“Lama waktunya sekitar tiga minggu,” ungkap Mas Gagan memprediksi.
“Bisa lebih dari tiga minggu?” Pinto mengulik pengungkapan Mas Gagan.
Mas Gagan mengatakan, pengumpulan data penelitian bisa memakan lima pekan. Terjadi bila dirinya dan Mas Ondi menjumpai kendala.
“Supaya proses pengumpulan data berjalan lancar, kami menjadikan tim relawan Pak Pinto sebagai pemandu. Kami akan meminta petunjuk sekaligus arahan mengenai kegiatan wawancara dan pengamatan kepada mereka. Mereka pasti sanggup memberikan petunjuk sekaligus arahan karena mereka adalah warga setempat,” Mas Ondi ikut memaparkan desain penelitian. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Oh, iya. Pak Pinto udah menghubungi mereka?”
Pinto melepas jasnya. “Saya udah menghubungi mereka. Saya utarakan bantuan yang Mas Ondi sama Mas Gagan butuhkan dari mereka. Reaksi mereka positif. Mereka bersedia memberikan bantuan yang Mas Ondi sama Mas Gagan butuhkan.”
Mas Ondi berseri-seri. Cahaya keriangan tersembul dari wajahnya.
“Layaknya penelitian pada umumnya, penelitian ini juga membutuhkan anggaran. Kami sudah menulis rencana anggaran penelitian ini pada bab penutup proposal penelitian,” pemaparan Mas Gagan melebar ke aspek yang krusial.
Pinto meluncur ke beberapa halaman akhir proposal penelitian. Memeriksa angka-angka yang tertera. Mengecek penjumlahannya.
“Saya benar-benar nggak keberatan sama anggaran sebesar ini,” Pinto menyatakan sikapnya. “Saya mampu menyediakan uangnya,” tandasnya tanpa kesombongan.
Dengan hati-hati Mas Gagan memberi tahu, “Sejatinya, rencana anggaran yang tertulis pada proposal penelitian adalah perkiraan biaya. Artinya, anggaran penelitian ini bisa membengkak. Jadi—”
“Nggak masalah kalau anggaran penelitian ini membengkak,” Pinto menggunting pemberitahuan Mas Ondi. “Saya masih mampu menyediakan uangnya,” tegasnya kuat. Tatapannya menyorotkan kesungguhan. “Seandainya anggaran penelitian ini membengkak, Mas Gagan tinggal bilang ke saya. Detik itu juga, saya transfer uang ke rekening Mas Gagan,” dia memastikan iktikadnya.
“Ada satu perihal yang belum kami katakan kepada Pak Pinto,” Mas Gagan lanjut bicara.
Kening Pinto sedikit berkerut. “Perihal apa?”
Jawaban Mas Gagan adalah surat pengantar dari DPR. Mas Ondi dan Mas Gagan membutuhkan surat pengantar dari DPR. Mereka akan menyerahkannya kepada walikota dan bupati di Dapil Pinto.
“Itu gampang diatur. Nanti saya suruh Staf Adminstrasi saya untuk mengurus surat pengantar,” kata Pinto pasti.
“Mas Gagan, kita sebetulnya tidak butuh surat pengantar dari DPR,” sela Mas Ondi agak lirih.
Penglihatan Mas Gagan menyeberang ke muka Mas Ondi. Maksud pernyataan Mas Ondi ia pertanyakan.
“Kita sampaikan keperluan kita ke walikota dan bupati di sana. Kita bilang bahwa kita adalah staf Pak Pinto. Kita menemui mereka karena diperintah oleh Pak Pinto. Saya jamin, mereka pasti memenuhi semua hal yang kita perlukan,” tutur Mas Ondi ringan.
Rasa keingintahuan Pinto tersulut oleh penuturan Mas Ondi. Seperti Mas Gagan, Pinto mempertanyakan penuturan Mas Ondi.
Mas Ondi melempar alasan, “Pak Pinto kan anggota Dewan sekaligus anak Presiden. Mana berani walikota dan bupati melawan kemauan Pak Pinto?”
Senyuman tipis tersungging di bibir Pinto. “Saya tetap menyertakan surat pengantar. Karena surat pengantar adalah persyaratan dalam administrasi.”
Pemaparan desain penelitian ditutup oleh ucapan perpisahan Mas Ondi dan Mas Gagan. Mereka berdua pamit. Akan pergi ke Dapil Pinto dalam waktu dekat. Pinto memamitkan mereka berdua.
Mas Ondi dan Mas Gagan keluar dari ruang kerja Pinto. Pinto tenggelam dalam lautan tugasnya.
Mendadak HP Pinto berteriak. Kontan Pinto menghentikan aktivitas pekerjaannya. Melirik telepon selulernya.
Pinto menancapkan perangkat jemala pada ponselnya. Dia mengangkat panggilan video. Celotehan gadis yang sekian lama tak bersua dengan Pinto masuk ke telinganya.
Celotehan gadis yang sekian lama tak bersua dengan Pinto masuk ke telinganya.
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua
Sepuluh menit berselang. Sesosok perempuan bertubuh langsing mendekati keberadaan Pinto, Norma, dan Ardan. Tisu ada pada genggamannya. “Kamu habis dari mana, Sar?” tanya Pinto kepadanya secara serius. Saroh menduduki kursinya. “Dari toilet.” Langsung terembus napas kelegaan dari hidung Pinto. Degup jantungnya yang semula kencang, kini kembali normal. Dugaannya nyata-nyata keliru. “Biasa, Mas Pinto …,” Norma menyambar. “Saroh lagi ngadepin urusan cewek. Tempatnya di toilet,” selorohnya ringan. “Sis Saroh,” panggil Ardan pelan. Orang yang dipanggil Ardan menoleh ke arah Ardan. “Tadi, Bro Pinto minta Sis Saroh ceritain kisah asmara Sis Saroh,” Ardan mengingatkan Saroh. Saroh mengangguk mengerti. Dia masih ingat dengan permintaan Pinto. Seperempat menit dia berpikir. “Aku mau ceritain tuntutan papa aku.” Pikiran Pinto menajam. Diucapkannya sebuah kata yang menggugah keingintahuannya, “Tuntutan?” Saroh mengiakan sebuah kata tersebut. “Tuntu
Ujung waktu menjemput Rapat Intern Komisi VI DPR. Pinto berpacu ke tempat awal. Ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di ruang kerjanya. Alat tulis kantor tertata indah di atas meja kerja milik DPR. Tumpukan kertas tersusun rapi di dalam lemari yang dimiliki DPR. Komputer yang disediakan DPR sudah dalam keadaan mati. Agenda Pinto berikutnya adalah pertemuan dengan Wahid dan Bisma. Lokasi pertemuan dekat dari ruang kerja Pinto. "Selamat sore, Mas Pinto,” sapa Wahid kepada Pinto yang baru datang di ruang kerjanya. Dia memandangi baju batik yang menempel pada fisik Pinto. “Tumben, Mas Pinto pakai kemeja batik lengan panjang pada hari Senin. Biasanya, Mas Pinto pakai kemeja biasa lengan panjang.” "Ini bukan sembarang batik. Ini batik spesial. Saya beli ini di Dapil saya waktu menjalani masa reses," Pinto menerangkan. "Hai Mas Pinto! Apa kabar?" panggil Bisma disertai senyuman. Pandangan Pinto membelok ke paras campuran Bisma. "Kabar saya baik." Bisma m
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua
Malam menggelap pekat. Pinto mempercepat langkah kakinya. Buru-buru keluar dari Gedung DPR RI. Bergegas meluncur ke kediaman pribadi orang tuanya. Ia ingin menemui Woro Supriyanto dan Yeni Supriyanto. Memanfaatkan waktu senggang keduanya. Yang jarang tersedia untuk Pinto. Sesudah bersusah-payah menerobos kemacetan, mobil dinas Pinto akhirnya mencapai halaman kediaman pribadi Woro Supriyanto. Pinto masuk ke dalam rumah. Langsung menghampiri lantai dua. "Udah pulang?" sapa Yeni Supriyanto ketika Pinto baru menginjakkan kaki di ruang keluarga. "Udah," balas Pinto. Pinto berjalan ke arah sofa panjang berwarna merah. Duduk di samping Yeni Supriyanto. Di hadapan mereka, berdiri sofa panjang berwarna putih yang ditempati Woro Supriyanto. Pandangan Pinto bertaut pada Woro Supriyanto. “Serius sekali Bapak bacanya ...," ia mencandai Woro Supriyanto. Bibir Woro Supriyanto melukiskan senyum tipis. “Bapak sedang baca jurnal penelitian. Isinya menarik ,” timpalnya sera
Televisi yang ada di depan Pinto menyala. Layarnya memperlihatkan seorang pesohor bernama Feni Kinantya. Feni Kinantya bertutur bahwa dirinya sedang menekuni bisnis kuliner. Pinto tercengang menonton tayangan bincang-bincang itu. Dia baru mengetahui bisnis kuliner Feni Kinantya. Feni Kinantya tidak pernah menceritakan bisnis kulinernya kepada Pinto. Saat cengangan Pinto belum surut, ponselnya berceloteh. Dia meraih HP-nya. Mencermati bagian depan gawai tersebut. Ternyata, orang yang meneleponnya ialah Feni Kinantya. “Halo, Mas Pinto. Apa kabar?” sapa Feni Kinantya hangat. Pinto menyambar remote televisi. Dia mengurangi volume suaranya. “Kabar saya baik,” ujar Pinto singkat. “Gimana kabar kamu?” dia balik bertanya. “Baik dan sehat, Mas Pinto,” Feni Kinantya menyampaikan keadaannya. Mereka berdua saling menanyakan kondisi kesehatan orang tua lawan bicaranya. Pinto menanyakan kondisi kesehatan orang tua Feni Kinantya. Begitu juga dengan Feni Kinantya, m