Qasam menyudahi makan, kemudian berjalan menuju kasir yang duduk di balik meja.Qizha cepat- cepat menyudahi makan dan menghabiskan minum. Lalu menyusul Qasam berdiri di depan meja kasir.Qasam mencari- cari sesuatu di kantong celananya. Wajahnya mulai tak nyaman. "Aku tidak bawa uang cash. Tapi ATM pun entah kemana." Qasam menarik sesuatu yang nyelip di kantong celananya keluar. "Yang ada hanya ini."Qasam membuka lipatan uang yang sudah mengeras akibat tercuci dan entah berapa lama mendekam di dalam kantong celananya itu.Dan saat posisi uang sudah menjadi lebar, ternyata itu uang dua ribuan."Mana bisa bayar makan pakai uang segitu," celetuk Qizha. Oh ya, Qizha baru ingat ia tadi menemukan kartu ATM yang terjatuh dan segera ia menyerahkan kartu tersebut kepada kasir. "Mbak, ini aku nemuin kartu ATM jatuh tadi. Silakan disimpan, siapa tau ada customer yang menanyakannya." Qizha tersenyum.Sebelum kasir mengambil kartu tersebut, Qasam lebih dulu mengambilnya. "Itu milikku!" ucap Q
Sosok Qasam memang selalu memberi nilai penasaran bagi Qizha. Sejak pria itu berstatus sebagai suami, muncul banyak pertanyaan di benak Qizha tentang siapa sebenarnya suaminya itu. Qizha selalu dibuat bertanya- tanya tentang suaminya, yang memang segalanya tentang Qasam sedikit pun tidak dia ketahui. Asal usul Qasan dari mana, ia berasal dari daerah mana, pekerjaannya apa, keluarganya siapa, dan masih banyak lagi.Huh, entah bagaimana ia bisa dinikahi pria asing yang sama sekali tidak dia kenali walau seujung kuku begini.Qizha berjalan menuju teras sambil mengawasi Qasam yang tengah asik berteleponan. Rasanya Qizha ingin menguping, ingin mendengarkan apa yang dibicarakan suaminya. Wajah sang suami yang tampak serius bahkan dengan tangan yang memperagakan gaya seolah sedang bicara di depan podium itu membuat rasa penasaran kian menggeliat. Tanpa sadar, langkah Qizha sudah sampai di dekat Qasam yang berdiri membelakanginya. Meski Qizha tahu bahwa adab menguping itu buruk, tapi ia m
"Secepatnya aku akan melamarmu," ucap Qasam yang tak sabar dengan hari indah yang dapat mempersatukan mereka dalam ikatan pernikahan.Ameena tersenyum riang sekali. "Jadi... Setelah lamaran, kamu akan langsung nikahin aku kan?"Qasam tiba- tiba teringat Qizha, wanita yang kini telah menjadi istrinya. Oh Tuhan, Qasam baru sadar bahwa dia bukan lajang lagi. Dia bukan jejaka yang sama seperti lainnya."Aku akan melamarmu secepatnya supaya kau terikat hubungan dengan jelas bersamaku. Dan orang tuamu juga tidak sanksi dengan keseriusanku. Tapi soal pernikahan, beri aku waktu satu tahun lagi," ucap Qasam dengan tatapan yang tak nyaman. Ia pun tak suka dengan kalimat yang ia ucapkan itu. Seharusnya ia sudah bisa hidup bersama dalam mahligai penuh cinta bersama dengan wanita yang dia cintai itu. Tapi karena kasus pembunuhan berencana yang dilakukan Qizha, terpaksa ia menundanya, ia harus menuntaskan urusannya dengan Qizha.Waktu satu tahun sudah cukup menyelesaikan urusannya dengan Qizha.
"Allahu Akbar Allahu Akbar..."Sayup- sayup suara kumandang adzan bersahut- sahutan. Panggilan yang sangat indah dan menggetarkan kalbu. Qizha meremang setiap kali mendengarnya. Siapa tahu ini adalah panggilan shalat terakhir kali yang bisa ia dengar, pikiran itu membuatnya kerap bergegas berwudhu, mengutamakan shalat dari pekerjaan lainnya.Secepatnya ia meninggalkan pekerjaan apa pun setiap kali mendengar suara adzan.Qizha segera menjalankan ibadah shalat subuh. Setelah shalat, ia mengambil mushaf dan mengaji, melantunkan ayat- atat suci dengan suara indah. Tentu saja suaranya diperkecil supaya tidak mengganggu Agata atau pun Sina yang tentunya masih ngorok. Kalau mereka merasa terganggu, pasti sendal pun bisa terbang.Qizha menyudahi bacaannya, ia mengembalikan mushaf ke rak dan melipat mukena. Kembali pandangan Qizha mengarah ke kasur. Qasam kemana? Pria itu pergi dan tidak kembali sejak semalam.Apakah begini yang namanya suami istri? Qizha bahkan tidak tahu suaminya pergi
“Zha, suamimu dimana? Kok, nggak kelihatan?” Nah, akhirnya pergunjingan yang dikhawatirkan pun muncul juga. Tetangga rempong yang rewang ke rumah mempertanykana keberadaan Qasam yang emmang sejak awal mereka rewang dari pagi sampai malam begini, Qasam tak kunjung muncul.Semua orang yang mayoritas adalah ibu- ibu yang sedang sibuk rewang itu pun saling berbisik. “Dia kerja,” jawab Qizha canggung.“Kerja apa?” sahut salah seorang ibu berdaster kuning yang lembaran dasternya lebih mirip seperti saringan santan. Saat ia berdiri di pintu, maka akan tampak terawangan yang bikin bulu kuduk meremang.“Kerja dimana?” sahut yang lainnya.“Memangnya dia kerja ya?”Mereka penasaran karena memang sosok Qasam terlihat sebagai pria pengangguran yang belum jelas bekerja dimana. “Bukannya lontang lantung nggak jelas,” bisik salah seorang emak- emak yang bisikannya tetap terdengar di telinga Qizha.“Qasam kerja di luar kota,” sahut Qizha yang mulai tak betah berada di dapur. Ingin rasanya ia k
"Seenggaknya, besok kamu tanyain kemana kepergiannya, jadi kamu tahu dia pergi kemana. Kalau tau- tau dia tenggelam dan nggak ada orang tau gimana?" "Wah, nggak pa- pa lah tenggelam, mati syahid tuh," celetuk Ica kemudian menabok mulutnya sendiri ketika mendapati tatapan Qizha yang lebar. "Fir'aun juga mati tenggelam." Qizha menyeletuk.Celetukan yang membuat Ica nyengir sambil menyahuti, "Beda kriteria kali. Dia itu ditenggelamkan."Hana hanya terkekeh saja mendengar perdebatan dua temannya. "Ngomong- ngomong kalian percaya nggak sama kehebohan yang kemarin sempet viral di komplek ini? Kehebohan yang mengatakan kalau aku dan Qasam berbuat zina hingga kami dinikahin?" tanya Qizha menatap wajah- wajah sahabatnya."Aku sih nggak yakin, Zha. Masa sih kamu yang paham sama agama berbuat maksiat gitu? Aku yakin kamu pasti takut dosa dan takut azab," sahut Hana. "Siapa tau kebelet kawin dan nggak tahan, bisa jadi sih zina," celetuk Ica sengaja berseloroh. "Bibirmu sekali- kali memang m
Qizha mencuci piring dan mengemasi apa saja yang masih berserakan supaya menjadi rapi. Sesekali ia mengelap peluh yang membanjir menggunakan lengan baju. Badannya letih sekali. Ia ingin segera beristirahat. Sudah tengah malam. Matanya pun ngantuk berat. Ia lalu masuk kamar dan tidur.Agata memasuki kamar Sina dengan membawa kotak perhiasan, ingin menyimpannya dengan rapi supaya tidak kemalingan. Menyusul Sina yang membawa uang ratusan juta dalan kemasan indah."Tarok sini aja ya biar aman?" Agata meletakkan kotak perhiasan ke bawah ranjang yang tamidak tinggi. Kemudian ditutupi dengan helm."Iya, Bu. Aman di situ. Ini uangnya aku tarok di sini aja." Sina meletakkan uang ke ransel."Besok kita belanja keperluan nikahanmu ya?""Iya, Bu. Kita juga bisa makan enak. Beli baju, dan beli apa aja yang bisa bikin level kita naik. Beli motor bagus mungkin.""Eh, jangan. Soal motor mah urusan Arsen. Biar dia yang beliin motor buatmu. Uang ini milik kamu, terserah kamu mau buat apa.""Iya juga
“Agata! Hentikan!” Bily mengejar Agata dan menahan tangan istrinya yang hendak menghunuskan pisau dapur ke arah Qizha.“Lepas! Jangan halangi aku! Anak ini perlu dikasih pelajaran. Dia pasti akan mengaku jika sudah dihukum!” Agata memberontak, berusaha melepaskan diri dari lengan Bily yang menghalanginya.“Dia anakmu juga.”“Bukan. Dia bukan anakku.”“Setidaknya jangan berbuat kriminal. Pisau ini berbahaya.” Bily terus memegangi badan istrinya.Tepat saat kaki Bily diinjak oleh Agata, saat itulah pelukan lengan Bily menjadi longgar. Agata menendang suaminya hingga tersungkur.Qizha sudah berada di pintu hendak kabur ketika Agata menyambar sapu dan melemparnya ke kaki Qizha, seketika Qizha jatuh dan ambruk. Agata tak mau menyia- nyiakan kesempatan itu. Ia mendekati Qizha dan melukai paha Qizha dengan pisau. Darah segar mencuar dan merembes.“Aaakhh…” Qizha merintih. Tak berhenti di situ, Agata memburu Qizha dengan menjambak rambut putrinya itu hingga jilbab Qizha terlep