Share

Chapter 4 - Dia Bukan Jodohku

“Main tangan kok sama perempuan?”      

Kemunculan Dipta di tengah-tengah Kaira dan Bayu mengejutkan semua orang. Terlebih, tangan Dipta yang menahan lengan Bayu dengan kuat, membuat pria itu tak bisa berkutik.

Netra Bayu pun menatap pria bermanik hitam itu dengan nyalang, merasa terhina karena tak peduli seberapa kuat dia mencoba melepaskan diri, cengkeraman Dipta sama sekali tak bisa dilepaskan. “Apa yang kamu lakukan!?”

“Saya yang seharusnya tanya sama Anda,” ucap Dipta dengan santai, akhirnya melepaskan cengkeramannya.

Tak menghiraukan ucapan Dipta, Bayu menyipitkan matanya, merasa familier dengan pria di hadapannya, “Kamu …”

“Kaira, ini yang kamu bilang suami barumu?! Kamu bercanda, ‘kan?” tanya Bayu, sesekali mengalihkan pandangannya ke Dipta, menatapnya dari kepala sampai ke ujung kaki.

“Tidak, Mas. Pria ini memang suamiku, dan aku tidak sedang bergurau.” Kaira langsung memamerkan jemarinya yang dilingkari cincin putih di sana, menunjukkan jika dirinya memang benar sudah menikah.

Tiba-tiba, suara tawa Bayu memenuhi seluruh ruangan, membuat Kaira mengerutkan keningnya. Bukankah pria itu baru saja marah? Apa yang membuatnya tertawa terbahak-bahak?

"Dia ini hanya seorang sopir di kantorku, Kaira! Mau dikasih makan apa kamu sama dia nanti!?" Bayu menjelaskan dengan nada mengejek. Bahkan disusul tawa kecil yang membuat Kaira merasa tidak terima jika Dipta ikut dihina.

Kaira yang ingin melangkah maju ke depan justru ditahan oleh Dipta. Pria itu memegangi pergelangan tangan istrinya dan memberikan senyum lembut, membuat Kaira merasa terkesima.

"Cih! Kamu membatalkan pernikahan kita demi pria miskin ini!? Sungguh seleramu sangat rendah!" Bayu kembali memberikan hinaannya kepada Dipta.

"Hahahaha! Jadi ini pria pilihanmu!? Pantas saja ada yang sudi menikah denganmu! Karena kalian berdua itu sama!" timbrung Widya ikut memberikan ejekan.

Tidak tahan mendengar caci maki dari Widya yang bertubi-tubi, Kaira mulai memberanikan diri menghadapi mantan calon ibu mertuanya dengan sorot mata menghunus.

“Meski aku dan Mas Dipta bukan berasal dari keluarga terpandang, tapi kami tidak rendahan seperti kalian.”

Widya merasa tidak terima dengan ucapan Kaira. Hatinya benar-benar tersulut yang membuatnya ingin menampar perempuan tidak tahu diri ini. Akan tetapi, belum sempat menampar pipi milik Kaira, tangannya sudah dicegah oleh Dipta yang menahan pergelangan tangan miliknya. Merasa khawatir dengan istrinya, Dipta maju dan menatap Widya serta Bayu dengan dingin. “Mohon maaf jika kedatangan saya membuat kericuhan di rumah ini. Tapi, setidaknya saya bersyukur, karena Kaira menikah dengan saya yang hanya seorang sopir, dibanding menjadi bagian dari keluarga yang suka main tangan.”

Tak ingin berkonfrontasi lebih ama, Dipta langsung menggaet lengan ramping milik istrinya, mengajak Kaira untuk segera bergegas dari tempat itu. Kaira menyambut Dipta dengan tersenyum, melangkahkan kakinya mengikuti Dipta, tak peduli dengan keheningan dan juga ekspresi semua orang setelah mendengarkan ucapan Dipta.

***                                        

“Kamu gak apa-apa?” tanya Dipta, jemarinya mengelus pipi istrinya dengan halus. Meskipun wanita itu tidak benar-benar ditampar, rasa khawatir tetap memenuhi hatinya. Belum lagi pria itu beberapa kali mencengkeram pergelangan tangan Kaira, membuatnya merasa bersalah.

“Gapapa kok, Mas. Makasih udah bantuin aku tadi.”

Sikap Dipta seketika membuat Kaira tersipu malu. Terlebih, wanita itu kembali membayangkan Dipta yang sebelumnya tiba-tiba muncul, menghadangnya dari pukulan Bayu. Kaira tak menyangka, pria yang baru dikenalnya beberapa hari itu memiliki garis wajah yang tegas dan juga otot yang kekar.

“Mantan kamu tadi benar-benar gila. Sakit jiwa itu orang! Beraninya sama perempuan!” luap Dipta merasa dongkol sendiri jika mengingat kejadian di rumah Bayu. Kalau bukan karena Kaira tadi mencegahnya, sepertinya ia sudah adu jotos dan memberikan pelajaran kepada calon suaminya itu.

Kaira justru terkekeh kecil ketika melihat ekspresi kesal dari Dipta. Bagi Kaira, Dipta terlihat lucu ketika sedang misuh-misuh seperti ini. Padahal saat Kaira mengenal Dipta pertama kali, Dipta sangat terlihat kalem.

Merasa ada yang aneh, Dipta melirik ke arah istrinya, Kaira, yang justru langsung diam seketika.

“Kamu kenapa ketawa?”

“Gapapa, kamu lucu.”

“Lucu?” Dipta mengerutkan kening heran saat Kaira berkomentar seperti itu. Padahal dirinya sedang marah bukan ngelawak, tapi kenapa dinilai lucu oleh Kaira.

“Orang kayak kamu ternyata bisa marah juga, ya.”

“Lha, aku manusia biasa, Kai. Siapapun yang ngadepin titisan dajal kayak mereka juga bakalan kesel.”

“Hahaha, udah jangan ngelawak terus, Mas. Aku capek ketawa terus.”

Kini, Dipta merasa lega saat Kaira sudah bisa tersenyum. Meski Dipta sendiri kurang paham apa yang membuat wanita itu tersenyum. Setidaknya, rasa sakit dan sedih wanita itu pelan-pelan hilang.

Kaira pun kini merasa bingung sekaligus canggung saat kondisi diam-diaman seperti ini. Hingga, Dipta mengajak Kaira turun dari mobil.

“Mulai sekarang kamu bisa tinggal di sini sama aku,” kata Dipta penuh perhatian.

 “Tapi, Mas, aku takut ngerepotin kamu nanti.”

“Ngerepotin apa? Selama jadi istri, kamu itu tanggung jawabku.”

Ucapan Dipta barusan membuat Kaira terpana sendiri. Tidak pernah menyangka jika pria ini memang benar-benar bertanggung jawab atas dirinya. Padahal, bisa dikatakan jika pernikahan yang terjadi adalah sebuah paksaan, tidak ada cinta sama sekali di antara keduanya.

Melihat keseriusan dari Dipta yang menawarkan untuk hidup bersama dalam satu atap, Kaira akhirnya tidak bisa menolak. Pria itu kini sudah membawa Kaira masuk ke dalam unit apartemennya.

Satu hal yang membuat Kaira merasa bingung sendiri saat ini, Dipta adalah seorang sopir, tapi kenapa bisa mampu membayar sewa apartemen yang dibilang cukup mahal. Sedangkan kehidupan di ibu kota sangatlah keras.

“Kamu tinggal sendirian?” Kaira mencoba membuka obrolan meski pandangan matanya terus mengarah ke hal lain. Ia terus menelusuri setiap inci dari sudut tempat tinggal suaminya. Terlebih desain interior dari apartemen ini didominasi warna abu-abu, dengan tambahan  beberapa hiasan dinding berwarna putih yang membuat kesan elegan dan maskulin.

“Hm.” Dipta sibuk membereskan bantal sofa yang cukup berantakan. Kaira yang melihat Dipta sibuk, akhirnya berinisiatif ingin membantu.

Selesai membereskan bantal sofa menjadi rapi, keduanya duduk dengan suasana sama-sama masih canggung. Terlebih banyak sekali hal yang ingin Kaira tanyakan kepada Dipta, namun Kaira merasa segan.

Melihat raut wajah Kaira yang tampak gelisah membuat Dipta penasaran. “Kenapa, Kaira?”

“Mas, kalau memang Mas Dipta hanya seorang sopir, bagaimana Mas bisa tinggal di tempat seperti ini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status