Dafa berusaha mengontrol wajahnya. Bibirnya terus tersenyum dan detak jantungnya dipaksa untuk tenang.
Lelaki itu kemudian mengeluarkan ponselnya, mencari-cari di internet tentang lembaga hukum swasta yang ada di Belgia, mencari namanya, lalu menunjukkannya pada kedua orang tua Diana.
“Sewaktu saya bergabung, saya masih menjadi anggota junior dan sejak saat itu jabatan saya tidak pernah diperbarui,” kata Dafa, berusaha terlihat yakin. “Nama belakang saya juga diganti supaya pelafalannya lebih mudah. Tapi kalian bisa lihat ini benar-benar foto saya.”
Laras dan Darius melihat dengan seksama laman informasi yang diberikan Dafa untuk mereka. Meskipun masih terlihat meragukan, namun mereka tidak bisa membantahnya karena foto yang ditunjukkan benar-benar adalah wajah seorang Dafa.
“Lalu bagaimana dengan keluarga Hadiatma?” tanya Laras tajam. “Bisa jelaskan secara rinci tentang keluargamu dan hubungannya dengan Hadiatma?”
Dafa tersenyum lagi, meskipun jantungnya kembali berdetak kencang.
“Aku akan membawakan sebuah foto yang memperlihatkan kedekatan saya dengan Gilang Hadiatma di sebuah acara keluarga,” kata Dafa. “Karena meskipun saya menjelaskannya panjang lebar, saya khawatir Anda berdua tidak akan paham karena memang hubungan kekeluargaan kami sudah lumayan jauh.”
“Lalu kenapa di saat akad nikah tadi, kamu tidak menyebutkan nama Hadiatma di belakang namamu?” tanya Laras, masih berusaha mengejar karena Dafa tampak berusaha menghindar.
“Saya tidak begitu suka memakai nama belakang saya di hadapan orang banyak,” kata Dafa kalem, walaupun detak jantungnya serasa akan meledak sekarang saking groginya. “Ada beberapa alasan pribadi yang tidak bisa saya ungkapkan, meskipun pada mertua saya sekalipun.”
“Bukan karena kau sudah menipu kami, kan?”
Laras dan Dafa saling bertatapan. Laras dengan tatapannya yang tajam, sementara Dafa dengan tatapannya yang dalam dan tenang. Laras tidak bisa menebak isi hati Dafa hanya dengan melihat ekspresi wajahnya saat ini.
“Kalau Anda terus berasumsi seperti itu, aku tidak akan bisa membantah dengan alasan apapun karena Anda akan terus menganggap saya sudah menipu,” kata Dafa tenang. “Kalau memang tidak percaya, aku bisa mengundang keluarga Hadiatma untuk makan malam bersama kita dalam waktu dekat.”
Darius menatap sang istri, tampak sangsi.
“Tidak perlu sampai sejauh itu,” kata Darius.
“Tidak apa-apa, Pak,” ucap Dafa, mulai percaya diri. “Saya hanya perlu mengatakan pada keluarga saya kalau keluarga istri saya rupanya meragukan saya sebagai anggota keluarga Hadiatma untuk mengundang mereka makan malam.”
Ekspresi wajah Laras seketika berubah. Darius bahkan terlihat mulai gelisah.
“Tidak perlu, tidak perlu,” ujar Darius, mendadak sangat ramah. “Kami tidak ingin menyinggung perasaan mereka sampai harus mengundang mereka makan malam hanya untuk membuktikan tentang anggota keluarga mereka.”
Darius tertawa canggung, namun Laras tidak tertawa sedikit pun, meskipun wanita itu sudah menanggalkan ekspresi curiganya.
“Tolong beritahu saya kapan saja jika saya harus mengundang keluarga saya untuk makan malam,” kata Dafa tenang, namun ada nada mengancam di balik suaranya. “Saya rasa keluarga saya akan datang dengan senang hati untuk membuktikan tentang kebenaran identitas saya.”
Dafa bangkit berdiri.
“Tapi saya tidak yakin mereka masih akan mau menjalin kerja sama dengan perusahaan yang dijalankan oleh orang-orang yang meragukan anggota keluarga mereka.”
Dafa menatap Laras dan Darius dengan tajam, sementara yang ditatap tampak serba salah.
“Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, saya pamit untuk istirahat. Selamat malam.”
Dafa berbalik dan pergi dari ruang santai tersebut. Dia berjalan dengan tenang, namun seketika menghembuskan napas keras tanda lega saat dia sudah berada di ruangan lain.
Dia tidak menyangka bahwa dia bisa melewati masa krisis tadi dengan lumayan baik.
Dafa berjalan menuju bagian tengah rumah, namun seketika merasa terkejut saat mendapati Diana berdiri di balik dinding dengan pakaian tidurnya yang berwarna putih.
“Kukira hantu,” seru Dafa, benar-benar terkejut. Apalagi saat itu Diana menguraikan rambut panjangnya yang berwarna hitam berkilau.
Diana menoleh untuk menatapnya dengan dingin.
“Kenapa?” tanya Dafa, alisnya berkerut.
“Kau hebat juga ternyata,” kata Diana yang membuat Dafa menaikkan alisnya sekarang.
“Maksudnya?”
“Aku mendengarkan semua percakapanmu dengan Ibu,” kata Diana. “Kukira kau akan menjawab dengan jawaban yang bodoh atau semacamnya, tapi rupanya kau bisa membohongi mereka dengan baik.”
Diana bertepuk tangan pelan, namun menjadi kelihatan menyeramkan karena gadis itu masih belum menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya. Wajahnya datar, seolah dia sama sekali tidak merasa senang atas ‘prestasi’ Dafa tadi.
“Kau pasti sudah terbiasa berbohong ya dalam kehidupanmu?”
“Mana ada,” bantah Dafa. “Aku terpaksa berbohong biar nggak perlu ngembaliin uang satu milyar.”
Dafa bisa melihat, meskipun sangat tipis, namun gadis itu akhirnya tersenyum. Hanya sebuah tarikan tipis di bibirnya, namun rupanya bisa membawa perubahan besar dalam ekspresi wajah gadis itu.
“Sepertinya mulai hari ini aku bisa percaya padamu,” kata Diana, lalu berbalik dan pergi menyusuri koridor menuju kamar mereka.
Dafa mengikutinya, sambil melihat ke kanan dan ke kiri untuk menandai arah jalannya agar nantinya tidak tersesat.
Lelaki it uterus mengikuti Diana, hingga akhirnya Diana sadar ketika Dafa terus saja berada di belakangnya.
“Mau ke mana kamu?” tanya Diana, berhenti tepat di sebuah pintu yang Dafa yakini adalah kamar mereka.
“Mau… ke kamar?” ujar Dafa tidak yakin.
Diana menghela napas dalam, kedua tangannya disilangkan di depan dada.
“Kamarmu di sana,” tunjuk Diana dengan dagunya ke sebuah pintu yang ada di sisi seberang, dipisahkan oleh sebuah undakan yang menghubungkan ke ruang santai lain di bagian tengah rumah. “Jangan pernah berpikir kalau kita akan tidur di kamar yang sama.”
Dafa menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
“Kita sudah suami istri.”
“Hanya dalam waktu enam bulan ke depan,” ujar Diana tanpa perasaan.
“Gimana kalau ada keluargamu yang tahu kalau kita ternyata pisah kamar?” tanya Dafa, seolah hal tersebut adalah sebuah masalah ke depannya.
“Tidak akan. Setiap bagian rumah ada penghuninya masing-masing, dan aku yang menghuni bagian rumah yang ini,” kata Diana datar. “Tidak akan ada yang berani untuk masuk ke wilayahku tanpa seizinku.”
Dafa menggelengkan kepalanya tidak percaya.
“Kita akan tidur sekamar,” kata Dafa, mencoba tegas. “Aku akan masuk ke sana dan tidur denganmu.”
Dafa bergegas berjalan cepat menuju Diana, berniat untuk membuka pintu kamar gadis itu dan masuk ke dalamnya. Namun, dia tidak pernah sampai di sana karena Diana menahan lengannya dan mendadak saja memelintirnya.
Sebelum Dafa sadar apa yang terjadi, gadis itu sudah memutar tubuh Dafa dan mendorongnya untuk menjauh.
“Bagian sini haram kamu pijak,” kata Diana serius. “Sampai kapanpun kita nggak akan pernah tidur sekamar.”
Diana memberinya tatapan tajam terakhir sebelum berbalik dan masuk. Pintu kamarnya ditutup dengan keras, menyisakan Dafa yang masih berusaha mencerna apa yang terjadi tadi.
Gadis itu bisa bela diri? Wah, Dafa sepertinya harus lebih berhati-hati pada Diana mulai sekarang.
“Filmnya kayaknya bagus kalau kita bisa nonton dari awal,” kata Dafa, nada suaranya terdengar agak kecewa karena mereka tidak menonton dari awal sehingga melewatkan poin penting dari ceritanya. “Nanti mau nonton lagi nggak dari awal?”“Nggak,” jawab Diana langsung.“Jadi kamu sukanya nonton film yang gimana?”“Aku nggak suka nonton.”Masuk akal.Dafa seharusnya sudah bisa memprediksi hal ini karena gadis itu sejak kecil sudah belajar tentang bisnis dan benar-benar terjun ke dalamnya sejak masa kuliah. Diana pasti tidak punya waktu banyak untuk ‘bersenang-senang’, meskipun hanya sekadar nongkrong di kafe atau nonton film.“Mau kutemani ke salon sekarang?” tawar Dafa.Diana tidak menolak, namun juga tidak mengiyakan. Dia hanya diam, dan Dafa menganggap hal tersebut sebagai persetujuan.Mereka akhirnya pergi ke sebuah salon yang kelihatannya mahal di dalam mall tersebut.“Aku nggak bisa ke salon ini,” kata Diana ragu. “Kita pergi ke salon langgananku aja.”“Jauh banget,” kata Dafa. “Di si
Dafa menghela napas dalam. Entah untuk sudah ke berapa kalinya pagi itu.Kehidupan barunya sebagai suami seorang wanita kaya rupanya tidak mudah. Bayangan Dafa tenang kehidupan yang menyenangkan, bisa tinggal di rumah mewah dengan fasilitasnya, nyatanya harus ditukar dengan sesuatu yang lebih besar.Kebebasan.“Kakek sudah memutuskan untuk memasukkan namamu sebagai salah satu anggota tim legal di kantor,” ujar Diana di pagi pertama mereka sebagai suami istri.Gadis itu mengatakannya usai sarapan, tanpa menoleh menatap Dafa dan hanya sibuk dengan data-data di dalam tablet putihnya.“Dan kau bisa mulai kerja besok.”“Besok banget nih?” tanya Dafa, agak kaget. “Aku belum mempersiapkan apapun.”Diana menutup tab-nya, lalu menatap Dafa dengan pandangan datarnya yang biasa.“Kalau begitu, seharusnya sejak awal kamu nggak bilang kalau seorang pengacara dari luar negeri.”Dafa seketika merasa ciut mendengar ucapan Diana.“Persiapkan apapun yang menurutmu penting. Besok kita akan mulai ke kanto
Dafa berusaha mengontrol wajahnya. Bibirnya terus tersenyum dan detak jantungnya dipaksa untuk tenang.Lelaki itu kemudian mengeluarkan ponselnya, mencari-cari di internet tentang lembaga hukum swasta yang ada di Belgia, mencari namanya, lalu menunjukkannya pada kedua orang tua Diana.“Sewaktu saya bergabung, saya masih menjadi anggota junior dan sejak saat itu jabatan saya tidak pernah diperbarui,” kata Dafa, berusaha terlihat yakin. “Nama belakang saya juga diganti supaya pelafalannya lebih mudah. Tapi kalian bisa lihat ini benar-benar foto saya.”Laras dan Darius melihat dengan seksama laman informasi yang diberikan Dafa untuk mereka. Meskipun masih terlihat meragukan, namun mereka tidak bisa membantahnya karena foto yang ditunjukkan benar-benar adalah wajah seorang Dafa.“Lalu bagaimana dengan keluarga Hadiatma?” tanya Laras tajam. “Bisa jelaskan secara rinci tentang keluargamu dan hubungannya dengan Hadiatma?”Dafa tersenyum lagi, meskipun jantungnya kembali berdetak kencang.“Aku
Diana melempar buket bunganya ke lantai setelah hanya ada mereka berdua di dalam ruangan kerja Diana.“Berani sekali kau melakukan hal seperti ini.”Diana berucap tajam sambil menatap Dafa dengan pandangan marah.“Aku hanya mencoba untuk membuat hubungan kita terlihat normal di depan semua karyawanmu,” kata Dafa membela diri. “Bukankah rasanya agak aneh jika tiba-tiba saja kau menikah dengan seseorang yang selama ini tidak pernah memperlihatkan diri satu kali pun pada orang yang kau kenal?”Diana menghela napas dalam, lalu menggeleng.“Sepertinya kau memang belum paham bagaimana caranya ‘duniaku’ bekerja.”Diana melangkah mendekati Dafa.“Mungkin dalam hidupmu, orang-orang terbiasa memperkenalkan calon pasangannya di hadapan publik, tapi bagi orang seperti kami, itu bukan hal biasa.”Dafa mengerutkan keningnya.“Maksudnya bagaimana?”“Kami terbiasa hidup serba tertutup, apalagi tentang hubungan pribadi,” kata Diana dingin. “Semakin tinggi jabatan yang kami pegang, semakin banyak aset y
“Murahan sekali.”Komentar Diana membuat Dafa harus mengelus dada agar dirinya bisa lebih bersabar. Entah sudah berapa kali dia harus memperpanjang sabar hari ini karena perkataan Diana yang mampu membuat telinganya terasa panas.“Ini harganya sepuluh juta padahal,” kata Dafa kalem.“Pantes,” ujar Diana pedas. “Aku belum pernah melihat perhiasan tampak semurahan ini. Tapi sebanding sih sama harganya.”Diana menyingkirkan kalung dan cincin yang sudah dibeli Dafa dari atas meja dan mengeluarkan sebuah shopping bag besar.“Nanti maharmu sebutkan saja seperangkat perhiasan emas, nggak perlu disebutin berapa gramnya. Terus ini.”Diana menyodorkan tas besar tersebut agar lebih dekat dengan Dafa.“Setelan pakaian pengantinmu. Aku sudah mengurus semuanya. Kau tinggal datang bersama keluarga barumu nanti.”“Keluarga baru?”“Aku sudah menyewa rombongan orang-orang untuk menjadi keluargamu di pesta pernikahan kita,” kata Diana tidak sabar. “Kau hanya perlu datang bersama mereka.”“Aku punya kelua
“Maaf, maaf, aku terlambat.”Danis datang dengan santai tanpa rasa bersalah di wajahnya. Dia tersenyum lebar pada semua orang yang hadir di sana, bahkan tidak terlihat segan sedikit pun pada Tresna.“Kamu terlambat sekali,” ujar Tresna, namun masih terdengar hangat.“Dari mana, Nak?” tanya Laras lembut, sembari menepuk kursi kosong yang ada di sisinya, tempat di mana Danis harus duduk.“Ada panggilan mendadak dari dosen tadi, Bu,” jawab Danis santai.Di samping Dafa, Diana mendecih.“Ah, ini calon suami Kakak?” tanya Danis langsung sambil melihat ke arah Dafa. Senyumnya lebar, namun tampak sekali bahwa dia merendahkan Dafa.“Dia Dafa Hadiatma,” kata Tresna, nada suaranya menggambarkan bahwa dia senang Diana membawa Dafa di pertemuan keluarga malam ini. “Dia lulusan hukum dan baru pulang dari Belgia sebagai pengacara.”“Masa?”Danis tampak sangat terkejut. Berita itu jelas membuatnya heran, karena dia sudah berpikir bahwa kakak perempuannya pasti hanya mencari orang sembarangan untuk di