Eleanor bergegas mendekati Agatha dan Helena yang berdiri tak jauh dari sumber api. Dia menatap tumpukan barang yang telah terbakar api sebelum kembali menatap kedua wanita di depannya.
“Kenapa kalian bakar semua barangku? Bukankah aku bilang kalau akan mengambilnya.” “Kalau dipikir-pikir mendingan dibakar saja. Lagipula buat apa kamu ributin barang rombeng itu. Masa suami kamu tidak bisa belikan yang baru?” Helena tertawa mengejek saat kembali memasukkan satu helai baju ke dalam kobaran api. Eleanor mematung dengan kedua mata memerah menahan tangis. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia menggeram kesal sebelum akhirnya menyambar buku yang hendak diambil Helena. “Setidaknya semua barang rombeng ini hasil keringatku sendiri, bukan karena merengek kepada Ayah.” “Jaga mulut kamu, Elea!” pekik Helena sambil memelotot. Wajahnya merah padam karena menahan amarah. “Mulai berani kamu, hah!” “Memang benar apa yang aku bilang, kan?” “Kita kasih dia pelajaran saja, Ma. Biar tahu rasa karena sudah berani melawan kita.” Helena langsung menjambak Eleanor, kemudian mendorongnya hingga tersungkur. Sementara, Agatha mendekat dan melayangkan tamparan di kedua pipi adik tirinya. “Ini pelajaran buat pembangkang seperti kamu, Elea!” Agatha hendak kembali melayangkan tamparan. Namun, seseorang berhasil menangkap tangannya. Dia menoleh dan mendapati Darren sedang menatapnya tajam. “Adilkah dua lawan satu?” “Lepas! Jangan halangi aku! Aku mau beri dia pelajaran!” Agatha berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Darren, tetapi tenaganya kalah kuat. Dia makin beringas dengan menginjak kaki Darren, bahkan mencakar lengan pria itu. Namun, semua usahanya gagal. Darren tetap bergeming. “Lepas!” Agatha meronta, tetapi Darren tak melepaskan tangannya. “Sakit! Lepaskan atau aku teriak!” Akhirnya Darren melepaskan tangannya. Agatha mundur perlahan sambil memegang pergelangan tangannya yang memerah. Dia mendengkus kesal sebelum mengeluarkan selembar foto dari dalam saku celananya. “Coba selamatkan ini kalau bisa, Elea.” Agatha tersenyum sinis sambil memperlihatkan foto seorang wanita yang sedang tersenyum menghadap kamera. “Kembalikan! Itu satu-satunya foto ibu yang aku punya, Tha.” Agatha tak menggubris. Sedetik kemudian, dia melempar foto itu dalam kobaran api. Lalu, tertawa bahagia sambil bertepuk tangan bersama Helena. “Tidaaak!” seru Eleanor sambil berlari menuju kobaran api. Tanpa pikir panjang, dia mengambil foto yang sudah terbakar ujungnya. Lalu, mendekap benda itu seolah-olah takut akan kembali diambil. “Kalian keterlaluan!” Eleanor tak mempedulikan tangan kanannya yang melepuh karena terkena api. Dia terisak karena foto satu-satunya sang ibu berhasil diselamatkan, meskipun tak lagi utuh. Bukannya meminta maaf, Agatha dan Helena berbalik dan melenggang menuju rumah. Namun, langkahnya tertahan kala suara dehaman seseorang terdengar dari belakang. “Tidakkah kalian merasa bersalah?” Agatha berbalik dan tersenyum sinis melihat Darren menatapnya tajam. “Kita? Merasa bersalah? Harusnya dia yang bersalah karena gara-gara dia ibunya meninggal. Kenapa enggak sekalian saja dia ikut mati bersama ibunya.” Darren tergemap mendengar ucapan Agatha. Dia menggeram kesal dan hendak mendekati Agatha, tetapi suara tangis Eleanor membuatnya urung. Dia berbalik dan berjalan mendekati sang istri yang terguguk di depan kobaran api. Usai kejadian itu, Darren membawa Eleanor ke rumah sakit untuk mengobati luka bakar yang diderita. Lalu, segera pulang karena hari menjelang malam. Dalam mobil yang melaju, keduanya hanya bungkam hingga suara Eleanor terdengar. “Maaf, seharusnya ini semua tidak terjadi.” Eleanor menunduk dalam sambil menatap foto sang ibu. Ujung atas benda itu menghitam karena terkena api. Alhasil wajah sang ibu hilang sebagian. Lalu, setetes air mata luruh membasahi foto itu. Darren yang duduk di balik kemudi menatap sang istri dalam diam. Tangannya terulur hendak menyentuh bahu Eleanor, tetapi segera ditarik kembali. Lalu, mengambil sekotak tisu dan mengangsurkannya kepada wanita itu. Perlahan mobil berjalan menyusuri jalanan. Eleanor beberapa kali mengusap air matanya yang tak henti mengalir. Hatinya luar biasa sakit dengan perlakuan Agatha dan Helena. Memang bukan pertama kali perlakuan buruk diterimanya, tetapi kali ini lebih sakit. Dia tak habis pikir apa yang membuat mereka begitu membencinya. ‘Ibu, kenapa sakit sekali rasanya? Andai dulu ibu mengajakku, pasti aku akan bahagia. Aku tak akan merasakan dibedakan sama Ayah. Aku tak akan merasakan susahnya cari uang sendiri. Aku juga tak akan merasakan menikah tanpa cinta seperti sekarang.’ Pikiran Eleanor berkecamuk hebat. Isi kepalanya penuh dengan berbagai kata andai hingga perlahan lelah datang mendera. Akhirnya dia tunduk pada kantuk dengan kepala bersandar pada jendela. Darren menoleh sekilas sebelum kembali fokus menatap jalanan hingga sampai di rumah. Usai mematikan mesin mobil, dia menatap Eleanor yang masih tertidur. Lalu, tangannya mengambil foto yang ada di pangkuan sang istri dan memasukkannya ke dalam saku celana. Dengan sangat hati-hati, Darren membopong tubuh sang istri keluar mobil dan membawanya ke kamar untuk dibaringkan, kemudian menyelimutinya. Namun, gerakannya terhenti saat menatap perban yang menutupi telapak tangan Eleanor. Dia menghela napas berat sebelum mengambil secarik kertas dari laci nakas dan menuliskan sebuah catatan sebelum keluar. Menjelang malam, Eleanor terjaga dari tidurnya. Dia perlahan duduk dan mengedarkan pandangan. “Kamar? Sejak kapan aku di sini? Siapa yang membawaku ke sini?” Saat kembali mengedarkan pandangan, mata wanita itu tertuju kepada sebuah catatan yang diletakkan di nakas samping ranjang. Dia mengambil benda itu dan membacanya. “Aku pergi agak lama. Makanlah lebih dulu.” Eleanor mengedikkan bahu sebelum perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka. Lalu, menatap cermin di depannya dan terkejut melihat kedua matanya yang bengkak. “Ya, Tuhan. Berapa lama aku menangis tadi? Darren pasti melihatnya, memalukan sekali.” Dia menyentuh bagian yang bengkak sebelum mengusap perutnya yang mendadak berbunyi. Dengan enggan, dia berjalan menuju dapur dan membuat makanan. Tak butuh waktu lama, sepiring nasi dan omelet sudah siap untuk disantap. Sesaat Eleanor menatap pintu kamar Darren. “Memangnya dia ke mana, ya?” Eleanor mengedikkan bahu dan mulai memasukkan sesuap demi sesuap nasi dan omelet ke dalam mulut. Bersamaan dengan tandasnya nasi di piring, suara mobil terdengar memasuki garasi. Dia bergegas bangkit dan berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Lalu, seraut wajah lelah tampak di depan mata. Tanpa kata, Darren melangkah masuk dan duduk di meja makan. Lalu, menuang air di teko kaca ke dalam gelas sebelum menandaskannya. Dia melirik sang istri yang berdiri tak jauh darinya sebelum memilih untuk berlalu. “Tunggu! Ehm, aku ... aku mau minta maaf buat kejadian hari ini. Sekalian aku mau bilang terima kasih karena sudah membawaku ke kamar.” Darren mengangguk sebagai jawaban sebelum kembali meneruskan langkahnya. Namun, tanpa disadari, Eleanor menatap lengan sang suami yang memerah. Wanita itu bergegas menyambar kotak obat dan menyusul Darren. “Tunggu! Boleh aku obati lukamu? Anggap saja ini sebagai permintaan maaf karena sudah melibatkan mu.” Darren menatap lengannya yang terluka karena cakaran Agatha. Namun, belum sempat membuka mulut, Eleanor langsung menariknya ke ruang kerja. Pria itu duduk di sofa, sementara Eleanor membuka kotak obat dan mulai menuangkan cairan antiseptik ke kapas. “Mungkin ini sedikit perih, tapi tahan saja, ya?” Darren bergeming saat sang istri mengoleskan cairan antiseptik pada lukanya. Dia hanya menatap Eleanor dalam diam dan membiarkannya bekerja layaknya seorang dokter. “Selesai. Semoga cepat sembuh, ya?” Eleanor tersenyum sambil merapikan kembali kotak obatnya. Sementara, Darren menatap lengannya yang sudah diolesi salep luka. “Terima kasih.” Eleanor menyunggingkan senyuman sambil mengangguk sebagai jawaban. Dia hendak berlalu, tetapi Darren mencekal pergelangan tangannya. “Ada yang mau aku kasih ke kamu.” Darren mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, lalu memberikannya kepada Eleanor. Sontak, wanita itu membekap mulut dengan mata berkaca-kaca. “Ini, kan ....”Eleanor terjaga saat malam mulai merangkak naik. Dia langsung mengerang kesakitan sambil memegang bagian tengkuk dan beringsut duduk. Namun, gerakannya langsung terhenti saat menyadari bahwa dia sudah berada di dalam kamarnya.Wanita itu segera turun dari ranjang dan mengedarkan pandangan sebelum beranjak ke pintu. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar seseorang membuka pintu. Lalu, kedua matanya membeliak begitu melihat siapa yang berdiri di hadapan.“Alden? Sudah aku duga ini semua pasti ulah kamu!” Eleanor mendekat dan langsung menarik kerah baju yang dipakai pria itu. “Katakan apa yang kamu lakukan ke Darren?” tanya Eleanor dengan tatapan nyalang.“Dia aman bersama anak buahku.” Alden mencengkeram erat kedua tangan Eleanor sambil tersenyum tipis. Lalu, menarik wanita itu sampai membentur dadanya. “Apa kamu ingat kita pernah begini saat malam perayaan tahun baru sebelum tragedi itu terjadi, Elea?”Eleanor mendengkus kesal sambil meronta, tetapi usahanya kalah besar karena A
Dua jam setelah berkutat dengan dunia memasak di tempat les, Eleanor kembali menaiki taksi online menuju sebuah rumah sederhana yang terletak di pinggiran kota. Rumah dengan dinding bercat putih dengan jendela dan pintu berwarna cokelat tua. Pada halamannya terdapat beberapa jenis sayuran dan juga tanaman buah.Eleanor mengulas senyum sesaat setelah tiba sebelum melangkah masuk. Kedua matanya langsung menangkap sosok Bu Wina yang sedang berjongkok mengambil daun kering di sela-sela ladang sayurannya.“Selamat pagi, Bu. Aku tidak mengganggu, kan?” tanya Eleanor sambil menyunggingkan senyuman.Bu Wina menoleh dan langsung tersenyum begitu melihat wanita yang sedang memakai setelah rok dan kemeja lengan pendek berwarna hijau pastel itu.“Nyonya Elea, akhirnya datang juga. Anda tidak mengganggu sama sekali. Mari masuk.”Bu Wina segera bangkit dan berlalu ke samping untuk mencuci tangan sebelum membukakan pintu dan menyuruh Eleanor untuk masuk. Setelahnya, dia beranjak ke dapur dan ke
Eleanor membekap mulutnya sebelum mundur perlahan dan memutar tumit, kemudian berjalan mengendap-endap sebelum kembali masuk ke ruang bawah tanah. Dia bergeming di samping anak tangga yang mengarah ke bawah dengan masih membekap mulut dan sesekali memejamkan mata, berharap orang yang ada di rumahnya segera pergi.Saat Eleanor masih berusaha menguasai diri, terdengar suara langkah mendekat disertai dengan suara gumaman. Meskipun samar, Eleanor masih dapat menangkap isi percakapan mereka.“Rumah segede ini, banyak tempat untuk menyembunyikan sebuah kunci.”“Iya, mana tidak boleh pergi sebelum menemukannya. Bos, sih, enak main suruh. Kita yang pusing.”“Seluruh isi rumah sudah dicari, tapi tetap tidak ketemu. Apa jangan-jangan dibawa pas kemarin kita keroyok dan kuncinya hilang di sungai, ya?”“Bisa jadi. Tapi jangan bilang bos begitu, bisa-bisa kita disuruh nguras sungai lagi.”Eleanor mendengar gelak tawa dari atas sebelum kembali dua pria itu saling berbicara. Wanita itu makin m
“Malam ini kamu saya pecat! Segera bawa barang kamu dan keluar dari sini sekarang!” “Tapi, salah saya apa, Tuan? Sudah puluhan tahun saya di sini dan saya rasa tidak pernah melakukan kesalahan.” “Itu menurutmu! Pokoknya sekarang juga kamu keluar dari sini sekarang!” Roni masuk dan menarik lengan wanita tua dengan umur kisaran enam puluh tahunan hingga ke depan lemari. Lalu, menyentak kasar hingga membuatnya terhuyung. Dengan tatapan nyalang, pria itu mengintimidasi hingga akhirnya sang wanita tua membuka lemari dan memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. “Pesangon dan gajimu bulan ini akan aku transfer. Lagipula Papa sudah tidak ada, jadi buat apa kamu masih bertahan di sini, Bu Wina.” Sang wanita tua yang diketahui bekerja sebagai kepala ART selama empat puluh tahun di kediaman keluarga Wijaya itu hanya bisa pasrah saat Roni menyambar koper dan membawanya keluar dan melemparnya. “Sekarang pergilah! Rumah ini sudah tidak membutuhkanmu lagi.” Ibu Wina yang masih gag
“Kurang ajar! Cari dia sampai dapat! Aku yakin dia pasti masih ada di sekitar sana!” Telepon terputus. Keempat orang itu langsung berpencar untuk mencari keberadaan Darren. Namun, mereka tak kunjung mendapatkannya sehingga memutuskan untuk kembali menaiki mobil dan pergi meninggalkan tempat itu. Sementara di tempat lain, tampak seseorang sedang berjalan mondar-mandir sambil menggenggam erat ponselnya. Sejak menerima telepon satu jam yang lalu, belum lagi terdengar kabar tentang hasilnya. Dia menggeram kesal sebelum mengempaskan kasar tubuhnya di kursi. “Sialan! Masa cari satu orang yang sedang sekarat saja tidak bisa!” Orang itu menendang meja sebelum menengadah dan menghela napas panjang. Lalu, menatap langit-langit ruangan sebelum terkejut karena mendengar ponselnya berdering. Dia langsung mengangkat panggilan setelah mengetahui nama yang tertera di layar. “Bagaimana? Kalian dapat, kan?” “Maaf, Bos. Kami kehilangan dia. Seluruh rumah sakit sudah kami cari, tapi dia
Eleanor langsung mengalihkan tatapan saat berserobok dengan orang itu. Wanita itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sambil berharap orang itu segera pergi. Harapannya terkabul karena saat menoleh, dia tak mendapati orang itu di tempat tadi. Eleanor menghela napas lega sebelum masuk ke ruangan setelah dipanggil sang perawat. Dua puluh menit berlalu, wanita itu keluar sambil tersenyum semringah. Kedua pipinya bersemu merah, langkahnya ringan saat menyusuri lorong yang menghubungkan ke ruangan Darren. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang menghadangnya. “Mau apa kamu?” tanya Eleanor sambil berusaha menahan gelebah dalam dada. Dia menelan ludah dengan susah payah sambil mengepalkan erat kedua tangannya. “Kita sudah tidak ada lagi urusan, sebaiknya kamu minggir.” Orang di depan Eleanor menyeringai sambil melayangkan tatapan menyelidik. Sementara, Eleanor memejamkan mata sejenak sambil menghela napas panjang sebelum kembali menatapnya. “Minggir sekarang ata