***"Felicya mana?""Masih di ruangannya, Pak.""Oh oke, makasih."Tanpa permisi, Rafly melangkahkan kakinya memasuki butik lebih dalam lalu menuju ruangan kerja Felicya.Tak mengetuk dulu, Rafly membuka pintu dengan sedikit kasar dan di dalam sana yang dia dapati adalah; Felicya masih sibuk memasang payetan pada sebuah gaun yang terpasang pada manekin."Masuk ketuk dulu kal-"Felicya menghentikan ucapannya setelah dia tahu jika Raflylah yang baru saja masuk ke ruangannya tanpa permisi."Kamu," panggil Felicya. "Udah pulang dari kantor? Katanya lembur sampe malam?""Kenapa, enggak suka aku pulang awal?" tanya Rafly. Dia yang semula berdiri di ambang pintu lantas melangkah masuk lalu duduk bersandar di sofa.Hari ini seharusnya Rafly memang lembur dan pulang pukul delapan malam. Namun, karena kesalahan teknis, dia pulang seperti biasa pukul lima sore.Biasanya ketika pulang sekitar pukul setengah enam, Felicya sudah ada di rumah karena memang sejak satu bulan lalu Rafly meminta istriny
***"Kalian udah pada siap belum?!"Sekali lagi, teriakan Adam terdengar dari teras rumah untuk memanggil anggota keluarganya yang pagi ini sedang sangat sibuk bersiap-siap.Sesuai rencana, hari ini keluarga besar Adam Manuel Alexander akan pergi berlibur menuju Paris, Francis.Sebenarnya tak ada istilah akan terlambat terbang karena mereka pergi menggunakan jet pribadi, hanya saja Adam memang ingin semuanya tepat waktu.Berangkat dari Indonesia pukul delapan, mereka harus sampai di Paris sekitar pukul satu dini hari karena memang menuju kota yang terkenal dengan menara eifelnya itu membutuhkan waktu kurang lebih tujuh belas jam."Udah siap?" tanya Adam pada Danendra juga Adara yang keluar dari rumah lebih dulu."Udah," kata Danendra."Yang lain mana?""Masih siap-siap.""Lama banget," kata Adam."Ya maklum, Kak Aksa sama Danish kan anaknya tiga, jadi agak repot.""Iya sih.""Danendra nunggu di mobil.""Ya udah."Bersama Adara juga Elara, Danendra melangkah menuju Range Rover putih ya
***"Gimana, Sayang. Suka enggak kam-""Sssst."Danendra sontak menghentikan ucapannya ketika Adara yang sedang mencoba menidurkan Elara di bagian tengah kasur, menoleh sambil mendesis pelan."Kenapa?" tanya Danendra dengan suara yang pelan."Barusan El kaya mau bangun," bisik Adara."Oh, maaf."Danendra yang masih berdiri di dekat pintu lantas menggerek satu-persatu koper miliknya juga Adara menuju lemari yang ada di bagian ujung kamar untuk membereskan satu-persatu isinya sementara Adara masih berusaha menenangkan Elara yang sedikit menggeliat.Tanpa diminta, Danendra merapikan pakaiannya dan Adara bahkan Elara ke dalam lemari sehingga ketiga koper yang dia bawa kini kosong.Selain koper berisi pakaian, Danendra juga membawa stroller milik Elara yang akan dipakai berjalan-jalan besok atau mungkin lusa.Berusia delapan bulan, Elara tentunya belum bisa berjalan. Balita gembul yang kini beratnya mencapai sebelas kilogram itu baru bisa berdiri lalu melangkah sambil berpegangan."Rapi ju
***"Yang lain udah pada enggak ada?"Danendra yang sedang menyimpan sarapannya di meja lantas menoleh pada Adara yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan bathrobes putih juga handuk yang membelit rambutnya."Iya kayanya, enggak tau juga sih," kata Danendra. Menarik kursi, dia duduk di sana lalu mengajak Elara yang sudah diletakkan di stroller, bermain."Kenapa emangnya?""Enggak enak aja," kata Adara. "Kita kan ke sini mau liburan keluarga, tapi di hari pertama aku malah telat bangun. Duh si Dara emang bodoh.""Kalau ngomong."Pagi ini Adara dan Danendra memang bangun terlambat. Ketika yang lain bangun pukul enam lalu sarapan bersama di restoran pukul tujuh, Adara juga Danendra justru baru bangun pukul delapan begitupun Elara yang ikut nyenyak bersama kedua orang tuanya.Adara benar-benar nyatanya lelah setelah menempuh perjalanan tujuh belas jam sampai-sampai tak mendengar dering di ponsel bahkan ketukan di pintu kamar."Malu untuk kesekian kalinya," kata Adara. Tak langsung m
"Eliza?""Danendra?"Perempun tersebut mengukir senyuman manis pada Danendra, bahkan raut wajahnya terlihat begitu senang bertemu dengan pria yang sudah sejak lama tak dia temui itu."Lagi liburan di sini?" tanya Eliza. "Sama siapa?""Istri," kata Danendra.Eliza baru menoleh ketika Danendra mengucapkan kata istri. Sama seperti ketika melihat Danendra, Eliza juga terkejut melihat Adara yang masih menggendong Elara."Lho, Adara?""Hai," sapa Adara singkat. Berbeda dengan Danendra yang memasang wajah ramah, Adara justru sebaliknya.Tak sedikit pun senyuman dia ukir untuk Eliza karena memang hubungan mereka bisa dibilang tak baik.Eliza Mahatma. Perempuan berusia tiga puluh tahun yang saat ini berdiri di depan Danendra bukanlah orang yang asing karena dulu dia adalah teman satu kelas Adara juga Danendra saat kuliah.Hubungan Eliza dan Danendra bisa dibilang cukup baik karena dulu perempuan itu sempat menyimpan rasa pada adik Aksa tersebut meskipun tak pernah mendapat balasan.Jika dengan
***"Lho, Ra. Kok sendiri? Danendranya mana?"Di lobi hotel, Adara berhenti melangkah ketika dia tak sengaja berpapasan dengan Ananta yang entah habis dari mana."Kak Ana," panggil Adara. "Danendra masih di restoran, Kak. Lagi makan sama temannya.""Teman?" Ananta menaikkan sebelah alisnya. "Teman yang mana?""Teman kuliah dulu, Kak. Perempuan," ucap Adara. "Aku takut ganggu, makanya aku pulang."Ananta mengerutkan keningnya, memandang Adara sejenak dia akhirnya paham. Tak mau menambah kekesalan adik iparnya, dia memilih mengalihkan perhatian."Oh ya udah enggak apa-apa," kata Ananta. "Oh ya, Kakak kebetulan lagi makan siang di restoran hotel sama Kak Aksa. Mau ikutan enggak?""Enggak apa-apa?" tanya Adara. Sebenarnya dia ingin menolak. Namun, perutnya berkata lain karena saat ini Adara lapar.Selain cemburu, Adara juga emosi karena Danendra tak menyusulnya. Dalam pikirannya, Danendra pasti sedang makan siang sambil haha hihi dengan Eliza.Aish! Membayangkannya saja Adara rasanya ing
***"Enggak usah ditekuk gitu mukanya."Rafly yang baru saja mengambil air minum dingin dari dapur, lantas duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan Felicya.Pulang kantor, dia disuguhi wajah masam yang dipampang Felicya karena ternyata setelah melakukan konsultasi dengan dokter Kiran, dia tak diizinkan pergi ke Paris.Dokter Kiran bilang, dengan kondisi kehamilannya yang sedikit rentan, terlalu beresiko bagi Felicya untuk melakukan perjalanan belasan jam.Padahal, pagi tadi sebelum ke kantor, Rafly sudah memesan dua tiket pesawat menuju Paris."Bete," celetuk Felicya. "Aku tuh udah bayangin nikmatin sunrise atau sunset di depan eiffel, Raf. Ini malah enggak jadi. Kan sebal.""Ya mau gimana lagi," ucap Rafly. "Daripada bayi kita kenapa-kenapa, kan?""Anak kamu nyusahin.""Bilang apa kamu?"Felicya menatap Rafly. "Enggak, maaf," ucapnya. "Aku keceplosan.""Dijaga ucapannya kalau lagi hamil," kata Rafly. "Jangan ngomong yang buruk-buruk.""Iya maaf, Rafly. Maaf."Rafly meneguk air d
***"Enak buburnya? Iya? Makan lagi ya, Sayang."Adara membuka matanya perlahan ketika suara tersebut berhasil ditangkap kedua indra pendengarannya. Menyipitkan mata, dia meraba kasur di depannya yang kosong tanpa Elara.Putrinya sudah bangun entah sejak kapan. Itulah yang ada di pikiran Adara sekarang.Sebelum bangun, Adara menguap lalu meregangkan tubuhnya yang terasa sangat pegal setelah tidur siangnya. Entah berapa jam dia terlelap, Adara tak tahu."Makan lagi, iya?"Lagi, suara Danendra kembali terdengar—membuat Adara akhirnya mengubah posisi menjadi duduk.Masih setengah sadar, dia melihat Danendra duduk bersilah di atas lantai sambil menyuapi Elara yang kini berada di dalam stroller."Ya ampun makannya lahap banget sih kamu, Nak? Papa suka deh lihatnya," puji Danendra ketika dia menyuapi lagi Elara tanpa harus menikmati banyak drama.Untuk golongan balita seusianya, Elara memang tipe yang tak sulit makan. Sekali pun sedang tumbuh gigi, balita gembul tersebut tetap lahap ketika