Diana melempar buket bunganya ke lantai setelah hanya ada mereka berdua di dalam ruangan kerja Diana.
“Berani sekali kau melakukan hal seperti ini.”
Diana berucap tajam sambil menatap Dafa dengan pandangan marah.
“Aku hanya mencoba untuk membuat hubungan kita terlihat normal di depan semua karyawanmu,” kata Dafa membela diri. “Bukankah rasanya agak aneh jika tiba-tiba saja kau menikah dengan seseorang yang selama ini tidak pernah memperlihatkan diri satu kali pun pada orang yang kau kenal?”
Diana menghela napas dalam, lalu menggeleng.
“Sepertinya kau memang belum paham bagaimana caranya ‘duniaku’ bekerja.”
Diana melangkah mendekati Dafa.
“Mungkin dalam hidupmu, orang-orang terbiasa memperkenalkan calon pasangannya di hadapan publik, tapi bagi orang seperti kami, itu bukan hal biasa.”
Dafa mengerutkan keningnya.
“Maksudnya bagaimana?”
“Kami terbiasa hidup serba tertutup, apalagi tentang hubungan pribadi,” kata Diana dingin. “Semakin tinggi jabatan yang kami pegang, semakin banyak aset yang kami miliki, maka semakin banyak pula orang yang menaruh rasa tidak suka terhadap kami.”
Dafa mendengarkan tanpa menyela. Diana tampak serius kali ini.
“Jika kau menampakkan diri seperti tadi tanpa pertimbangan yang matang, bisa saja ada orang yang membenciku akan mencari tahu tentangmu dan menjadikan hal itu untuk menjatuhkanku!”
Diana mengerutkan kening dalam kemarahannya.
“Apa kau tidak sadar dengan kesalahan besar yang sudah kau perbuat sore ini?”
Dafa menelan ludah, baru menyadari bahwa tindakannya tadi rupanya bisa berdampak besar pada kehidupan Diana.
“Maaf,” kata Dafa akhirnya. “Aku tidak akan melakukannya lagi.”
“Sebaiknya begitu,” kata Diana dingin. “Jika saja ada data pribadimu yang bocor sebelum kita menikah, aku tidak akan pernah memaafkanmu dan akan memastikan akan membuatmu menghilang dari muka bumi ini saat itu juga.”
Diana menatap sengit ke arah Dafa sekali lagi, lalu berbalik menuju kursi kerjanya.
“Ambil ini dan pelajari dengan baik.”
Diana melemparkan sebuah map coklat pada Dafa. Lelaki itu mengambilnya dan membaca sekilas salah satu isi dokumen tersebut.
“Nama-nama orang penting dalam perusahaan?” tanya Dafa, tidak mengerti.
“Dan pada siapa mereka berpihak,” lanjut Diana. “Setelah kita menikah, Kakek pasti akan langsung memintamu untuk menjadi penasihat hukum dalam perusahaan. Kau perlu mempelajari nama-nama itu agar bisa memutuskan akan membantu siapa selama bekerja di sini nanti.”
Dafa mengangguk paham. Kehidupan orang super kayak rupanya persis seperti yang ada dalam drama-drama yang pernah dia tonton, tidak pernah tenang sepanjang hidupnya karena memikirkan tentang saingan bisnis dan orang-orang dalam yang bisa menjadi duri dalam daging.
“Pastikan kau mempelajarinya dengan baik dan benar-benar siap untuk langsung bekerja setelah kita menikah nanti.”
“Oke.”
Dafa tetap di sana, membuat Diana mengerutkan keningnya.
“Kenapa masih di sini? Kau boleh pulang sekarang.”
Dafa menghela napas dalam dan mengangguk.
“Aku membeli itu dengan uangku sendiri,” ujar Dafa sambil menunjuk buket bunga yang kini tergeletak mengenaskan di atas lantai. “Kamu nggak suka ya?”
Diana melirik bunga itu dan memutuskan untuk tidak menjawab. Dafa akhirnya menemukan jawabannya dalam diamnya Diana.
“Aku pulang dulu kalau begitu. Maaf karena sudah membuat masalah hari ini tanpa memikirkannya dengan lebih dalam,” kata Dafa menyesal.
Lelaki itu akhirnya pergi, meninggalkan Diana kembali hanya berdua saja dengan asistennya, Widya.
“Apa Ibu nggak terlalu keras padanya?” tanya Widya pelan.
“Dia memang perlu dikerasi seperti itu,” kata Diana tanpa perasaan.
Widya hanya bisa memasang wajah iba pada pintu yang sudah tertutup, di mana Dafa baru saja menghilang di baliknya. Sifat atasannya ini memang sangat sulit untuk dilembutkan.
“Ambil buket bunga itu dan letakkan dalam vas kosong di sana,” kata Diana yang membuat Widya menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
Widya tersenyum penuh makna, namun Diana sudah mengalihkan tatapannya.
“Baik, Bu. Akan saya simpan dan rawat dengan baik supaya Ibu bisa melihat bunganya terus sepanjang tahun ini,” kata Widya sambil tersenyum lebar.
Diana tetap memasang wajah datar saat Widya dengan bersemangat memindahkan bunga itu ke dalam vas besar kosong yang ada di dalam ruang kerjanya. Gadis itu melirik sesekali ke arah bunga tersebut sambil bertanya-tanya dalam hati mengapa Dafa bisa sangat pas membeli bunga yang dia sukai.
Apa mungkin lelaki itu bisa membaca pikirannya?
Diana menggelengkan kepalanya karena sudah jelas hal itu tidak masuk akal. Dafa pasti hanya kebetulan membelinya.
***
“Selamat atas pernikahan cucu Anda, Pak.”
Tresna tersenyum lebar sepanjang malam itu. Berbagai tamu penting menghadiri acara pernikahan Diana dan Dafa yang digelar tertutup. Mereka hanya mengundang tamu-tamu penting dan kolega dekat.
Diana dan Dafa berjalan berkeliling menyambut tamu, menerima ucapan selamat, bahkan berfoto dengan orang-orang tersebut. Setiap kali Dafa bertanya tentang orang-orang tersebut, Diana akan menjelaskan nama mereka, nama perusahaan mereka, serta jabatan yang sedang mereka pegang saat ini.
Setelah resepsi pernikahan ini, Dafa jadi tahu bahwa status sosial rupanya sangat penting. Diana tidak pernah mengenal mereka secara pribadi, namun mengetahui dia dari perusahaan mana, asetnya apa saja, dan jabatan penting mereka dalam perusahaan.
“Saya dengar suami Anda seorang pengacara,” ujar salah satu tamu yang Dafa ketahui dari sebuah perusahaan tekstil besar. “Wah, kami harus hati-hati kalau begitu.”
Mereka semua tertawa mendengar lelucon tersebut, bahkan baru kali ini Dafa melihat bagaimana lebarnya senyum Diana. Meskipun Dafa tahu bahwa senyuman itu hanyalah senyuman bisnis semata.
“Tidak perlu, Pak. Kami tahu kalau Anda dan keluarga sangat patuh pada hukum,” ujar Diana ramah.
Mereka kembali berbincang hangat, layaknya kerabat yang benar-benar memiliki hubungan kekeluargaan yang sangat baik.
Diana juga tampak menyapa semua tamu yang ada, tersenyum tanpa kenal lelah, membuat Dafa kadang mempertanyakan apakah gadis itu memiliki dua kepribadian yang berbeda.
Setelah melalui malam yang melelahkan, pesta akhirnya berakhir dan mereka kembali ke rumah keluarga Diana. Rumah besar yang memiliki tiga bagian yang berbeda namun masih terhubung satu sama lain.
“Kita akan tinggal di bagian tengah,” tunjuk Diana saat mereka tiba dan Dafa sampai membuka mulutnya lebar-lebar karena takjub dengan betapa besarnya rumah itu. “Kontrol ekspresimu. Kau tampak bodoh sekali.”
Dafa segera mengatupkan mulutnya.
Mereka berdua berjalan menyusuri lorong rumah, dan akhirnya berpapasan dengan kedua orang tua Diana, Laras dan Darius.
“Kami akan beristirahat sekarang,” kata Diana langsung sebelum kedua orang tuanya berkata sesuatu.
“Tentu,” kata Laras, suaranya sama dinginnya dengan Diana. “Kau bisa beristirahat sekarang. Tapi Ayah dan Ibu masih ingin berbincang sebentar dengan suamimu.”
Diana dan Dafa saling bertukar pandang.
“Dafa pasti lelah,” kata Diana.
“Hanya sepuluh menit. Kami juga perlu untuk mengenal menantu kami, kan?” tanya Laras. “Atau ada hal yang tidak boleh untuk kami ketahui tentang suamimu?”
Laras menatap tajam Diana, dan Diana balas menatapnya dengan tatapan serupa.
“Silakan kalau begitu,” kata Diana. “Aku tidak akan peduli. Tidak ada hal yang tidak boleh kalian ketahui dari suamiku.”
Diana melirik Dafa sekali lagi sebelum meninggalkan tempat itu. Dia berjalan lurus, tanpa menoleh lagi ke belakang.
“Mari, kita duduk di ruang santai sebelah sana,” ajak Darius pada Dafa.
Dafa mengikuti mereka berdua dan duduk berhadapan. Lelaki itu melihat sekeliling sejenak, dan menemukan desain mewah dan elegan di ruang santai tersebut. Seperti namanya, ruangan itu diisi dengan beberapa bantal duduk yang bisa diduduki dengan santai oleh para penghuni rumah.
“Kami akan langsung saja,” kata Laras, tampak sekali tidak ingin basa-basi. “Kami sudah mencari identitasmu dan menemukan kalau sepertinya kau bukan bagian dari keluarga Hadiatma.”
Dafa duduk lebih tegak. Tidak menyangka bahwa identitasnya akan ditanyakan begitu dia menginjakkan kaki di rumah ini.
“Dan namamu tidak ada dalam satu pun lembaga hukum yang ada di Belgia,” lanjut Darius yang mampu membuat jantung Dafa kini berdetak lebih cepat. “Bisa jelaskan soal hal itu?”
Dafa meneguk ludah. Dia harus menjelaskannya dari mana sekarang?
“Filmnya kayaknya bagus kalau kita bisa nonton dari awal,” kata Dafa, nada suaranya terdengar agak kecewa karena mereka tidak menonton dari awal sehingga melewatkan poin penting dari ceritanya. “Nanti mau nonton lagi nggak dari awal?”“Nggak,” jawab Diana langsung.“Jadi kamu sukanya nonton film yang gimana?”“Aku nggak suka nonton.”Masuk akal.Dafa seharusnya sudah bisa memprediksi hal ini karena gadis itu sejak kecil sudah belajar tentang bisnis dan benar-benar terjun ke dalamnya sejak masa kuliah. Diana pasti tidak punya waktu banyak untuk ‘bersenang-senang’, meskipun hanya sekadar nongkrong di kafe atau nonton film.“Mau kutemani ke salon sekarang?” tawar Dafa.Diana tidak menolak, namun juga tidak mengiyakan. Dia hanya diam, dan Dafa menganggap hal tersebut sebagai persetujuan.Mereka akhirnya pergi ke sebuah salon yang kelihatannya mahal di dalam mall tersebut.“Aku nggak bisa ke salon ini,” kata Diana ragu. “Kita pergi ke salon langgananku aja.”“Jauh banget,” kata Dafa. “Di si
Dafa menghela napas dalam. Entah untuk sudah ke berapa kalinya pagi itu.Kehidupan barunya sebagai suami seorang wanita kaya rupanya tidak mudah. Bayangan Dafa tenang kehidupan yang menyenangkan, bisa tinggal di rumah mewah dengan fasilitasnya, nyatanya harus ditukar dengan sesuatu yang lebih besar.Kebebasan.“Kakek sudah memutuskan untuk memasukkan namamu sebagai salah satu anggota tim legal di kantor,” ujar Diana di pagi pertama mereka sebagai suami istri.Gadis itu mengatakannya usai sarapan, tanpa menoleh menatap Dafa dan hanya sibuk dengan data-data di dalam tablet putihnya.“Dan kau bisa mulai kerja besok.”“Besok banget nih?” tanya Dafa, agak kaget. “Aku belum mempersiapkan apapun.”Diana menutup tab-nya, lalu menatap Dafa dengan pandangan datarnya yang biasa.“Kalau begitu, seharusnya sejak awal kamu nggak bilang kalau seorang pengacara dari luar negeri.”Dafa seketika merasa ciut mendengar ucapan Diana.“Persiapkan apapun yang menurutmu penting. Besok kita akan mulai ke kanto
Dafa berusaha mengontrol wajahnya. Bibirnya terus tersenyum dan detak jantungnya dipaksa untuk tenang.Lelaki itu kemudian mengeluarkan ponselnya, mencari-cari di internet tentang lembaga hukum swasta yang ada di Belgia, mencari namanya, lalu menunjukkannya pada kedua orang tua Diana.“Sewaktu saya bergabung, saya masih menjadi anggota junior dan sejak saat itu jabatan saya tidak pernah diperbarui,” kata Dafa, berusaha terlihat yakin. “Nama belakang saya juga diganti supaya pelafalannya lebih mudah. Tapi kalian bisa lihat ini benar-benar foto saya.”Laras dan Darius melihat dengan seksama laman informasi yang diberikan Dafa untuk mereka. Meskipun masih terlihat meragukan, namun mereka tidak bisa membantahnya karena foto yang ditunjukkan benar-benar adalah wajah seorang Dafa.“Lalu bagaimana dengan keluarga Hadiatma?” tanya Laras tajam. “Bisa jelaskan secara rinci tentang keluargamu dan hubungannya dengan Hadiatma?”Dafa tersenyum lagi, meskipun jantungnya kembali berdetak kencang.“Aku
Diana melempar buket bunganya ke lantai setelah hanya ada mereka berdua di dalam ruangan kerja Diana.“Berani sekali kau melakukan hal seperti ini.”Diana berucap tajam sambil menatap Dafa dengan pandangan marah.“Aku hanya mencoba untuk membuat hubungan kita terlihat normal di depan semua karyawanmu,” kata Dafa membela diri. “Bukankah rasanya agak aneh jika tiba-tiba saja kau menikah dengan seseorang yang selama ini tidak pernah memperlihatkan diri satu kali pun pada orang yang kau kenal?”Diana menghela napas dalam, lalu menggeleng.“Sepertinya kau memang belum paham bagaimana caranya ‘duniaku’ bekerja.”Diana melangkah mendekati Dafa.“Mungkin dalam hidupmu, orang-orang terbiasa memperkenalkan calon pasangannya di hadapan publik, tapi bagi orang seperti kami, itu bukan hal biasa.”Dafa mengerutkan keningnya.“Maksudnya bagaimana?”“Kami terbiasa hidup serba tertutup, apalagi tentang hubungan pribadi,” kata Diana dingin. “Semakin tinggi jabatan yang kami pegang, semakin banyak aset y
“Murahan sekali.”Komentar Diana membuat Dafa harus mengelus dada agar dirinya bisa lebih bersabar. Entah sudah berapa kali dia harus memperpanjang sabar hari ini karena perkataan Diana yang mampu membuat telinganya terasa panas.“Ini harganya sepuluh juta padahal,” kata Dafa kalem.“Pantes,” ujar Diana pedas. “Aku belum pernah melihat perhiasan tampak semurahan ini. Tapi sebanding sih sama harganya.”Diana menyingkirkan kalung dan cincin yang sudah dibeli Dafa dari atas meja dan mengeluarkan sebuah shopping bag besar.“Nanti maharmu sebutkan saja seperangkat perhiasan emas, nggak perlu disebutin berapa gramnya. Terus ini.”Diana menyodorkan tas besar tersebut agar lebih dekat dengan Dafa.“Setelan pakaian pengantinmu. Aku sudah mengurus semuanya. Kau tinggal datang bersama keluarga barumu nanti.”“Keluarga baru?”“Aku sudah menyewa rombongan orang-orang untuk menjadi keluargamu di pesta pernikahan kita,” kata Diana tidak sabar. “Kau hanya perlu datang bersama mereka.”“Aku punya kelua
“Maaf, maaf, aku terlambat.”Danis datang dengan santai tanpa rasa bersalah di wajahnya. Dia tersenyum lebar pada semua orang yang hadir di sana, bahkan tidak terlihat segan sedikit pun pada Tresna.“Kamu terlambat sekali,” ujar Tresna, namun masih terdengar hangat.“Dari mana, Nak?” tanya Laras lembut, sembari menepuk kursi kosong yang ada di sisinya, tempat di mana Danis harus duduk.“Ada panggilan mendadak dari dosen tadi, Bu,” jawab Danis santai.Di samping Dafa, Diana mendecih.“Ah, ini calon suami Kakak?” tanya Danis langsung sambil melihat ke arah Dafa. Senyumnya lebar, namun tampak sekali bahwa dia merendahkan Dafa.“Dia Dafa Hadiatma,” kata Tresna, nada suaranya menggambarkan bahwa dia senang Diana membawa Dafa di pertemuan keluarga malam ini. “Dia lulusan hukum dan baru pulang dari Belgia sebagai pengacara.”“Masa?”Danis tampak sangat terkejut. Berita itu jelas membuatnya heran, karena dia sudah berpikir bahwa kakak perempuannya pasti hanya mencari orang sembarangan untuk di