Share

Sisi Lain Dafa

last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-09 10:42:39

“Dia belum datang?”

Diana memandang berkali-kali ke arah jam tangannya. Meskipun raut wajahnya tidak menunjukkan kegelisahan, namun sang sekretaris tahu persis bahwa gadis itu sedang merasa cemas.

“Kamu sudah hubungi, kan?”

“Sudah, Bu.”

“Waktunya sudah diberitahukan dengan tepat?”

“Sudah, Bu. Saya juga sudah memberitahunya untuk datang dua jam sebelum waktu makan malam,” uajr Widya, ikut memandang jam tangannya karena lelaki itu sudah terlambat hampir dua puluh menit.

Diana menghela napas dalam. Sepuluh menit lagi dia akan menunggu, jika Dafa belum datang juga, Diana akan menghubunginya langsung.

Saat menunggu, teleponnya mendadak bergetar, nama adik lelakinya muncul di layar. Diana memasang wajah malas, namun dia tetap saja menekan tombol hijau di layarnya.

“Apa?”

“Jutek amat,” celetuk Danis.

Diana tahu bahwa adiknya itu pasti sedang tersenyum mengejek sekarang.

“Kalau nggak penting, aku tutup sekarang,” kata Diana ketus.

“Sabar bentar, Kak,” ujar Danis sambil tertawa. “Pantes aja jadi perawan tua. Jutek abis sih.”

“Kututup,” ucap Diana tegas.

“Kakek tanya, Kakak jadi datang sama calon suamimu, kan?” tanya Danis cepat yang membuat Diana batal menekan tombol merah. “Katanya dia sudah penasaran mau lihat calon suami kakak.”

Diana menghela napas dalam. Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, namun Dafa belum juga menunjukkan batang hidungnya di kantornya tersebut.

“Bilang sama Kakek, tidak perlu khawatir,” kata Diana dingin. “Aku akan datang tepat waktu bersama calon suamiku.”

Danis terdengar tertawa lagi.

“Yah, semoga beneran calon suami deh, bukan calon-calonan.”

Danis tertawa mengejek dan langsung mematikan telepon.

Diana berusaha untuk tidak merasa kesal. Dia perlu mengatur emosinya karena dia harus menyiapkan Dafa untuk pertemuan mereka dengan keluarga malam ini.

Gadis itu mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja, menunggu hingga menit ke tiga puluh. Saat dia hendak mengambil teleponnya untuk menghubungi Dafa, salah satu pegawainya mengabarkan bahwa Dafa sudah tiba.

Diana seketika menghembuskan napas lega.

“Maaf, rada macet tadi,” kata Dafa dengan senyuman lebarnya. “Aku belum terlambat buat makan malam, kan?”

Diana memandangnya dengan hidung terangkat, begitu pula dengan sang sekretaris.

Ah, Dafa sudah tahu bahwa penampilannya pasti tidak akan membuat Diana terkesan, mengingat dia hanya memakai setelan jas biasa dan kemeja putih yang sudah agak lusuh di baliknya.

“Sudah kuduga kau akan memakai pakaian menjijikkan seperti itu,” gumam Diana, namun masih bisa didengar dengan jelas oleh Dafa. “Ikuti Haris. Ganti bajumu.”

Dafa mengangkat alisnya, hendak bertanya siapa Haris. Namun seorang lelaki dengan penampilan super rapi mendadak muncul di hadapannya dan memintanya untuk mengikutinya menuju ruangan yang ada di sebelah kiri di ruang Diana tersebut.

Dafa dibawa ke sebuah ruangan super luas yang memiliki lemari besar berisi banyak setelan jas dan kemeja. Celana berwarna gelap juga disediakan, begitu pula sepatu mengilap yang tampaknya semuanya masih baru.

Meskipun baju-baju itu memiliki warna yang sama dengan baju yang dia kenakan saat ini, namun sekali lihat saja sudah jelas bahwa kainnya berbeda. Kain berkualitas rupanya sangat jauh berbeda dengan kain biasa yang dijual di pasaran.

“Tolong dandani dia,” kata Diana pada Haris. “Jangan lupa rapikan rambutnya yang menjijikkan itu.”

Dafa menatap Diana hendak protes, namun Haris sudah mempersilakannya untuk pergi memilih jas dan kemeja. Meskipun masih belum terima dengan perkataan Diana barusan––Dafa menghabiskan setidaknya setengah jam untuk menata rambutnya dengan pomade––namun lelaki itu tetap memilih jas dan kemeja lantas mencobanya.

Haris membantunya dengan memberikan pandangan-pandangan baru tentang pakaian, serta model mana yang cocok untuk postur tubuh Dafa.

“Baik. Kami akan menyiapkan pakaiannya sekarang. Mari kita ke ruangan sebelah,” ujar Haris begitu mereka selesai menentukan jas dan kemeja serta celana yang akan dikenakan Dafa.

Dafa lalu dibawa menuju sebuah ruangan yang lebih kecil dari ruangan tadi, dan lelaki itu langsung tahu bahwa dia sedang masuk ke sebuah salon yang tampak mewah. Dalam sekejap, dia didudukkan di atas kursi yang menghadap cermin, dan Haris mengatakan sesuatu pada hairstylist tentang potongan rambut yang mana yang cocok untuk Dafa.

Padahal selama ini Dafa merasa bahwa potongan rambutnya baik-baik saja, namun mengapa semua orang memandangnya seolah dia sangat ‘menjijikkan’?

Sembari menunggu Dafa siap, Diana juga bersiap-siap. Dia hanya mengganti riasan dan merapikan rambutnya sedikit, sehingga waktunya masih tersisa banyak untuk dia habiskan menyelesaikan beberapa kerjaan agar tidak perlu lagi dikerjakan esok hari.

Setelah hampir satu jam lamanya, Dafa akhirnya keluar dengan penampilan yang terlihat sangat jauh dari penampilannya tadi. Diana bahkan sempat tidak berkedip sedetik saat melihat penampilan baru Dafa.

Lelaki itu rupanya tampan juga jika didandani.

Diana mengangguk puas, meskipun ekspresi wajahnya tetap datar seperti biasa.

“Jauh lebih baik sekarang,” kata Diana tanpa ekspresi. “Sekarang coba singkirkan ekspresi bodohmu itu dan buat agar wajahmu tampak seperti orang cerdas.”

“Aku bukan orang bodoh,” protes Dafa.

“Tapi wajahmu seperti orang bodoh,” kata Diana tanpa perasaan. “Ingat percakapan kita semalam?”

Meskipun kesal, namun Dafa mengangguk. Dia nyaris tidak tidur semalam hanya karena memikirkan tentang skenarionya dengan Diana yang harus mereka tampilkan di depan keluarga besar gadis itu.

“Jadi kakekmu Tresna Abrisam,” gumam Dafa setelah membaca biodata Diana yang dikirimkan gadis itu padanya semalam. “Aku pernah mendengar namanya, tapi belum tahu secara detail.”

“Tidak perlu,” kata Diana datar. “Kakek memang tidak suka tampil di depan publik. Dia akan lebih tertarik dengan kemampuanmu dibandingkan pengetahuanmu tentang dia.”

Dafa mendadak merasa gugup usai mendengarnya.

“Tapi aku tidak tahu apa-apa,” gumam Dafa lagi.

Keduanya kini sudah masuk ke dalam mobil Diana. Sebuah mobil hitam panjang yang di dalamnya ternyata sangat luas. Ini pertama kalinya Dafa menaiki mobil seperti ini.

Dafa akhirnya kembali ditampar kenyataan bahwa gadis itu benar-benar berasal dari keluarga kaya raya. Dan sebentar lagi dia juga akan bertemu dengan keluarganya yang terpandang.

Diana melirik singkat ke arah Dafa, menyadari bahwa pemuda itu terlihat sangat gugup sekarang.

“Aku sudah bilang jangan memasang wajah bodoh begitu,” ujar Diana tanpa perasaan. “Tidak perlu gugup. Kau hanya perlu menjawab pertanyaan Kakek, selebihnya biar aku yang urus.”

Dafa menelan ludah. Meskipun kedengarannya sederhana, namun Dafa tahu bahwa hal tersebut tidaklah sesederhana itu.

Setelah perjalanan yang tidak begitu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah hotel mewah dan segera masuk ke dalamnya. Keduanya naik menuju lantai lima, di mana ada sebuah restoran berkonsep semi outdoor di atas sana.

Saat Dafa dan Diana tiba, Dafa bisa langsung melihat sebuah meja panjang yang sudah diisi sebagian tempat duduknya dengan orang-orang yang tampak berkelas. Lelaki dengan setelan jas mewah dan potongan rambut yang tampak berkelas, serta para perempuan yang memakai gaun malam elegan.

Dafa menoleh untuk memandang Diana, dan baru menyadari betapa mewahnya gaun putih yang dikenakan Diana malam itu.

“Tempat duduk kita di samping kakakku dan kakak iparku,” kata Diana sambil menujuk kursi kosong dengan anggukan dagunya. “Mereka yang duduk tepat di samping Kakek.”

Dafa menatap dengan seksama dan segera paham tempat duduk mana yang dimaksud. Tresna Abrisam duduk sendirian di sudut depan meja, di dekatnya ada seorang lelaki yang tampak masih muda duduk bersama wanita yang Dafa yakini adalah istrinya, sementara di sisi lainnya juga duduk seorang lelaki yang tampak lebih tua bersama sang istri.

“Itu orang tuamu?” tanya Dafa yang dijawab Diana dengan anggukan kepala.

Mungkin hanya perasaannya saja, namun Diana tidak tampak tertarik saat Dafa bertanya tentang kedua orang tuanya.

“Danis sepertinya belum datang,” gumam Diana kesal.

“Danis? Adikmu?”

Diana tidak menjawab karena merasa pertanyaan itu tidak penting untuk ditanyakan. Gadis itu lantas mengajak Dafa untuk segera mendekat ke arah meja.

“Jangan pasang wajah bodoh begitu,” ujar Diana mengingatkan.

Dafa segera menanggalkan wajah bingungnya dan bersikap seolah dia sudah biasa mendatangi jamuan makan malam mewah seperti ini.

“Kakek,” sapa Diana sambil tersenyum. “Kami sudah datang.”

Dafa memandang gadis itu sejenak. Dafa baru tahu bahwa Diana ternyata bisa senyum semanis itu.

“Ah, Diana,” ujar Tresna dengan senyuman yang tampak hanya setengahnya di wajah. “Ini calon suamimu?”

Diana masih mempertanyakan senyumnya dan mengangguk membenarkan. Dia melirik Dafa, berharap lelaki itu tidak memasang wajah bodohnya yang biasa.

Namun betapa tercengangnya Diana saat mendapati senyum profesional Dafa saat lelaki itu menjabat tangan sang kakek dengan penuh percaya diri.

“Dafa Hadiatma,” ujar Dafa memperkenalkan diri.

“Hadiatma?” ulang Tresna, tampak terkesan. “Kamu masih berkerabat dengan Gilang Hadiatma?”

Dafa tertawa kecil, seolah hal tersebut adalah hal yang benar namun tawanya menunjukkan bahwa dia sedang rendah hati. Hal itu tentu membuat Diana kembali tercengang dengan kemampuan akting dari Dafa.

“Saya tidak yakin apakah masih bisa disebut sebagai kerabat,” kata Dafa dengan senyuman kecil. “Ayah kami masih berkerabat, namun sudah cukup jauh karena hubungan persepupuan yang lumayan rumit.”

“Ah, tentu saja,” kata Tresna, tampak mengerti. “Indonesia memang seperti itu, kan? Meskipun sudah sepupu berpuluh-puluh kali, tetap saja masih dianggap kerabat.”

Tresna tertawa terbahak, sementara Dafa ikut tersenyum lebar.

“Duduk, duduk,” ujar Tresna ramah.

Dafa dan Diana duduk bersebelahan di tempat duduk mereka masing-masing. Keduanya duduk berhadapan dengan kedua orang tua Diana yang secara jelas menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap Dafa yang baru saja muncul.

Dafa melirik ke arah Diana, namun tampaknya gadis itu tidak tertarik dengan kedua orang tuanya.

“Kalian sudah lama berhubungan?”

Laras, ibu Diana, bertanya langsung pada Dafa.

Darius, ayah Diana, seketika memandang ingin tahu pada Dafa.

“Diana tidak pernah mengatakan apapun soal hubungannya dengan seorang lelaki.”

Laras menatap anak perempuannya, tatapan dinginnya persis seperti tatapan dingin Diana.

“Aku tidak merasa penting untuk membicarakan hal ini dengan Ibu,” kata Diana sama datarnya. “Ibu juga tidak pernah merasa ini hal yang penting, kan?”

Kedua wanita itu saling memandang dengan tatapan dalam dan lama, dan Dafa seketika tahu bahwa hubungan Diana dengan sang ibu tidak begitu baik.

“Aku David, kakak Diana,” ujar David mendadak pada Dafa, jelas ingin mengakhiri ‘perang tatapan’ yang sedang dilakukan Diana dan ibunya. “Ini istriku, Hana.”

“Dafa,” kata Dafa sambil menerima uluran tangan David.

“Apa kau pernah berhubungan langsung dengan Gilang Hadiatma?” tanya Tresna pada Dafa.

Seketika semua yang hadir di sana langsung memandang ke arah Dafa. Gilang Hadiatma memang seorang pengusaha yang berpengaruh di kota mereka, wajar saja jika mereka semua tertarik dengan Dafa yang mengaku masih memiliki hubungan keluarga dengan Gilang.

“Kami hanya bertemu beberapa kali dalam acara keluarga besar,” kata Dafa percaya diri, ekspresinya sengaja dibuat bahwa dia menyayangkan hal tersebut. “Kami bergerak di bidang yang agak berlawanan, jadi belum pernah berurusan secara langsung dalam hubungan pekerjaan.”

“Begitu ya,” ujar Tresna sambil mengangguk. “Kamu bergerak di bidang apa?”

“Saya seorang pengacara, Pak.”

Semuanya tampak terkesan, bahkan Diana berusaha keras untuk menyembunyikan keterkejutannya. Tidak mungkin Diana menunjukkan raut wajah terkejut sekarang, kan?

“Oh ya? Kenapa aku belum pernah mendengar namamu di jajaran pengacara di LBH manapun?” tanya Tresna, keningnya berkerut.

“Ah, iya. Itu karena saya baru saja pulang dari Belgia dan memutuskan untuk menetap di sini dan melamar Diana,” kata Dafa, masih tampak percaya diri meskipun diselipkan sedikit rasa malu dan tersipu di dalamnya.

“Benarkah?” tanya Diana, keceplosan terkejut yang membuat semua keluarganya menatapnya heran.

Dafa berusaha menahan tawa melihat keterkejutan di wajah Diana.

“Kau sudah lupa soal lamaranku minggu lalu?” tanya Dafa sambil tersenyum. Dia lantas memandang ke arah kakek Diana dan menambahkan, “Dia memang belum menjawab lamaranku. Tapi saat aku diajak ke acara makan malam ini, aku jadi yakin kalau Diana akan menerima lamaranku minggu lalu.”

Tresna kemudian tertawa terbahak melihat bagaimana lancarnya Dafa berbicara, sementara Diana masih tampak terpaku di tempatnya.

“Seorang pengacara yang baru datang dari Belgia,” kata Tresna, tampak terkesan. “Kamu meninggalkan karirmu di sana demi bisa menikah dengan Diana?”

“Betul, Pak,” jawab Dafa mantap.

Tresna tertawa lagi mendengarnya.

“Kamu beruntung sekali,” ujar Tresna pada Diana. “Jadi saat ini kamu sudah memulai karirmu sebagai pengacara di sini?”

“Aku masih mempelajari kembali tentang hukum-hukum di Indonesia, dan berencana akan membangun firma hokum mandiri begitu selesai mempelajari undang-undangnya,” jawab Dafa meyakinkan.

“Coba ceritakan pengalamanmu selama di Belgia,” kata Tresna tertarik. “Dan apa yang paling berbeda dari hukum yang ada di sana dan yang ada di sini?”

Diana menatap Dafa kali ini, merasa bahwa lelaki itu pasti akan kesulitan mengarang cerita sekarang.

Namun Dafa kembali membuatnya tercengang saat lelaki itu rupanya mampu menjawab pertanyaan sang kakek dan bahkan menjelaskan secara rinci tentang perbedaan hokum di negara ini dan di Belgia sana. Dafa bahkan bisa menceritakan sebuah pengalamannya yang lucu dan berharga saat masih menjadi pengacara di Negara Berlian tersebut.

Hal ini membuat Diana kembali bertanya-tanya; Siapa Dafa sebenarnya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Satu Milyar   "Kamu Cantik."

    “Maaf, maaf, aku terlambat.”Danis datang dengan santai tanpa rasa bersalah di wajahnya. Dia tersenyum lebar pada semua orang yang hadir di sana, bahkan tidak terlihat segan sedikit pun pada Tresna.“Kamu terlambat sekali,” ujar Tresna, namun masih terdengar hangat.“Dari mana, Nak?” tanya Laras lembut, sembari menepuk kursi kosong yang ada di sisinya, tempat di mana Danis harus duduk.“Ada panggilan mendadak dari dosen tadi, Bu,” jawab Danis santai.Di samping Dafa, Diana mendecih.“Paling baru habis pulang dari gombalin cewek,” gumam Diana yang hanya bisa didengar oleh Dafa.“Ah, ini calon suami Kakak?” tanya Danis langsung sambil melihat ke arah Dafa. Senyumnya lebar, namun tampak sekali bahwa dia merendahkan Dafa.“Dia Dafa Hadiatma,” kata Tresna, nada suaranya menggambarkan bahwa dia senang Diana membawa Dafa di pertemuan keluarga malam ini. “Dia lulusan hukum dan baru pulang dari Belgia sebagai pengacara.”“Masa?”Danis tampak sangat terkejut. Berita itu jelas membuatnya heran,

  • Suami Satu Milyar   Sisi Lain Dafa

    “Dia belum datang?”Diana memandang berkali-kali ke arah jam tangannya. Meskipun raut wajahnya tidak menunjukkan kegelisahan, namun sang sekretaris tahu persis bahwa gadis itu sedang merasa cemas.“Kamu sudah hubungi, kan?”“Sudah, Bu.”“Waktunya sudah diberitahukan dengan tepat?”“Sudah, Bu. Saya juga sudah memberitahunya untuk datang dua jam sebelum waktu makan malam,” uajr Widya, ikut memandang jam tangannya karena lelaki itu sudah terlambat hampir dua puluh menit.Diana menghela napas dalam. Sepuluh menit lagi dia akan menunggu, jika Dafa belum datang juga, Diana akan menghubunginya langsung.Saat menunggu, teleponnya mendadak bergetar, nama adik lelakinya muncul di layar. Diana memasang wajah malas, namun dia tetap saja menekan tombol hijau di layarnya.“Apa?”“Jutek amat,” celetuk Danis.Diana tahu bahwa adiknya itu pasti sedang tersenyum mengejek sekarang.“Kalau nggak penting, aku tutup sekarang,” kata Diana ketus.“Sabar bentar, Kak,” ujar Danis sambil tertawa. “Pantes aja ja

  • Suami Satu Milyar   Satu Milyar

    “Satu Milyar.”Diana memandang lelaki itu tanpa ekspresi, bahkan terkesan memandangnya dengan pandangan merendahkan.Lelaki asing yang belum satu jam dia temui tersebut tampak begitu kaget dengan tawaran yang diberikan oleh Diana.“Kurang?” tanya Diana saat lelaki itu tak kunjung menjawab.“Bukan begitu,” ujar Dafa, lelaki pengantar pizza yang mendadak saja ditawari menjadi seorang suami dari perempuan asing di depannya tersebut.“Lalu apa?” tanya Diana tak sabaran.Dafa tampak menimbang.“Menikah bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja,” kata Dafa bimbang.“Kita bukan menikah betulan,” kata Diana, nadanya tidak sabar. “Kita hanya akan menikah enam bulan dan langsung berpisah.”“Menikah juga bukan candaan.”Diana menghela napas dalam. Kesabarannya mulai hilang.“Tidak usah kalau begitu,” kata Diana sambil bangkit berdiri. “Lupakan saja tawaranku barusan. Aku bisa mencari orang lain yang mau.”Diana sudah berbalik dan hendak pergi dari lobby hotel tersebut, namun Dafa buru-buru ikut

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status