mata Ian berkedip cepat dalam tidurnya. Membuat Venus tersenyum. “Pernikahan sempurna,” gumamnya.Pagi itu, cahaya matahari menyinari kantor catatan sipil dengan lembut. Venus dan Ian berdiri berdekatan, tangan tak lepas saling menggenggam. Untuk pertama kalinya sejak ‘kembali’ menjadi normal, Ian tidak mengenakan topi atau berusaha menutupi bekas luka di pipi kirinya.Ian berdiri tegak, dengan sedikit senyum simpul di bibirnya, membiarkan dunia melihatnya apa adanya. Dan bagi Venus, itu justru membuatnya semakin tampan. Sebuah bukti nyata dari ketangguhan g dan keberaniannya.“Kamu yakin dengan pilihan ini?” bisik Ian, tatapannya menatap Venus dalam-dalam, seolah masih tidak percaya dengan kebahagiaan yang dialaminya.Venus hanya menjawab dengan menggenggam tangannya lebih erat. “Aku nggak pernah seyakin ini tentang apapun sebelumnya.”Cincin sederhana di jari Venus berkilau samar, sebuah janji yang kini akan mereka wujudkan dalam sebuah ikatan sakral. Proses itu berjalan lancar, penuh dengan pandangan penuh berkah dari pe
Hari itu Venus memberanikan diri untuk memeriksa kandungannya. Tanpa meminta waktu Eric untuk mendampinginya, dia memutuskan mengunjungi dokter kandungan sendiri.Saat menunggu panggilan untuk bertemu dokter, Venus mendengar suara lelaki yang familiar memanggil namanya. Dia menoleh ke arah suara, dan matanya terbelalak saat melihat pria itu. Pertemuan tak terduga itu membuat ruang tunggu dokter kandungan terasa sempit.“Kamu periksa kandungan? Eric, suami kamu gimana kabarnya?” tanya pria itu.“Eric baik-baik saja, katanya.Kalimat kebohongan itu terasa pahit di ujung lidah Venus. Venus masih terduduk, mencoba mencerna kata-katanya sendiri yang terlanjur meluncur sebagai pertahanan diri untuk menjaga citra pernikahannya dengan Eric sebelum putusan resmi dari pengadilan.Venus balik bertanya, “kamu, nemenin istri ke sini?”Pria itu—Virgo tertawa pelan, dan tawanya seperti mengurai sedikit ketegangan.
Empat bulan kemudian ….Ruang sidang itu terasa pengap, meski pendingin ruangan dinyalakan di angka 17 derajat Celsius. Setiap tarikan napas Venus terasa berat, dipenuhi ketegangan.Venus duduk tegak, tetapi tangan yang tergenggam di pangkuannya menghujam pucat. Di sampingnya, Arjuna menyusun berkas-berkas dengan tenang. Sorot matanya tajam, terpaku pada Eric yang duduk di seberang mereka dengan wajah dingin.“Yang Mulia,” suara Arjuna menggelegar, memecah kesunyian ruangan itu. “Kami hari ini tidak hanya akan membuktikan adanya keretakan perkawinan yang tidak dapat diperbaiki lagi, tetapi juga menunjukkan bahwa pihak Termohon, Tuan Eric, telah secara sadar dan berulang kali melanggar janji suci pernikahan melalui hubungan di luar pernikahan dengan saudari Venus John Eleanor.”Dari dalam map berwarna coklat, Arjuna mengeluarkan setumpuk dokumen. Venus menunduk, napasnya tersendat. Ini adalah momen yang paling ditakutkan dan sek
Ruangan konsultasi yang rapi dan sejuk itu tiba-tiba terasa seperti perangkap. Venus duduk kaku, menatap tak percaya pada pria yang duduk di seberangnya. Bukan pengacara biasa yang dia harapkan, tetapi Arjuna, suami Felicia, dan yang dia curigai terlibat jauh lebih dalam dengan situs Mountbatten.com.“Aku tidak menyangka kamu akan melakukan hal seperti ini, Venus,” ucap Arjuna, suaranya datar, tetapi matanya yang tajam menelusuri setiap ekspresi di wajah Venus.Venus menahan gejolak di dadanya. “Aku sudah muak. Aku lelah bertahan, Arjuna," jawabnya, suaranya tegas meski tangannya menggenggam erat tepi kursi.Venus sudah muak dengan semua kebohongan, semua permainan, dan semua orang yang tampaknya tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri.Arjuna menyeringai, sebuah ekspresi yang membuat Venus merinding. Pria itu tidak terkejut. Sepertinya dia sudah menunggu. Dengan gerakan santai, dia mengeluarkan sebuah map d
Tanpa berkata-kata, Venus merogoh amplop cokelat yang dia sembunyikan dan mengeluarkan sebuah foto. Foto itu jelas, bujti yang tak lagi terbantahkan.Foto itu menangkap wajah Eric dan Nova, sedang keluar dari sebuah pintu kamar hotel, sedang bertatapan mesra sambil tangan mereka saling menggenggam.Wajah Eric berubah seketika. Darahnya mengalir menjauh dari wajahnya, meninggalkan warna pucat yang mencolok. Matanya membelalak, tidak percaya. “A-apa ini?” dia tergagap-gagap dengan suara serak.“Eric.” Venus menatapnya langsung, matanya yang biasanya lembut sekarang penuh dengan kekecewaan dan keputusan yang tak tergoyahkan. “Maafkan aku, aku ingin bercerai.”“Tidak!” Eric berseru, panik. Tangannya meraih lengan Venus, tapi Venus menariknya kembali. “Semuanya salah paham, Sayang!”“Tidak perlu mengelak, Eric.” Venus menggeleng, suaranya datar, lelah. Semua drama, semua kebohongan, sudah cukup. “Aku sudah tahu semuany
Udara di antara mereka terasa pengap. Nova mendekap bayinya lebih erat, wajahnya campur aduk antara terkejut, tidak percaya, dan sedikit harap saat mendengar ucapan Venus.“Aku akan bercerai dari Eric,” ucap Venus.Dia berbicara seolah Keputusannya sudah bulat.Nova terbelalak. “Apa? Kamu yakin? Kamu nggak bercanda?” Bayi di gendongan Nova menggeliat, seolah merasakan ketegangan.“Aku udah janji,” jawab Venus, menatap langsung ke mata Nova. “Begitu anak itu lahir, aku akan mengurus perceraian dengan Eric.” Janji itu, yang dulu diucapkan dalam keputusasaan untuk menenangkan Nova, untuk memenangkan hati Eric, kini dia tepati. Venus memenuhi janji itu bukan untuk Nova, melainkan untuk dirinya sendiri. Untuk kebebasannya. Untuk Ian.“Ta-tapi ..." Nova tampak bingung dengan perubahan drastis itu. “Tapi Eric bilang, dia menyuruhku menjauh dari hidup kalian.” Ucapan itu seperti pengakuan, sebuah pengakuan







