***
"Siapa, Ra?"Danendra langsung keluar dari kamar sesaat setelah dirinya memakai kaos hitam polos juga celana pendek. Mengerutkan kening, dia memandang Adara yang masih berdiri di dekat pintu."Lho, enggak dibuka?""Degdegan," kata Adara apa adanya.Penasaran, Danendra berjalan mendekati Adara lalu memandang intercom di samping pintu. Teresa. Di luar sana sang mama berdiri sambil menenteng kotak makan susun di tangannya."Mama," gumam Danendra. Dari intercom, dia memandang Adara. "Mama aku lho, Ra. Kenapa enggak dibukain?""Kamu aja," kata Adara. "Aku takut.""Takut kenapa? Mama aku enggak makan orang kok," tanya Danendra.Adara hanya tersenyum meringis tanpa menjawab ucapan Danendra, sementara jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.Sikap Teresa yang masih terlihat sinis padanya memang membuat Adara segan. Dia tahu mertuanya itu tak suka padanya karena sudah mengganggu hubungan Danendra dan Felicya.Dan sekarang—jika bisa, ingin sekali rasanya Adara minggat saja ke kamar agar tak bertemu dengan Teresa."Lama banget bukanya? Lagi apa sih?"Pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Teresa ketika Danendra membuka pintu apartemen, sementara Adara masih berdiri tak jauh dari sana."Maaf, Ma. Tadi aku lagi pake baju dulu. Baru beres mandi," jawab Danendra."Adara?" Teresa menaikkan sebelah alisnya. "Bisa kan, dia diminta buka pintu?"Setelahnya—tanpa menunggu jawaban Danendra, Teresa melangkah masuk ke apartemen sang putra dan tentu saja dia berpapasan dengan Adara."Pagi, Tante," sapa Adara canggung.Mengukir senyum tipis, Teresa tak langsung menjawab sapaan Adara karena dia justru memandang Adara dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu memandang Danendra."Mau ke mana?" tanya Teresa pada Danendra."Anu Tan-""Mau keluar," jawab Danendra."Keluar ke mana?" tanya Teresa penuh selidik."Ngabisin waktu berdua aja, Ma," jawab Danendra. "Kita kan enggak honeymoon, jadi mau keluar berdua sebelum kerja lagi. Udah bilang juga sama Papa.""Oh," jawab Teresa singkat. Dari Danendra, dia kembali mengalihkan perhatiannya pada Adara. "Mama bawa sarapan buat kalian berdua. Bukan makanan berat sih, cuman roti sandwich sama susu.""Ya ampun, Tan. Ngerepotin banget. Padahal, Adara baru aja mau pesen," ucap Adara."Tan?" Teresa menaikkan sebelah alisnya—memandang Adara masih dengan tatapan yang sama. "Enggak mau panggil Mama gitu? Ah, atau kamu emang sengaja enggak mau panggil Mama karena pernikahan kalian enggak didasari cinta?""Ma, kok ngomong gitu?" tanya Danendra tak suka."Kenapa? Mama cuman tanya aja kok," ucap Teresa santai."Jadi Dara boleh panggil Mama?" tanya Adara."Kamu anggap Tante mertua, enggak? Kalau anggap, say Mama aja. Kecuali kalau enggak," jawab Teresa. "Mama mau simpan sarapannya dulu. Ditunggu di ruang makan."Seperti di rumah sendiri, Teresa langsung melenggangkan kakinya menuju ruang makan, sementara Adara hanya bisa menghela napas pelan—berusaha menerima perlakuan Teresa seburuk apapun itu karena lagi, di sini dialah yang salah.Tak ada angin tak ada hujan, Adara tiba-tiba saja meminta Danendra menikahinya. Jadi wajar bukan, Teresa masih tak terima?"Ra, sikap mama aku jangan diambil hati ya," kata Danendra. "Dia cum-""Its okay, Dan. Wajar kok Mama kamu bersikap kaya gitu," ungkap Adara. "Di sini aku yang salah.""No." Danendra menggeleng seolah tak mau Adara menjadikan dirinya sendiri menjadi pihak paling bersalah. "Kamu enggak salah sama sekali. Kamu lakuin ini juga karena terdesak keadaan, kan?""Iya sih.""Ya udah," kata Danendra sambil mengusap puncak kepala Adara dengan lembut. "Jangan sedih ya. Mamaku aslinya baik kok. Kamu tahu sendiri, kan?""Yeah, i know," kata Adara.Tangan kiri Danendra yang semula mengusap pucuk kepala Adara kini berpindah pada lengan perempuan itu. Menuntun sang istri, keduanya melangkahkan kaki untuk menghampiri Teresa.Namun, tepat ketika hampir memasuki dapur, Danendra berhenti mendadak membuat Adara ikut berhenti karenanya."Kenapa?" tanya Adara penasaran."Maaf tadi aku bohong," kata Danendra."Soal apa?""Pas Mama tanya kita mau ke mana," ucap Danendra."Oh itu, iya enggak apa-apa," kata Adara. "Aku tahu kebohongan kamu itu buat lindungin aku. Makasih ya.""Sama-sama.""Aku emang enggak tau diri," ucap Adara."Enggak usah ngomong yang aneh-aneh.""Maaf.""Ayo sarapan."Adara mengukir senyum lalu mengangguk pelan dan setelahnya mereka menghampiri Teresa yang sibuk menata sandwich di piring."Punya kamu," ucap Teresa sambil menunjuk dua buah sandwich di piring. "Enggak pake selada.""Makasih, Ma."Menari kursi, Danendra duduk bersebelahan dengan Adara, sementara Teresa duduk di depan pengantin baru itu."Enggak ada yang kamu enggak suka kan, Ra? Mama masukkin semuanya di sandwich kamu.""Enggak, Ma. Dara suka semua kok," ucap Adara."Kamu ingat-ingat ya, kalau buat roti sandwich, Danendra enggak suka pake selada," ucap Teresa. "Felicya udah hafal banget. Kamu juga harus hafal. Kamu istri Danendra soalnya.""Ma." Danendra menatap sang mama tanpa berkata apapun—berharap Teresa akan paham jika dia tak suka pembahasan mamanya itu yang sengaja membawa Felicya.Meskipun Danendra tahu Adara tak mencintainya, tetap saja dia takut perempuan itu akan tersinggung dengan ucapan sang mama."Udah, Dan. Enggak apa-apa," ucap Adara pelan, sementara tangannya di bawah meraih tangan pria itu agar tak protes lagi pada sang mertua."Kenapa? Apa ada yang salah sama omongan Mama?" tanya Teresa pada Danendra. "Benar, kan? Kamu enggak suka selada?"Enggak ada kok, Ma. Enggak ada yang salah," ucap Adara."Ya udah makan kalau gitu," ucap Teresa. "Mama enggak akan lama. Mau ada urusan soalnya.""Iya, Ma."Setelahnya—tanpa banyak mengobrol, Danendra dan Adara menyantap sarapan mereka masing-masing, sementara Teresa sibuk dengan ponselnya, entah sedang apa.Tak ikut sarapan, Teresa memang sudah makan di rumah sebelum menemui putranya di apartemen."Sandwichnya enak, Ma," puji Adara."Suka?" tanya Teresa."Iya," jawab Adara."Kamu bisa belajar buat sama Felicya nanti," kata Teresa. "Dia pintar banget masak soalnya. Meskipun, sibuk dengan karir dia jadi designer, masalah kenyangin perut, dia juga jago.""Ah iya," kata Adara canggung. Dia yang semula tersenyum, kini hanya memasang raut wajah yang sulit diartikan, sementara Danendra hanya mendesah—tak enak dengan Adara karena ucapan sang mama."Oh ya, Dan. Kapan Felicya pulang?" tanya Teresa."Belum ngabarin," jawab Danendra singkat."Kamu masih komunikasi kan, sama dia?" tanya Teresa."Masih," kata Danendra yang lagi-lagi singkat. Dalam hati, dia ingin menegur sang mama agar tak terus membahas Felicya. Namun, nyatanya tak bisa.Danendra juga harus tetap bersikap sopan pada Teresa."Tolong jelasin secara baik-baik saja dia ya, nanti. Meskipun Feli pastinya kecewa, Mama enggak mau hubungan dia sama kita jadi renggang," perintah Teresa. Dari Danendra, dia kembali memandang Adara. "Kalau perlu kamu yang jelasin aja sama Feli ya, Ra. Bilang ke dia kalau Danendra terpaksa nikah sama kamu karena keadaan kamu terdesak. Mama udah cocok bangey sama dia dan Mama enggak mau kalau Feli jadi jauh setelah ini.""Iya, Ma. Nanti Adara yang jelasin ke Felicya," ucap Adara."Bagus," kata Teresa. "Ah, coba aja Mama masih punya anak bujang. Udah Mama nikahin dia sama Felicya. Menantu idaman banget.""Ma." Danendra tak bisa diam lagi. Dia yang semula menyantap sandwichnya langsung meletakkan roti lapis itu dengan sedikit kasar sampai menimbulkan bunyi yang cukup keras. "Bisa berhenti bahas Felicya enggak, Ma? Di sini ada Adara.""Terus masalahnya apa?""Adara istri Danendra, Ma. Mama bisa kan hargain posisi dia dengan enggak bahas perempuan lain?" tanya Danendra."Jadi kamu enggak suka?""Enggak.""Dan, udah. Aku enggak apa-apa," kata Adara."Aku yang apa-apa, Ra," ucap Danendra."Kamu kenapa sih, Dan?" tanya Teresa."Harusnya aku yang tanya, Mama kenapa?" tanya Danendra. "Enggak suka banget kayanya sama Dara sampai harus bahas Feli terus?""Kamu tanya kenapa?" tanya Teresa sambil beranjak dari kursi yang dia duduki. "Karena Dara udah rusak hubungan kamu sama Feli, Dan!""Mama.""Udahlah, Mama pulang aja kalau gini. Kamu nyebelin."Beranjak, Teresa pergi begitu saja meninggalkan Adara juga Danendra."Ma, mau ke mana?" panggil Adara yang ikut beranjak—berniat untuk menyusul. Namun, tangan Danendra mencekalnya. "Dan.""Enggak usah disusul.""Tapi Dan-""Habisin sarapan kamu."***"Dan.""Hm."Danendra yang sejak beberapa menit lalu berdiri di depan cermin—merapikan penampilan lantas bergumam pelan ketika namanya kembali dipanggil Adara yang saat ini duduk di pinggir kasur."Sekali lagi maaf ya," ucap Adara penuh sesal. Entah sudah berapa kali dia meminta maaf—sejak kejadian Teresa tadi, hatinya tetap merasa tak enak karena secara tak langsung dialah penyebab dari perselisihan ibu dan anak itu.Danendra menghela napas. Dia yang sudah tampan dengan kemeja abunya berbalik badan lalu bersandar pada meja rias di sana."Kenapa minta maaf terus? Kamu enggak salah," ucap Danendra.Tahu Danendra tak lagi membelakanginya, Adara menoleh lalu memandang sang suami. "Secara enggak langsung aku salah, Dan," ucapnya. "Semua ini kan bermula dari aku. Kalau aku enggak minta tolong kamu buat nika-""Sssst." Danendra beranjak. Dia berjalan menghampiri Adara lalu berjongkok di depan perempuan itu dan setelahnya, sebuah tatapan teduh diberikan Danendra untuk sang istri. "Semua
***"Ini rumahnya?""Iya, ini rumahnya."Setelah terhambat macet, Adara dan Danendra akhirnya sampai di Majalengka setelah tiga jam menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.Berada di perkampungan, suasana asri masih terasa ketika mobil Danendra berhenti persis di depan sebuah rumah sederhana yang memiliki pagar besi pendek.Kata Adara itu rumah sepupu Rafly yang semalam menghubunginya. Delapan tahun berpacaran, Adara memang sudah cukup akrab dengan saudara Rafly bahkan dia pun beberapa kali berkunjung.""Ya udah."Berjalan lebih dulu diikuti Danendra yang mengikutinya dari belakang, Adara sampai di depan pintu."Degdegan," ucap Adara sambil menghela napas pelan ketika tangannya perlahan terulur—berniat mengetuk pintu."Gak sabar ketemu Rafly ya?" tanya Danendra.Adara menoleh lalu tersenyum. "Iya," jawabnya. "Aku udah enggak sabar pengen ketemu dia.""Semoga Rafly baik-baik aja," ucap Danendra."Aamiin," ucap Adara. Kembali memandang pintu bercat putih di depannya, Adara memantapkan
***"Rafly."Perlahan manik mata itu terbuka setelah hampir satu jam tertutup. Adara mengerjap kemudian mengedarkan pandangannya hingga tak lama kedua matanya tertuju pada seorang pria yang tengah duduk di sampingnya sambil meletakkan kepala di samping tangan Adara."Danendra." Adara berucap pelan—membuat Danendra yang sempat terlelap seketika terbangun lalu ikut mengerjap."Ra, kamu bangun juga," kata Danendra."Aku di mana?" tanya Adara. Kesadarannya belum terkumpul, dia tak mengingat apa yang sudah terjadi padanya satu jam lalu. "Aku kenapa?""Kamu pingsan tadi," ucap Danendra."Pingsan?" Adara beringsut kemudian duduk di kasur queen size milik Muthia yang sejak tadi di tiduri. "Aku pingsan kena .... "Adara terdiam ketika otaknya perlahan mulai bekerja—mengingat kembali kejadian apa saja yang dia alami seharian ini. Sarapan bersama Teresa, perjalanan menuju Majalengka, Sesampainya di rumah Wulan, hingga yang paling baru adalah ketika dirinya tiba-tiba saja lemas setelah melihat na
***"Nyaman?""Udah, Dan. Nyaman."Setelah maghrib, Adara juga Danendra memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Hampir satu jam lebih berdiam dan bermonolog di samping pusara Rafly, hati dan pikiran Adara akhirnya mulai tenang.Terlebih lagi ada Danendra yang setia menghiburnya sejak tadi, bahkan Danendra pun berjanji akan selalu ada di samping Adara sebagai pengganti Rafly.Pengganti. Entah kenapa satu kata itu seolah melekat pada diri Danendra sekarang karena mungkin memang itulah dirinya. Ditakdirkan untuk menjadi pengganti Rafly di kehidupan Adara dan tentu saja meskipun pesimis, Danendra berharap perlahan statusnya bukan lagi pengganti, tapi yang utama di hati Adara."Ya udah kalau gitu," kata Danendra. Menutup pintu bagian kiri, dia kemudian mengitari porsche hitamnya lalu duduk di kursi kemudi.Berpamitan pada Wulan juga Muthia, pukul setengah tujuh malam, Danendra juga Adara benar-benar pergi meninggalkan kampung halaman Rafly menuju Jakarta.Sebenarnya Adara ingin sekali mengin
***"Akhirnya sampai juga."Danendra melepaskan kedua tangannya dari setir tepat setelah porsche yang sejak tadi dia kendarai berhenti di basemant apartemen.Sempat terjebak macet, pukul sepuluh malam Danendra dan Adara akhirnya sampai setelah menempuh perjalanan panjang dari Majalengka.Alih-alih menemani Danendra, Adara sudah tidur sejak satu jam lalu—membuat Danendra terpaksa mengemudi dalam suasana hening juga dalam keadaan yang sedikit mengantuk. Beruntung, setelahnya dia dan Adara bisa sampai dengan selamat."Pulas banget kamu tidurnya, Ra," gumam Danendra pasca melepas safetybelt lalu memandangi Adara yang terlelap dalam tidurnya Mengulurkan tangan, Danendra menyelipkan anak rambut Adara ke belakang telinga agar tak menghalangi wajah cantik perempuan itu. Untuk beberapa detik, Danendra tersenyum. Namun, senyuman itu kembali luntur ketika ucapan Felicya di telepon tadi kembali terlintas di pikirannya."Awas ya kalau kamu berani selingkuh dari aku, Dan. Aku percaya kamu. Aku yak
"Sedang apa kalian?!"Baik Adara maupun Danendra membuka paksa kedua mata mereka ketika teriakan perempuan terdengar melengking di dalama kamar.Mengerjap beberapa kali, Danendra tentu membulatkan matanya melihat perempuan yang tak pernah dia duga akan datang, nyatanya sudah berdiri di belakang Adara dengan wajah yang dilingkupi emosi."Siapa, Dan?" Adara yang baru tersadar ikut bangun lalu menoleh dan tentu saja dia terkejut melihat Felicya berdiri di depannya."Ngapain kalian?" tanya Felicya—berusaha setenang mungkin, meskipun nyatanya ketenangan itu pun hampir hilang karena deru napasnya mulai memburu."Feli, kapan kamu pulang?" tanya Danendra."Aku tanya, kaliang ngapain?!" teriak Felicya lagi. Bukan pada Danendra, tatapan Felicya justru tertuju pada Adara lalu di detik yang sama dia mengulurkan tangannya—menjambak rambut Adara lalu menariknya tanpa ragu. "Perempuan murahan! Ngapain kamu tidur sama Danendra, Dara?! Kamu udah punya calon suami!""Feli sakit, Fel!" Adara yang bering
***"Fel, aku minta maaf. Aku enggak punya pilihan lain selain menikah dengan Adara."Hampir sepuluh menit ucapan maaf itu selalu dilontarkan Danendra untuk Felicya yang kini masih terisak dalam tangisannya.Setelah membuat gadis itu tenang, Danendra memang mulai menceritakan semua yang terjadi beberapa hari ini—termasuk pernikahan dadakannya dengan Adara juga kepergian Rafly karena sebuah kecelakaan pada Felucya.Dan tentu saja Felicya—sebagai perempuan yang sebulan terakhir ini menyandang status kekasih Danendra menjadi orang yang paling terluka dengan kabar tersebut.Tak mudah bagi Felicya untuk mendapatkan hati Danendra. Meski baru saja berpacaran satu bulan dengan pria itu, nyatanya untuk pendekatan saja dia membutuhkan waktu berbulan-bulan dan kini? Dengan mudahnya Adara merebut Danendra darinya.Jahat. Salahkah jika Felicya menganggap Adara adalah perempuan jahat?"My heart is broken," lirih Felicya tanpa menyingkirkan kedua telapak tangan yang sejak tadi menutupi wajah cantikn
***"Ah, sakit!"Danendra meringis ketika kapas yang sudah dibasahi alkohol itu mendarat dengan sempurna pada luka di lututnya yang maru saja selesai dibersihkan. Beruntung hanya lutut kiri saja yang terluka, karena jika keduanya mungkin Danendra akan kesakitan saat berjalan, karena nyatanya luka di lutut biasanya akan lebih sulit sembuh dibanding luka pada bagian tubuh lain."Kekencengan ya? Maaf, aku enggak sengaja."Adara yang menempelkan kapas tersebut seketika langsung mendongak—menatap Danendra yang duduk di sofa dengan tatapan khawatir.Danendra kembali ke apartemen dengan lutut yang berdarah tentu saja membuat Adara khawatir. Mengabaikan roll rambut yang masih menempel di kepalanya, Adara langsung bergegas mencari kotak P3K lalu segera mengobati luka di lutut suaminya itu.Karena secara tak langsung semua yang terjadi pada Danendra gara-gara Adara."Enggak kok cuman emang perih aja kayanya," kata Danendra."Maaf ya," ucap Adara pelan."Untuk?""Untuk yang terjadi pagi ini," uc