Mata Hana melebar menunggui papanya yang sedang bertelepon. Melihat mimik emosi dari wajah ayahnya membuat perasaan Hana semakin tidak tenang. Semakin dia mendengar pembicaraan itu, semakin gusarlah dirinya.
Pikiran Anton benar-benar rumit saat ini. Yang meneleponnya adalah pemilik Perusahaan Milan, Tuan Alex Milan. Dia menginginkan Hana menikah dengan bocah yang bermalam bersama Hana di apartemen. Jika Anton menolak, Alex tidak akan segan-segan menyebarkan skandal besar bahwa Hana telah membawa seorang lelaki tampan ke apartemennya dan menghabiskan malam bersamanya hingga pagi. Alex memiliki bukti konkrit yang tidak akan bisa disangkal, dan ini akan sulit untuk diklarifikasi. Nama baik keluarga Winata terancam akan hancur. Sungguh picik!
Alex Milan dan tentunya pengusaha lainnya tahu betul bahwa keluarga Winata pasti berencana untuk menangkap ikan besar dengan menggunakan Hana, putri mereka yang cantik jelita untuk menggaet Marcell Williams. Dibandingkan langsung menyebarkan skandal tersebut, Alex Milan lebih memilih agar Hana menikah saja. Separah apapun sebuah gosip pasti bisa saja diklarifikasi jika gosip itu tidak benar. Apalagi Alex tahu kalau Hana bertemu dengan bocah itu dengan tidak sengaja dan waktu itu Hana mencegahnya untuk bunuh diri. Alex meyakini bahwa Hana pasti memiliki alibi tersendiri, mengapa dia bermalam dengan lelaki itu di apartemen. Dan kemungkinan, walaupun kemungkinannya kecil, Marcell bisa saja memercayainya, karena Hana adalah sosok wanita yang cantik dan pintar meyakinkan seseorang. Tetapi jika Hana menikah, harapan untuk menggaet ikan besar seperti Marcell pasti benar-benar pupus. Kalaupun pernikahan itu hanya pura-pura, keluarga Williams pasti tidak akan sudi mengambil seorang perempuan bersatus janda seperti Hana sebagai menantu mereka. Dan nantinya, putrinya sendiri, Veronika Milan, akan memiliki peluang besar untuk mendapatkan Marcell karena saingan beratnya sudah tersingkirkan.
Putri Alex Milan yang bernama Veronika Milan adalah gadis yang cantik, tetapi entah kenapa dalam segala hal, dia selalu di bawah Hana. Jika Hana mendapat peringkat satu, Veronika selalu mendapat urutan yang kedua. Veronika Milan sangat menyukai Marcell tetapi dia sulit mendapat kesempatan untuk mendekatinya selama Hana ada. Hana selalu lebih menonjol. Jika Hana mundur, Veronika pasti akan berhasil mendapatkan Marcell. Nama keluarga Milan pun akan sangat harum dan terpandang.
"Apa kau pikir saya bodoh? Jika saya menikahkan Hana, kau tetap akan menyebarkan skandal itu!" ucap Anton.
Alex Milan terkekeh mendengarnya. "Terserah anda mau percaya atau tidak, Tuan Winata. Anda tidak sedang dalam posisi yang bagus saat ini. Anda hanya bisa menuruti saya. Jika Anda tidak menikahkannya dengan bocah itu hingga sore nanti, saya akan menyebarkan skandal ini. Tetapi jika Anda menikahkannya, saya jamin skandal ini akan saya telan sendiri."
"Sebarkan saja skandal itu, saya tidak takut. Putri saya memiliki alasan tersendiri tentang kejadian di apartemen," ucap Tuan Anton geram.
Sesungguhnya walaupun dia berkata seperti itu, itu tidak benar-benar dari hatinya. Dia sungguh takut jika nama baik keluarga Winata hancur karena putrinya. Pasti Nyonya besar Winata, ibu dari Anton sendiri, akan memecat Anton sebagai CEO dari perusahaan dan memberikannya pada anak nomor dua, adik laki-laki Anton sendiri. Anton tidak akan membiarkan hal itu terjadi, tetapi dia juga tidak suka diancam seperti ini. Jika Hana menikah, harapan untuk menangkap ikan besar seperti Marcell hanya tinggal mimpi. Dia tahu pasti itulah tujuan Alex meminta Hana menikah.
Alex Milan sedikit mengerutkan kening di seberang mendengar ucapan Tuan Anton yang tampaknya tidak takut sedikit pun. Apa ancamannya tidak berhasil? Tetapi Alex tidak akan mundur.
"Baiklah kalau Anda tidak takut. Saya sebarkan hari ini juga. Dan siap-siaplah menghadapi kesusahan!"
Anton menggerakkan gigi. Rahangnya mengeras. "Aku tahu tujuanmu. Kau hanya tidak ingin Hana mendekati Marcell kan? Kalau itu syaratnya akan saya penuhi. Hana tidak akan mendekati Marcell. Tetapi untuk menikahkannya, saya akan menolak. Putri saya masih muda. Apa kata orang jika dia menikah secepat ini? Kemungkinan dia tetap akan mendapat cela."
Anton berbohong ketika dia mengatakan bahwa Hana tidak akan mendekati Marcell. Tujuannya hanya untuk mengulur waktu sampai Hana bisa menjelaskan segala situasinya pada Marcell nanti dan berhasil meyakinkannya sebelum skandal itu tersebar.
Kali ini Alex tersenyum simpul. Dia pun menyadari kalau Anton sebenarnya khawatir.
"Benar. Itulah yang kumau," jawab Alex jujur. Tidak ada yang perlu ditutupinya. "Sayangnya aku tidak memercayaimu, Tuan Winata. Kau tetap harus menikahkan Hana dengan lelaki itu. Kau boleh mengadakan pernikahan yang tertutup agar Hana tidak malu karena menikah muda. Tetapi aku akan hadir di sana sebagai saksinya. Aku berjanji tidak akan menyebarkan pernikahan ini kecuali kau melanggar janjimu. Jika Hana memiliki hubungan dengan Marcell, berita pernikahan ini akan langsung tersebar."
Sialan!
Anton mati kutu. Mau tidak mau dia terpaksa harus menikahkan Hana dengan bocah itu. Sungguh benar-benar sial!
•
•
"Tidak! Aku tidak mau menikah dengan Green!" Suara Hana meninggi. Dia sangat syok mendengar perintah papanya. Yang disukainya adalah Marcell, tetapi dia harus menikah dengan Green lelaki yang baru dia kenal setengah hari. Sungguh konyol!
"Kita tidak punya pilihan. Kamu sudah mendengar sendiri pembicaraan tadi kan? Ini semua kesalahanmu! Jadi tanggunglah akibatnya."
"Pa! Bukankah rencana kita adalah Marcell, dan aku menyukainya! Apa Papa tidak punya jalan keluar lain?" Mata Hana berkaca-kaca. Ini seperti mimpi buruk.
Tuan Anton mendesah. Dia sejenak berpikir sebelum kemudian dia berkata, "Ini bukan pernikahan sungguhan. Ini hanya sementara. Sampai kamu benar-benar bisa meyakinkan Marcell akan apa yang terjadi kemarin, kamu bisa bercerai dari bocah itu. Jika Marcell mencintaimu, mungkin skandal itu akan menjadi tidak berarti lagi. Kita tidak punya pilihan, Hana."
Wajah Hana memerah mendengarnya. "Pa, pernikahan adalah sesuatu yang suci. Bukan untuk main-main. Aku tidak bisa memainkan pernikahan! Lebih baik biarkan saja semua mengalir, biarkan Tuan Milan itu menyebarkannya. Aku merasa tidak bersalah. Aku tidak takut!" ucap Hana tegas walaupun tubuhnya saat ini bergetar.
Hana tahu gunjingan macam apa yang akan dia hadapi jika skandal itu tersebar. Nama baiknya akan buruk, bahkan mungkin dia akan dikeluarkan dari sekolah karena telah mencemari nama baik sekolah dengan perbuatan tak senonoh. Jika dia tidak berhasil meyakinkan orang-orang akan alasan yang dia miliki, hidupnya pasti akan hancur. Tetapi menikah adalah pilihan yang tidak tepat. Dia tidak akan menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya.
"Jangan bodoh! Dan jangan egois!" bentak Anton. "Kau pikir kalau kau hancur, kita sekeluarga tidak akan hancur? Papa sudah bertahun-tahun mengabdi pada perusahaan Winata. Dan kamu ingin semuanya hancur begitu saja? Berpikirlah dengan realistis!"
"Memangnya Papa percaya pada Tuan Milan itu! Bagaimana kalau dia tetap menyebarkan skandal, padahal aku sudah menikah!" teriak Hana dengan air mata yang sudah mengalir di pipi.
"Kita tidak punya pilihan selain menurutinya. Tapi kalau kau bisa meyakinkan Marcell akan kejadian kemarin, maka kau akan cepat terlepas dari pernikahan itu."
"Apa gunanya kalau aku sudah menikah? Lagian Marcell pasti tidak akan mau denganku jika dia tahu aku pernah menikah!"
"Papa tahu itu semua! Tapi tidak ada yang tidak mungkin. Kalau seseorang sudah cinta, dia tidak akan memedulikan status. Papa bisa melihat bahwa Marcell nantinya pasti akan menyukaimu. Tetapi saat ini kita tidak punya pilihan selain menuruti pria picik itu!" Anton menarik nafas dalam. "Kamu tenanglah, Papa akan berupaya sebisa mungkin mencari cela dari Alex, supaya kita tidak lagi berada di bawah ancamannya," ucap Tuan Anton dengan penuh dendam.
"Aku tidak yakin kalau Marcell akan tetap mau denganku. Kalaupun dia mau, keluarga Williams pasti tidak akan merestui kami jika tahu kalau aku sudah menikah!"
Suasana hening seketika. Anton tampak menerawang memikirkan sesuatu, kemudian dia menatap putrinya. "Kamu sendiri mengatakan kalau tadi malam tidak terjadi apa-apa antara kamu dan bocah itu, bukan?"
Hana mengangguk kuat. "Iya, aku masih suci, Pa!"
"Papa percaya padamu. Asalkan kamu terus menjaga kesucianmu, kamu pasti akan mendapatkan Marcell, apapun tantangannya." Anton mendesah. "Untuk saat ini yang perlu kita lakukan adalah mencegah skandal itu tersebar. Papa tahu keluarga Milan itu licik. Ada kemungkinan juga dia tetap akan menyebarkan skandal tadi malam, tapi kita tidak punya pilihan lain selain mencoba menuruti keinginannya. Kalaupun dia menyebarkannya, pernikahan ini tetap ada manfaatnya. Kita bisa mengatakan bahwa bocah itu memang tunanganmu. Kalaupun orang-orang tidak percaya di dalam hati mereka, faktanya kalian sudah menikah. Intinya, pernikahan ini sendiri dapat menyelamatkan nama baikmu dan keluarga agar tidak hancur."
Hana hanya bisa terduduk lemas. Semua penalaran papanya tidak bisa ia tampik. Sore ini juga dia akan menikah dengan Green.
Bersambung...
Green saat ini berada di sebuah ruangan terkunci yang hanya berisi sebuah ranjang dan sebuah meja. Di ruangan itu, juga terdapat toilet. Seluruh memar dan luka di tubuh dan wajahnya sudah diobati, dia juga diberi makan. Pengawal-pengawal itu memperlakukan dia dengan baik. Tetapi Green saat ini sedang gusar. Walaupun gadis itu berkata bahwa dia tidak kekurangan satu hal pun dari tubuhnya, tetap saja Green memiliki keraguan tersendiri. Itu semua karena dia dan gadis itu hanya menyisakan pakaian dalam di tubuh mereka. Green masih berupaya keras mengingat kejadian tadi malam. Tetapi semakin dia mencoba untuk mengingatnya, semakin sakitlah kepalanya.Dengan sebelah tangan, dia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Yang dia ingat cuma adegan ciuman saja, setelah itu dia tidak ingat apa pun. Bagaimana seluruh bajunya terbuka dan hanya menyisakan pakaian dalam, dia juga tidak ingat sama sekali. Apa benar dia telah berbuat tak senonoh dengan gadis itu? Green saat ini
Hana menatap Green dengan wajah sendu membuat Green semakin kaku. Terlihat bahwa Hana terpaksa melakukan pernikahan ini. Tetapi walaupun demikian, Hana tetap menautkan tangannya ke lengan Green. Dengan iringan musik, Green dan Hana melangkah memasuki tempat ibadah. Hana mengedarkan pandangannya sekejap, tetapi tidak melihat tanda-tanda kehadiran neneknya, Nyonya Besar Erina Winata. Hana mendesah, dia bisa menebak bahwa neneknya itu pasti marah sekali mendengar pernikahan dadakan ini. "Hana, kamu tidak apa-apa?" Terdengar suara setengah berbisik. Hana mendongak menatap Green. "Tidak begitu baik. Kamu sendiri tidak apa-apa?" Hana balik bertanya. "Aku tidak tahu," jawab Green. Dia sendiri merasa takut memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Sebagai suami, apakah dia dituntut harus memiliki tanggung jawab? Jika ia dituntut, apakah ia akan mampu? Tetapi, bukankah ini adalah pernikahan pura-pura
Wajah Anton dan Jihan merah padam melihat Green yang sedang kejang-kejang terkapar di lantai. Mereka syok dan sangat malu, hingga mulut mereja bergetar emosi tetapi tidak tahu harus berkata apa. Hana yang juga sempat terkejut, dengan ragu mencoba mendekat dan berjongkok di dekat Green. Sementara orang-orang mulai sibuk mengeluarkan ponsel untuk merekam videonya. Bagi para kerabat keluarga Winata, ini adalah lelucon yang tak diduga-duga. Menikahnya Hana saja sudah menjadi tanda tanya besar, apalagi melihat pasangan Hana yang ternyata hanyalah sosok yang seperti ini!Di antara para kerabat, keluarga Winatalah yang paling menonjol. Nyonya besar Erina Winata telah berhasil membawa nama baik Winata menjadi lebih terhormat hingga masa kini. Dia juga telah berhasil mendidik keempat anaknya menjadi sukses. Kecerdasan keluarga Winata juga tidak perlu dipertanyakan karena begitu menonjol. PT Andalan Winata adalah bukti konkrit yang tak terbantahkan.T
Green Williams terkena epilepsi ketika ia masih bayi. Waktu itu, ibu tirinya, Nyonya Sally Williams, tidak sengaja menjatuhkannya ke lantai dan jatuhnya cukup keras. Sejak itu, Green sering mengalami kejang. Albert, ayah dari Green, sudah membawa Green untuk melakukan pengobatan hingga ke luar negeri, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti akan penyakit Green. Green tetap saja mengalami kejang di waktu yang tak menentu. Tiga tahun kemudian, Green memiliki adik laki-laki yang bernama Marcell Williams. Sejak itu, Green diperlakukan dengan cara yang berbeda. Green tidak dianggap anak lagi. Mereka malu memiliki anak seperti Green. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menitipkan Green pada pengasuhnya. Tetapi di keluarga Williams sendiri, Albert mengumumkan bahwa putranya, Green Williams, telah meninggal pada saat melakukan pengobatan di luar negeri. Kabar ini tentu sangat mengejutkan bagi Tuan besar Reyhans. Berita itu ia dengar tepat saat ia sedang
"Aku belum siap ketemu nenek, Pa. Lebih baik Papa dan Mama saja yang menemui nenek malam ini." Hana menolak dengan wajah sendu. Dia masih belum siap melihat wajah kecewa neneknya. Wajah sendu Hana, membuat Anton tampak berpikir kembali."Tapi Mama juga tidak setuju kamu dan dia menginap di apartemen berdua. Ingat, Hana, pernikahanmu ini bukan pernikahan sungguhan. Ini hanya sementara." Jihan menyela sambil melotot pada Green. Rasanya Jihan masih tidak percaya bahwa sekarang dia mempunyai menantu dengan penyakit yang menjijikkan seperti Green. Untuk sekali lagi menghadapi keluarga dan para kerabat Winata, rasanya benar-benar sudah tidak ada muka.Hana menatap ibunya dengan tatapan datar. "Apanya yang bukan sungguhan? Bahkan kami menikah di hadapan Tuhan," jawab Hana dengan suara lemah. Mendengar kalimat itu, Green menoleh pelan padanya."Hana, kita sudah membicarakan hal ini dengan jelas sebelumnya. Harusnya kamu pa
"Kita hanya berdua di kamar ini, tetapi kamu menutup pintunya. Jika Tuan dan Nyonya Winata tahu, kita akan dimarahi." Green mengingatkan dengan wajah polos. Memang apa yang dikatakannya mungkin benar, tetapi Hana punya pemikiran yang berbeda tentang itu. Bagi Hana, karena mereka sudah menikah, itu bukan menjadi masalah walaupun orang tuanya akan marah. Bagi Hana, berdua dengan Green di satu kamar bukan satu kesalahan. Hana memang seperti itu. Asalkan dia paham apa yang akan diperbuatnya tidak salah, dia tidak akan takut untuk melakukannya. "Tidak apa-apa, Green. Ada yang mau kubicarakan padamu." Hana melangkah dan duduk di tepi ranjang king size miliknya. "Ayo duduk di sini," ajaknya sambil menepuk sisi ranjang di sampingnya. Green pun mendekat dan duduk di samping Hana dengan kikuk karena posisi mereka saat ini berada di ranjang dan hanya berdua. Sementara itu, Hana mulai memasang wajah serius, ia tampak berpikir, ingin menyusun kata-kata yang akan ia ucapkan
"Kenapa aku tidak jijik?" Hana mengulang pertanyaan Green karena sedikit heran. Dia menurunkan tangannya dari tubuh lelaki itu dan menatap wajahnya. Dengan wajah menunduk Green kembali membuka suaranya, "Bukannya seharusnya jijik ya? Soalnya orang-orang yang sudah pernah melihatku kambuh, hampir semuanya memberikan pandangan jijik padaku. Kecuali keluarga yang sudah mengasuhku. Mereka merawatku sejak kecil, dan mungkin karena itu mereka sudah terbiasa dan tidak jijik. Tapi kamu?" Green memberi jeda lalu menoleh menatap wajah Hana. "Kita bahkan baru bertemu tadi malam," ucapnya kemudian. "Aku tidak jijik karena jijik terhadap orang yang sedang sakit bukanlah sifat yang terpuji. Sebaliknya daripada merasa jijik, bukankah harusnya kasihan? Aku yakin sekali selain aku dan keluarga pengasuhmu, masih ada orang-orang lain yang tidak jijik pada penderita epilepsi, dan jumlahnya tentu tidak sedikit. Bahkan mungkin mereka bersimpati pada kalian. H
"Tidur bersama?" Lidah Green mendadak kelu. Bingung atas apa yang dia hadapi saat ini.Hana mendesah. "Tidur bersama di kamar ini. Bukan tidur bersama di ranjang, Green. Kamu akan tidur di sofa itu." Hana menunjuk sofa besar dan lebar di sudut kamarnya. Sofa itu tampak sangat nyaman. Hana juga sering tertidur di sofa itu karena benar-benar nyaman. Green menoleh pada sofa itu."Oh begitu. Tapi, apa kita harus sekamar? Aku sungguh takut sama orang tuamu," jawab Green dengan jujur. Hana meletakkan ponselnya di atas nakas dan beranjak berdiri dari ranjang menghampiri Green yang masih berdiri di tempat."Sudahlah, jangan banyak tanya. Kita sekamar supaya aku bisa mengawasimu. Bagaimana kalau penyakitmu kambuh?" Hana bertolak pinggang, mendongak menatap Green."Tapi..""Tidak ada tapi, tapi, ayo mandi sana!" Hana mendorong Green, menggiringnya menuju toilet. Tetapi ia berhenti begitu s