Share

Menjalankan Peran

Penulis: Afnasya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-20 17:56:23

Eleanor memukul kepalanya ketika mengingat pertanyaan konyol yang meluncur dari mulutnya.

“Bodoh! Kenapa juga ini mulut enggak bisa direm!” rutuk Eleanor sambil memukul mulutnya. “Untung saja tadi ada telepon, jadi aku bisa langsung kabur. Coba kalau enggak?”

Eleanor merebah dan menatap langit-langit kamarnya. Kamar dengan cat dinding berwarna putih itu tampaknya lega karena hanya ada ranjang, lemari serta kursi yang terletak di sudut. Jendela berukuran besar pun menambah kesan luas, sehingga cahaya matahari masuk dengan leluasa.

Wanita itu segera bangkit dan berjalan menuju pintu kaca yang mengarah ke balkon. Dia menghirup udara sore hari sambil tersenyum lebar. Lalu, berjalan keluar dan bersandar di pagar besi. Dia mengedarkan pandangan, kemudian tatapannya tertuju pada kolam renang yang berada tepat di bawah.

Eleanor berbalik dan berjalan keluar kamar. Bosan yang melanda membawa langkahnya menjelajahi seisi rumah. Dia turun ke lantai satu dan berjalan menuju dapur. Tangannya mengusap meja dapur yang terbuat dari marmer sambil tersenyum lebar. Lalu, tatapannya berhenti pada oven yang menyatu dengan kompor dengan empat tungku.

Puas menjelajahi dapur, Eleanor berjalan keluar dan mendapati kolam renang yang dilihatnya dari kamar tadi. Dia duduk di tepi kolam dan mencelupkan tangan kanannya, kemudian bermain air sesaat.

Kini langkahnya kembali menyusuri ruangan yang terletak di samping kolam. Ruangan itu terpisah dari rumah utama. Karena penasaran, Eleanor masuk dan menjelajahi ruangan itu sambil tersenyum. Lalu, tatapannya mengarah kepada satu pintu yang terletak di sudut kiri ruangan. Dia berjalan ke sana dan membukanya. Tampak beberapa alat untuk latihan bela diri tersusun rapi di rak.

Eleanor hendak berbalik ketika tanpa sengaja kakinya tersandung sesuatu. Dia menunduk dan menemukan satu bagian lantai yang sedikit terbuka. Tangannya sudah terulur hendak memeriksanya.

“Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Astaga!” Eleanor segera mundur selangkah saat melihat Darren mendadak muncul sambil melayangkan tatapan tajam. “Ma-maaf, aku cuma penasaran ruangan apa ini.”

“Pergilah! Tidak ada yang menarik di sini.”

Eleanor mengangguk sebelum berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruangan. Namun, langkahnya terhenti kala teringat sesuatu.

“Ehm, mau makan apa untuk malam ini? Aku akan memasaknya untukmu.”

“Apa saja, pasti akan aku makan.”

Eleanor kembali mengangguk sebelum berlari menuju dapur. Sesampainya di sana, dia mengatur napas yang sempat tersengal sebelum membuka lemari pendingin. Lalu, mengamati bahan apa saja yang ada sebelum mengambil beberapa.

Beruntungnya selama tinggal di rumah sang ayah, dia sudah terbiasa dengan segala pekerjaan rumah termasuk memasak. Helena sebagai seorang ratu di rumah justru selalu menyuruh Eleanor. Sejak membuka mata hingga hampir terpejam ada saja perintah yang harus dikerjakan. Karena itulah Eleanor tidak kaget saat harus melayani suaminya.

Melihat bahan yang ada, Eleanor akan memasak steik daging, kentang tumbuk, salad sayur dan buah. Dengan cekatan, dia mulai memasak sambil bersenandung kecil. Hal yang selalu dilakukannya.

Tiga puluh menit kemudian, masakannya sudah tersaji di meja. Dia tersenyum puas sebelum berlari ke ruangan tadi dan mendapati Darren sedang duduk sambil meneguk air dalam botol. Wajah, tubuh, dan rambut pria itu basah oleh keringat. Untuk sesaat, Eleanor membeku di tempat. Namun, dia segera menggeleng lemah setelah ingat tujuannya menemui Darren.

“Ehm, makan malam sudah siap. Mau makan sekarang?”

Darren menoleh sekilas sebelum kembali meneguk air dalam botol hingga tandas. Lalu, bangkit dan berjalan menuju dapur. Dia menatap meja makan sesaat dan memilih berjalan menuju tangga.

“Aku harus mandi. Tunggu lima belas menit lagi.”

Eleanor mengangguk dan menatap Darren menaiki satu per satu anak tangga hingga hilang di balik pintu kamarnya. Dia menghela napas berat sebelum mengendus sesuatu.

“Astaga, aku juga belum mandi.”

Secepatnya, dia berlari menaiki tangga menuju kamar. Lalu, mandi dan berpakaian sebelum kembali turun ke dapur untuk menghangatkan makanan. Tepat saat itulah Darren terlihat duduk di meja makan.

“Semoga suka. Maaf kalau ada yang kurang.”

Darren menghela napas panjang sebelum memotong daging steik dan memasukkannya ke mulut. Dia mengunyah perlahan sebelum melanjutkan makan hingga selesai. Lalu, mengelap mulut dan bangkit dari duduk.

Sementara, Eleanor memelongo karena tidak ada kata yang terucap selama sesi makan malam itu. Dia bahkan tak mendapatkan sepatah kata dari suaminya.

“Ehm, apa kamu suka makanannya?”

Darren yang hendak melangkah, berhenti sejenak. Dia menatap piring yang telah kosong sebelum menatap Eleanor. Lalu, mengangguk sebagai jawaban sebelum kembali melangkah menaiki tangga menuju ruang kerjanya.

“Hanya begitu saja?” tanya Eleanor pada dirinya sendiri. Lalu, menatap piring kosong yang telah ditinggalkan Darren sebelum melanjutkan makannya.

Usai membereskan meja makan, Eleanor beranjak ke ruang keluarga dan hendak menyalakan televisi. Namun, ponsel yang ada dalam saku celananya seketika berdering. Dia langsung merogoh saku celana dan melihat siapa yang menelepon. Senyumnya tersumir kala membaca nama Danu yang tertera di sana.

“Halo, Yah.” Eleanor langsung menyapa begitu menjawab panggilan.

“Heh, kapan mau ambil semua barang kamu? Kalau kelamaan, nanti aku buang. Soalnya kamar kamu mau dijadiin gudang sama Mama.”

Eleanor terkejut saat mendengar suara Agatha di ujung telepon. Senyum yang sejak tadi mengembang perlahan pudar.

“Besok pagi aku ambil semuanya. Tolong jangan dibuang dulu, ya?”

“Aku enggak janji.”

Telepon terputus. Eleanor menggeram kesal hingga menggenggam erat ponsel yang masih ada di telinganya. Dia kembali menekan kontak sang ayah, tetapi kali ini panggilannya ditolak. Tak hilang akal, Eleanor mencari kontak Agatha dan melakukan panggilan. Namun, kembali kecewa yang didapat karena Agatha mematikan ponselnya.

Eleanor berjalan mondar-mandir sambil menggigit kuku karena khawatir berlebihan. Dia takut semua barangnya benar-benar akan dibuang Helena. Padahal masih ada beberapa foto sang ibu yang tersimpan rapi di salah satu buku kuliahnya.

Berulang kali Eleanor menatap jam dinding dan pintu ruang kerja Darren. Ingin rasanya mengetuk pintu itu dan memohon izin agar bisa pulang malam ini. Namun, apa kata tetangga jika tahu hal itu dilakukannya.

“Masa iya pengantin baru malah keluyuran, bukannya malam pengantin di kamar.”

Eleanor mengacak-acak rambut karena frustasi. Lalu, menghempaskan bobot tubuhnya di sofa sambil menghela napas berat.

“Biar besok pagi saja aku pulang. Lagipula sudah terlalu malam sekarang.”

Eleanor hendak beranjak saat mendengar langkah kaki menuruni tangga. Dia mendongak dan berserobok dengan Darren.

“Butuh sesuatu?”

“Aku mau kopi tanpa gula.”

“Biar aku buatkan. Tunggu saja di sana, nanti aku antarkan.”

Eleanor mengulas senyum di akhir kalimat, tetapi hanya tatapan dingin yang didapatnya. Begitu Darren berbalik ke ruang kerja, wanita itu segera ke dapur dan membuat kopi hitam sebelum mengantarkannya ke atas.

Usai mengetuk pintu dan dipersilakan, Eleanor masuk sambil membawa nampan berisi secangkir kopi hitam. Lalu, meletakkannya di meja dan berdiri di dekat sofa. Melihat itu, Darren melayangkan tatapan penuh tanya.

“Ada yang mau kamu bicarakan?”

Eleanor mengangguk sebelum maju selangkah. Dia mendekap erat nampan di depan dada sambil menatap sang suami.

“Ehm, bolehkah besok pagi aku pulang ke rumah? Ada beberapa barang yang harus aku ambil.”

Darren mengernyit sesaat sebelum mengangguk. Melihat itu, Eleanor tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lalu, pergi meninggalkan ruangan menuju kamarnya. Lega, dia akhirnya bisa tertidur lelap malam itu.

Keesokan harinya, Eleanor bergegas membuat sarapan usai bangun tidur. Dengan telaten, wanita itu mengambilkan nasi dan lauk sebelum menyerahkannya kepada sang suami. Lalu, makan dalam diam hingga selesai.

Setelah membereskan meja makan, Eleanor menyambar tas dan tergesa-gesa keluar rumah. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Darren sudah menunggunya di dalam mobil.

“Cepat naik! Aku antar sampai rumah.”

Eleanor tersenyum dan memasuki mobil. “Terima kasih. Sebenarnya tidak usah diantar tidak apa-apa. Aku takut kamu sibuk, jadi ....”

“Pasang sabukmu! Aku tidak mau kena pelanggaran nantinya.”

Eleanor segera menuruti perintah Darren, kemudian duduk sambil menatap ke depan. Sepanjang perjalanan tak ada yang membuka mulut hingga akhirnya sampai di depan rumah bercat hijau muda. Wanita itu segera turun dari mobil, tetapi tatapannya langsung tertuju ke halaman belakang rumah.

Asap hitam tampak membumbung tinggi. Dilanda kepanikan, Eleanor setengah berlari menuju halaman belakang. Lalu, tatapannya tertuju kepada Agatha dan Helena yang tertawa sambil menenteng sesuatu.

“Apa yang kalian lakukan!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Pada Akhirnya

    Kadang masalah sepele yang terjadi antara saudara kandung bisa memicu pertengkaran yang lebih besar. Porsi kasih sayang dan cinta yang tak sebanding menjadi penyebab perpecahan di antara saudara. Tak terkecuali yang terjadi pada Rama dan Roni.Sejak Kakek William selalu membandingkan keduanya. Sikap Roni berubah seratus delapan puluh derajat. Dia lebih banyak diam jika dimarahi, tetapi diam-diam dendam yang telah mengakar kuat dalam dada terus menyala dan makin berkobar.Pria itu menyusun rencana jahat sejak bertahun-tahun sebelum akhirnya terlaksana. Dia menyebar rumor yang menjatuhkan Rama, sehingga publik tak percaya lagi dengannya. Tak cukup sampai di situ, Roni bahkan mulai melakukan beberapa kali percobaan pembunuhan terhadap kakaknya sendiri, meskipun awalnya selalu berakhir gagal.Hingga akhirnya percobaan ke sekian kalinya barulah berhasil. Rama dan Indira yang baru pulang dari menghadiri sebuah acara harus meregang nyawa setelah mobil yang dikendarai mengalami kecelakaan

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Di Balik Dendam

    “Kamu Eleanor Santoso. Istri kesayanganku.”Eleanor tersipu malu dengan ucapan Darren. Kedua pipinya merona merah, kemudian seulas senyum lebar tersumir di bibirnya. Dia menunduk sekilas sebelum kembali menatap sang suami.“Maafkan aku karena tidak mengingatmu, Sayang.”Darren menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah Eleanor sebelum menyelipkan di belakang telinga, kemudian menangkup wajah dan menyematkan kecupan di keningnya.“It’s okay, Sayang. Aku paham kenapa kamu tidak bisa mengingatku. Hanya saja apakah kamu tahu kenapa itu bisa terjadi?”Eleanor menggeleng lemah, mencoba menggali kembali ingatannya di beberapa tahun ke belakang. Namun, semuanya nihil. Dia hanya mengingat perkataan yang diucapkan Agatha dan Helena setelah siuman.“Kamu terjatuh dari tangga karena licin, Elea. Waktu itu Mama Helena dan Agatha sedang pergi, makanya kami tidak tahu kejadian pastinya.”Wanita itu menghela napas panjang sebelum kembali menyandarkan punggung di sofa dan mencebik. Lalu, meng

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Kembali Pulang

    “Bagaimana ini, Bos?” tanya anak buah Roni dengan nada panik sambil menatap majikannya.Roni mendengkus kesal sebelum mengedarkan pandangan sesaat. “Kita kembali ke vila.”Sang anak buah segera putar balik dan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju vila. Sementara di belakangnya, mobil polisi mengikuti sambil membunyikan sirine yang memekakkan telinga.Roni segera keluar mobil dan berlari ke dalam untuk melihat Eleanor. Sementara, sang anak buah berjaga sambil mengacungkan senjata api.Melihat Eleanor masih bernapas, Roni segera membopongnya ke depan dan merampas pistol dari tangan sang anak buah. Tak berselang lama, dua mobil polisi berhenti beberapa meter dari pintu utama.Delapan orang polisi segera turun dan bersembunyi di antara pintu mobil karena melihat Roni sedang memegang senjata sambil sambil membekap Eleanor yang terkulai lemas.“Menyerahlah, kalian tidak akan bisa kabur lagi!”Roni terkekeh karena begitu banyak perhatian orang tertuju kepadanya. Dia meliha

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Senjata Makan Tuan

    Darren terkejut sesaat mendengar penuturan Roni. Lalu, segera menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mendorong Roni dan berusaha untuk mencekiknya.“Dan kamulah yang telah membunuh wanita itu!”Kedua manik mata milik Roni melebar mendengar kalimat yang diucapkan Darren. Dia berusaha melepaskan tangan sang keponakan sambil menendang perutnya. Akhirnya Darren terjengkang ke belakang, sedangkan Roni terbatuk sebelum bangkit sambil memegang lehernya.Melihat itu, Darren terkekeh dan beringsut duduk. Lalu, menyeringai sambil menunjuk pria paruh baya itu.“Om yang telah membuat kekacauan, tapi Om juga yang menyalahkan orang lain.” Darren menjeda kalimat untuk mengatur napas yang mulai tersengal sebelum melanjutkan kalimatnya. “Jam dua malam di kelab malam party. Om keluar dari sana bersama seorang wanita. Membawa pergi dan menikmatinya di rumah hingga pagi.”Roni membeku di tempat setelah Darren menyelesaikan kalimatnya. Sekejap mata ingatan tentang kejadian di masa

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Menutupi Kebohongan

    Darren dan Alden menoleh bersamaan saat mendengar suara Roni yang mendadak terdengar dari ambang pintu. Darren bergegas menutup kembali brankas sebelum menatap tajam sang paman.“Ke-kenapa Papa balik lagi? Apa ada yang ketinggalan?” tanya Alden dengan nada gugup.Roni menyeringai menatap sang anak sebelum beralih kepada Darren yang masih mematung di tempat. Dia melangkah mendekat hingga berdiri di depan sang keponakan. Kedua tangan pria paruh baya itu terulur untuk meremas kuat bahu Darren.“Apakah ini suatu kebetulan kamu bisa mengingat kembali, atau memang sejak awal kamu sudah bisa mengingat dengan baik, Darren?”Darren mendengkus kesal sebelum melepaskan tangan Roni, kemudian mencengkeram erat kerah jas yang dipakainya.“Jadi, Om adalah dalang dibalik kematian orang tuaku? Apa jangan-jangan Om juga yang telah membunuh Kakek William?”Alden membeliak mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Darren, sedangkan Roni menyeringai sebelum terkekeh.“Ternyata kamu sepintar papa

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Peninggalan yang Berharga

    Di tengah malam yang sepi, Darren masih terjaga. Dia perlahan membuka pintu kamar dan celingukan untuk memastikan keadaan aman sebelum berjalan mengendap-endap menuruni tangga. Lalu, berhenti di depan pintu bercat cokelat tua dan kembali memastikan keadaan aman sebelum melangkah masuk. Dalam keremangan cahaya yang tersorot dari halaman depan, dia mulai mengedarkan pandangan sebelum beranjak ke sisi dinding sebelah kanan.Darren berhenti di depan sebuah lukisan rumah di tengah pegunungan dan menatapnya lekat. Pria itu ingat betul letak rumah yang ada di dalam lukisan sebelum mengangkatnya, kemudian menurunkan ke bawah. Sekarang di depannya tampak pintu brankas berwarna hitam dengan beberapa tombol angka. Darren memutar otak sambil mengingat semua pesan yang disampaikan Kakek William. Sayangnya tak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk, kecuali satu pesan terakhirnya.“Kunci itu. Iya, pasti ada di kunci itu petunjuknya. Tapi, bukankah kuncinya sudah diambil dari tangan Elea?”D

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status