Share

Suami Serabutan Ternyata Anak Sultan
Suami Serabutan Ternyata Anak Sultan
Author: Anisah97

BAB 1

KETIKA IBU MERTUAKU DATANG BERKUNJUNG

BAB 1

"Mas Fadli, sudah mau berangkat kerja?"

Suamiku yang baru pulang dari menyadap karet di kebun Pak Rt, menyapa suami dari kakak pertamaku dengan ramah.

Mas Fadli yang sudah memakai sepatu kerjanya berdiri seraya mengangkat dagunya memperlihatkan gaya sombong dan angkuh.

"Kamu tidak lihat? Belum buta 'kan?" Suami kakakku itu berkata dengan tatapan mengejek sambil berjalan ke arah motornya.

"Lagian tidak perlu tanya-tanya! Sudah tahu Fadli itu setiap hari Senin sampai Sabtu kerja, bukan seperti kamu yang setiap malam kerja tapi tidak ada hasilnya sama sekali!" Alih-alih ibuku menimpal dengan ketus dari dalam rumah.

Sedetik kemudian Ibu sudah keluar dari dalam rumah, aku yang sedang menyiram bunga langsung menghentikan aktivitas.

"Iya, mending pulang dari nyadap langsung mandi, biar tidak merusak bau parfum suamiku yang mahal itu! Kerja bagai kuda hasilnya tidak ada!" ejek Mbak Gina dengan tersenyum miring.

"Apa kalian lupa? Siapa yang membeli beras dan kebutuhan dapur untuk mengisi perut kalian?" Aku melemparkan pertanyaan setelah Mbak Gina menyelesaikan ejekkannya pada suamiku, Mas Ilham.

"Alah! Mau hitung-hitungan segala, resiko menumpang ya gitu, sadar diri dong, wajar kalian mengeluarkan sedikit biaya karena kalian hanya numpang di rumah ini!"

"Terus? Mbak Gina pemilik rumah ini, gitu? Sekarang aku tanya, Mbak mengeluarkan apa saja sejak tinggal di rumah Ibu?" ucapku, Mbak Gina tampak memutar bola mata ke sana ke mari seperti mencari jawaban.

"Anggita! Jaga ucapanmu ketika berbicara dengan kakakmu, apa kamu sudah kehilangan sopan santun setelah menikah dengan Ilham!?"

"Kenapa Ibu hanya menyuruh aku yang-"

"Sayang, sudah, tidak baik pagi-pagi berantem hanya karena masalah sepele, didengar tetangga malu, ayo." Mas Ilham menarik lenganku untuk masuk.

Suamiku bekerja menyadap karet dan kerja sampingan lainnya, seperti membersihkan kebun milik orang, yang upahnya dibayar perhari.

"Aku berangkat kerja dulu, pulangnya agak telat sedikit, karena hari ini ada meeting di kantor, biasalah, orang kantoran ya begini, beda sama yang kerja serabutan!" Terdengar suara Mas Fadli pamit dan mengolok-olok pekerjaan suamiku.

"Pulang telat agak lamaan juga tidak apa-apa, Mas. Bulan depan 'kan, kita mau beliin Ibu sofa baru, jadi kerja yang semangat," ucap Mbak Gina.

"Untung ada kalian, kalau tidak, entah kapan sofa butut itu berganti dengan yang baru, kamu tahu sendiri 'kan? Suaminya Anggita itu sama sekali tidak bisa diharapkan!" Ibu berkata dengan volume suara yang besar. Aku hanya menghela nafas panjang mendengarnya.

Apa Ibu tidak ingat siapa yang merawatnya saat dia sakit? Siapa yang sudah susah payah ke sana ke mari mencari uang untuk biaya pengobatannya dulu?

"Sabar," ucap Mas Ilham sambil mengusap punggung tanganku. Kami berdua berada di meja makan, makanya kami ikut mendengar pembicaraan mereka di teras.

"Pulang-pulang langsung makan. Makan terus kerjaanmu, Ilham! Lihat Fadli, pagi-pagi sudah pergi ke kantor karena berniat mau membelikan mertuanya sofa baru!" Ibuku menatap tajam ke arah Mas Ilham yang tengah mengunyah makanan.

"Syukurlah kalau begitu, Bu. Ilham senang mendengarnya." Mas Ilham berucap sambil mendorong piring sarapan nasi goreng yang ada dihadapannya. Aku tahu, dia tidak berselera untuk melanjutkan sarapannya lagi.

"Senang terus ucapanmu, sekali-kali dicontohi si Fadli itu, beliin kulkas kek atau apa gitu, sesekali nyenangin mertua kek!" sungut Ibu sambil menyendokkan nasi goreng ke dalam piringnya.

'Apa ibu tidak sadar dalam berkata? Nasi dan apa yang ada diatas meja ini, hasil dari keringat suamiku yang menyadap karet ditengah malam buta.' batinku, aku hanya bisa menjawab di dalam hati, rasanya tidak tahan lagi untuk sabar dengan perkataan ibuku yang menyakiti hati suamiku.

Kupandangi suamiku yang hanya tersenyum menanggapi omelan ibuku.

"Ha-ha, Ibu ini ada-ada saja, minimal mikir dulu sebelum berbicara, mana mungkin, Ilham membelikan kulkas untuk Ibu, beli daster yang baru untuk Anggita saja tidak bisa! Ha-ha-ha!"

"Bisa saja, Mbak. Kalau kami pergi dari rumah ini!"

"Anggita! Menjawab saja kerjaanmu, apa kamu mau meninggalkan Ibu di sini? Apa kamu mau ingkar janji kepada almarhum bapakmu yang meminta kamu untuk menjaga Ibu? Mau pergi ke mana kamu, hah?" Ibu emosi dengan mata yang melotot tajam menatapku.

"Sekarang sudah ada Mbak Gina yang menjaga Ibu, untuk apa lagi kami ada di sini? Anggap saja Anggita sudah ingkar janji kepada almarhum bapak," ucapku dengan nada setenang mungkin.

Kupandangi Mas Ilham yang hanya menatapku tanpa ekspresi. Kalau dulu aku berbicara ingin pergi dari rumah ini, Mas Ilham pasti akan menggeleng-geleng cepat. Mungkin, suamiku sudah merasa bosan melihat sikap ibuku yang makin hari makin menjadi, semenjak Mbak Gina pindah ke rumah ini karena rumah lamanya sudah dijual untuk membayar hutang. Hutang apa pun aku tidak tahu.

"Pergi lah! Jangan anggap aku ibumu setelah kakimu keluar dari rumah ini!" sergah ibuku murka.

BERSAMBUNG...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status