l --- Malam itu selesai dengan tubuh Farel dan Sukma sama-sama terbaring lelah, tapi bukan berarti pikirannya tenang. Sukma tertidur pulas, napasnya teratur, tapi Farel masih menatap langit-langit, memutar ulang semua kejadian hari itu. Bayangan Carlos kembali hadir, lengkap dengan senyum miring yang seakan tahu semua rahasia terdalamnya. Sore tadi, di restoran hotel— Farel duduk sendiri, mencoba menikmati kopi, ketika Carlos datang dengan setelan santai. “Farel,” sapa Carlos, suaranya berat dan penuh percaya diri. “Selamat, ya. Malam ini malam pertamamu sama Sukma.” Nada itu terdengar biasa, tapi tatapannya menyelidik. Farel mencoba tersenyum tipis. “Ya… terima kasih.” Carlos menyedot cerutunya, lalu menghembuskan asap perlahan, seperti sedang menimbang-nimbang kata. “Kau tahu… Sukma itu punya selera tinggi. Dia sudah pernah bersama pria-pria yang… hmm… lengkap.” Alis Farel terangkat. “Maksudmu?” Carlos tersenyum, menatap Farel dari ujung kaki sampai kepala. “Ah
--- Kamar hotel itu terasa terlalu mewah untuk hanya berdua. Langit-langit tinggi, ranjang king size dengan sprei putih mengkilap, dan lampu gantung kristal yang berkilau lembut. Sukma duduk di tepi ranjang, rambutnya tergerai, gaun satin putih tipis membalut tubuhnya. Aroma lembut parfumnya bercampur dengan wangi bunga lily yang menghiasi meja di sudut kamar. Farel, yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk di pinggang, mencoba tersenyum. “Malam ini… kita mulai bab baru,” ucapnya pelan, suaranya agak bergetar, entah karena gugup atau terlalu banyak memikirkan pertemuan singkatnya dengan Carlos sore tadi. Sukma menoleh, tersenyum tipis. “Bab baru, ya…” Ia menepuk tempat di sampingnya. “Duduk sini.” Farel duduk, lalu meraih wajahnya untuk mencium, namun tatapannya terhenti pada sesuatu di dada Sukma. Tepat di atas belahan payudaranya, sedikit miring ke arah bahu, ada tato tulisan latin—hitam, tegas, dan jelas terbaca: Dimitri. Farel membeku. “Itu… apa?” Sukma menu
--- Malam itu, pesta pernikahan Farel dan Sukma sudah hampir usai. Musik mulai pelan, tamu-tamu penting pamit satu per satu. Sukma sedang sibuk g dengan sekelompok tamu wanita, sementara Farel berdiri di dekat pintu keluar, menyalami rekan bisnisnya. Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar di belakangnya. “Kita perlu bicara, Farel.” Farel menoleh. Carlos berdiri di sana, menjulang dengan jas biru tua yang masih rapi seolah ia baru saja datang. Sorot matanya tajam namun tenang, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang tidak sepenuhnya ramah. “Sekarang?” tanya Farel. Carlos mencondongkan tubuh sedikit. “Kalau kau laki-laki, iya. Lima menit saja. Di balkon.” Nada suaranya tidak meminta, tapi memerintah. Entah kenapa, Farel menurut. Mereka berjalan melewati koridor sepi menuju balkon hotel. Angin malam berembus, membawa aroma bunga mawar dari taman di bawah. Carlos menyandarkan diri di pagar balkon, menatap lampu kota yang berkelip. “Selamat, ya. Kau akhirnya dapatka
--- Langit sore itu bersinar keemasan. Hotel bintang lima di pusat kota berdiri megah, dengan aula yang dipenuhi bunga mawar putih dan ungu. Lampu kristal berkilauan, menciptakan nuansa elegan dan hangat sekaligus. Di tengah ruangan, pelaminan besar berdiri, dihiasi kain sutra dan rangkaian bunga segar yang menguar wangi. Hari ini, Farel dan Sukma resmi menikah. Gaun pengantin Sukma menjuntai panjang, penuh payet yang memantulkan cahaya. Mahkota kecil bertengger di kepalanya, memberi kesan ratu modern. Farel berdiri di sampingnya, gagah dalam setelan jas hitam custom-tailor. Senyum mereka terpampang untuk setiap tamu yang datang, tapi di balik itu, keduanya sadar bahwa pernikahan ini sudah melewati badai panjang—restu keluarga yang hilang, perbedaan keyakinan, dan masa lalu yang berat. Musik orkestra lembut mengiringi langkah para tamu. Undangan yang hadir bukan orang sembarangan—pengusaha besar, politisi, artis, hingga tokoh masyarakat. Sukma memang wanita paling berpengaruh di
--- Sukma duduk di ruang tamu rumah keluarga Farel, ditemani tatapan tajam dari seorang wanita tua yang sejak tadi tidak melepaskan pandangannya dari dirinya. Ibu Farel, Ny. Rahayu, seorang wanita tua dengan raut wajah tegas, duduk di kursi besar berlapis ukiran kayu jati. Jarinya mengetuk-ngetuk lengan kursi, suaranya dingin ketika akhirnya berbicara. “Jadi, kau kembali lagi ke dalam hidup anakku, Sukma?” Sukma menelan ludah, tapi tetap menjaga ekspresinya tetap tenang. Dia sudah mengira ini tidak akan mudah. Farel yang duduk di sampingnya mencoba tersenyum. “Bu, aku dan Sukma hanya ingin—” “Diam, Farel.” Suara ibunya langsung memotong. Tatapan Ny. Rahayu kini menusuk ke arah Sukma. “Dulu kau meninggalkan Farel tanpa pikir panjang. Kau ambil hartanya, kau tinggalkan dia dalam kehancuran. Sekarang kau datang lagi, setelah dua pernikahanmu gagal. Kau pikir aku akan menyambutmu dengan tangan terbuka?” Sukma mengeratkan genggaman di pangkuannya. "Saya tidak berniat merebut apa pu
Pagi itu, hujan sudah reda. Sinar matahari menembus tirai tipis, memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Sukma duduk di tepi tempat tidur, mengenakan baju sederhana warna pastel. Tangannya menggenggam cangkir teh hangat, tapi matanya menerawang jauh. Farel baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, kemeja putihnya terbuka di bagian atas, memperlihatkan kulit yang sedikit memerah karena uap hangat. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di kursi dekat jendela. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Farel sambil mengamati wajah Sukma. Sukma menoleh perlahan. “Tentang kita.” Farel tersenyum tipis. “Bagus. Aku juga.” Sukma menarik napas dalam-dalam. “Farel… ada sesuatu yang harus kau tahu. Sesuatu yang mungkin akan membuatmu berpikir ulang.” Kening Farel berkerut. “Katakan saja.” Sukma menunduk, jarinya memainkan gagang cangkir. “Dulu, aku menjadi istri keempat. Dan untuk itu, aku pindah agama. Bukan karena paksaan, tapi… karena saat itu aku berpikir itu jalanku. Tapi sekar