Share

Luka

Author: Afnasya
last update Last Updated: 2025-02-28 01:01:28

Eleanor bergegas mendekati Agatha dan Helena yang berdiri tak jauh dari sumber api. Dia menatap tumpukan barang yang telah terbakar api sebelum kembali menatap kedua wanita di depannya.

“Kenapa kalian bakar semua barangku? Bukankah aku bilang kalau akan mengambilnya.”

“Kalau dipikir-pikir mendingan dibakar saja. Lagipula buat apa kamu ributin barang rombeng itu. Masa suami kamu tidak bisa belikan yang baru?” Helena tertawa mengejek saat kembali memasukkan satu helai baju ke dalam kobaran api.

Eleanor mematung dengan kedua mata memerah menahan tangis. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia menggeram kesal sebelum akhirnya menyambar buku yang hendak diambil Helena.

“Setidaknya semua barang rombeng ini hasil keringatku sendiri, bukan karena merengek kepada Ayah.”

“Jaga mulut kamu, Elea!” pekik Helena sambil memelotot. Wajahnya merah padam karena menahan amarah. “Mulai berani kamu, hah!”

“Memang benar apa yang aku bilang, kan?”

“Kita kasih dia pelajaran saja, Ma. Biar tahu rasa karena sudah berani melawan kita.”

Helena langsung menjambak Eleanor, kemudian mendorongnya hingga tersungkur. Sementara, Agatha mendekat dan melayangkan tamparan di kedua pipi adik tirinya.

“Ini pelajaran buat pembangkang seperti kamu, Elea!”

Agatha hendak kembali melayangkan tamparan. Namun, seseorang berhasil menangkap tangannya. Dia menoleh dan mendapati Darren sedang menatapnya tajam.

“Adilkah dua lawan satu?”

“Lepas! Jangan halangi aku! Aku mau beri dia pelajaran!”

Agatha berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Darren, tetapi tenaganya kalah kuat. Dia makin beringas dengan menginjak kaki Darren, bahkan mencakar lengan pria itu. Namun, semua usahanya gagal. Darren tetap bergeming.

“Lepas!” Agatha meronta, tetapi Darren tak melepaskan tangannya. “Sakit! Lepaskan atau aku teriak!”

Akhirnya Darren melepaskan tangannya. Agatha mundur perlahan sambil memegang pergelangan tangannya yang memerah. Dia mendengkus kesal sebelum mengeluarkan selembar foto dari dalam saku celananya.

“Coba selamatkan ini kalau bisa, Elea.” Agatha tersenyum sinis sambil memperlihatkan foto seorang wanita yang sedang tersenyum menghadap kamera.

“Kembalikan! Itu satu-satunya foto ibu yang aku punya, Tha.”

Agatha tak menggubris. Sedetik kemudian, dia melempar foto itu dalam kobaran api. Lalu, tertawa bahagia sambil bertepuk tangan bersama Helena.

“Tidaaak!” seru Eleanor sambil berlari menuju kobaran api. Tanpa pikir panjang, dia mengambil foto yang sudah terbakar ujungnya. Lalu, mendekap benda itu seolah-olah takut akan kembali diambil. “Kalian keterlaluan!”

Eleanor tak mempedulikan tangan kanannya yang melepuh karena terkena api. Dia terisak karena foto satu-satunya sang ibu berhasil diselamatkan, meskipun tak lagi utuh.

Bukannya meminta maaf, Agatha dan Helena berbalik dan melenggang menuju rumah. Namun, langkahnya tertahan kala suara dehaman seseorang terdengar dari belakang.

“Tidakkah kalian merasa bersalah?”

Agatha berbalik dan tersenyum sinis melihat Darren menatapnya tajam. “Kita? Merasa bersalah? Harusnya dia yang bersalah karena gara-gara dia ibunya meninggal. Kenapa enggak sekalian saja dia ikut mati bersama ibunya.”

Darren tergemap mendengar ucapan Agatha. Dia menggeram kesal dan hendak mendekati Agatha, tetapi suara tangis Eleanor membuatnya urung. Dia berbalik dan berjalan mendekati sang istri yang terguguk di depan kobaran api.

Usai kejadian itu, Darren membawa Eleanor ke rumah sakit untuk mengobati luka bakar yang diderita. Lalu, segera pulang karena hari menjelang malam. Dalam mobil yang melaju, keduanya hanya bungkam hingga suara Eleanor terdengar.

“Maaf, seharusnya ini semua tidak terjadi.”

Eleanor menunduk dalam sambil menatap foto sang ibu. Ujung atas benda itu menghitam karena terkena api. Alhasil wajah sang ibu hilang sebagian. Lalu, setetes air mata luruh membasahi foto itu.

Darren yang duduk di balik kemudi menatap sang istri dalam diam. Tangannya terulur hendak menyentuh bahu Eleanor, tetapi segera ditarik kembali. Lalu, mengambil sekotak tisu dan mengangsurkannya kepada wanita itu.

Perlahan mobil berjalan menyusuri jalanan. Eleanor beberapa kali mengusap air matanya yang tak henti mengalir. Hatinya luar biasa sakit dengan perlakuan Agatha dan Helena. Memang bukan pertama kali perlakuan buruk diterimanya, tetapi kali ini lebih sakit. Dia tak habis pikir apa yang membuat mereka begitu membencinya.

‘Ibu, kenapa sakit sekali rasanya? Andai dulu ibu mengajakku, pasti aku akan bahagia. Aku tak akan merasakan dibedakan sama Ayah. Aku tak akan merasakan susahnya cari uang sendiri. Aku juga tak akan merasakan menikah tanpa cinta seperti sekarang.’

Pikiran Eleanor berkecamuk hebat. Isi kepalanya penuh dengan berbagai kata andai hingga perlahan lelah datang mendera. Akhirnya dia tunduk pada kantuk dengan kepala bersandar pada jendela.

Darren menoleh sekilas sebelum kembali fokus menatap jalanan hingga sampai di rumah. Usai mematikan mesin mobil, dia menatap Eleanor yang masih tertidur. Lalu, tangannya mengambil foto yang ada di pangkuan sang istri dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Dengan sangat hati-hati, Darren membopong tubuh sang istri keluar mobil dan membawanya ke kamar untuk dibaringkan, kemudian menyelimutinya. Namun, gerakannya terhenti saat menatap perban yang menutupi telapak tangan Eleanor. Dia menghela napas berat sebelum mengambil secarik kertas dari laci nakas dan menuliskan sebuah catatan sebelum keluar.

Menjelang malam, Eleanor terjaga dari tidurnya. Dia perlahan duduk dan mengedarkan pandangan. “Kamar? Sejak kapan aku di sini? Siapa yang membawaku ke sini?”

Saat kembali mengedarkan pandangan, mata wanita itu tertuju kepada sebuah catatan yang diletakkan di nakas samping ranjang. Dia mengambil benda itu dan membacanya.

“Aku pergi agak lama. Makanlah lebih dulu.”

Eleanor mengedikkan bahu sebelum perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka. Lalu, menatap cermin di depannya dan terkejut melihat kedua matanya yang bengkak.

“Ya, Tuhan. Berapa lama aku menangis tadi? Darren pasti melihatnya, memalukan sekali.”

Dia menyentuh bagian yang bengkak sebelum mengusap perutnya yang mendadak berbunyi. Dengan enggan, dia berjalan menuju dapur dan membuat makanan. Tak butuh waktu lama, sepiring nasi dan omelet sudah siap untuk disantap.

Sesaat Eleanor menatap pintu kamar Darren. “Memangnya dia ke mana, ya?”

Eleanor mengedikkan bahu dan mulai memasukkan sesuap demi sesuap nasi dan omelet ke dalam mulut. Bersamaan dengan tandasnya nasi di piring, suara mobil terdengar memasuki garasi. Dia bergegas bangkit dan berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Lalu, seraut wajah lelah tampak di depan mata.

Tanpa kata, Darren melangkah masuk dan duduk di meja makan. Lalu, menuang air di teko kaca ke dalam gelas sebelum menandaskannya. Dia melirik sang istri yang berdiri tak jauh darinya sebelum memilih untuk berlalu.

“Tunggu! Ehm, aku ... aku mau minta maaf buat kejadian hari ini. Sekalian aku mau bilang terima kasih karena sudah membawaku ke kamar.”

Darren mengangguk sebagai jawaban sebelum kembali meneruskan langkahnya. Namun, tanpa disadari, Eleanor menatap lengan sang suami yang memerah. Wanita itu bergegas menyambar kotak obat dan menyusul Darren.

“Tunggu! Boleh aku obati lukamu? Anggap saja ini sebagai permintaan maaf karena sudah melibatkan mu.”

Darren menatap lengannya yang terluka karena cakaran Agatha. Namun, belum sempat membuka mulut, Eleanor langsung menariknya ke ruang kerja. Pria itu duduk di sofa, sementara Eleanor membuka kotak obat dan mulai menuangkan cairan antiseptik ke kapas.

“Mungkin ini sedikit perih, tapi tahan saja, ya?”

Darren bergeming saat sang istri mengoleskan cairan antiseptik pada lukanya. Dia hanya menatap Eleanor dalam diam dan membiarkannya bekerja layaknya seorang dokter.

“Selesai. Semoga cepat sembuh, ya?” Eleanor tersenyum sambil merapikan kembali kotak obatnya. Sementara, Darren menatap lengannya yang sudah diolesi salep luka.

“Terima kasih.”

Eleanor menyunggingkan senyuman sambil mengangguk sebagai jawaban. Dia hendak berlalu, tetapi Darren mencekal pergelangan tangannya.

“Ada yang mau aku kasih ke kamu.”

Darren mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, lalu memberikannya kepada Eleanor. Sontak, wanita itu membekap mulut dengan mata berkaca-kaca.

“Ini, kan ....”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Pada Akhirnya

    Kadang masalah sepele yang terjadi antara saudara kandung bisa memicu pertengkaran yang lebih besar. Porsi kasih sayang dan cinta yang tak sebanding menjadi penyebab perpecahan di antara saudara. Tak terkecuali yang terjadi pada Rama dan Roni.Sejak Kakek William selalu membandingkan keduanya. Sikap Roni berubah seratus delapan puluh derajat. Dia lebih banyak diam jika dimarahi, tetapi diam-diam dendam yang telah mengakar kuat dalam dada terus menyala dan makin berkobar.Pria itu menyusun rencana jahat sejak bertahun-tahun sebelum akhirnya terlaksana. Dia menyebar rumor yang menjatuhkan Rama, sehingga publik tak percaya lagi dengannya. Tak cukup sampai di situ, Roni bahkan mulai melakukan beberapa kali percobaan pembunuhan terhadap kakaknya sendiri, meskipun awalnya selalu berakhir gagal.Hingga akhirnya percobaan ke sekian kalinya barulah berhasil. Rama dan Indira yang baru pulang dari menghadiri sebuah acara harus meregang nyawa setelah mobil yang dikendarai mengalami kecelakaan

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Di Balik Dendam

    “Kamu Eleanor Santoso. Istri kesayanganku.”Eleanor tersipu malu dengan ucapan Darren. Kedua pipinya merona merah, kemudian seulas senyum lebar tersumir di bibirnya. Dia menunduk sekilas sebelum kembali menatap sang suami.“Maafkan aku karena tidak mengingatmu, Sayang.”Darren menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah Eleanor sebelum menyelipkan di belakang telinga, kemudian menangkup wajah dan menyematkan kecupan di keningnya.“It’s okay, Sayang. Aku paham kenapa kamu tidak bisa mengingatku. Hanya saja apakah kamu tahu kenapa itu bisa terjadi?”Eleanor menggeleng lemah, mencoba menggali kembali ingatannya di beberapa tahun ke belakang. Namun, semuanya nihil. Dia hanya mengingat perkataan yang diucapkan Agatha dan Helena setelah siuman.“Kamu terjatuh dari tangga karena licin, Elea. Waktu itu Mama Helena dan Agatha sedang pergi, makanya kami tidak tahu kejadian pastinya.”Wanita itu menghela napas panjang sebelum kembali menyandarkan punggung di sofa dan mencebik. Lalu, meng

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Kembali Pulang

    “Bagaimana ini, Bos?” tanya anak buah Roni dengan nada panik sambil menatap majikannya.Roni mendengkus kesal sebelum mengedarkan pandangan sesaat. “Kita kembali ke vila.”Sang anak buah segera putar balik dan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju vila. Sementara di belakangnya, mobil polisi mengikuti sambil membunyikan sirine yang memekakkan telinga.Roni segera keluar mobil dan berlari ke dalam untuk melihat Eleanor. Sementara, sang anak buah berjaga sambil mengacungkan senjata api.Melihat Eleanor masih bernapas, Roni segera membopongnya ke depan dan merampas pistol dari tangan sang anak buah. Tak berselang lama, dua mobil polisi berhenti beberapa meter dari pintu utama.Delapan orang polisi segera turun dan bersembunyi di antara pintu mobil karena melihat Roni sedang memegang senjata sambil sambil membekap Eleanor yang terkulai lemas.“Menyerahlah, kalian tidak akan bisa kabur lagi!”Roni terkekeh karena begitu banyak perhatian orang tertuju kepadanya. Dia meliha

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Senjata Makan Tuan

    Darren terkejut sesaat mendengar penuturan Roni. Lalu, segera menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mendorong Roni dan berusaha untuk mencekiknya.“Dan kamulah yang telah membunuh wanita itu!”Kedua manik mata milik Roni melebar mendengar kalimat yang diucapkan Darren. Dia berusaha melepaskan tangan sang keponakan sambil menendang perutnya. Akhirnya Darren terjengkang ke belakang, sedangkan Roni terbatuk sebelum bangkit sambil memegang lehernya.Melihat itu, Darren terkekeh dan beringsut duduk. Lalu, menyeringai sambil menunjuk pria paruh baya itu.“Om yang telah membuat kekacauan, tapi Om juga yang menyalahkan orang lain.” Darren menjeda kalimat untuk mengatur napas yang mulai tersengal sebelum melanjutkan kalimatnya. “Jam dua malam di kelab malam party. Om keluar dari sana bersama seorang wanita. Membawa pergi dan menikmatinya di rumah hingga pagi.”Roni membeku di tempat setelah Darren menyelesaikan kalimatnya. Sekejap mata ingatan tentang kejadian di masa

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Menutupi Kebohongan

    Darren dan Alden menoleh bersamaan saat mendengar suara Roni yang mendadak terdengar dari ambang pintu. Darren bergegas menutup kembali brankas sebelum menatap tajam sang paman.“Ke-kenapa Papa balik lagi? Apa ada yang ketinggalan?” tanya Alden dengan nada gugup.Roni menyeringai menatap sang anak sebelum beralih kepada Darren yang masih mematung di tempat. Dia melangkah mendekat hingga berdiri di depan sang keponakan. Kedua tangan pria paruh baya itu terulur untuk meremas kuat bahu Darren.“Apakah ini suatu kebetulan kamu bisa mengingat kembali, atau memang sejak awal kamu sudah bisa mengingat dengan baik, Darren?”Darren mendengkus kesal sebelum melepaskan tangan Roni, kemudian mencengkeram erat kerah jas yang dipakainya.“Jadi, Om adalah dalang dibalik kematian orang tuaku? Apa jangan-jangan Om juga yang telah membunuh Kakek William?”Alden membeliak mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Darren, sedangkan Roni menyeringai sebelum terkekeh.“Ternyata kamu sepintar papa

  • Suami Penggantiku Bukan Pria Buruk Rupa   Peninggalan yang Berharga

    Di tengah malam yang sepi, Darren masih terjaga. Dia perlahan membuka pintu kamar dan celingukan untuk memastikan keadaan aman sebelum berjalan mengendap-endap menuruni tangga. Lalu, berhenti di depan pintu bercat cokelat tua dan kembali memastikan keadaan aman sebelum melangkah masuk. Dalam keremangan cahaya yang tersorot dari halaman depan, dia mulai mengedarkan pandangan sebelum beranjak ke sisi dinding sebelah kanan.Darren berhenti di depan sebuah lukisan rumah di tengah pegunungan dan menatapnya lekat. Pria itu ingat betul letak rumah yang ada di dalam lukisan sebelum mengangkatnya, kemudian menurunkan ke bawah. Sekarang di depannya tampak pintu brankas berwarna hitam dengan beberapa tombol angka. Darren memutar otak sambil mengingat semua pesan yang disampaikan Kakek William. Sayangnya tak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk, kecuali satu pesan terakhirnya.“Kunci itu. Iya, pasti ada di kunci itu petunjuknya. Tapi, bukankah kuncinya sudah diambil dari tangan Elea?”D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status