Hana menyalakan mobilnya, dan di saat itulah dia ingat bahwa mobilnya mengalami mogok. Dia menatap Green.
"Mobilku tidak bisa menyala. Aku tidak begitu paham soal mobil."
"Aku...juga tidak begitu paham tapi biar aku periksa sebentar," ucap Green agak ragu. Dia lalu memeriksanya. Green sedikit memahami mesin lantaran Paman Budi adalah karyawan bengkel mobil dan motor, dan Green terkadang suka membantu pamannya jika lembur.
•
•
Hana menghela nafas berat. Dia kembali teringat pada Marcell. Semua rencana gagal begitu saja. Marcell pasti akan marah padanya. Papanya juga pasti akan marah. Ini semua karena mobil ini mogok. Tidak, tidak. Bukan semata karena mobil saja. Ini karena dia mampir ke rumah Sartika. Hana kemudian melirik makanan dari Sartika yang ia letakkan begitu saja di belakang, di kursi penumpang. Sepertinya makanan itu akan ia makan saja bersama Green. Hana sudah merasa lapar rasanya. Dia pun keluar dari mobil dan menatap Green yang sedang sibuk memperbaiki mobilnya.
"Apa masih lama, Green? Bagaimana kalau kita makan dulu. Kebetulan aku membawa makanan di mobil," tawar Hana.
"Ini sudah selesai," ucap Green.
"Ah syukurlah. Terima kasih, Green."
Setelah memastikan mobil bisa hidup kembali, Hana dan Green memakan makanan yang ia bawa dari tempat Sartika tersebut. Siapa sangka rasanya enak sekali. Hana benar-benar tidak akan percaya kalau Sartika sepintar ini membuat kue jika saat ini dia tidak memakannya.
"Kita menghabiskan semuanya. Apa tidak apa-apa?" tanya Green, kemudian meminum minuman buah segar dalam botol.
Hana terkekeh. "Tidak apa-apa. Aku kenyang sekali."
"Sama. Aku juga kenyang. Tampaknya kamu tidak perlu mentraktirku lagi malam ini," ucap Green tersenyum.
"Baiklah. Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang. Kamu tinggal di mana?" tanya Hana dengan wajah ceria.
Green menggeleng. "Aku tidak punya tempat tinggal sekarang."
"Keluargamu tinggal di mana?"
"Aku sendirian. Aku tidak punya siapa-siapa," jawab Green.
"Bagaimana mungkin? Selama ini kamu tinggal di mana?" tanya Hana merasa tak percaya. Apa benar Green sendirian?
"Selama ini aku menumpang dengan satu keluarga yang baik hati. Tapi aku merasa sudah terlalu merepotkan mereka, padahal kami tidak memiliki hubungan darah. Jadi aku pamit melalui surat dan pergi."
Mulut Hana terbuka. "Jadi kamu yatim piatu?"
Green menunduk dan tersenyum kecut, bukankah itu berarti dia memang anak yatim piatu? Hana merasa kasihan pada Green. Dia pun teringat dengan apartemen yang ia miliki, yang dihadiahkan papanya padanya belakangan ini. Hana menawarkan Green untuk bermalam di sana sebelum nanti mereka akan mencari dan menemukan tempat kos yang cocok untuk Green. Green setuju untuk menginap semalam di sana. Sebenarnya Green sendiri merasa tidak enak. Tetapi situasinya pun tidak bisa diajak berkompromi. Dia benar-benar membutuhkan seseorang untuk membantunya, dan Hanalah yang kebetulan ada di dekatnya saat ini untuk membantunya.
Mereka pun sampai di apartemen Hana, dan tampaknya ada seseorang yang sedang mengikuti mereka secara diam-diam, tidak tahu sejak kapan.
Green dan Hana memasuki apartemen. Apartemen milik Hana hanya satu lantai tetapi cukup luas. Green mengedarkan pandangannya pada keseluruhan apartemen. Tempat itu cukup cantik dan tampak mewah, tetapi masih relatif kosong.
"Apa tidak apa-apa kamu menumpangiku di sini?" tanya Green sedikit ragu, biar bagaimana pun dia adalah orang yang tidak dikenal Hana. Bagaimana kalau orang tuanya marah?
"Tidak apa-apa, ini apartemen milikku," ucap Hana santai. Tetapi kemudian kepalanya terasa pusing. Dia sedikit oleng.
"Hana? Kamu kenapa?" Green segera meraih tangan Hana. Kening Hana mengerut. Dia merasakan pusing yang berbeda dan seluruh tubuhnya mulai terasa panas.
"Aku..." Kening Hana semakin mengerut, pikirannya mulai mengabur.
"Kamu tidak apa-apa?" Green mendekat dan menundukkan wajahnya memperhatikan wajah Hana yang tampak memerah. Apa Hana sakit?
Wajah Hana mendongak dan matanya tertuju pada bibir Green yang tampak merah dan ranum. Hana menelan ludahnya. Tanpa menjawab, dia langsung berjinjit memeluk leher Green dan memagut bibirnya. Mata Green pun seketika terbelalak merasakannya.
•
Sementara itu di tempat lain, Sartika sedikit merasa cemas karena tidak bisa menghubungi Hana. Hana sendirilah yang sengaja mematikan ponselnya karena dia sudah terlambat ke acara dan papanya pasti akan langsung menghubunginya dan marah-marah lewat telepon. Hana tidak suka menghadapi hal seperti itu. Lebih baik dia menghadapi papanya secara langsung.
Apakah semua berjalan dengan lancar? Sartika sebenarnya memiliki kejutan dalam makanan dan minuman yang ia buat. Dia menambahkan sedikit dosis obat perangsang di dalamnya, sekali lagi, hanya sedikit saja. Maksud hatinya baik. Dia ingin agar Hana setidaknya berhasil mendapat ciuman pertamanya dengan Marcell ketika bersama. Pasti Hana akan berterima kasih sekali padanya akan hal itu. Sartika sudah tidak sabar menunggu Hana bercerita tentang kejadian hari ini bersama Marcell. Sartika akan menjadi pahlawan Hana di sini.
***
Pagi hari tiba.
BRAKKK!
Sebuah pintu kamar dibuka dengan kasar hingga terbanting ke tembok. Hana dan Green yang masih tertidur lelap, seketika itu juga terbangun mendengar suara keras tersebut. Tuan Anton Winatalah yang membuka pintu dengan kasar. Wajahnya langsung memerah padam melihat apa yang dia saksikan saat ini.
Apa yang tampak di sana benar-benar sulit untuk dijelaskan. Hana dan Green tidur di ranjang yang sama dan hanya mengenakan pakaian dalam. Para bawahannya hanya bisa berpaling melihat keadaan memalukan dari putri bosnya. Mereka mengira bahwa Hana sedang telanjang.
"Apa yang terjadi!" tanya Hana gugup sambil cepat-cepat menarik selimutnya. Sesungguhnya tidak ada yang terjadi antara Hana dan Green. Tadi malam karena pengaruh obat Sartika, mereka kepanasan dan membuka baju luar mereka masing-masing. Dan walaupun mereka sempat berciuman tetapi mereka hanya tertidur begitu saja di ranjang yang sama.
Tuan Winata emosi seketika. "Dasar binatang!" Dia menarik Green dan melemparkannya keluar kamar. Bruakk!! Terdengar bunyi keras. Green meringis kesakitan. Dia hanya mengenakan celana dalam saja. Dia sendiri bingung, tidak mengerti apa yang sedang terjadi sekarang. Tuan Winata melangkah cepat dan mulai menghajarnya. Hana sempat tercengang, dan begitu sadar dia lekas-lekas memakai pakaiannya dan berlari menghalangi papanya
"Pa, Green tidak salah. Kami tidak melakukan apa-apa. Percaya padaku!" teriak Hana. Walaupun dia cukup ragu akan apa yang dia katakan, tetapi dia merasa tidak ada satu kekurangan pun dalam tubuhnya. Ucapannya membuat Tuan Anton Winata berhenti memukulinya.
"Apa kamu sedang membelanya sekarang?"
"Tidak, Pa. Kalau kami melakukannya pasti akan terasa sakit. Aku merasa tidak ada kekurangan pada tubuhku. Aku merasa baik-baik saja," ucap Hana meyakinkan. Dengan singkat dia menceritakan apa yang terjadi tadi malam. Mulai dari kunjungannya ke rumah Sartika hingga akhirnya dia berakhir di ranjang bersama Green.
•
•
"Pa, maafkan aku," lirih Hana. Dia tahu papanya pasti sangat kecewa padanya. Dia tidak jadi pergi ke acara itu dan bahkan melanggar peraturan lalu lintas. Tuan Winata duduk lemas di kursi sofa. Dia tahu bahwa Hana saat ini berucap jujur. Tuan Anton Winata pun menatap tajam pada Green yang saat ini duduk di lantai dengan beberapa memar di wajahnya. Walaupun agak kurus tetapi Green sangatlah tampan dan tinggi. Green memiliki bola mata hazel, hidung mancung, alis rapi dan tebal, bibir yang tampak penuh dan berwarna merah, juga bentuk rahang yang sempurna. Tadinya Anton sempat berpikir bahwa Green adalah orang suruhan untuk menggoda dan menjebak Hana, tetapi itu jelas tidak mungkin. Hana melanggar lalu lintas dengan memasuki area jembatan layang adalah sesuatu yang tidak terduga, dan lelaki ini sudah berada di sana sebelumnya. Ini adalah kebetulan, tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Seseorang telah menguntit Hana dan mengirimkan beberapa foto Hana dengan Green pada Tuan Winata. Ini pasti akan dijadikan alat untuk membuat skandal besar agar mempermalukan dan menjatuhkan keluarga Winata di hadapan masyarakat.
"Makanan dan minuman buah. Papa yakin temanmu itu telah menaruh sesuatu di dalam sana," ucap Tuan Anton Winata dengan geram. "Temanmu itu benar-benar bodoh! Lebih baik mulai sekarang hindari temanmu yang bodoh itu. Kalau tidak, kamu akan lebih celaka lagi." Mendengar keseluruhan cerita Hana tentang makanan yang sempat mereka makan sebelum melaju ke apartemen tadi malam, membuat Tuan Anton menebak penyebabnya dengan benar.
Tentu saja Tuan Anton bisa menyimpulkan bahwa Sartika bermaksud baik melakukannya. Tuan Anton cukup mengenali Sartika, sahabat putrinya itu yang selalu mendukung Hana. Tetapi tindakannya kali ini adalah tindakan yang gegabah dan sangat merugikan putrinya.
Hana hanya bisa tercengang mendengarnya. Dia setuju, sudah pasti karena itu. Sartika sungguh berlebihan kali ini.
Tuan Winata memelototi Green. "Bawa anak itu dan kurung di satu tempat!"
"Tuan," ucap Green dengan suara bergetar. Dia sangat terkejut karena akan dikurung.
"Pa, tolong jangan sakiti dia!" Hana sangat keberatan. Green sendiri ingin kembali membuka mulut tetapi dia tidak berani berkata apa-apa. Saat ini dia sangat takut. Dia juga tidak yakin apakah dia telah meniduri Hana atau tidak. Yang dia ingat mereka sempat berciuman sampai matanya terbelalak tadi malam.
"Papa hanya menahannya sampai semuanya jelas!" tegas Tuan Anton Winata. Maka Green diberi kesempatan memakai pakaiannya lalu digiring dari tempat itu.
"Tolong obati lukanya dan beri makan. Perlakukan dia dengan baik!" Hana sempat berkata demikian sebelum Green berlalu.
"Baik, Nona," jawab para bawahan itu.
Setelah mereka berlalu, Tuan Anton pun menunjukkan foto Hana dan Green yang saling berpelukan di jembatan layang. Hana sungguh tercengang melihatnya.
"Ini..?"
"Semua sudah kacau, Hana. Ini semua karena sifatmu yang terlalu impulsif dan bodoh!" bentak Tuan Winata.
Hana sempat terdiam. Dia tahu papanya sangat marah saat ini. Tetapi dia tetap harus menanyakan apa yang ada di dalam hatinya.
"Apa Papa sudah menyelidiki siapa yang menguntitku?"
"Tidak perlu. Sudah jelas mereka adalah salah satu dari pesaing bisnis Papa. Mereka menguntit dan berhasil mendapat celamu kali ini. Sebentar lagi dia pasti menghubungi Papa."
Dan benar saja, orang yang dimaksud meneleponnya sekarang.
***
Bersambung..
Mata Hana melebar menunggui papanya yang sedang bertelepon. Melihat mimik emosi dari wajah ayahnya membuat perasaan Hana semakin tidak tenang. Semakin dia mendengar pembicaraan itu, semakin gusarlah dirinya.Pikiran Anton benar-benar rumit saat ini. Yang meneleponnya adalah pemilik Perusahaan Milan, Tuan Alex Milan. Dia menginginkan Hana menikah dengan bocah yang bermalam bersama Hana di apartemen. Jika Anton menolak, Alex tidak akan segan-segan menyebarkan skandal besar bahwa Hana telah membawa seorang lelaki tampan ke apartemennya dan menghabiskan malam bersamanya hingga pagi. Alex memiliki bukti konkrit yang tidak akan bisa disangkal, dan ini akan sulit untuk diklarifikasi. Nama baik keluarga Winata terancam akan hancur. Sungguh picik!Alex Milan dan tentunya pengusaha lainnya tahu betul bahwa keluarga Winata pasti berencana untuk menangkap ikan besar dengan menggunakan Hana, putri mereka yang cantik jelita untuk menggaet Marcell Williams
Green saat ini berada di sebuah ruangan terkunci yang hanya berisi sebuah ranjang dan sebuah meja. Di ruangan itu, juga terdapat toilet. Seluruh memar dan luka di tubuh dan wajahnya sudah diobati, dia juga diberi makan. Pengawal-pengawal itu memperlakukan dia dengan baik. Tetapi Green saat ini sedang gusar. Walaupun gadis itu berkata bahwa dia tidak kekurangan satu hal pun dari tubuhnya, tetap saja Green memiliki keraguan tersendiri. Itu semua karena dia dan gadis itu hanya menyisakan pakaian dalam di tubuh mereka. Green masih berupaya keras mengingat kejadian tadi malam. Tetapi semakin dia mencoba untuk mengingatnya, semakin sakitlah kepalanya.Dengan sebelah tangan, dia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Yang dia ingat cuma adegan ciuman saja, setelah itu dia tidak ingat apa pun. Bagaimana seluruh bajunya terbuka dan hanya menyisakan pakaian dalam, dia juga tidak ingat sama sekali. Apa benar dia telah berbuat tak senonoh dengan gadis itu? Green saat ini
Hana menatap Green dengan wajah sendu membuat Green semakin kaku. Terlihat bahwa Hana terpaksa melakukan pernikahan ini. Tetapi walaupun demikian, Hana tetap menautkan tangannya ke lengan Green. Dengan iringan musik, Green dan Hana melangkah memasuki tempat ibadah. Hana mengedarkan pandangannya sekejap, tetapi tidak melihat tanda-tanda kehadiran neneknya, Nyonya Besar Erina Winata. Hana mendesah, dia bisa menebak bahwa neneknya itu pasti marah sekali mendengar pernikahan dadakan ini. "Hana, kamu tidak apa-apa?" Terdengar suara setengah berbisik. Hana mendongak menatap Green. "Tidak begitu baik. Kamu sendiri tidak apa-apa?" Hana balik bertanya. "Aku tidak tahu," jawab Green. Dia sendiri merasa takut memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Sebagai suami, apakah dia dituntut harus memiliki tanggung jawab? Jika ia dituntut, apakah ia akan mampu? Tetapi, bukankah ini adalah pernikahan pura-pura
Wajah Anton dan Jihan merah padam melihat Green yang sedang kejang-kejang terkapar di lantai. Mereka syok dan sangat malu, hingga mulut mereja bergetar emosi tetapi tidak tahu harus berkata apa. Hana yang juga sempat terkejut, dengan ragu mencoba mendekat dan berjongkok di dekat Green. Sementara orang-orang mulai sibuk mengeluarkan ponsel untuk merekam videonya. Bagi para kerabat keluarga Winata, ini adalah lelucon yang tak diduga-duga. Menikahnya Hana saja sudah menjadi tanda tanya besar, apalagi melihat pasangan Hana yang ternyata hanyalah sosok yang seperti ini!Di antara para kerabat, keluarga Winatalah yang paling menonjol. Nyonya besar Erina Winata telah berhasil membawa nama baik Winata menjadi lebih terhormat hingga masa kini. Dia juga telah berhasil mendidik keempat anaknya menjadi sukses. Kecerdasan keluarga Winata juga tidak perlu dipertanyakan karena begitu menonjol. PT Andalan Winata adalah bukti konkrit yang tak terbantahkan.T
Green Williams terkena epilepsi ketika ia masih bayi. Waktu itu, ibu tirinya, Nyonya Sally Williams, tidak sengaja menjatuhkannya ke lantai dan jatuhnya cukup keras. Sejak itu, Green sering mengalami kejang. Albert, ayah dari Green, sudah membawa Green untuk melakukan pengobatan hingga ke luar negeri, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti akan penyakit Green. Green tetap saja mengalami kejang di waktu yang tak menentu. Tiga tahun kemudian, Green memiliki adik laki-laki yang bernama Marcell Williams. Sejak itu, Green diperlakukan dengan cara yang berbeda. Green tidak dianggap anak lagi. Mereka malu memiliki anak seperti Green. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menitipkan Green pada pengasuhnya. Tetapi di keluarga Williams sendiri, Albert mengumumkan bahwa putranya, Green Williams, telah meninggal pada saat melakukan pengobatan di luar negeri. Kabar ini tentu sangat mengejutkan bagi Tuan besar Reyhans. Berita itu ia dengar tepat saat ia sedang
"Aku belum siap ketemu nenek, Pa. Lebih baik Papa dan Mama saja yang menemui nenek malam ini." Hana menolak dengan wajah sendu. Dia masih belum siap melihat wajah kecewa neneknya. Wajah sendu Hana, membuat Anton tampak berpikir kembali."Tapi Mama juga tidak setuju kamu dan dia menginap di apartemen berdua. Ingat, Hana, pernikahanmu ini bukan pernikahan sungguhan. Ini hanya sementara." Jihan menyela sambil melotot pada Green. Rasanya Jihan masih tidak percaya bahwa sekarang dia mempunyai menantu dengan penyakit yang menjijikkan seperti Green. Untuk sekali lagi menghadapi keluarga dan para kerabat Winata, rasanya benar-benar sudah tidak ada muka.Hana menatap ibunya dengan tatapan datar. "Apanya yang bukan sungguhan? Bahkan kami menikah di hadapan Tuhan," jawab Hana dengan suara lemah. Mendengar kalimat itu, Green menoleh pelan padanya."Hana, kita sudah membicarakan hal ini dengan jelas sebelumnya. Harusnya kamu pa
"Kita hanya berdua di kamar ini, tetapi kamu menutup pintunya. Jika Tuan dan Nyonya Winata tahu, kita akan dimarahi." Green mengingatkan dengan wajah polos. Memang apa yang dikatakannya mungkin benar, tetapi Hana punya pemikiran yang berbeda tentang itu. Bagi Hana, karena mereka sudah menikah, itu bukan menjadi masalah walaupun orang tuanya akan marah. Bagi Hana, berdua dengan Green di satu kamar bukan satu kesalahan. Hana memang seperti itu. Asalkan dia paham apa yang akan diperbuatnya tidak salah, dia tidak akan takut untuk melakukannya. "Tidak apa-apa, Green. Ada yang mau kubicarakan padamu." Hana melangkah dan duduk di tepi ranjang king size miliknya. "Ayo duduk di sini," ajaknya sambil menepuk sisi ranjang di sampingnya. Green pun mendekat dan duduk di samping Hana dengan kikuk karena posisi mereka saat ini berada di ranjang dan hanya berdua. Sementara itu, Hana mulai memasang wajah serius, ia tampak berpikir, ingin menyusun kata-kata yang akan ia ucapkan
"Kenapa aku tidak jijik?" Hana mengulang pertanyaan Green karena sedikit heran. Dia menurunkan tangannya dari tubuh lelaki itu dan menatap wajahnya. Dengan wajah menunduk Green kembali membuka suaranya, "Bukannya seharusnya jijik ya? Soalnya orang-orang yang sudah pernah melihatku kambuh, hampir semuanya memberikan pandangan jijik padaku. Kecuali keluarga yang sudah mengasuhku. Mereka merawatku sejak kecil, dan mungkin karena itu mereka sudah terbiasa dan tidak jijik. Tapi kamu?" Green memberi jeda lalu menoleh menatap wajah Hana. "Kita bahkan baru bertemu tadi malam," ucapnya kemudian. "Aku tidak jijik karena jijik terhadap orang yang sedang sakit bukanlah sifat yang terpuji. Sebaliknya daripada merasa jijik, bukankah harusnya kasihan? Aku yakin sekali selain aku dan keluarga pengasuhmu, masih ada orang-orang lain yang tidak jijik pada penderita epilepsi, dan jumlahnya tentu tidak sedikit. Bahkan mungkin mereka bersimpati pada kalian. H