Share

Bulan Madu yang Tak Semanis Madu

Bagi pasutri pada umumnya, bulan madu adalah momen yang akan menjadi kenangan indah seumur hidup. Bersenang-senang, bercumbu, berpelesir sepuas hati, menikmati setiap pemandangan sambil berpelukan dan mengobrol sepanjang hari untuk mengenal pasangan lebih dalam, nyatanya hanya ada dalam impian.

Momen bulan madu kali ini, meskipun terlaksana di tempat yang paling romantis di Eropa, tak berarti apapun bagi Rhein yang sejak awal tak menginginkan perjalanan mereka. Berkebalikan dengan wanita itu, Sean justru sangat bersemangat untuk segera sampai di Swiss. Semalam Veronica telah memberinya sedikit bocoran tentang kejutan yang akan dia dan Rhein terima begitu sampai di hotel. Mertuanya itu sudah merencanakan segalanya dengan baik agar momen indah putrinya menjadi semakin tak terlupakan.

Di pesawat, Rhein lebih banyak tidur dan menyibukkan dirinya dengan menonton film. Selama 18 jam ke depan, ia akan terjebak bersama Sean di kursi yang berdampingan. Karena penerbangannya malam, jadi Rhein tak kesulitan menghabiskan waktunya.

Berbeda dengan Sean, selama di pesawat dia malah tak bisa tidur sama sekali. Entah karena terlalu senang atau karena ada Rhein yang terlelap di kursi sebelah, rasanya sangat sulit memfokuskan dirinya sendiri untuk tidur dan beristirahat. Setelah dua hari berganti status menjadi suami istri, ini adalah kali pertama mereka tidur berdampingan walau terpisah sekat pendek di tengah keduanya.

"Berhenti bergerak, Sean! Kamu sangat berisik!" sungut Rhein sembari menarik selimut hingga menutupi kepalanya.

Bukan tanpa alasan Sean tak bisa diam sedari tadi. Dia grogi, duduk berdampingan seperti ini membuat jantungnya berdebar. Tak ingin membuat Rhein semakin kesal, akhirnya Sean bangkit dan memutuskan ke lounge yang ada di pesawat. Sambil memesan segelas minuman hangat, Sean berharap bisa segera mengantuk dan tidur.

Bandara International Zurich.

Mobil airport transfer telah terparkir di luar bandara begitu Rhein dan Sean tiba. Mereka akan dibawa menuju hotel setelah melalui 18 jam perjalanan udara.

Semalaman Sean tak bisa tidur dan baru terlelap menjelang pagi. Itupun hanya dua jam karena ketika pramugari mengantar menu sarapan untuk Rhein, ia terbangun dan tak bisa tidur lagi.

"Kamu mirip monster red eye, Sean!" ejek Rhein ketika keduanya sudah berada di dalam mobil dan sedang diperjalanan menuju ke hotel.

Sean menoleh sekilas pada 'istrinya' itu. Terbersit rasa bahagia di dalam hati Sean karena ternyata Rhein memperhatikan dirinya.

"Aku tidak bisa tidur selama di pesawat." Sean memasang sunglasses hitam miliknya yang ia selipkan di saku coatnya. "Aku bisa mengenakan kacamata bila kamu malu berjalan di dekatku."

Mendengar jawaban Sean membuat Rhein memutar bola matanya dengan malas.

"Terserah kamu saja!" gumamnya sebal.

Kenapa Sean perasa sekali? Tidak bisakah ia membedakan mana becandaan dan mana yang serius?!

Sambil terus mengumpat dalam hati, Rhein merapatkan coat-nya agar terasa lebih hangat. Salju yang menutupi hampir semua pepohonan di pinggiran jalan tak ayal menyita perhatian wanita itu. Ia merogoh ponsel dari dalam tas ransel kecil miliknya dan mengabadikan pemandangan indah itu melalui balik jendela.

"Oh ya, nanti di hotel aku akan memesan kamar yang berbeda untukmu." Rhein baru ingat dengan rencana yang telah ia susun dengan rapi.

Sean menyatukan kedua alisnya, sedikit terkejut dengan pemberitahuan Rhein yang sangat tiba-tiba.

"Kenapa?" tanya Rhein bingung ketika Sean menoleh padanya. "Kamu nggak berpikir kita akan tidur sekamar selama di hotel, kan?!"

.

.

"Kami mohon maaf, tapi semua kamar sudah full booked untuk seminggu ke depan."

Penjelasan resepsionis wanita yang menyambut kedatangan pasutri itu tak pelak membuat tubuh Rhein lemas seketika.

"Saya akan membayar dua kali lipat," desak Rhein belum ingin menyerah, sementara Sean hanya mengulum senyum di balik tubuh 'istrinya'.

"Kami mohon maaf, Ma'am." Sekali lagi resepsionis itu menolak dengan sopan lantas menyerahkan sebuah kartu elektronik pada tamu barunya itu. "Silahkan, ini kunci anda. Mulai besok, sarapan bisa dinikmati mulai pukul 6 hingga pukul 9. Bila butuh bantuan, anda bisa menghubungi kami melalui sambungan telepon."

Dengan berat hati, akhirnya Rhein menerima kunci elektronik itu dan berbalik. Sean sudah lebih dulu berjalan mengikuti seorang petugas hotel yang membawa koper keduanya.

Sebuah kamar Executive Suite dengan view balkon yang menghadap ke danau Lucerne membuat Rhein sejenak lupa akan rasa kesalnya. Ia membuka pintu menuju teras balkon dan terpana takjub melihat pemandangan danau yang pinggirannya tertutupi salju. Suhu dingin menusuk tulang tak membuatnya enggan untuk mengabadikan pemandangan indah itu di kamera handphone-nya.

"Thank you!"

Suara Sean di dalam kamar membuat Rhein menghentikan rekaman videonya. Sepertinya petugas itu sudah menurunkan koper mereka karena hanya ada dirinya dan Sean di dalam kamar.

Untuk beberapa detik, Sean dan Rhein terpaku di tempat masing-masing. Keduanya mulai canggung karena ini kali pertama berada di dalam satu kamar yang sama.

"Ak-aku bisa tidur di sofa. Jangan khawatir!" Sean lebih dulu berbalik badan dan menyeret kopernya masuk ke dalam lemari dengan gugup.

"Kamu yakin?" Bola mata Rhein menatap tajam pada sofa di tengah ruangan.

Sebuah sofa panjang dengan dua sofa kecil yang berjejer di sisi kanan dan kirinya. Sofa itu terlalu kecil dibanding tinggi Sean yang menjulang bak tiang listrik.

"Nanti pasti akan terbiasa," janji pria polos itu sebelum kemudian ia menarik pakaian dari dalam kopernya dan berlalu ke kamar mandi.

Setelah tubuh pria sewaannya itu menghilang di balik pintu kamar mandi, Rhein menghempaskan tubuhnya ke ranjang yang hangat. Ada perapian di dekat sofa lengkap dengan kayu dan pemantik api. Pasti sangat romantis seandainya Rhein datang kemari bersama orang yang ia cintai. Ahhh, sayang sekali semua hanya tinggal mimpi.

Sejak memutuskan untuk berpisah dari cinta pertamanya, Rhein mengubur dalam-dalam impiannya untuk menikah. Ia tak lagi percaya pada cinta dan semacamnya. Fokus hidupnya hanya satu, membahagiakan orang tua satu-satunya, yakni Veronica.

"Kamu tidak mandi?"

Rhein tersentak kaget begitu mendengar suara berat Sean yang membuyarkan ingatan tentang cinta pertamanya. Melihat tubuh Sean yang sudah segar dengan aroma sabun maskulin yang semerbak menguar di sekitarnya, tak pelak membuat wanita itu menelan saliva. Kenapa Sean jadi terlihat seksi begini, sih!?

"Perlu aku siapkan air panas di bathtub?" ulang Sean sembari berbalik, seakan paham bila Rhein sedang tergiur menatapnya.

"Nggak perlu, Sean!" teriak Rhein cepat, ia lantas turun dari ranjang dan mengeluarkan perlengkapan mandinya di dalam koper.

"Jangan lakukan apapun, Sean! Ingatlah dengan perjanjian kita," omel Rhein sembari berlalu melewati 'suaminya' itu.

Sebelum langkahnya berhenti di pintu kamar mandi, ia berbalik dan menatap Sean dengan tajam lantas berujar, "awas saja kalau kamu berbuat macam-macam selama kita berada di sini. Aku pastikan kamu tidak akan pulang ke Indonesia dalam keadaan hidup bila menyentuhku sedikit saja!"

Dan pintu kamar mandi pun ditutup dengan kasar hingga membuat Sean berjingkat kaget.

Suara ketukan di pintu kamar mandi yang terdengar sangat memaksa membuat Rhein seketika mendengus kesal.

"Ada apa, Sean?!" teriak Rhein dari dalam.

"Bisa percepat mandimu?"

Rhein memutar bola matanya gemas. "Kamu kebelet!?" tuduhnya mulai emosi.

"Tidak, Rhein."

Nada suara Sean yang terdengar panik justru membuat Rhein semakin penasaran. Ia belum selesai mengoles body lotion di seluruh tubuhnya, akan tetapi ketukan Sean terdengar seolah sedang terjadi kebakaran di luar.

"Ck!" Rhein berdecak sembari menutup botol body lotion dan melemparnya ke dalam travel bag kecil berwarna pink.

"Ada ap--" belum sempat Rhein mengomel lebih banyak, beberapa orang pria berdasi yang berdiri di depan pintu kamar, sontak membuat mulut Rhein menganga tak percaya.

Total ada lima pria, tiga orang menyandang biola di bahunya dan dua lagi membawa sebotol makanan dan sebuket bunga besar.

Lantunan biola itu mulai terdengar tepat ketika Rhein memutuskan keluar dari kamar mandi. Pria yang membawa nampan itu meletakkan sebotol wine di meja lantas mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celananya.

Rhein melirik Sean yang bergeming di sampingnya. Ia menarik T-shirt pria itu untuk menanyakan siapa para pria ini. Seolah paham, Sean merendahkan kepalanya ke telinga wanita itu dan mulai berbisik, "mereka orang-orang suruhan mami. Aku juga tidak tahu mengapa mereka datang."

Demi apapun, Rhein merasa tubuhnya memanas saat itu juga. Bisa-bisanya maminya memberi kejutan senorak ini. Bukannya terbawa suasana romantis dari biola yang dimainkan, Rhein malah merasa ia menjadi tontonan konyol bagi para pria berdasi itu. Pria yang memegang ponsel menyorotkan kameranya pada Sean dan Rhein bergantian. Dengan canggung, akhirnya Sean mengangkat lengannya dan melingkarkannya di pundak 'istrinya'.

"Setidaknya kita harus berakting di depan kamera itu," bisik Sean lagi sembari menurunkan kepalanya di ceruk leher Rhein, seolah-olah ia hendak mencium leher jenjang nan wangi itu. "Siapa yang tahu bila mami memantau kita dari jauh!" imbuhnya lirih.

Merasakan hembusan napas hangat Sean menyapa kulitnya, tubuh Rhein membeku seketika. Ada sensasi geli dan aneh yang menjalar di dalam perutnya ketika Sean mendekat barusan. Tidak ... Tidak ... Jangan bilang dia sedang terangsang!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status