“Aku mau pernikahan ini dibatalkan!”
Suara lantang Eleanor langsung menarik perhatian semua anggota keluarga, pun dengan tamu yang hadir di sebuah gedung resepsi. Ya, hari itu rencananya Eleanor akan menikah dengan Alden, pria yang telah berpacaran dengannya selama lima tahun. “Jangan bercanda kamu, El. Kamu akan menikah sebentar lagi.” Suara tegas dan berwibawa milik seorang pria paruh baya bernama William itu terdengar memenuhi ruangan. “Aku tidak bercanda, Kek. Aku serius akan membatalkan pernikahan ini karena ....” Eleanor menarik napas berat sebelum menatap calon suami yang duduk di sampingnya. “Karena Alden telah menghamili Agatha.” “Elea, a-apa maksud kamu?” tanya Alden tergagap. Wajahnya seketika memucat. Alden langsung menatap Agatha yang tengah menyunggingkan seringai tipis di sebelah ibunya. Kakek William yang sedang duduk langsung berdiri dan menatap Eleanor dengan tatapan tidak senang. “Hari ini adalah hari baik, Elea. Bagaimana bisa kamu bercanda dengan membawa topik seperti ini disaat kamu akan menikah sebentar lagi.” Mendengar itu, Eleanor menyunggingkan senyum miris yang hampir tak kelihatan. Dalam hati, dia juga berharap kalau semua ini memang hanya sebuah lelucon yang akan hilang setelah semua orang tertawa. Namun, kenyataan tak sebaik itu padanya. Sebab, alih-alih menemukan bunga sebagai kejutan pernikahan, Eleanor malah menemukan sebuah surat berstempel rumah sakit yang menyatakan bahwa Agatha sedang mengandung. Dan saat menanyakan kebenarannya, Agatha dengan bangga menyebut Alden adalah ayah dari bayi yang dikandung. Hati wanita mana yang tak sakit saat mendengar bahwa sang pacar yang akan menjadi suaminya malah tega berkhianat dengan kakaknya sendiri. Hal itulah yang dirasakan Eleanor. Dunia serasa runtuh karena mimpi yang dibangunnya bersama Alden harus hancur karena mimpi yang dibangun orang lain. Oleh karena itu, dengan mantap Eleanor mengeluarkan surat itu dari genggaman tangan dan menyerahkannya pada Kakek William. “Tidak, Kek. Agatha memang sedang hamil Anak Alden dan kandungannya sudah berusia 4 minggu.” Ekspresi pria paruh baya itu berubah dingin dan kelam. Kakek William langsung melayangkan tatapannya pada Alden. “Kakek, a-aku ti—“ “Diam!” Kakek William memotong perkataan Alden dan menampar cucunya itu hingga tersungkur ke lantai. “Alden, kamu tidak apa-apa?” Agatha buru-buru mendekat dan menyentuh pipi kiri pria itu yang memerah. Tak menyadari kalau tindakannya itu telah membuat ekspresi Kakek William berubah semakin kelam. “Tidak tahu malu! Berani-beraninya kamu mengkhianati Eleanor dengan naik ke ranjang calon kakak iparmu, bahkan sampai membuatnya hamil. Di mana pikiran kamu, Alden!” Suara Kakek William menggelegar kencang memenuhi ruangan. Dia menatap cucunya itu dengan penuh amarah. Napasnya tersengal karena menahan amarah yang membuncah. Setelahnya, dia kembali duduk dan mengusap wajah dengan kasar. “Mau kamu taruh dimana wajah keluarga kita, Alden? Bagaimana dengan pernikahanmu dengan Eleanor?” Pria paruh baya itu kembali melanjutkan ucapannya. Kali ini, genggaman Kakek William pada tongkat di tangan kanannya itu mengerat dan bergetar penuh amarah. Melihat itu, Alden menatap ke arah kakeknya dan berkata dengan nada penuh penyesalan. “Maafkan aku, Kek. Mungkin aku mabuk waktu itu. Tapi aku ....” “Kita tidak mabuk waktu itu, Alden! Kita sama-sama sadar dan mau melakukannya!” Agatha memotong perkataan Alden. Hal itu langsung membuat Alden menatapnya nyalang. Lalu, menyentak tangan Agatha yang masih memegangi pipinya. “Diam, Agatha! Jangan mengarang kamu!” Alden membentak dengan frustasi. Dia bahkan menjambak rambut karena Agatha makin memperkeruh suasana dengan ucapannya. “Aku tidak peduli apa alasanmu, Alden!” Kakek William menanggapi. “Harusnya kamu pikirkan dulu konsekuensinya sebelum berani tidur dengan wanita lain! Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Apa yang mau kamu lakukan?” “Aku akan tetap menikahi Eleanor, Kek? Aku sangat mencintainya.” Eleanor menggigit bibir untuk menahan air mata yang hendak tumpah. Di saat seperti ini, bisa-bisanya Alden masih mengakui mencintainya. “Tapi aku tidak, Al! Mana mungkin aku menikah dengan orang seperti kamu, yang dengan mudahnya tidur sama wanita lain.” “Aku mohon, El. A-aku hanya khilaf.” Mata Alden bergerak liar karena mencari alasan agar tetap bisa menikahi Eleanor. Lalu, tatapannya tertuju kepada Agatha yang masih mengumbar senyum sebelum beralih kepada Eleanor. “Bisa saja anak yang ada dalam kandungannya itu bukan anakku.” “Beraninya kamu bilang begitu, Al! Ini anak kamu! Kita melakukannya karena suka sama suka. Bahkan kamu bilang lebih mencintaiku daripada Eleanor.” “Diam kamu, Agatha!” Alden kembali menjambak rambut karena frustasi. Dia bingung harus memakai cara apalagi agar Kakek William dan Eleanor mempercayainya. “El, aku mohon jangan batalkan pernikahan ini. Aku dijebak Agatha. A-aku di—“ “Cukup, Alden! Jangan mencari-cari alasan lagi!” Bersamaan dengan bentakan Kakek William, Alden tak lagi mampu menjawab dan memilih untuk memalingkan muka saat bisik-bisik terdengar menyudutkan dirinya dan Agatha. Dia makin frustasi karena melihat Eleanor mematung di tempat duduk sambil menatapnya kecewa. Mata wanita itu memerah karena berusaha keras menahan air matanya agar tidak tumpah. Perlahan Kakek William berbalik, menatap Eleanor dengan penuh penyesalan. “Elea, maafkan keluarga Wijaya yang tak bisa mendidik Alden dengan baik, tapi Kakek akan memastikan kalau keluarga Wijaya tidak akan lari dari tanggung jawab.” Mengerti arti perkataan Kakek William, Eleanor hanya bisa menggelengkan kepalanya sebelum menggenggam tangan pria paruh baya itu erat. Selama lima tahun menjalin hubungan dengan Alden, Eleanor sanggup mengambil hati Kakek William yang notabene sangat tegas dan berwibawa. Pria paruh baya itu sangat berpengaruh dalam keluarga Wijaya, jadi semua keputusannya adalah mutlak harus dilakukan. Namun, bisa menjadi lembut dan murah senyum kala bersama Eleanor. Hal yang tak bisa dilakukan semua anggota keluarga Wijaya. Di kota Malima tempat mereka tinggal, wanita yang gagal menikah biasanya memang akan berkemungkinan besar untuk mengalami diskriminasi dan hinaan. Mereka dianggap membawa pengaruh dan nasib buruk, sehingga biasanya wanita yang gagal menikah akan kesulitan untuk mendapatkan jodoh baru. Mengingat hal itu, Eleanor pikir Kakek William merasa bersalah karena takut dia tak bisa mendapatkan jodoh di kota Malima. Oleh karena itu, pria paruh baya itu berkata akan memastikan keluarga Wijaya harus bertanggung jawab. Oleh karena itu hubungan Eleanor dan Kakek William memang sudah seperti kakek dan cucu kandung, sehingga semakin wajar bagi Eleanor untuk mendapat perkataan itu dari Kakek William. Meski begitu, dia sama sekali tak lagi berniat untuk menikah dengan Alden sehingga dia melepas tangan kakek William untuk bersiap pergi ke ruangan ganti. “Hari ini biarkan Agatha yang menggantikan aku menikah dengan Alden, Kek.” Perkataan Eleanor membuat Agatha yang berdiri di belakang Alden menyunggingkan senyum penuh kemenangan dan bersiap mengikuti Agatha untuk pergi bertukar pakaian. Namun, sebelum keduanya sempat melangkah lebih jauh, Kakek William sudah lebih dulu berkata dengan tegas. “Tidak akan ada yang menggantikan pernikahanmu hari ini, Elea. Kamu akan tetap menikah, tapi bukan dengan Alden. Melainkan dengan Darren, cucu sulung kakek.” Eleanor membeku di tempat, sedangkan senyum Agatha mengembang semakin lebar. Andai boleh memilih Eleanor akan kabur saja dari sana. Mana mungkin dia akan menikah dengan orang yang sama sekali tak pernah dilihatnya. 'Oh, Tuhan. Takdir apa yang Engkau berikan ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menikahi Darren?'Kadang masalah sepele yang terjadi antara saudara kandung bisa memicu pertengkaran yang lebih besar. Porsi kasih sayang dan cinta yang tak sebanding menjadi penyebab perpecahan di antara saudara. Tak terkecuali yang terjadi pada Rama dan Roni.Sejak Kakek William selalu membandingkan keduanya. Sikap Roni berubah seratus delapan puluh derajat. Dia lebih banyak diam jika dimarahi, tetapi diam-diam dendam yang telah mengakar kuat dalam dada terus menyala dan makin berkobar.Pria itu menyusun rencana jahat sejak bertahun-tahun sebelum akhirnya terlaksana. Dia menyebar rumor yang menjatuhkan Rama, sehingga publik tak percaya lagi dengannya. Tak cukup sampai di situ, Roni bahkan mulai melakukan beberapa kali percobaan pembunuhan terhadap kakaknya sendiri, meskipun awalnya selalu berakhir gagal.Hingga akhirnya percobaan ke sekian kalinya barulah berhasil. Rama dan Indira yang baru pulang dari menghadiri sebuah acara harus meregang nyawa setelah mobil yang dikendarai mengalami kecelakaan
“Kamu Eleanor Santoso. Istri kesayanganku.”Eleanor tersipu malu dengan ucapan Darren. Kedua pipinya merona merah, kemudian seulas senyum lebar tersumir di bibirnya. Dia menunduk sekilas sebelum kembali menatap sang suami.“Maafkan aku karena tidak mengingatmu, Sayang.”Darren menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah Eleanor sebelum menyelipkan di belakang telinga, kemudian menangkup wajah dan menyematkan kecupan di keningnya.“It’s okay, Sayang. Aku paham kenapa kamu tidak bisa mengingatku. Hanya saja apakah kamu tahu kenapa itu bisa terjadi?”Eleanor menggeleng lemah, mencoba menggali kembali ingatannya di beberapa tahun ke belakang. Namun, semuanya nihil. Dia hanya mengingat perkataan yang diucapkan Agatha dan Helena setelah siuman.“Kamu terjatuh dari tangga karena licin, Elea. Waktu itu Mama Helena dan Agatha sedang pergi, makanya kami tidak tahu kejadian pastinya.”Wanita itu menghela napas panjang sebelum kembali menyandarkan punggung di sofa dan mencebik. Lalu, meng
“Bagaimana ini, Bos?” tanya anak buah Roni dengan nada panik sambil menatap majikannya.Roni mendengkus kesal sebelum mengedarkan pandangan sesaat. “Kita kembali ke vila.”Sang anak buah segera putar balik dan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju vila. Sementara di belakangnya, mobil polisi mengikuti sambil membunyikan sirine yang memekakkan telinga.Roni segera keluar mobil dan berlari ke dalam untuk melihat Eleanor. Sementara, sang anak buah berjaga sambil mengacungkan senjata api.Melihat Eleanor masih bernapas, Roni segera membopongnya ke depan dan merampas pistol dari tangan sang anak buah. Tak berselang lama, dua mobil polisi berhenti beberapa meter dari pintu utama.Delapan orang polisi segera turun dan bersembunyi di antara pintu mobil karena melihat Roni sedang memegang senjata sambil sambil membekap Eleanor yang terkulai lemas.“Menyerahlah, kalian tidak akan bisa kabur lagi!”Roni terkekeh karena begitu banyak perhatian orang tertuju kepadanya. Dia meliha
Darren terkejut sesaat mendengar penuturan Roni. Lalu, segera menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mendorong Roni dan berusaha untuk mencekiknya.“Dan kamulah yang telah membunuh wanita itu!”Kedua manik mata milik Roni melebar mendengar kalimat yang diucapkan Darren. Dia berusaha melepaskan tangan sang keponakan sambil menendang perutnya. Akhirnya Darren terjengkang ke belakang, sedangkan Roni terbatuk sebelum bangkit sambil memegang lehernya.Melihat itu, Darren terkekeh dan beringsut duduk. Lalu, menyeringai sambil menunjuk pria paruh baya itu.“Om yang telah membuat kekacauan, tapi Om juga yang menyalahkan orang lain.” Darren menjeda kalimat untuk mengatur napas yang mulai tersengal sebelum melanjutkan kalimatnya. “Jam dua malam di kelab malam party. Om keluar dari sana bersama seorang wanita. Membawa pergi dan menikmatinya di rumah hingga pagi.”Roni membeku di tempat setelah Darren menyelesaikan kalimatnya. Sekejap mata ingatan tentang kejadian di masa
Darren dan Alden menoleh bersamaan saat mendengar suara Roni yang mendadak terdengar dari ambang pintu. Darren bergegas menutup kembali brankas sebelum menatap tajam sang paman.“Ke-kenapa Papa balik lagi? Apa ada yang ketinggalan?” tanya Alden dengan nada gugup.Roni menyeringai menatap sang anak sebelum beralih kepada Darren yang masih mematung di tempat. Dia melangkah mendekat hingga berdiri di depan sang keponakan. Kedua tangan pria paruh baya itu terulur untuk meremas kuat bahu Darren.“Apakah ini suatu kebetulan kamu bisa mengingat kembali, atau memang sejak awal kamu sudah bisa mengingat dengan baik, Darren?”Darren mendengkus kesal sebelum melepaskan tangan Roni, kemudian mencengkeram erat kerah jas yang dipakainya.“Jadi, Om adalah dalang dibalik kematian orang tuaku? Apa jangan-jangan Om juga yang telah membunuh Kakek William?”Alden membeliak mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Darren, sedangkan Roni menyeringai sebelum terkekeh.“Ternyata kamu sepintar papa
Di tengah malam yang sepi, Darren masih terjaga. Dia perlahan membuka pintu kamar dan celingukan untuk memastikan keadaan aman sebelum berjalan mengendap-endap menuruni tangga. Lalu, berhenti di depan pintu bercat cokelat tua dan kembali memastikan keadaan aman sebelum melangkah masuk. Dalam keremangan cahaya yang tersorot dari halaman depan, dia mulai mengedarkan pandangan sebelum beranjak ke sisi dinding sebelah kanan.Darren berhenti di depan sebuah lukisan rumah di tengah pegunungan dan menatapnya lekat. Pria itu ingat betul letak rumah yang ada di dalam lukisan sebelum mengangkatnya, kemudian menurunkan ke bawah. Sekarang di depannya tampak pintu brankas berwarna hitam dengan beberapa tombol angka. Darren memutar otak sambil mengingat semua pesan yang disampaikan Kakek William. Sayangnya tak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk, kecuali satu pesan terakhirnya.“Kunci itu. Iya, pasti ada di kunci itu petunjuknya. Tapi, bukankah kuncinya sudah diambil dari tangan Elea?”D