Siang itu, di kediaman keluarga Assa.
"Ayah! Ibu!" Baru saja Rafa keluar rumah, tiba-tiba langsung kembali masuk sambil berteriak memanggil kedua orang tuanya.
"Ada apa Rafa?" Budi dan Mirna menatap anaknya khawatir.
"Ini ada surat sama ponsel Kak Green di dekat pintu." Rafa memberikannya pada papanya.
"Apa ini?" Cepat-cepat Budi membaca isi secarik kertas itu.
"Paman, Bibi dan Rafa. Mulai detik ini, berhentilah mengkhawatirkanku. Jangan mencariku. Aku pergi dan akan mencoba hidup dengan lebih baik. Aku tak ingin menyusahkan kalian lagi. Usiaku sudah 21 tahun. Aku sudah dewasa, dan aku akan hidup mandiri. Terimakasih untuk segala rasa sayang yang telah kalian berikan untukku."
Green Assa.
Tangan Budi gemetar membacanya. Mirna yang ikut membacanya, langsung memegang dadanya.
"Tidak mungkin!" gumam Mirna. Sementara Budi langsung beranjak berdiri dan berjalan ke kamar Green. Demikian pula dengan istrinya. Budi dan Mirna segera memeriksa isi lemari dan meja juga seluruh isi ruangan itu. Barang-barang dan yang terutama baju milik Green, semua masih lengkap ada di sana.
Budi menggeleng. "Tidak. Green berbohong! Aku takut terjadi sesuatu padanya! Kita harus mencarinya, Mirna!"
Mirna mengangguk cepat. Maka mereka berdua berpencar mencari Green sementara Rafa disuruh untuk tetap berada di rumah menunggu kepulangan mereka. Rafa yang tetap tinggal di rumah, menangis tersedu-sedu. Dia sangat mengkhawatirkan kakaknya yang sakit itu.
***
"Lepaskan aku! Biarkan aku mati!" Hana menangis meronta-ronta. Memukul-mukul lengan lelaki itu yang semakin erat melingkar di tubuhnya. Green tidak tahu harus berbuat apa lagi. Yang ada di pikirannya saat ini adalah bagaimana caranya mencegah gadis ini agar tidak jadi melompat. Apa yang harus dia lakukan?
"Aku, aku tak akan bunuh diri." Satu kalimat yang sebenarnya sangat sulit diucapkan Green, akhirnya dilontarkannya juga. Biar bagaimana pun menyelamatkan nyawa gadis ini lebih mendesak daripada penderitaan apa pun yang akan dia hadapi nanti jika dia memilih untuk terus hidup. Selain itu, tanpa harus bunuh diri pun, kapan dan di mana pun dia bisa saja mati karena penyakit yang dia derita.
"Apa maksudmu? Tolong lepaskan aku." Hana berhenti meronta tetapi tetap berupaya melepaskan diri dari lingkaran pelukan Green. Green menggeleng tak melonggarkan sedikitpun pelukannya.
"Aku tak akan bunuh diri, baik sekarang atau pun di masa depan. Apa kamu mendengarku?" ucap Green menegaskan. Tangan Hana yang menggenggam pergelangan Green untuk melepaskan diri, terhenti begitu saja.
Apa laki-laki ini sungguh-sungguh? Jika benar, berarti rencananya berhasil. Hana tersenyum di dalam hatinya.
"Apa kamu sungguh-sungguh?" tanya Hana menolehkan sedikit wajahnya, melirik Green yang masih memeluknya dari belakang.
"Iya aku sungguh-sungguh. Kamu berhasil menolongku, kamu telah berguna. Jadi jangan akhiri nyawamu," ucap Green cepat.
"Aku terkejut mendengarnya," jawab Hana. Dia berbalik menghadap pada Green. Green otomatis melepas pelukannya.
Hana mendongak menatap Green. Basahan air mata buaya masih melekat di pipi gadis ini. Posisi tubuh mereka begitu sangat dekat. Jika orang lain memandangnya, mereka akan terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang mengobrol dengan manis.
"Jika aku memutuskan untuk tidak bunuh diri di kehidupanku, apa kamu yakin akan bersemangat melanjutkan hidupmu, tidak soal seberapa besar penderitaanmu?" tanya Green sedikit gugup. Dia mencoba menatap kedua mata Hana secara bergantian.
"Tentu saja! Walaupun sulit aku akan tetap berupaya untuk menjalani hidup, karena setidaknya aku telah menyelamatkan nyawa seseorang. Aku bahagia jika menjadi orang yang berguna malam ini." Mata Hana berkaca-kaca, dengan senyum kecil di bibirnya.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Green. Mendengar kata-kata gadis ini, Green merasa lega.
Tetapi Hana tiba-tiba memeluk lehernya kembali. "Berjanjilah padaku untuk tidak bunuh diri dan terus berjuang menjalani hidupmu," ucap Hana sambil mengeratkan pelukannya pada lelaki itu, seolah mendesak dengan lembut agar pemuda itu mau berjanji padanya. Pelukan itu terasa begitu hangat bagi Green, kepedulian yang begitu kental sangat tercermin dari warna suara gadis yang dia dengar saat ini.
Seolah terhipnotis, Green membalas pelukan Hana. Dipeluknya pinggang ramping gadis itu tak kalah eratnya. "Aku berjanji. Dan terima kasih.." Green berucap dengan sungguh-sungguh dari lubuk hatinya.
Hana tersenyum puas karena upayanya sepertinya telah berhasil. Dia merasa sudah profesional dalam melakukan penyelamatan. Seandainya saja dia tahu persoalan lelaki ini, tentu dia akan lebih mudah membantunya. Tetapi walaupun tidak seperti itu, pengalaman kali ini benar-benar sangat berharga bagi Hana. Dia akan menyimpan cerita ini dalam perjalanan hidupnya di mana dia telah menyelamatkan nyawa seseorang.
Sekarang, sudah saatnya melakukan teori selanjutnya. Dia akan membesarkan hati lelaki ini.
"Terimakasih Green. Kamu juga telah menyelamatkanku," ucap Hana kemudian, terdengar tulus.
Green terkesima mendengar kata-kata gadis ini. Apa benar dia yang selama ini adalah orang yang tak berguna yang selalu merepotkan orang-orang, saat ini telah menyelamatkan seseorang? Perlahan Hana melepas pelukannya dari Green. Begitu pula dengan Green. Mereka saling berhadapan, saling menatap.
"Kamu rela menjalani penderitaan di hidupmu untuk seterusnya hanya untuk mencegahku bunuh diri. Terima kasih. Aku benar-benar tersentuh. Seseorang yang baru kukenal, ternyata bisa memberikan kasih sebesar ini padaku. Aku rasa aku memang harus mempertahankan hidupku," ucap Hana kemudian.
Melihat Hana tersenyum sangat manis membuat Green juga ikut tersenyum. Kata-kata gadis ini benar-benar berhasil membesarkan hati Green.
"Kata-katamu benar-benar menguatkanku. Terima kasih, Hana. Mari sama-sama menjalani hidup kita masing-masing sebaik-baiknya," tanggap Green.
Mata Hana melebar mendengarnya. Lelaki ini dengan antusias mengatakan semangat hidupnya. Itu berarti dia benar-benar telah berhasil sepenuhnya meyakinkan lelaki ini, bukan?
"Iya, tentu saja. Aku beruntung bertemu denganmu, Green! Ayo ke mobil!" Tanpa canggung Hana meraih sebelah tangan Green. Menggandengnya dan membawa Green menuju mobilnya.
"Ini sudah menjelang malam, bagaimana kalau kita makan malam bersama sebagai tanda pertemanan kita? Setelah itu aku akan mengantarmu pulang. Bagaimana?" Hana berucap lembut tampaknya dia lupa kalau mobilnya sedang rusak. Sementara itu Green diam sejenak. Kemudian dia membuka suara.
"Aku.. aku tidak membawa uang yang cukup. Aku kemari untuk bunuh diri jadi aku tidak membawa cukup uang," jawab Green dengan jujur.
Hana sedikit berpikir, lalu dia berkata, "Aku akan mentraktirmu. Pokoknya kamu harus mau. Aku membawa dompet. Tadinya aku berpikir kalau nanti aku mati karena lompat ke tempat yang curam itu, mungkin mayatku akan hancur, itu sebabnya aku membawa dompet ini supaya polisi segera mengenaliku. Kartu identitasku ada di sini. Haahaha." Hana tertawa garing. Sesungguhnya dia merasa konyol akan penjelasannya sendiri.
"Baiklah. Aku mau. Jika umurku panjang, kupastikan aku juga akan mentraktirmu nanti," ucap Green tenang.
Hana menyalakan mobilnya, dan di saat itulah dia ingat bahwa mobilnya mengalami mogok. Dia menatap Green."Mobilku tidak bisa menyala. Aku tidak begitu paham soal mobil.""Aku...juga tidak begitu paham tapi biar aku periksa sebentar," ucap Green agak ragu. Dia lalu memeriksanya. Green sedikit memahami mesin lantaran Paman Budi adalah karyawan bengkel mobil dan motor, dan Green terkadang suka membantu pamannya jika lembur.••Hana menghela nafas berat. Dia kembali teringat pada Marcell. Semua rencana gagal begitu saja. Marcell pasti akan marah padanya. Papanya juga pasti akan marah. Ini semua karena mobil ini mogok. Tidak, tidak. Bukan semata karena mobil saja. Ini karena dia mampir ke rumah Sartika. Hana kemudian melirik makanan dari Sartika yang ia letakkan begitu saja di belakang, di kursi penumpang. Sepertinya makanan itu akan ia makan saja bersama Green. Hana sudah merasa lapar
Mata Hana melebar menunggui papanya yang sedang bertelepon. Melihat mimik emosi dari wajah ayahnya membuat perasaan Hana semakin tidak tenang. Semakin dia mendengar pembicaraan itu, semakin gusarlah dirinya.Pikiran Anton benar-benar rumit saat ini. Yang meneleponnya adalah pemilik Perusahaan Milan, Tuan Alex Milan. Dia menginginkan Hana menikah dengan bocah yang bermalam bersama Hana di apartemen. Jika Anton menolak, Alex tidak akan segan-segan menyebarkan skandal besar bahwa Hana telah membawa seorang lelaki tampan ke apartemennya dan menghabiskan malam bersamanya hingga pagi. Alex memiliki bukti konkrit yang tidak akan bisa disangkal, dan ini akan sulit untuk diklarifikasi. Nama baik keluarga Winata terancam akan hancur. Sungguh picik!Alex Milan dan tentunya pengusaha lainnya tahu betul bahwa keluarga Winata pasti berencana untuk menangkap ikan besar dengan menggunakan Hana, putri mereka yang cantik jelita untuk menggaet Marcell Williams
Green saat ini berada di sebuah ruangan terkunci yang hanya berisi sebuah ranjang dan sebuah meja. Di ruangan itu, juga terdapat toilet. Seluruh memar dan luka di tubuh dan wajahnya sudah diobati, dia juga diberi makan. Pengawal-pengawal itu memperlakukan dia dengan baik. Tetapi Green saat ini sedang gusar. Walaupun gadis itu berkata bahwa dia tidak kekurangan satu hal pun dari tubuhnya, tetap saja Green memiliki keraguan tersendiri. Itu semua karena dia dan gadis itu hanya menyisakan pakaian dalam di tubuh mereka. Green masih berupaya keras mengingat kejadian tadi malam. Tetapi semakin dia mencoba untuk mengingatnya, semakin sakitlah kepalanya.Dengan sebelah tangan, dia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Yang dia ingat cuma adegan ciuman saja, setelah itu dia tidak ingat apa pun. Bagaimana seluruh bajunya terbuka dan hanya menyisakan pakaian dalam, dia juga tidak ingat sama sekali. Apa benar dia telah berbuat tak senonoh dengan gadis itu? Green saat ini
Hana menatap Green dengan wajah sendu membuat Green semakin kaku. Terlihat bahwa Hana terpaksa melakukan pernikahan ini. Tetapi walaupun demikian, Hana tetap menautkan tangannya ke lengan Green. Dengan iringan musik, Green dan Hana melangkah memasuki tempat ibadah. Hana mengedarkan pandangannya sekejap, tetapi tidak melihat tanda-tanda kehadiran neneknya, Nyonya Besar Erina Winata. Hana mendesah, dia bisa menebak bahwa neneknya itu pasti marah sekali mendengar pernikahan dadakan ini. "Hana, kamu tidak apa-apa?" Terdengar suara setengah berbisik. Hana mendongak menatap Green. "Tidak begitu baik. Kamu sendiri tidak apa-apa?" Hana balik bertanya. "Aku tidak tahu," jawab Green. Dia sendiri merasa takut memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Sebagai suami, apakah dia dituntut harus memiliki tanggung jawab? Jika ia dituntut, apakah ia akan mampu? Tetapi, bukankah ini adalah pernikahan pura-pura
Wajah Anton dan Jihan merah padam melihat Green yang sedang kejang-kejang terkapar di lantai. Mereka syok dan sangat malu, hingga mulut mereja bergetar emosi tetapi tidak tahu harus berkata apa. Hana yang juga sempat terkejut, dengan ragu mencoba mendekat dan berjongkok di dekat Green. Sementara orang-orang mulai sibuk mengeluarkan ponsel untuk merekam videonya. Bagi para kerabat keluarga Winata, ini adalah lelucon yang tak diduga-duga. Menikahnya Hana saja sudah menjadi tanda tanya besar, apalagi melihat pasangan Hana yang ternyata hanyalah sosok yang seperti ini!Di antara para kerabat, keluarga Winatalah yang paling menonjol. Nyonya besar Erina Winata telah berhasil membawa nama baik Winata menjadi lebih terhormat hingga masa kini. Dia juga telah berhasil mendidik keempat anaknya menjadi sukses. Kecerdasan keluarga Winata juga tidak perlu dipertanyakan karena begitu menonjol. PT Andalan Winata adalah bukti konkrit yang tak terbantahkan.T
Green Williams terkena epilepsi ketika ia masih bayi. Waktu itu, ibu tirinya, Nyonya Sally Williams, tidak sengaja menjatuhkannya ke lantai dan jatuhnya cukup keras. Sejak itu, Green sering mengalami kejang. Albert, ayah dari Green, sudah membawa Green untuk melakukan pengobatan hingga ke luar negeri, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti akan penyakit Green. Green tetap saja mengalami kejang di waktu yang tak menentu. Tiga tahun kemudian, Green memiliki adik laki-laki yang bernama Marcell Williams. Sejak itu, Green diperlakukan dengan cara yang berbeda. Green tidak dianggap anak lagi. Mereka malu memiliki anak seperti Green. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menitipkan Green pada pengasuhnya. Tetapi di keluarga Williams sendiri, Albert mengumumkan bahwa putranya, Green Williams, telah meninggal pada saat melakukan pengobatan di luar negeri. Kabar ini tentu sangat mengejutkan bagi Tuan besar Reyhans. Berita itu ia dengar tepat saat ia sedang
"Aku belum siap ketemu nenek, Pa. Lebih baik Papa dan Mama saja yang menemui nenek malam ini." Hana menolak dengan wajah sendu. Dia masih belum siap melihat wajah kecewa neneknya. Wajah sendu Hana, membuat Anton tampak berpikir kembali."Tapi Mama juga tidak setuju kamu dan dia menginap di apartemen berdua. Ingat, Hana, pernikahanmu ini bukan pernikahan sungguhan. Ini hanya sementara." Jihan menyela sambil melotot pada Green. Rasanya Jihan masih tidak percaya bahwa sekarang dia mempunyai menantu dengan penyakit yang menjijikkan seperti Green. Untuk sekali lagi menghadapi keluarga dan para kerabat Winata, rasanya benar-benar sudah tidak ada muka.Hana menatap ibunya dengan tatapan datar. "Apanya yang bukan sungguhan? Bahkan kami menikah di hadapan Tuhan," jawab Hana dengan suara lemah. Mendengar kalimat itu, Green menoleh pelan padanya."Hana, kita sudah membicarakan hal ini dengan jelas sebelumnya. Harusnya kamu pa
"Kita hanya berdua di kamar ini, tetapi kamu menutup pintunya. Jika Tuan dan Nyonya Winata tahu, kita akan dimarahi." Green mengingatkan dengan wajah polos. Memang apa yang dikatakannya mungkin benar, tetapi Hana punya pemikiran yang berbeda tentang itu. Bagi Hana, karena mereka sudah menikah, itu bukan menjadi masalah walaupun orang tuanya akan marah. Bagi Hana, berdua dengan Green di satu kamar bukan satu kesalahan. Hana memang seperti itu. Asalkan dia paham apa yang akan diperbuatnya tidak salah, dia tidak akan takut untuk melakukannya. "Tidak apa-apa, Green. Ada yang mau kubicarakan padamu." Hana melangkah dan duduk di tepi ranjang king size miliknya. "Ayo duduk di sini," ajaknya sambil menepuk sisi ranjang di sampingnya. Green pun mendekat dan duduk di samping Hana dengan kikuk karena posisi mereka saat ini berada di ranjang dan hanya berdua. Sementara itu, Hana mulai memasang wajah serius, ia tampak berpikir, ingin menyusun kata-kata yang akan ia ucapkan