“Murahan sekali.”
Komentar Diana membuat Dafa harus mengelus dada agar dirinya bisa lebih bersabar. Entah sudah berapa kali dia harus memperpanjang sabar hari ini karena perkataan Diana yang mampu membuat telinganya terasa panas.
“Ini harganya sepuluh juta padahal,” kata Dafa kalem.
“Pantes,” ujar Diana pedas. “Aku belum pernah melihat perhiasan tampak semurahan ini. Tapi sebanding sih sama harganya.”
Diana menyingkirkan kalung dan cincin yang sudah dibeli Dafa dari atas meja dan mengeluarkan sebuah shopping bag besar.
“Nanti maharmu sebutkan saja seperangkat perhiasan emas, nggak perlu disebutin berapa gramnya. Terus ini.”
Diana menyodorkan tas besar tersebut agar lebih dekat dengan Dafa.
“Setelan pakaian pengantinmu. Aku sudah mengurus semuanya. Kau tinggal datang bersama keluarga barumu nanti.”
“Keluarga baru?”
“Aku sudah menyewa rombongan orang-orang untuk menjadi keluargamu di pesta pernikahan kita,” kata Diana tidak sabar. “Kau hanya perlu datang bersama mereka.”
“Aku punya keluarga besar,” keluh Dafa.
“Aku hanya mencoba menghindari pertanyaan-pertanyaan dari keluargamu nanti,” ucap Diana tajam. “Kau bisa mengundang keluarga besarmu nanti di pesta selanjutnya. Aku akan mengadakan pesta setelah resepsi pernikahan kita tanpa mengundang keluarga besarku.”
Dafa ingin protes, namun dia kembali menelan kata-katanya begitu melihat tatapan tajam dari Diana.
“Waktu kita tidak banyak. Hal yang harus kamu ucapkan saat akad nikah juga sudah disiapkan oleh sekretarisku. Jangan sampai membuat kesalahan, sekecil apapun itu.”
Diana bangkit berdiri. Pertemuan singkat mereka tampaknya harus berakhir sekarang.
“Kamu ada di kantor sore ini?” tanya Dafa mendadak.
Diana mengangkat alisnya, tatapannya bertanya.
“Kenapa?”
“Pastikan aja kamu ada di kantor sore ini,” kata Dafa, tersenyum lebar.
Diana menatapnya dengan curiga.
“Apa sih?”
“Sudah, sudah. Kamu masih ada pertemuan penting, kan? Mau aku antar ke mobil?” tawar Dafa, namun Diana langsung menggeleng.
Gadis itu bergerak pergi, sementara Dafa terus menatapnya dari belakang sembari berpikir bagaimana caranya melunakkan hati yang keras dari gadis itu.
“Tunggu kirimanku sore nanti ya,” teriak Dafa yang membuat beberapa pengunjung mall beralih menatapnya.
Diana menoleh, menatapnya dengan kening berkerut kesal. Namun Dafa hanya tertawa dan melambai.
Dalam pandangan Dafa, Diana perlu mendapatkan sedikit ‘hiburan’ dalam hidupnya agar tidak terasa membosankan. Hidup gadis itu terlalu lurus dan serius, dan Dafa bertekad akan membawa sedikit warna dalam kehidupan Diana.
***
“Revisi!”
Diana melemparkan dokumen berisi laporan mingguan tentang kinerja para pegawai.
“Aku sama sekali tidak bisa paham apa inti laporannya. Bukankah aku sudah memberikan contoh laporan terbaru dan memintamu untuk membuatnya sesuai format itu?”
Diana menatap pegawai tersebut dengan tatapan tajam, sementara orang yang ditatap hanya bisa menundukkan kepala.
“Maaf, Bu.”
“Revisi sekarang. Aku tunggu hasil revisinya malam ini. Jangan pulang sebelum laporannya selesai.”
“Baik, Bu.”
Wanita itu memungut dokumen laporannya yang ditolak mentah-mentah dan segera keluar dari ruangan Diana.
Diana sendiri seketika menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, merasa lelah hari ini karena ada banyak sekali hal yang perlu untuk dia pikirkan dan para karyawannya melakukan banyak kesalahan.
Kenapa hari ini tidak ada yang berjalan dengan baik?
Diana lantas mulai membuk-buka dokumen laporan lain yang tidak sempat dia periksa siang tadi karena ada pertemuan penting, namun sepertinya keputusannya salah. Membaca semua laporan itu membuatnya kembali merasa kesal, ada banyak sekali coretan revisi yang diberikan Diana karena format laporan mereka semuanya terkesan berantakan.
“Widya!” panggil Diana keras.
Widya datang dengan langkah buru-buru.
“Ya, Bu?”
“Kembalikan semua ini pada kepala divisi masing-masing. Bilang ke mereka, kalau tidak tahu buat laporan yang jelas, lebih baik serahkan surat pengunduran diri sekarang juga!”
Widya segera mengambil semua dokumen laporan tersebut dan mengangguk paham. Pasti laporan semua kepala divisi tidak ada yang memuaskan Diana, sehingga emosi wanita itu mencapai klimaksnya.
“Saya akan menyerahkannya kepada mereka, Bu,” kata Widya. “Tapi sebelumnya, ada yang perlu saya sampaikan.”
“Apa?”
Diana menunggu dengan tidak sabar.
“Ada paket datang untuk Ibu,” kata Widya, jelas sekali terlihat sedang berusaha untuk menahan senyum.
“Paket apa?” tanya Diana, bingung dan merasa semakin kesal karena ada hal tidak terduga seperti ini malah terjadi.
“Sepertinya lebih baik kalau Ibu sendiri yang mengeceknya. Paketnya ada di lobby utama.”
“Aku tidak punya waktu untuk mengambilnya sendiri,” tolak Diana langsung.
“Aku tidak bisa membawakannya, Bu,” kata Widya.
“Paketnya sebesar apa sih?” tanya Diana, kembali merasa kesal. “Suruh satpam dan semua orang yang ada di sana untuk membawanya.”
“Tidak ada satu pun dari kami yang bisa membawanya, Bu,” ujar Widya.
Diana menatapnya tajam, membuat Widya hanya bisa tersenyum tipis.
“Ibu sendiri yang bisa mengambilnya.”
Diana berdiri, melempar dokumen yang ada di tangannya dengan kesal ke atas meja, lalu berjalan keluar menuju lobby utama. Di sana, dia menemukan sebuah kertas yang berisi pesan ‘lantai lima’.
“Ini apa?” tanya Diana marah. Lantai lima berarti adalah lantai di mana ruang kerjanya berada. “Mau main-main denganku?”
Widya hanya diam dan terus mengikuti langkah Diana yang kini naik ke lantai lima. Di sana, Diana menemukan sebuah buket besar berisi bunga berwarna merah yang sepertinya baru saja diletakkan di depan pintu ruang kerjanya.
Sebuah kertas berisi pesan terselip di antara tangkai bunganya yang bertuliskan ‘atap’.
“Sudah cukup. Aku nggak suka ada yang main-main begini denganku,” kata Diana sambil melempar kertas tersebut.
Widya segera mengambil kertas tersebut.
“Coba ke atap dulu, Bu. Siapa tahu ada kejutan lain di sana yang bisa membuat Ibu senang.”
“Mana mungkin.”
Namun Widya terus mendesak Diana untuk pergi ke atap, hingga Diana akhirnya menyerah dan mengikuti Widya menuju atap.
Keduanya hanya bisa naik lift hingga lantai sepuluh, dan setelahnya mereka harus naik tangga hingga akhirnya mereka tiba di atap kantor. Tadinya Diana mengira bahwa ada seseorang yang berniat mempermainkannya, namun begitu membuka pintu menuju atap, beberapa karyawannya tampak berdiri seolah menyambutnya, semuanya tersenyum dan mempersilakan Diana untuk berjalan di atas karpet merah yang telah digelar.
“Selamat ya, Bu.”
“Semoga bahagia selalu, Bu.”
“Bu Diana beruntung udah dapat lelaki baik.”
Diana menatap semuanya dengan tatapan bingung, namun saat mengarahkan pandangannya lurus ke depan, dia seketika menyadari bahwa semua ini sudah direncanakan oleh Dafa.
Lelaki itu berdiri di ujung karpet merah, tampak rapi dalam setelan jas yang Diana yakini adalah jas murah. Namun setidaknya gaya rambut lelaki itu tidak terlalu tampak memalukan.
Diana berjalan menghampiri Dafa, menatapnya dengan tatapan membunuh karena sudah berani membuatnya malu di hadapan para karyawannya.
“Apa maksudnya sih?” tanya Diana tajam dalam bisikan.
Dafa hanya tersenyum dan menuntun Diana untuk berdiri di sisinya. Lelaki itu berbalik untuk menghadap langsung ke arah Diana, lantas membuka kotak perhiasan yang berisi cincin yang dibelinya tadi dan dianggap murahan oleh Diana.
“Diana,” ujar Dafa dengan nada seromantis mungkin. “Menikahlah denganku.”
Dafa berlutut dan seketika para karyawan wanita Diana memekik tertahan karena ikut merasa malu dan senang. Diana menatap mereka dengan pandangan heran, tidak mengerti mengapa mereka bersikap seperti itu.
“Kamu bersedia ‘kan untuk menikah denganku?” tanya Dafa, senyumnya masih dipertahankan.
Diana menatapnya dengan pandangan jijik, namun demi kelangsungan hubungannya dengan Dafa yang harus terlihat baik di depan para karyawan, dia memaksakan diri untuk tersenyum.
Diana mengangguk dan membuat seluruh karyawan kembali memekik bahagia. Diana menerima cincin itu dipasangkan di jarinya, dan seketika tahu bahwa ukurannya bahkan tidak pas.
“Ah, kayaknya kebesaran,” gumam Dafa, agak panik.
“Tidak apa-apa. Berdiri sekarang,” gumam Diana tajam.
Dafa segera berdiri dan tersenyum serba salah, sementara Diana terus menatapnya dengan pandangan hendak membuat perhitungan dengan lelaki itu.
Berani sekali Dafa membuat hal semacam ini di depan para karyawannya. Awas saja, setelah ini Diana akan memberi pelajaran pada lelaki itu.
“Filmnya kayaknya bagus kalau kita bisa nonton dari awal,” kata Dafa, nada suaranya terdengar agak kecewa karena mereka tidak menonton dari awal sehingga melewatkan poin penting dari ceritanya. “Nanti mau nonton lagi nggak dari awal?”“Nggak,” jawab Diana langsung.“Jadi kamu sukanya nonton film yang gimana?”“Aku nggak suka nonton.”Masuk akal.Dafa seharusnya sudah bisa memprediksi hal ini karena gadis itu sejak kecil sudah belajar tentang bisnis dan benar-benar terjun ke dalamnya sejak masa kuliah. Diana pasti tidak punya waktu banyak untuk ‘bersenang-senang’, meskipun hanya sekadar nongkrong di kafe atau nonton film.“Mau kutemani ke salon sekarang?” tawar Dafa.Diana tidak menolak, namun juga tidak mengiyakan. Dia hanya diam, dan Dafa menganggap hal tersebut sebagai persetujuan.Mereka akhirnya pergi ke sebuah salon yang kelihatannya mahal di dalam mall tersebut.“Aku nggak bisa ke salon ini,” kata Diana ragu. “Kita pergi ke salon langgananku aja.”“Jauh banget,” kata Dafa. “Di si
Dafa menghela napas dalam. Entah untuk sudah ke berapa kalinya pagi itu.Kehidupan barunya sebagai suami seorang wanita kaya rupanya tidak mudah. Bayangan Dafa tenang kehidupan yang menyenangkan, bisa tinggal di rumah mewah dengan fasilitasnya, nyatanya harus ditukar dengan sesuatu yang lebih besar.Kebebasan.“Kakek sudah memutuskan untuk memasukkan namamu sebagai salah satu anggota tim legal di kantor,” ujar Diana di pagi pertama mereka sebagai suami istri.Gadis itu mengatakannya usai sarapan, tanpa menoleh menatap Dafa dan hanya sibuk dengan data-data di dalam tablet putihnya.“Dan kau bisa mulai kerja besok.”“Besok banget nih?” tanya Dafa, agak kaget. “Aku belum mempersiapkan apapun.”Diana menutup tab-nya, lalu menatap Dafa dengan pandangan datarnya yang biasa.“Kalau begitu, seharusnya sejak awal kamu nggak bilang kalau seorang pengacara dari luar negeri.”Dafa seketika merasa ciut mendengar ucapan Diana.“Persiapkan apapun yang menurutmu penting. Besok kita akan mulai ke kanto
Dafa berusaha mengontrol wajahnya. Bibirnya terus tersenyum dan detak jantungnya dipaksa untuk tenang.Lelaki itu kemudian mengeluarkan ponselnya, mencari-cari di internet tentang lembaga hukum swasta yang ada di Belgia, mencari namanya, lalu menunjukkannya pada kedua orang tua Diana.“Sewaktu saya bergabung, saya masih menjadi anggota junior dan sejak saat itu jabatan saya tidak pernah diperbarui,” kata Dafa, berusaha terlihat yakin. “Nama belakang saya juga diganti supaya pelafalannya lebih mudah. Tapi kalian bisa lihat ini benar-benar foto saya.”Laras dan Darius melihat dengan seksama laman informasi yang diberikan Dafa untuk mereka. Meskipun masih terlihat meragukan, namun mereka tidak bisa membantahnya karena foto yang ditunjukkan benar-benar adalah wajah seorang Dafa.“Lalu bagaimana dengan keluarga Hadiatma?” tanya Laras tajam. “Bisa jelaskan secara rinci tentang keluargamu dan hubungannya dengan Hadiatma?”Dafa tersenyum lagi, meskipun jantungnya kembali berdetak kencang.“Aku
Diana melempar buket bunganya ke lantai setelah hanya ada mereka berdua di dalam ruangan kerja Diana.“Berani sekali kau melakukan hal seperti ini.”Diana berucap tajam sambil menatap Dafa dengan pandangan marah.“Aku hanya mencoba untuk membuat hubungan kita terlihat normal di depan semua karyawanmu,” kata Dafa membela diri. “Bukankah rasanya agak aneh jika tiba-tiba saja kau menikah dengan seseorang yang selama ini tidak pernah memperlihatkan diri satu kali pun pada orang yang kau kenal?”Diana menghela napas dalam, lalu menggeleng.“Sepertinya kau memang belum paham bagaimana caranya ‘duniaku’ bekerja.”Diana melangkah mendekati Dafa.“Mungkin dalam hidupmu, orang-orang terbiasa memperkenalkan calon pasangannya di hadapan publik, tapi bagi orang seperti kami, itu bukan hal biasa.”Dafa mengerutkan keningnya.“Maksudnya bagaimana?”“Kami terbiasa hidup serba tertutup, apalagi tentang hubungan pribadi,” kata Diana dingin. “Semakin tinggi jabatan yang kami pegang, semakin banyak aset y
“Murahan sekali.”Komentar Diana membuat Dafa harus mengelus dada agar dirinya bisa lebih bersabar. Entah sudah berapa kali dia harus memperpanjang sabar hari ini karena perkataan Diana yang mampu membuat telinganya terasa panas.“Ini harganya sepuluh juta padahal,” kata Dafa kalem.“Pantes,” ujar Diana pedas. “Aku belum pernah melihat perhiasan tampak semurahan ini. Tapi sebanding sih sama harganya.”Diana menyingkirkan kalung dan cincin yang sudah dibeli Dafa dari atas meja dan mengeluarkan sebuah shopping bag besar.“Nanti maharmu sebutkan saja seperangkat perhiasan emas, nggak perlu disebutin berapa gramnya. Terus ini.”Diana menyodorkan tas besar tersebut agar lebih dekat dengan Dafa.“Setelan pakaian pengantinmu. Aku sudah mengurus semuanya. Kau tinggal datang bersama keluarga barumu nanti.”“Keluarga baru?”“Aku sudah menyewa rombongan orang-orang untuk menjadi keluargamu di pesta pernikahan kita,” kata Diana tidak sabar. “Kau hanya perlu datang bersama mereka.”“Aku punya kelua
“Maaf, maaf, aku terlambat.”Danis datang dengan santai tanpa rasa bersalah di wajahnya. Dia tersenyum lebar pada semua orang yang hadir di sana, bahkan tidak terlihat segan sedikit pun pada Tresna.“Kamu terlambat sekali,” ujar Tresna, namun masih terdengar hangat.“Dari mana, Nak?” tanya Laras lembut, sembari menepuk kursi kosong yang ada di sisinya, tempat di mana Danis harus duduk.“Ada panggilan mendadak dari dosen tadi, Bu,” jawab Danis santai.Di samping Dafa, Diana mendecih.“Ah, ini calon suami Kakak?” tanya Danis langsung sambil melihat ke arah Dafa. Senyumnya lebar, namun tampak sekali bahwa dia merendahkan Dafa.“Dia Dafa Hadiatma,” kata Tresna, nada suaranya menggambarkan bahwa dia senang Diana membawa Dafa di pertemuan keluarga malam ini. “Dia lulusan hukum dan baru pulang dari Belgia sebagai pengacara.”“Masa?”Danis tampak sangat terkejut. Berita itu jelas membuatnya heran, karena dia sudah berpikir bahwa kakak perempuannya pasti hanya mencari orang sembarangan untuk di