Share

Rasa Sakit Yang Berlebihan

Apakah ada perempuan yang lebih sial dari dirinya?

 

 

Pagi hari harus terpukul karena kepergian ayah tercinta. Malam hari harus menyaksikan suaminya selingkuh dengan sepupunya sendiri?

 

Sassi menyesal, kenapa ia harus memilih paviliun belakang untuk beristirahat? Bukankah masih ada dua paviliun lain yang bisa ia tuju? Jika itu ia lakukan, maka ia tak akan menerima rasa sakit yang berlebihan seperti saat ini.

 

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu terulang di otak Sassi saat ia sadar bahwa ia sudah berada di atas ranjang rumah sakit. Tubuhnya terasa lemah tak berdaya, sakit di hatinya seakan mencabut semua imunitas yang ada.

 

Kalau seperti ini keadaannya, bukankah lebih baik ia ikut  bersama kedua orang tuanya? Lagi. Sassi merasa keberadaannya di dunia ini adalah sebuah kesalahan. 

 

Sassi memilih tetap memejamkan mata saat Ganendra menghampirinya. Jelas sekali ia ingin menghindar saat Ganendra mengecup pipinya. Namun, kepalanya sulit sekali digerakan. Bahkan air mata saja tak lagi dapat ia keluarkan.

 

Sassi sedikit membuka mata saat mulai berada di dalam ruang rawat. Semua perawat yang mengantarnya telah kembali ke tempat tugas mereka masing-masing. 

 

Sassi bisa menangkap sosok Ganendra, Gie, Abdi dan juga Alleta dalam pandangannya. Alleta. Perempuan itu membuat Sassi memutuskan untuk memejamkan matanya kembali.

 

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" batin Sassi terus mengulang-ulang kalimat itu.

 

Ganendra menghampiri Sassi kemudian menggenggam lembut tangan istrinya. Sassi tetap memejamkan matanya.

 

"Sas. Apa yang kau rasa, Sas? Berbagilah rasa sakit itu bersamaku," ucap Ganendra sambil mencium tangan Sassi berkali-kali.

 

"Aku tak ingin melihat wajahmu. Pergilah. Kau telah menyakitiku. Pengkhianat." Ingin sekali Sassi meneriakkan kalimat itu di depan wajah Ganendra. Namun, ia merasa kembali tak berdaya. Lidah Sassi terasa kelu.

 

"Sas, bangunlah. Buka matamu. Aku  di sini, Sas," ucap Ganendra lagi.

 

"Dokter bilang, Sassi hanya tidur, Mas. Mungkin pengaruh obat yang diberikan," ujar Alleta.

 

"Ya, benar. Tadi aku dan Alleta sempat berbicara dengan dokter di UGD," Gie menimpali.

 

Ganendra menarik napas lega. Setidaknya Sassi tidak berada dalam keadaan berbahaya.

 

"Apa kau akan berada di sini, Gan?" tanya Gie lagi.

 

"Menurutmu, apa kita perlu memanggil salah satu asisten di rumah untuk menjaga Sassi. Kau juga perlu istirahat kan?" tambah Gie lagi.

 

Ganendra terdiam. Satu sisi, dia khawatir dengan keadaan Sassi. Sisi lainnya, ia tak ingin berada di rumah sakit. Rumah sakit adalah tempat yang paling tidak nyaman baginya.

 

"Kalian pulanglah. Hampir tengah malam. Biar aku yang menjaga Sassi," ucap Abdi.

 

"O, ya, Abdi. Kau belum menceritakan apa saja yang kalian lakukan di pemakaman?" tanya Ganendra. Posisi duduknya berubah ke arah Abdi.

 

"Aku hanya duduk dan melihatnya menangis sambil memeluk batu nisan," jawab Abdi.

 

"Sassi sama sekali tak mau bergeser dari sana, mungkin itu yang membuatnya seperti ini. Aku nggak berhasil membujuknya untuk makan," lanjutnya.

 

"Hanya itu?" tanya Ganendra lagi.

 

"Ya hanya itu. Sampai akhirnya dia meminta pulang dengan sendirinya," lanjut Abdi.

 

Ganendra kembali menggenggam tangan Sassi dan menciumnya.

 

'Bagaimana denganmu, Mas Ganendra? Apa saja yang kau lakukan kemarin? Sejak kapan kau tidur dengan Alleta di belakangku?' tanya Sassi di dalam hati sambil menahan perih.

 

"Ya, jelas sekali kalau kehilangan ini begitu berat bagi Sassi," ujar Ganendra.

 

"Baiklah, Abdi. Aku rasa kau bisa menjaga Sassi di sini. Besok aku akan mengirim asisten lain untuk bergantian berjaga denganmu," ucap Ganendra.

 

Gie sedikit kaget dengan keputusan Ganendra. Apakah laki-laki itu tidak paham dengan apa yang telah ia sampaikan tadi?

 

"Ya, benar. Lagipula besok pasti masih banyak tamu yang harus kau temui, Mas," ucap Alleta.

 

Ganendra mencium kening Sassi sebelum melangkah keluar ruang rawat. Gie mengikuti dari belakang. 

 

Alleta memilih untuk tinggal sebentar lagi. Ia berdiri di samping ranjang. Memandangi wajah sepupunya yang malang.

 

"Cepat sembuh ya, Sassi," ucap Alleta,

'Kalau nggak, Mas Ganendra akan kumiliki seutuhnya,' tambah Alleta di dalam hati.

 

Alleta berpaling ke arah Abdi.

 

"Kau benar-benar laki-laki yang setia, Abdi," ucap Alleta.

 

Abdi tidak menjawab, ia hanya menatap Alleta dengan tajam.

 

"Namun, apakah aku boleh tahu kesetiaanmu sebenarnya dalam wujud apa?" tanya Alleta lagi.

 

Abdi bergeming. Ia tahu sedang berhadapan dengan siapa dan ia harus berhati-hati dengan apa yang akan ia ucapkan.

 

"Hmm ... kau ini pendiam atau memang gak mau bicara? Terserah kau saja. Yang pasti kau harus ingat status dan derajatmu di keluarga ini," tambah Alleta yang kemudian berjalan meninggalkan ruangan.

 

Alleta sebenarnya ingin melontarkan kalimat-kalimat pedas itu kepada Sassi. Ia sudah mulai bosan memendam rasa tidak sukanya. Ditambah lagi kehadiran Abdi yang selalu melindungi Sassi.

 

Alleta bergabung dengan Gie dan juga Ganendra yang menunggunya di depan pintu utama rumah sakit. Alleta melihat, mereka sedang terlibat pembicaraan serius.

 

"Jadi kau benar-benar nggak merasa kalau Abdi bukan suatu ancaman untuk pernikahanmu, Gan?" tanya Gie.

 

Ganendra hanya membuang pandangannya ke area parkiran.

 

"Untuk sementara ini nggak. Aku merasa bahwa Abdi hanyalah seorang penjaga untuk Sassi. Dia nggak akan berani macam-macam," jawab Ganendra.

 

"Kalian lagi ngobrolin apa sih?" tanya Alleta yang baru saja bergabung.

 

"Aku sudah bilang sama Ganendra. Kirim saja satu asisten yang ada di rumah untuk menjaga Sassi. Jangan biarkan mereka berdua saja," ujar Gie berusaha meyakinkan Ganendra.

 

"Abdi bukan laki-laki yang seperti itu, Gie," ucap Alleta santai.

 

"Kalau memang mereka mau, pasti sudah ada kejadian di antara mereka dari dulu. Lagipula, banyak perawat yang akan menjaga Sassi," tambah Alleta lagi.

 

"Kalian ini, kenapa nggak percaya sih? Perempuan dan laki-laki berduaan saja,  pasti ada yang ke tiganya. Yaitu ...." ucapan Gie terpotong.

 

"Ya ... ya, aku paham maksudmu, Gie. Sudahlah. Aku lelah sekali malam ini. Jika memang kau mau, kau masuklah kembali. Temani mereka. Aku mau pulang. Kau kan tadi yang menyuruhku beristirahat?" ucap Ganendra yang mulai melangkah menuju parkiran mobilnya.

 

Alleta menepuk bahu Gie pelan, kemudian ikut melangkah meninggalkan Gie sendirian.

 

Gie masih berdiri di depan pintu rumah sakit. Ada bimbang di hatinya. Ia ingin menemani Sassi, tetapi juga ada keraguan yang ia rasakan. Akhirnya ia pun berjalan menyusul Alleta.

 

Ganendra tiba terlebih dahulu di rumah. Tak ada lagi tamu di sana. Cindy dan Lukas menyambutnya.

 

"Bagaimana keadaan Sassi, Ganendra?" tanya Cindy.

 

"Sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, Tante. Dokter bilang, Sassi hanya perlu istirahat."

 

 

Cindy lega mendengarnya. Tak lama mobil Alleta tiba. Alleta dan Gie bergabung bersama mereka.

 

"Oya, Tante Cindy. Tolong kirim satu atau dua asisten dari rumah untuk menjaga Sassi. Minta sopir untuk mengantar mereka. Tolong ya, Tante. Kirim saat ini juga!" pinta Ganendra yang mulai melangkah ke lantai atas, menuju ke kamarnya.

 

________________

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status