MasukZoe kembali berjalan sambil menunggu jawaban Alingga. Tetapi hingga puluhan meter, tidak terdengar juga suaranya. Langkah kaki panjangnya kembali dihentikan. “Jadi, tidak masalah aku katakan pada Hanan apa hubungan kita sebenarnya?” tanya Zoe. Alingga tidak kunjung mengabulkan pintanya. “Kumohon jangan. Aku tidak ingin dia tahu pernikahanku denganmu, Pak Zoe. Dia pasti akan sangat kecewa dan merasa sakit hati saat menganggapku berkhianat. Apapun alasanku melakukannya!” Alingga menegaskan dengan suara cukup keras. “Jadi, jika itu inginmu, malam ini aku akan tidur denganmu ...?” Zoe telah kembali berjalan. Lagi-lagi harus menunggu jawaban dari pertanyaan yang sama. Telah dikatakan terus terang syarat untuk tutup mulut dari Hanan tetapi Alingga terus menolak. “Apakah penting bilang pada Hanan sampai saratnya sangat berat?” tanya Alingga yang tidak lagi rebah di punggung sebab kesal dan perasaan yang gelisah. Ketidakpatuhan Zoe pada sepakat pernikahan semakin menjadi. Niat membong
Alingga mematung. Pertanyaan Zoe membuatnya sakit kepala. Tanpa berpikir pun, mengakui betapa baik lelaki itu. Tetapi Hanan adalah lelaki pertama di hatinya hingga kini dan tidak ingin mengkhianati. “Maafkan aku, Pak Zoe.” Alingga tegas menyahut. Menatap lebar-lebar Zoerendra seolah hatinya seteguh batu karang di lautan. Lelaki itu memicingkan mata sebelum berpaling jauh ke arah lain. Zoe kembali menatapnya dengan dalam. “Mana ada seorang suami ketika hasrat sudah di ujung tanduk, rela menahannya demi lelaki lain. Aku adalah suami yang terpaksa menjaga darah perawan istri untuk lelaki lain. Sudah berapa kali aku mampu melakukannya? Itu semata sebab aku begitu baik padamu. Bukan karena aku lelaki lemah, Alingga.” Tiba-tiba Zoe beringsut mendekati Alingga dan merengkuhnya. Alingga tidak kuasa menolak saat tangan kekar itu memendam tubuh langsingnya serta kepala mungilnya ke dalam pelukan. “Terima kasih, maafkan aku, Pak Zoe,” ucap Alingga dengan rasa sesak di dadanya. Tiba-t
Sebab jarang berolahraga, 1 km bukanlah jarak yang sangat mudah ditempuh oleh Alingga. Merasa cukup lelah dan sedikit terengah. Maklum, keduanya berjalan sangat cepat demi mengejar sunset agar lebih jelas lagi dilihat dari dekat di area pantai. “Cukup di sini saja, Pak Zoe. Aku sungguh lelah.” Alingga berhenti, tidak sanggup lagi mengimbangi langkah cepat dan panjang lelaki itu. "Mau kugendong lebih dekat ke sana?" tanya Zoe dengan ekspresi sungguh-sungguh. Pandangan nya ke arah garis pantai. Banyak orang bermain air sambil diguyur ombak yang menerjang lembut sebatas mata kaki hingga betis. "Ah, aku bukan anak-anak. Memalukan!" respon Alingga, terlihat salah tingkah. Zoe tersenyum lebar dengan reaksinya. Mereka sepakat duduk berselonjor di hamparan pasir putih yang jauh dari bibir pantai. Menghadap sisi barat searah posisi lautan yang sebentar lagi benar-benar akan menenggelamkan matahari. Warna orange, jingga, kuning emas, dan merah telah berpadu membentuk warna khas s
Zoe menikmati masakan gratis dari Bu Riana tidak tanggung-tanggung. Hingga tiga kali mengambil tongseng kelinci untuk diisi ke piringnya lagi. Belum dengan ayam kecap yang kini sedang dia nikmati sepenuh hati. Masakan wanita yang berstatus kakak ipar sekaligus mertuanya itu memang terasa lezat. Tidak ada kekurangan bumbu atau berlebihan rasa di salah satu rempahnya. Semua sangat pas yang membuat mulutnya ingin menambah lagi dan lagi. “Mas Julin, nanti pakai kamar yang biasanya saja ya. Gak usah khawatir, sudah disiapkan dan sudah sangat bersih.” Bu Riana berdiri dan mencuci tangan di wastafel. Terlihat buru-buru menyabuni tangannya. Alingga ikut berdiri dan langsung pergi ke kamarnya. Tinggal Fahri dan Zoe di meja makan. Sedang wanita penguasa rumah sudah pergi juga masuk kamar. Sayup terdengar ocehan dan gumaman suara bayi dari kamar. “Nanti aku bicarakan masalahmu dengan kakak iparmu itu,” ucap Fahri sungguh-sungguh pada Zoe. Dia kemudian menyorong piring kosongnya lebih ke teng
Apa yang dibilang ibunya memang benar. Dirinya reflek tidak ingin makan sebab Zoe belum datang. Terbiasa makan bersama selama ini, membuatnya enggan untuk makan sendiri tanpa lelaki itu duduk di meja makan. “Dia pergi begitu saja, tidak ada kata pamit padaku. Makan pun sendiri tanpa mengingatku. Apa juga yang kuharap dari datangnya.” Alingga menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Adzan ashar telah bersahutan serentak di Pulau Bintan. Ceklek “Ling… Ibuk baru saja akan memanggilmu untuk makan. Dari pagi lho, masaknya.” Bu Riana sudah di depan pintu kamar yang ditempati Alingga. Putrinya hanya mematung sambil memegang daun pintu. Bu Riana pun segera melanjutkan bicara. Rasanya belum ada sepatah ucapan pun yang mampu membuat hati Alingga terlihat bahagia sejak lengking tangis bayinya mengudara. “Tidak melihatmu setahun, perubahanmu sangat drastis. Kamu cantik dan fisikmu terlihat segar. Ibarat mawar, kelopaknya sedang mekar sempurna. Apa kamu rajin olahraga? Juga… bagaim
Ucapan dan kata-kata Zoe sedikit banyak cukup berpengaruh pada kondisi hatinya. Merasa lebih tenang dan kekesalan yang ingin tumpah ruah itu sudah lebih terkendali. Berganti rasa lapang yang perlahan menyusup dan sedikit demi sedikit mampu menenangkan batinnya. Meski luka belum sembuh, hati tidak lagi bergejolak seperti sebelumnya. “Ayolah ke dalam. Maaf, kamu pasti terkejut. Sebenarnya ibumu ini tidak lupa dengan pesan dan apa inginmu. Ibuk benar-benar minta maaf, Ling.” Bu Riana tampak berusaha menahan air mata. Dia keluar ke teras menghampiri Alingga sambil menggendong bayi tiga bulan. Sebetulnya Alingga merasa jadi pusing kepala dengan dada yang sesak menahan marah. Tetapi teringat perkataan netral dari Zoe yang lagi-lagi mampu meredam emosi di dada, diikutinya Riana ke dalam rumah dengan bungkam. “Ayo duduk di sana. Lihatlah, sudah ada makanan kesukaanmu,” ucap Bu Riana lembut. Tangannya menuntun Alingga menuju salah satu kursi di meja makan yang juga dia tarikkan mundur.







