“Maaf, maaf, aku terlambat.”
Danis datang dengan santai tanpa rasa bersalah di wajahnya. Dia tersenyum lebar pada semua orang yang hadir di sana, bahkan tidak terlihat segan sedikit pun pada Tresna.
“Kamu terlambat sekali,” ujar Tresna, namun masih terdengar hangat.
“Dari mana, Nak?” tanya Laras lembut, sembari menepuk kursi kosong yang ada di sisinya, tempat di mana Danis harus duduk.
“Ada panggilan mendadak dari dosen tadi, Bu,” jawab Danis santai.
Di samping Dafa, Diana mendecih.
“Paling baru habis pulang dari gombalin cewek,” gumam Diana yang hanya bisa didengar oleh Dafa.
“Ah, ini calon suami Kakak?” tanya Danis langsung sambil melihat ke arah Dafa. Senyumnya lebar, namun tampak sekali bahwa dia merendahkan Dafa.
“Dia Dafa Hadiatma,” kata Tresna, nada suaranya menggambarkan bahwa dia senang Diana membawa Dafa di pertemuan keluarga malam ini. “Dia lulusan hukum dan baru pulang dari Belgia sebagai pengacara.”
“Masa?”
Danis tampak sangat terkejut. Berita itu jelas membuatnya heran, karena dia sudah berpikir bahwa kakak perempuannya pasti hanya mencari orang sembarangan untuk diajak ke pertemuan keluarga.
Maksud Danis, ayolah, siapapun tahu bahwa Diana tidak pernah sekali pun menjalin hubungan khusus dengan lelaki mana pun, kok bisa tiba-tiba membawa seorang lelaki berpendidikan seperti ini di acara makan malam keluarga?
“Karena itulah aku belum pernah mengenalkannya,” kata Diana dingin, pandangannya tertuju pada Danis, senyumnya terlihat sangat puas. “Karena dia sedang sibuk dengan pekerjaannya di luar negeri sampai aku khawatir akan mengganggunya jika menghubunginya.”
Dafa melirik Diana, dan lelaki itu seketika menggeleng, seolah penuh penyesalan.
“Padahal aku selalu menantikan panggilanmu setiap malam,” kata Dafa pelan yang masih bisa didengar dengan jelas oleh seluruh keluarga Diana.
David dan istrinya tersenyum simpul, sementara Tresna kembali tertawa khas orang kaya. Sementara Diana menatap Dafa dengan pandangan yang jelas sekali terlihat jijik.
Dafa berupaya menahan tawa, sempat lupa bahwa Diana sudah berpesan agar dirinya tidak mengatakan hal yang aneh-aneh yang mengarah pada hal-hal yang romantis.
“Silakan dinikmati makanannya,” ujar Tresna pada Dafa.
Semua anggota keluarga menganggap bahwa itu adalah tanda untuk menikmati makan malam mereka yang baru saja dihidangkan. Sembari makan, Tresna terus saja menanyai Dafa. Lelaki tua itu benar-benar tertarik dengan Dafa dan pengalamannya selama bekerja sebagai pengacara di Belgia.
Diana rasanya tidak bisa menikmati makanannya dengan baik karena khawatir Dafa tidak akan bisa menjawab dengan baik, namun anehnya, Dafa bisa menjawab semuanya dan bahkan bisa mendeskripsikan dengan baik setiap tempat yang dia kunjungi saat berada di Belgia.
“Saya pribadi lebih merekomendasikan Bruges jika Anda ingin jalan-jalan ke Belgia,” kata Dafa penuh sopan santun dan percaya diri.
“Ah, beberapa temanku juga mengatakan hal yang sama,” kata Tresna terkesan. “Mungkin bulan depan kita bisa mengatur perjalanan ke sana dan kamu bisa jadi tour guide kami selama di sana.”
“Dengan senang hati, Pak,” ujar Dafa dengan senyum politisnya.
Diana memandangnya dengan pandangan khawatir bercampur bingung. Jika semuanya adalah kebohongan, Diana tidak tahu lagi bagaimana Dafa akan menghadapi situasinya jika mereka benar-benar berkunjung ke Belgia dan Dafa diminta untuk membawa mereka berkeliling di sana.
“Kalian benar-benar pasangan?” tanya Danis mendadak.
Dafa dan Diana sontak langsung mengalihkan pandangan pada adik lelaki Diana tersebut.
“Kenapa masih ragu?” tanya Diana dingin.
“Kamu bukan orang yang ditawari uang buat jadi suami Kak Diana, kan?” tanya Danis tepat sasaran.
Diana menatap Danis dengan pandangan sinis, sementara Dafa terlihat agak grogi namun segera berusaha untuk menguasai diri kembali.
“Apa aku tampak seperti orang yang bisa disogok dengan uang untuk menjadi suami sewaan?” tanya Dafa, nada suaranya terdengar sakit hati.
“Ya kali aja, kan,” ujar Danis, tidak mau kalah.
“Jangan berpikir yang aneh-aneh,” kata Tresna, tatapannya tajam ke arah Danis. “Selesaikan kuliahmu dulu, baru bisa menilai orang lain. Ini sudah tahun ketujuhmu, dan kamu belum lulus juga?”
Ucapan Tresna tadi seketika membuat Danis terdiam, dan Diana kembali mengulaskan senyum penuh kemenangan.
Selama sisa acara makan malam, Danis lebih banyak diam dan acara berjalan dengan lebih lancar tanpa ada komentar negatif tentang Dafa dari Danis.
Saat Dafa dan Diana akhirnya pamit untuk pulang bersama, Laras dan Darius menatap Dafa dengan pandangan lekat.
“Mungkin dalam waktu dekat kita akan bertemu lagi,” kata Darius sambil menjabat tangan Dafa. “Apa kalian sudah ada rencana kapan akan menikah?”
“Bulan depan, Yah,” kata Diana tanpa ragu. “Kami akan menikah dengan undangan terbatas.”
Dafa mengatur ekspresi wajahnya agar tidak menampakkan bahwa dia terkejut mendengarnya. Tidak lucu jika dirinya memperlihatkan ekspresi wajah seolah dia baru saja mendengar kabar tersebut dari Diana.
“Tidak bisa,” kata Laras dingin dan tegas. “Kau satu-satunya anak perempuan dalam keluarga. Pestamu harus meriah dan mengundang seluruh mitra dan kerabat.”
“Supaya apa? Supaya mereka bisa membandingkan mahar yang diberikan untuk anak-anak mereka dengan mahar yang diberikan untukku?” tanya Diana keras.
“Jaga ucapanmu!” bentak Laras.
“Sudahlah,” ujar Darius. Dia menatap Diana dengan pandangan lekat, seolah meminta agar anak perempuannya tersebut tidak melanjutkan untuk membuat masalah dengan sang ibu. “Masalah ini bisa kita bicarakan nanti. Persiapkan saja keluargamu untuk datang melamar jika memang kalian sudah siap untuk menikah bulan depan.”
“Baik, Pak.”
Keduanya akhirnya meninggalkan lokasi hotel tempat mereka makan malam tersebut. Mereka masuk ke dalam mobil di mana sopir Diana sudah menunggu mereka.
Saat mobil akhirnya berjalan, Diana menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi dan mulai melepas sepatu hak tingginya yang membuat kakinya sakit. Dia juga melepaskan anting panjang yang menghiasi kedua telinganya.
“Apa kau tidak terlalu jauh?” tanya Diana, terdengar marah.
“Maksudnya?” tanya Dafa, tidak mengerti.
“Apa maksudmu berbohong sampai sejauh itu tentang kau yang menjadi pengacara di Belgia?” tanya Diana, pusing sendiri memikirkan kebohongan Dafa yang menurutnya terlalu mengada-ada.
Logikanya, bagaimana mungkin seorang tukang pengantar pizza bisa menjadi seorang pengacara dari luar negeri?
“Aku tidak berbohong soal itu,” kata Dafa, wajah polosnya membuat Diana merasa semakin marah.
“Sudahi kebohonganmu sekarang,” kata Diana, mulai marah.
“Aku benar-benar tidak berbohong,” kata Dafa bersikeras.
Diana kini terdiam. Dia menatap Dafa dengan pandangan bertanya.
“Aku memang pernah menjadi pengacara di Belgia, namun memutuskan untuk pulang ke Indo karena ayahku sakit keras,” ujar Dafa. “Tidak ada yang mengurusnya karena aku anak satu-satunya dan ibu sudah meninggal.”
Diana terlihat terkejut. Gadis itu buru-buru memalingkan wajah karena tidak ingin terlihat bersalah.
“Jadi itu bukan kebohongan?” tanya Diana.
“Bukan.”
“Terus kenapa kamu jadi tukang pengantar pizza?” tanya Diana lagi, masih belum terima dengan fakta tersebut.
“Aku hanya menjalani pekerjaan yang fleksibel, yang jam kerjanya tidak terlalu padat dan tidak perlu keluar kota karena aku masih harus merawat ayahku di rumah sakit,” jawab Dafa jujur, yang sesungguhnya juga merupakan alasan mengapa Dafa menerima tawaran gila dari Diana.
“Aku tidak akan memaafkanmu kalau ternyata kamu bohong soal ayahmu itu,” kata Diana ketus.
“Aku bisa membawamu ke rumah sakit sekarang kalau tidak percaya,” kata Dafa yakin.
“Tidak perlu,” ujar Diana langsung. “Kali ini aku memutuskan untuk percaya padamu. Tapi jangan sampai ada yang tahu soal ini.”
“Aku mengerti,” kata Dafa sambil menghela napas dalam.
Keheningan mengisi kekosongan percakapan di antara keduanya. Dafa sibuk berpikir tentang bagaimana dia harus menyembunyikan kondisi sang ayah dari keluarga Diana di saat dia harus bolak-balik ke rumah sakit, sementara Diana sibuk berpikir bagaimana dia akan menyelenggarakan pernikahannya di tengah semua kebohongan tentang Dafa.
“Ayahmu sakit apa?” tanya Diana pada akhirnya.
“Komplikasi sih,” kata Dafa. “Usia tua. Tapi yang utama, masalah pada jantung.”
“Aku akan mempekerjakan seseorang untuk menemani ayahmu selama di rumah sakit. Kamu nggak perlu terlalu sering ke sana selama masa pernikahan kita,” kata Diana tegas.
“Tapi…”
“Hanya enam bulan,” potong Diana keras. “Aku akan mempekerjakan orang terbaik yang bisa merawat orang sakit supaya kamu nggak perlu khawatir.”
“Tapi mana bisa aku tidak mengunjungi ayahku selama dia dirawat?” protes Dafa.
“Hanya boleh sesekali,” kata Diana serius. “Aku tidak mau orang-orang tahu tentangmu dan akhirnya hanya akan mempermalukanku.”
Dafa diam, meskipun dia ingin sekali protes. Namun karena dirinya sudah menerima setengah milyar dari gadis itu, dia bisa protes apa sekarang?
“Tapi malam ini kau bisa membuktikan bahwa ternyata kau cukup baik juga,” kata Diana pelan.
Dafa menoleh ke arahnya, tersenyum kecil.
“Aku tidak terlalu buruk, kan?”
“Setidaknya, Kakek benar-benar percaya bahwa kau orang yang cukup berkompeten untuk bisa bergabung dalam keluarga.”
“Aku memang kompeten kok,” ujar Dafa bangga.
Diana kembali mendecih, sementara Dafa tertawa kecil.
Mobil mereka akhirnya tiba di kantor Diana, titik paling aman untuk menyimpan segala rahasia mereka karena asisten dan sopir pribadi Diana bisa sangat dipercaya untuk menjaga rahasia.
“Besok aku akan mengirimkan mobil untukmu,” kata Diana begitu mereka turun dari mobil.
“Mobil?” tanya Dafa, seolah tidak bisa mempercayai telinganya.
“Kau tidak mungkin harus kemana-mana sebagai calon suamiku dengan motor butut seperti itu,” ujar Diana sambil memandang jijik pada motor Dafa yang tampak berdebu belum dicuci.
“Performanya masih sangat bagus, tahu,” ucap Dafa tidak terima.
“Pulang sana,” usir Diana.
Gadis itu berbalik dan hendak masuk ke dalam kantornya. Dia hanya akan mengganti pakaiannya sebelum pulang ke rumah.
“Diana,” panggil Dafa mendadak sebelum Diana benar-benar masuk ke dalam kantornya.
Diana berbalik dan menatapnya lelah.
“Apa lagi?”
“Kamu cantik,” kata Dafa sambil tersenyum tipis.
Diana membeku mendengarnya.
“Selama makan malam tadi, kayaknya nggak ada yang bilang betapa cantiknya kamu dalam gaunmu itu,” kata Dafa cepat. “Jadi kayaknya, aku harus bilang itu supaya kamu tahu kalau kamu memang benar-benar cantik. Selera gaunmu sangat bagus.”
Diana masih membeku, sementara Dafa tersenyum semakin lebar dan melambai hendak pergi. Bahkan saat Dafa sudah pergi dengan motornya yang berdebu itu, Diana masih terlihat membeku.
“Anda kedinginan?” tanya Widya, sambil menatap ke arah wajah Diana.
“Tidak,” jawab Diana, langsung tersadar.
Gadis itu berbalik dan mulai melangkah untuk masuk ke dalam kantor.
“Wajah Anda memerah,” kata Widya, heran sejenak. Namun wanita itu segera tersenyum simpul karena baru sadar bahwa bosnya ini mungkin sedang tersipu akibat pujian dari Dafa barusan.
“Anginnya lumayan dingin ternyata,” kata Diana sekenanya.
Widya hanya mengangguk sambil tertawa kecil.
“Jangan tertawa dan selesaikan laporanmu untuk rapat besok,” kata Diana ketus, kesal karena tawa Widya.
Widya seketika mengeluh mendengarnya.
“Padahal rapatnya nanti besok sore.”
“Selesaikan sekarang dan laporkan padaku besok pagi.”
Widya menghembuskan napas keras, mengeluh sambil tetap mengikuti langkah Diana.
Meskipun tidak menunjukkannya, Diana sesungguhnya masih memikirkan ucapan Dafa yang terakhir tadi. Hal yang membuatnya bingung adalah, kenapa dia harus terganggung dengan ucapan Dafa tadi? Kenapa dia merasa ada yang berkedut di dalam dirinya yang membuat perutnya terasa geli?
Tidak mungkin dia merasa senang hanya karena pujian murahan seperti itu, kan?
“Maaf, maaf, aku terlambat.”Danis datang dengan santai tanpa rasa bersalah di wajahnya. Dia tersenyum lebar pada semua orang yang hadir di sana, bahkan tidak terlihat segan sedikit pun pada Tresna.“Kamu terlambat sekali,” ujar Tresna, namun masih terdengar hangat.“Dari mana, Nak?” tanya Laras lembut, sembari menepuk kursi kosong yang ada di sisinya, tempat di mana Danis harus duduk.“Ada panggilan mendadak dari dosen tadi, Bu,” jawab Danis santai.Di samping Dafa, Diana mendecih.“Paling baru habis pulang dari gombalin cewek,” gumam Diana yang hanya bisa didengar oleh Dafa.“Ah, ini calon suami Kakak?” tanya Danis langsung sambil melihat ke arah Dafa. Senyumnya lebar, namun tampak sekali bahwa dia merendahkan Dafa.“Dia Dafa Hadiatma,” kata Tresna, nada suaranya menggambarkan bahwa dia senang Diana membawa Dafa di pertemuan keluarga malam ini. “Dia lulusan hukum dan baru pulang dari Belgia sebagai pengacara.”“Masa?”Danis tampak sangat terkejut. Berita itu jelas membuatnya heran,
“Dia belum datang?”Diana memandang berkali-kali ke arah jam tangannya. Meskipun raut wajahnya tidak menunjukkan kegelisahan, namun sang sekretaris tahu persis bahwa gadis itu sedang merasa cemas.“Kamu sudah hubungi, kan?”“Sudah, Bu.”“Waktunya sudah diberitahukan dengan tepat?”“Sudah, Bu. Saya juga sudah memberitahunya untuk datang dua jam sebelum waktu makan malam,” uajr Widya, ikut memandang jam tangannya karena lelaki itu sudah terlambat hampir dua puluh menit.Diana menghela napas dalam. Sepuluh menit lagi dia akan menunggu, jika Dafa belum datang juga, Diana akan menghubunginya langsung.Saat menunggu, teleponnya mendadak bergetar, nama adik lelakinya muncul di layar. Diana memasang wajah malas, namun dia tetap saja menekan tombol hijau di layarnya.“Apa?”“Jutek amat,” celetuk Danis.Diana tahu bahwa adiknya itu pasti sedang tersenyum mengejek sekarang.“Kalau nggak penting, aku tutup sekarang,” kata Diana ketus.“Sabar bentar, Kak,” ujar Danis sambil tertawa. “Pantes aja ja
“Satu Milyar.”Diana memandang lelaki itu tanpa ekspresi, bahkan terkesan memandangnya dengan pandangan merendahkan.Lelaki asing yang belum satu jam dia temui tersebut tampak begitu kaget dengan tawaran yang diberikan oleh Diana.“Kurang?” tanya Diana saat lelaki itu tak kunjung menjawab.“Bukan begitu,” ujar Dafa, lelaki pengantar pizza yang mendadak saja ditawari menjadi seorang suami dari perempuan asing di depannya tersebut.“Lalu apa?” tanya Diana tak sabaran.Dafa tampak menimbang.“Menikah bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja,” kata Dafa bimbang.“Kita bukan menikah betulan,” kata Diana, nadanya tidak sabar. “Kita hanya akan menikah enam bulan dan langsung berpisah.”“Menikah juga bukan candaan.”Diana menghela napas dalam. Kesabarannya mulai hilang.“Tidak usah kalau begitu,” kata Diana sambil bangkit berdiri. “Lupakan saja tawaranku barusan. Aku bisa mencari orang lain yang mau.”Diana sudah berbalik dan hendak pergi dari lobby hotel tersebut, namun Dafa buru-buru ikut