Share

8). Semua Tentang Felicya

***

"Siapa, Ra?"

Danendra langsung keluar dari kamar sesaat setelah dirinya memakai kaos hitam polos juga celana pendek. Mengerutkan kening, dia memandang Adara yang masih berdiri di dekat pintu.

"Lho, enggak dibuka?"

"Degdegan," kata Adara apa adanya.

Penasaran, Danendra berjalan mendekati Adara lalu memandang intercom di samping pintu. Teresa. Di luar sana sang mama berdiri sambil menenteng kotak makan susun di tangannya.

"Mama," gumam Danendra. Dari intercom, dia memandang Adara. "Mama aku lho, Ra. Kenapa enggak dibukain?"

"Kamu aja," kata Adara. "Aku takut."

"Takut kenapa? Mama aku enggak makan orang kok," tanya Danendra.

Adara hanya tersenyum meringis tanpa menjawab ucapan Danendra, sementara jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.

Sikap Teresa yang masih terlihat sinis padanya memang membuat Adara segan. Dia tahu mertuanya itu tak suka padanya karena sudah mengganggu hubungan Danendra dan Felicya.

Dan sekarang—jika bisa, ingin sekali rasanya Adara minggat saja ke kamar agar tak bertemu dengan Teresa.

"Lama banget bukanya? Lagi apa sih?"

Pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Teresa ketika Danendra membuka pintu apartemen, sementara Adara masih berdiri tak jauh dari sana.

"Maaf, Ma. Tadi aku lagi pake baju dulu. Baru beres mandi," jawab Danendra.

"Adara?" Teresa menaikkan sebelah alisnya. "Bisa kan, dia diminta buka pintu?"

Setelahnya—tanpa menunggu jawaban Danendra, Teresa melangkah masuk ke apartemen sang putra dan tentu saja dia berpapasan dengan Adara.

"Pagi, Tante," sapa Adara canggung.

Mengukir senyum tipis, Teresa tak langsung menjawab sapaan Adara karena dia justru memandang Adara dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu memandang Danendra.

"Mau ke mana?" tanya Teresa pada Danendra.

"Anu Tan-"

"Mau keluar," jawab Danendra.

"Keluar ke mana?" tanya Teresa penuh selidik.

"Ngabisin waktu berdua aja, Ma," jawab Danendra. "Kita kan enggak honeymoon, jadi mau keluar berdua sebelum kerja lagi. Udah bilang juga sama Papa."

"Oh," jawab Teresa singkat. Dari Danendra, dia kembali mengalihkan perhatiannya pada Adara. "Mama bawa sarapan buat kalian berdua. Bukan makanan berat sih, cuman roti sandwich sama susu."

"Ya ampun, Tan. Ngerepotin banget. Padahal, Adara baru aja mau pesen," ucap Adara.

"Tan?" Teresa menaikkan sebelah alisnya—memandang Adara masih dengan tatapan yang sama. "Enggak mau panggil Mama gitu? Ah, atau kamu emang sengaja enggak mau panggil Mama karena pernikahan kalian enggak didasari cinta?"

"Ma, kok ngomong gitu?" tanya Danendra tak suka.

"Kenapa? Mama cuman tanya aja kok," ucap Teresa santai.

"Jadi Dara boleh panggil Mama?" tanya Adara.

"Kamu anggap Tante mertua, enggak? Kalau anggap, say Mama aja. Kecuali kalau enggak," jawab Teresa. "Mama mau simpan sarapannya dulu. Ditunggu di ruang makan."

Seperti di rumah sendiri, Teresa langsung melenggangkan kakinya menuju ruang makan, sementara Adara hanya bisa menghela napas pelan—berusaha menerima perlakuan Teresa seburuk apapun itu karena lagi, di sini dialah yang salah.

Tak ada angin tak ada hujan, Adara tiba-tiba saja meminta Danendra menikahinya. Jadi wajar bukan, Teresa masih tak terima?

"Ra, sikap mama aku jangan diambil hati ya," kata Danendra. "Dia cum-"

"Its okay, Dan. Wajar kok Mama kamu bersikap kaya gitu," ungkap Adara. "Di sini aku yang salah."

"No." Danendra menggeleng seolah tak mau Adara menjadikan dirinya sendiri menjadi pihak paling bersalah. "Kamu enggak salah sama sekali. Kamu lakuin ini juga karena terdesak keadaan, kan?"

"Iya sih."

"Ya udah," kata Danendra sambil mengusap puncak kepala Adara dengan lembut. "Jangan sedih ya. Mamaku aslinya baik kok. Kamu tahu sendiri, kan?"

"Yeah, i know," kata Adara.

Tangan kiri Danendra yang semula mengusap pucuk kepala Adara kini berpindah pada lengan perempuan itu. Menuntun sang istri, keduanya melangkahkan kaki untuk menghampiri Teresa.

Namun, tepat ketika hampir memasuki dapur, Danendra berhenti mendadak membuat Adara ikut berhenti karenanya.

"Kenapa?" tanya Adara penasaran.

"Maaf tadi aku bohong," kata Danendra.

"Soal apa?"

"Pas Mama tanya kita mau ke mana," ucap Danendra.

"Oh itu, iya enggak apa-apa," kata Adara. "Aku tahu kebohongan kamu itu buat lindungin aku. Makasih ya."

"Sama-sama."

"Aku emang enggak tau diri," ucap Adara.

"Enggak usah ngomong yang aneh-aneh."

"Maaf."

"Ayo sarapan."

Adara mengukir senyum lalu mengangguk pelan dan setelahnya mereka menghampiri Teresa yang sibuk menata sandwich di piring.

"Punya kamu," ucap Teresa sambil menunjuk dua buah sandwich di piring. "Enggak pake selada."

"Makasih, Ma."

Menari kursi, Danendra duduk bersebelahan dengan Adara, sementara Teresa duduk di depan pengantin baru itu.

"Enggak ada yang kamu enggak suka kan, Ra? Mama masukkin semuanya di sandwich kamu."

"Enggak, Ma. Dara suka semua kok," ucap Adara.

"Kamu ingat-ingat ya, kalau buat roti sandwich, Danendra enggak suka pake selada," ucap Teresa. "Felicya udah hafal banget. Kamu juga harus hafal. Kamu istri Danendra soalnya."

"Ma." Danendra menatap sang mama tanpa berkata apapun—berharap Teresa akan paham jika dia tak suka pembahasan mamanya itu yang sengaja membawa Felicya.

Meskipun Danendra tahu Adara tak mencintainya, tetap saja dia takut perempuan itu akan tersinggung dengan ucapan sang mama.

"Udah, Dan. Enggak apa-apa," ucap Adara pelan, sementara tangannya di bawah meraih tangan pria itu agar tak protes lagi pada sang mertua.

"Kenapa? Apa ada yang salah sama omongan Mama?" tanya Teresa pada Danendra. "Benar, kan? Kamu enggak suka selada?

"Enggak ada kok, Ma. Enggak ada yang salah," ucap Adara.

"Ya udah makan kalau gitu," ucap Teresa. "Mama enggak akan lama. Mau ada urusan soalnya."

"Iya, Ma."

Setelahnya—tanpa banyak mengobrol, Danendra dan Adara menyantap sarapan mereka masing-masing, sementara Teresa sibuk dengan ponselnya, entah sedang apa.

Tak ikut sarapan, Teresa memang sudah makan di rumah sebelum menemui putranya di apartemen.

"Sandwichnya enak, Ma," puji Adara.

"Suka?" tanya Teresa.

"Iya," jawab Adara.

"Kamu bisa belajar buat sama Felicya nanti," kata Teresa. "Dia pintar banget masak soalnya. Meskipun, sibuk dengan karir dia jadi designer, masalah kenyangin perut, dia juga jago."

"Ah iya," kata Adara canggung. Dia yang semula tersenyum, kini hanya memasang raut wajah yang sulit diartikan, sementara Danendra hanya mendesah—tak enak dengan Adara karena ucapan sang mama.

"Oh ya, Dan. Kapan Felicya pulang?" tanya Teresa.

"Belum ngabarin," jawab Danendra singkat.

"Kamu masih komunikasi kan, sama dia?" tanya Teresa.

"Masih," kata Danendra yang lagi-lagi singkat. Dalam hati, dia ingin menegur sang mama agar tak terus membahas Felicya. Namun, nyatanya tak bisa.

Danendra juga harus tetap bersikap sopan pada Teresa.

"Tolong jelasin secara baik-baik saja dia ya, nanti. Meskipun Feli pastinya kecewa, Mama enggak mau hubungan dia sama kita jadi renggang," perintah Teresa. Dari Danendra, dia kembali memandang Adara. "Kalau perlu kamu yang jelasin aja sama Feli ya, Ra. Bilang ke dia kalau Danendra terpaksa nikah sama kamu karena keadaan kamu terdesak. Mama udah cocok bangey sama dia dan Mama enggak mau kalau Feli jadi jauh setelah ini."

"Iya, Ma. Nanti Adara yang jelasin ke Felicya," ucap Adara.

"Bagus," kata Teresa. "Ah, coba aja Mama masih punya anak bujang. Udah Mama nikahin dia sama Felicya. Menantu idaman banget."

"Ma." Danendra tak bisa diam lagi. Dia yang semula menyantap sandwichnya langsung meletakkan roti lapis itu dengan sedikit kasar sampai menimbulkan bunyi yang cukup keras. "Bisa berhenti bahas Felicya enggak, Ma? Di sini ada Adara."

"Terus masalahnya apa?"

"Adara istri Danendra, Ma. Mama bisa kan hargain posisi dia dengan enggak bahas perempuan lain?" tanya Danendra.

"Jadi kamu enggak suka?"

"Enggak."

"Dan, udah. Aku enggak apa-apa," kata Adara.

"Aku yang apa-apa, Ra," ucap Danendra.

"Kamu kenapa sih, Dan?" tanya Teresa.

"Harusnya aku yang tanya, Mama kenapa?" tanya Danendra. "Enggak suka banget kayanya sama Dara sampai harus bahas Feli terus?"

"Kamu tanya kenapa?" tanya Teresa sambil beranjak dari kursi yang dia duduki. "Karena Dara udah rusak hubungan kamu sama Feli, Dan!"

"Mama."

"Udahlah, Mama pulang aja kalau gini. Kamu nyebelin."

Beranjak, Teresa pergi begitu saja meninggalkan Adara juga Danendra.

"Ma, mau ke mana?" panggil Adara yang ikut beranjak—berniat untuk menyusul. Namun, tangan Danendra mencekalnya. "Dan."

"Enggak usah disusul."

"Tapi Dan-"

"Habisin sarapan kamu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status