Siapa yang tak mengenal Darren di kota Malima ini?
Pria itu adalah sosok anomali yang selalu dianggap sebagai aib bagi keluarga Wijaya. Sebab sepeninggal ayah dan ibunya yang merupakan pewaris utama, Kakek William melewatkan Darren sebagai pewaris selanjutnya. Dia langsung memberikan perusahaan kepada orang tua Alden. Padahal usia Darren saat itu sudah cukup untuk memimpin perusahaan. Tindakan itu memunculkan rumor kalau Darren adalah sosok yang tak berguna dan tak memiliki kemampuan berbisnis. Bahkan ada rumor lain yang mengatakan kalau Darren adalah sosok yang buruk rupa dan mengerikan sehingga tak pernah memunculkan dirinya pada siapa pun. Bahkan kepada sesama anggota keluarga Wijaya. Membayangkan itu saja membuat Eleanor merinding. “Elea?” Eleanor tergagap mendengar namanya disebut. Dia menoleh ke arah Kakek William dan menatapnya penuh tanya. Apa sebenarnya maksud pria paruh baya itu menikahkannya dengan Darren. Apakah Kakek William hendak menjerumuskannya ke dalam pelukan pria buruk rupa seperti kata orang-orang. Ah, Eleanor makin bingung dibuatnya. Namun, hati yang kebas membuat wanita yang masih berbalut kebaya itu memilih diam. “Hanya itu solusi terbaik yang bisa Kakek berikan, Elea.” Eleanor masih membeku di tempat. Hal itu membuat dengung yang berasal dari para tamu terdengar jelas. “Kasian banget, ya. Mau enggak mau dia harus menikahi Darren, daripada jadi perawan tua “ “Mendingan jadi perawan tua, daripada nikah sama pria buruk rupa. Bisa jatuh harga diri.” “Iya, enggak bisa dipamerin ke mana-mana. Malulah pastinya.” Lalu, tawa renyah mengakhiri pembicaraan mereka. Eleanor sadar pasti hal itu akan terjadi. Itulah konsekuensi yang harus ditanggung. Namun, dia tak peduli karena kebenaran harus diungkap, meskipun sakit yang diterima. Eleanor menghela napas berat dan menggeleng lemah sebelum melangkah. Namun, suara sang ayah berhasil menghentikan langkahnya. “Kamu harus menikah dengan Darren, Elea.” Eleanor menoleh ke arah pria yang menjadi cinta pertamanya. Dia melihat tatapan penuh harap dari Danu Santoso. Hati anak mana yang tidak luluh kala sorot mata itu didapatinya. Meskipun selama ini Danu keras kepadanya. Ya, setelah lulus SMA, Eleanor harus berjuang sendiri untuk membiayai kuliahnya. Karena Danu beralasan hanya bisa menyekolahkan satu anak saja, tentu saja Agatha yang dimaksud. Eleanor tak mengapa, toh dia sudah terdidik untuk menebalkan hati menerima semua perlakuan buruk keluarganya. Sayangnya, dia tak dapat membenci Danu meskipun berkali-kali harus mengalah demi Agatha. “Ayah mohon, Elea. Ini demi kebaikan kita semua.” Ah, Eleanor tanpa sadar menghela napas berat. Dadanya terasa sesak membayangkan apa yang akan dilaluinya jika menikah dengan Darren. Seumur hidup pasti hanya cemoohan yang didapat mengingat pria yang tak pernah menunjukkan batang hidungnya di hadapan umum itu terkenal buruk rupa. 'Ya, Tuhan. Tak pantaskah aku bahagia walau hanya sekejap? Apakah aku harus terus mengalah dan mengalah demi kebahagiaan orang lain? Apa sebenarnya yang Engkau mau dariku?' Eleanor terus bertanya dalam hati atas nasib yang menimpanya. Dia memejamkan mata sesaat untuk meredam gelebah dalam dada. Perlahan, matanya terbuka sebelum menatap Danu dan Kakek William. “Baik, aku terima saran Kakek untuk menikah dengan Darren.” Senyum mengembang menjadi jawaban atas keputusan Eleanor. Tanpa mereka sadari setetes bulir bening jatuh membasahi pipi wanita dengan kebaya pengantin itu. Buru-buru Eleanor menghapus agar tak ada seorang pun tahu. Kakek William segera mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Senyum tak pernah lepas dari bibir keriput pria itu. Semuanya tak luput dari perhatian Eleanor. Ya, semua orang tersenyum bahagia di atas penderitaan satu orang yaitu Eleanor. “Persiapkan dirimu, Elea. Darren akan tiba satu jam dari sekarang.” Dengan langkah gontai, Eleanor berjalan menuju ruang ganti. Dia menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi dan menatap cermin di depannya. “Akhirnya aku bisa bernapas lega karena kamu mau menikah dengan Darren.” “Terang saja mau, Ma. Daripada ketiban sial karena jadi perawan tua.” Sontak Eleanor menoleh dan mendapati Agatha beserta Helena—ibunya—memasuki ruang ganti. Keduanya tampak bahagia karena senyum penuh kemenangan taknpernah lepas dari bibir bergincu merah itu. Eleanor menggeram kesal sambil mengepalkan tangan mendengar ucapan kedua wanita yang telah merenggut semua perhatian ayahnya. “Nanti kalau sudah menikah, jangan pernah bawa suami buruk rupamu itu ke rumah, ya? Malu kalau jadi gunjingan tetangga “ “Sudah buruk rupa, jadi beban keluarga, hidup lagi.” Tawa renyah langsung terdengar usai Agatha menghina Darren. Spontan, Eleanor bangkit dan menggebrak meja. “Puas kalian, hah! Puas sudah merusak kebahagiaanku lagi?” Eleanor mendekat sambil memberikan tatapan penuh amarah kepada Agatha. Tangannya hendak menampar Agatha, tetapi ditahan oleh Helena. “Jangan pernah menyakiti Agatha! Atau kamu akan kehilangan ayahmu selamanya!” Eleanor terhuyung kala Helena menyentak kasar tangannya. Lalu, mendorongnya hingga terjerembab sebelum meninggalkan ruangan dengan iringan tawa bahagia. Melihat itu, Eleanor menggeram kesal sambil mengepalkan tangannya. Dia segera bangkit dan merapikan kebayanya sebelum kembali menoleh ke arah pintu. Dia mendengkus kesal saat melihat siapa yang masuk. “Mau apalagi kamu ke sini, Al?” Alden bergegas mendekati Eleanor usai menutup pintu. Dia memegang kedua lengan wanita itu dan memepetnya ke tembok. “Pikirkan lagi keputusanmu, El. Apa kamu benar-benar mau menikahi Darren?” Eleanor memalingkan wajah saat Alden menghunuskan tatapan penuh tanya. Dia tidak mau goyah hanya gara-gara melihat wajah pria yang menemaninya selama lima tahun itu memelas. “Keputusanku sudah bulat, Al. Aku akan melanjutkan pernikahan ini dengan Darren.” “Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi, El?” tanya Alden sambil mencengkeram dagu Eleanor dan memaksa untuk menatapnya. “Jawab, Eleanor!” “Asal kamu tahu, Al. Cintaku masih sebanyak dan sebesar dulu sebelum aku tahu bahwa kamu dan Agatha berkhianat.” “Itu hanya satu kesalahan, El. Aku mohon beri aku satu kesempatan lagi.” “Hanya? Kamu bilang hanya? Iya, itu memang satu kesalahan, tapi fatal bagiku. Sekarang pergilah!” Eleanor berusaha melepaskan tangan Alden yang masih berada di dagunya. Sekuat tenaga dia mendorong tubuh pria itu agar menjauh, tetapi susah. Melihat itu, Alden menyeringai dan kembali mencengkeram dagu Eleanor. “Jangan sampai kamu menyesal karena menikahi si buruk rupa itu. Dia adalah monster yang akan membuatmu menderita. Camkan itu, El!” Alden menyeringai sebelum mendekatkan wajahnya. Dia bermaksud hendak mendaratkan ciuman di bibir, tetapi Eleanor segera melayangkan tamparan tepat di pipi kirinya. “Jangan macam-macam kamu, Al! Cepat pergi dari sini sebelum ada yang tahu.” Alden mengusap pipi kirinya sambil menyeringai. Dia kembali hendak mendekati Eleanor, tetapi suara pintu dibuka membuatnya mundur selangkah. “Mau apa kamu di sini, Alden?” “A-ada yang mau aku bahas dengan Elea, Kek.” Kakek William berjalan mendekati keduanya. Alden menatap Eleanor sekilas sebelum kembali menjauh. “Cepat keluar! Darren sudah datang. Kakek tidak mau dia melihat kalian berdua di sini.” Alden menurut. Dia kembali menatap Eleanor sebelum melangkah meninggalkan ruangan. Untuk sesaat, Eleanor bisa bernapas lega. Namun, suara tegas milik Kakek William berhasil membuatnya kembali tergemap. “Bersiaplah, Elea. Darren sudah menunggu.”Kadang masalah sepele yang terjadi antara saudara kandung bisa memicu pertengkaran yang lebih besar. Porsi kasih sayang dan cinta yang tak sebanding menjadi penyebab perpecahan di antara saudara. Tak terkecuali yang terjadi pada Rama dan Roni.Sejak Kakek William selalu membandingkan keduanya. Sikap Roni berubah seratus delapan puluh derajat. Dia lebih banyak diam jika dimarahi, tetapi diam-diam dendam yang telah mengakar kuat dalam dada terus menyala dan makin berkobar.Pria itu menyusun rencana jahat sejak bertahun-tahun sebelum akhirnya terlaksana. Dia menyebar rumor yang menjatuhkan Rama, sehingga publik tak percaya lagi dengannya. Tak cukup sampai di situ, Roni bahkan mulai melakukan beberapa kali percobaan pembunuhan terhadap kakaknya sendiri, meskipun awalnya selalu berakhir gagal.Hingga akhirnya percobaan ke sekian kalinya barulah berhasil. Rama dan Indira yang baru pulang dari menghadiri sebuah acara harus meregang nyawa setelah mobil yang dikendarai mengalami kecelakaan
“Kamu Eleanor Santoso. Istri kesayanganku.”Eleanor tersipu malu dengan ucapan Darren. Kedua pipinya merona merah, kemudian seulas senyum lebar tersumir di bibirnya. Dia menunduk sekilas sebelum kembali menatap sang suami.“Maafkan aku karena tidak mengingatmu, Sayang.”Darren menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah Eleanor sebelum menyelipkan di belakang telinga, kemudian menangkup wajah dan menyematkan kecupan di keningnya.“It’s okay, Sayang. Aku paham kenapa kamu tidak bisa mengingatku. Hanya saja apakah kamu tahu kenapa itu bisa terjadi?”Eleanor menggeleng lemah, mencoba menggali kembali ingatannya di beberapa tahun ke belakang. Namun, semuanya nihil. Dia hanya mengingat perkataan yang diucapkan Agatha dan Helena setelah siuman.“Kamu terjatuh dari tangga karena licin, Elea. Waktu itu Mama Helena dan Agatha sedang pergi, makanya kami tidak tahu kejadian pastinya.”Wanita itu menghela napas panjang sebelum kembali menyandarkan punggung di sofa dan mencebik. Lalu, meng
“Bagaimana ini, Bos?” tanya anak buah Roni dengan nada panik sambil menatap majikannya.Roni mendengkus kesal sebelum mengedarkan pandangan sesaat. “Kita kembali ke vila.”Sang anak buah segera putar balik dan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju vila. Sementara di belakangnya, mobil polisi mengikuti sambil membunyikan sirine yang memekakkan telinga.Roni segera keluar mobil dan berlari ke dalam untuk melihat Eleanor. Sementara, sang anak buah berjaga sambil mengacungkan senjata api.Melihat Eleanor masih bernapas, Roni segera membopongnya ke depan dan merampas pistol dari tangan sang anak buah. Tak berselang lama, dua mobil polisi berhenti beberapa meter dari pintu utama.Delapan orang polisi segera turun dan bersembunyi di antara pintu mobil karena melihat Roni sedang memegang senjata sambil sambil membekap Eleanor yang terkulai lemas.“Menyerahlah, kalian tidak akan bisa kabur lagi!”Roni terkekeh karena begitu banyak perhatian orang tertuju kepadanya. Dia meliha
Darren terkejut sesaat mendengar penuturan Roni. Lalu, segera menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mendorong Roni dan berusaha untuk mencekiknya.“Dan kamulah yang telah membunuh wanita itu!”Kedua manik mata milik Roni melebar mendengar kalimat yang diucapkan Darren. Dia berusaha melepaskan tangan sang keponakan sambil menendang perutnya. Akhirnya Darren terjengkang ke belakang, sedangkan Roni terbatuk sebelum bangkit sambil memegang lehernya.Melihat itu, Darren terkekeh dan beringsut duduk. Lalu, menyeringai sambil menunjuk pria paruh baya itu.“Om yang telah membuat kekacauan, tapi Om juga yang menyalahkan orang lain.” Darren menjeda kalimat untuk mengatur napas yang mulai tersengal sebelum melanjutkan kalimatnya. “Jam dua malam di kelab malam party. Om keluar dari sana bersama seorang wanita. Membawa pergi dan menikmatinya di rumah hingga pagi.”Roni membeku di tempat setelah Darren menyelesaikan kalimatnya. Sekejap mata ingatan tentang kejadian di masa
Darren dan Alden menoleh bersamaan saat mendengar suara Roni yang mendadak terdengar dari ambang pintu. Darren bergegas menutup kembali brankas sebelum menatap tajam sang paman.“Ke-kenapa Papa balik lagi? Apa ada yang ketinggalan?” tanya Alden dengan nada gugup.Roni menyeringai menatap sang anak sebelum beralih kepada Darren yang masih mematung di tempat. Dia melangkah mendekat hingga berdiri di depan sang keponakan. Kedua tangan pria paruh baya itu terulur untuk meremas kuat bahu Darren.“Apakah ini suatu kebetulan kamu bisa mengingat kembali, atau memang sejak awal kamu sudah bisa mengingat dengan baik, Darren?”Darren mendengkus kesal sebelum melepaskan tangan Roni, kemudian mencengkeram erat kerah jas yang dipakainya.“Jadi, Om adalah dalang dibalik kematian orang tuaku? Apa jangan-jangan Om juga yang telah membunuh Kakek William?”Alden membeliak mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Darren, sedangkan Roni menyeringai sebelum terkekeh.“Ternyata kamu sepintar papa
Di tengah malam yang sepi, Darren masih terjaga. Dia perlahan membuka pintu kamar dan celingukan untuk memastikan keadaan aman sebelum berjalan mengendap-endap menuruni tangga. Lalu, berhenti di depan pintu bercat cokelat tua dan kembali memastikan keadaan aman sebelum melangkah masuk. Dalam keremangan cahaya yang tersorot dari halaman depan, dia mulai mengedarkan pandangan sebelum beranjak ke sisi dinding sebelah kanan.Darren berhenti di depan sebuah lukisan rumah di tengah pegunungan dan menatapnya lekat. Pria itu ingat betul letak rumah yang ada di dalam lukisan sebelum mengangkatnya, kemudian menurunkan ke bawah. Sekarang di depannya tampak pintu brankas berwarna hitam dengan beberapa tombol angka. Darren memutar otak sambil mengingat semua pesan yang disampaikan Kakek William. Sayangnya tak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk, kecuali satu pesan terakhirnya.“Kunci itu. Iya, pasti ada di kunci itu petunjuknya. Tapi, bukankah kuncinya sudah diambil dari tangan Elea?”D