Share

Bab 6

Author: Aqeera Danish
last update Last Updated: 2024-05-25 15:48:59

Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana.

            “Hallo, Assalamu’alaikum...” sapanya tenang.

Charlotte membeku. Lidahnya kelu. Rasanya sulit sekali membalas salam dari suara di seberang.

            “Assalamu’alaikum. Betul ini nomor Charlotte? Saya Ustadz Fajri, Nak,” ujarnya lagi.

Perempuan bermanik hazel itu sedikit menepi ke dinding. Ia takut suaranya mengganggu Dea yang sedang beristirahat dengan lelap. “Wa’alaikumussalam. Na’am Ustadz, ana Charlotte.”

Terdengar helaan napas lega Fajri. “Gimana keadaan istri saya?” tanyanya tak berbasa-basi.

            “Kata dokter, Ustadzah Dea kelelahan, hal biasa pada ibu hamil. Sekarang beliau lagi istirahat, sambil nunggu infusan habis,” jawab Charlotte tenang tanpa mendramatisir keadaan.

            “Baik, kalo gitu. Ustadz minta tolong, titip dan jaga istri Ustadz dulu, ya, Nak. Ana udah di perjalanan menuju kesana. Boleh tau dimana ruang rawat istri Ustadz?” tanya Fajri sekali lagi.

Charlotte gegas memberi tahu letak ruang rawat Dea pada Fajri. Perempuan itu buru-buru memutuskan sambungan telepon setelah dirasa tak ada lagi percakapan di antara mereka.

********************

Di luar, pesona lembayung mulai menghiasi langit sore. Hari beranjak petang, namun Fajri tak kunjung datang. Mungkin perjalanannya dari Ponorogo menemui sedikit kendala. Jarum infus yang menancap di punggung tangan kanan Dea sudah dilepas beberapa menit lalu. Sembari menunggu Fajri, Charlotte memutuskan untuk menyuapi perempuan hamil itu terlebih dulu.

Entah karena faktor lapar atau ancaman opname dari dokter, Dea menerima setiap sendok makanan yang disodorkan Charlotte dengan lahap. Perempuan berparas Eropa itu tentu senang dibuatnya. Meski sesekali Dea harus menahan rasa mual dan ingin muntah. Charlotte sigap memegangi kantong plastik hitam untuk menampung cairan kental nan pahit tersebut.

            “Biar Ibu aja, Nak. Jijik,” ucap Dea seraya berusaha meraih lembaran tissue dari tangan Charlotte. Tampak sekali mimik tak enak hati terpancar dari wajah manisnya.

            “Gak apa-apa Ustadzah. Namanya juga lagi sakit,” tukas Charlotte cepat. Dengan telaten ia mengelap bagian bibir maupun dahi Dea yang banjir keringat dingin.

Dea memerhatikan aktivitas Charlotte yang tengah merawat dirinya dengan sorot tak terbaca. Terbesit rasa khawatir di hati mendapati perempuan muda ini kembali ke Tanah Air. Tapi di sisi lain, ia tersentuh dengan kelemah-lembutan Charlotte. Bahkan sejak pertama kali bertemu.

            “Mau dihabiskan makannya Ustadzah? Tinggal sedikit lagi,” tanya Charlotte lembut sambil memperlihatkan sebuah piring keramik putih ke arah Dea.

Dea gelagapan. “Gak, makasih. Perut Ibu udah gak sanggup nampung lagi,” balasnya gugup.

Charlotte mengangguk. “Kalo gitu, antum minum obat dulu, ya.” Dengan teliti, ia membuka setiap bungkus obat milik Dea yang baru saja ditebusnya di bagian farmasi rumah sakit. Charlotte lalu mengangsurkan enam butir obat berlainan warna dan bentuk tersebut kepada Dea.

Tok tok tok

Tiba-tiba suara ketukan di pintu menyapa sepasang rungu dua perempuan lintas usia itu. “Masuk,” titah Charlotte singkat. Tanpa mengalihkan perhatian, ia membantu Dea meminum air mineral dari botol yang diberi sedotan untuk memudahkan ibu hamil itu menenggak obat.

            “Dik, kamu gak apa-apa?” Laki-laki bertubuh jangkung merangsek masuk lalu menuju brankar pasien dengan terburu-buru. Meski gerak-geriknya dibuat setenang mungkin, kepanikan jelas tergambar di wajahnya. Refleks, ia merengkuh tubuh sang istri ke dalam dekapannya.

Dea terperanjat. Ia berusaha melepas pelukan Fajri dengan kedua manik yang gelisah menatap Charlotte. “Mas...” Dea menegur suaminya dengan suara lirih seraya melepaskan diri.

Fajri tersadar dan lekas merenggangkan kedua lengan. “Masih ada yang sakit?” tanyanya lembut. Laki-laki itu juga mengecek setiap detail tubuh sang istri. Dea hanya mampu menggeleng.

Sementara Charlotte yang terjebak di situasi canggung ini segera meletakkan botol air mineral ke atas nakas di samping brankar. Sesaat, ia memandangi pasangan suami-istri yang tengah melepas rindu dan risau tersebut. Ia mengulas senyum tipis tatkala netranya menangkap sorot penuh cinta dari manik legam Fajri pada istrinya sekaligus wajah Dea yang memerah sebab menahan malu.

Ia berdeham kecil, tapi mampu menarik atensi Dea maupun Fajri. “Afwan Ustadzah, Ustadz, saya nunggu di luar kalo gitu. Mari...” pamit Charlotte seraya mengayun langkah ke arah pintu.

Sebelum menutup pintu, indera pendengaran Charlotte tak sengaja menangkap suara Dea yang tengah memuntahkan sesuatu dari dalam tubuhnya. Ingin sekali ia masuk kembali dan membantu. Tapi hal itu urung ia lakukan setelah memerhatikan interaksi guru dan istrinya tersebut. Mereka sepertinya sedang membicarakan hal penting. Perempuan keturunan Indonesia itu memilih duduk menunggu di deretan bangku panjang tepat di seberang ruang rawat Dea.

********************

Kepergian Charlotte dengan langkah kikuk saat keluar dari ruang rawat justru memantik rasa gemas Fajri. Laki-laki berusia empat puluh tiga tahun itu tak henti-hentinya menyunggingkan senyum seraya dua pasang matanya tak berkedip sedikit pun menyorot pergerakan Charlotte.

Gelagat tak biasa Fajri tentu tertangkap netra sekaligus rasa Dea sebagai seorang istri. “Mas...” desisnya lirih, namun suaminya tak bergeming sama sekali. Kontan saja hatinya terberangus panas dan nyeri meski ini bukanlah kejadian pertama kali. Seolah mengalikan kesakitannya, tiba-tiba saja organ pencernaan Dea bergejolak seperti ada sesuatu mendesak ingin keluar dari sana.

Mendengar suara muntahan konstan sang istri, Fajri akhirnya tersadar dari keterpakuannya. Ia buru-buru meraih sembarang kantong plastik di atas nakas. Dea yang sudah tak tahan gegas merebutnya dari tangan Fajri. Laki-laki itu refleks memijat tengkuk Dea dengan lembut. Fajri juga mengelus-elus punggung kemudian mengelap mulut Dea menggunakan tissue.

            “Masih mual?” tanya Fajri cemas. Tangan kanannya mengusap kening Dea yang berkeringat. Sementara istrinya tersebut hanya menggelengkan kepala sebagai bentuk jawaban.

Fajri menghela napas perlahan. “Kamu opname aja, ya? Mas khawatir ada apa-apa kalo di rumah,” bujuk laki-laki asli Riau itu. Kekhawatiran benar-benar melanda dirinya pada kehamilan sang istri kali ini. Bagaimana tidak, Dea mengandung di usia tepat kepala empat.

Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya. “Mas udah janji ngebolehin aku pulang ke Kediri buat acara nikahan ponakanku.” Dea kukuh dengan pendiriannya tak ingin dirawat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Titipan   Bab 45

    “Ruby seneng, bisa balik ke rumah ini, ke kamar Ruby dulu. Makasih Uwak,” sahutnya dengan suara bergetar. Ada debaran gila ketika akhirnya ia dapat menyebut nama keramat itu lagi.Lilis menaik-turunkan kepala dan mengulas senyum haru. “Uwak yang harus bilang makasih ke Neng. Neng Ruby udah mau pulang lagi ke sini, gak lupa sama Uwak, sama Eyang. Padahal, Neng udah sukses di luar negeri. Tapi, gak malu punya keluarga di Pangalengan.” Kini, sebelah tangannya menangkup pipi sementara tangan lain menggenggam tangan sang Keponakan.Astaga! Charlotte tidak pernah memiliki pemikiran seperti itu. Bagaimana pun, Indonesia merupakan identitasnya, separuh bagian dari keutuhan dirinya. Indonesia adalah kampung halamannya. Ia sempat sengaja menampik itu semua karena perasaan malu yang tak berdasar. Ya, malu karena tindakan cerobohnya di masa lalu. Padahal, di sini semuanya baik-baik saja.Tanpa sadar, setetes bulir bening lolos dari pelupuk mata Charlotte. “Kenapa harus malu? Padahal Ruby yang udah

  • Suami Titipan   Bab 44

    “Char, kamu gak apa-apa... kalau aku tinggal sendiri? Kalau kamu belum siap, ikut pulang lagi, yuk! Bilang aja ke Uwak kamu kita ada acara Ma’had,” ujar Avicenna memastikan.Charlotte tersenyum manis untuk meredakan kekhawatiran yang terpancar jelas dari wajah dan perkataan Avicenna. “Kamu tenang aja, aku bakalan baik-baik di sini,” jawabnya tenang.Avicenna menatap Charlotte intens. Lalu, perhatiannya beralih ke dalam toko di mana paman sahabatnya tengah serius meladeni pembeli. “Kalau ada apa-apa, cepet kabari aku, ya?” pintanya. “Pasti!” Charlotte mengangguk mantap. “Tenang aja, kamu ninggalin aku di rumah keluarga sendiri. Bukan di kandang harimau!” kelakar perempuan bermanik hazel tersebut. “Iya, sih. Tapi... aku tetep khawatir,” aku Avicenna jujur pada akhirnya. “Everything’s gonna be ok. Kamu cepetan pulang. Mau ke rumah Ibu, kan? Berangkat sana, takut kemaleman. Bahaya!” ujar Charlotte dengan nada risau yang teramat kentara.Avicenna hendak m

  • Suami Titipan   Bab 43

    “Wow, that’s a huge crowd,” gumam Charlotte demi melihat keramaian di depan sana.Avicenna memasukkan kunci mobil ke dalam saku celana. “Woah, kalau aku tinggal di sini, dan doyan protein hewani, bisa sehat wal afiat, nih!” Perempuan itu berkata heboh tanpa berkedip.Dahi Charlotte mengkerut dalam menanggapi tingkah sang Sahabat. Bukan kesal apalagi malu. Sampai saat ini, setelah lebih dari lima belas tahun bersama, ia selalu terkaget-kaget dengan ke-random-an Avicenna. Perempuan manis itu hobi sekali melakukan hal tak terduga nan lucu. “Jadi, kita mau masuk atau... diem aja di pinggir jalan kayak gini?” tanya Avicenna.Charlotte menoleh ke kanan, ke arah sahabatnya tersebut. Rupanya, Avicenna tengah menatapnya dengan senyum dan sorot hangat. Avicenna seolah ingin menyalurkan kekuatan kepada Charlotte. “Yuk, masuk,” ajak Charlotte seraya membalas senyuman tulus Avicenna.Avicenna mengangguk mantap. Ia menggamit pergelangan tangan Charlotte. “Aku belum pernah ke

  • Suami Titipan   Bab 42

    “Oh, iya, Char, alamat lengkap rumah Eyang kamu dimana? Kita udah masuk desa Cikalong, nih!” tanya Avicenna datar namun mampu membuat Charlotte membeku. Perempuan bermanik hazel itu mengerjap. Dan benar, mereka baru saja melewati tugu selamat datang. “Char... Char... Char,” panggil Avicenna sekali lagi setelah beberapa saat Charlotte tak menyahut. Avicenna bahkan menyentuh pergelangan tangan Charlotte dengan tangan kirinya. “Hah!” Charlotte tersentak. “Ya, Sen?” tanyanya tergeragap. “Alamat rumah Eyang kamu dimana?” tanya Avicenna sekali lagi, kali ini lebih mendesak. Sesekali, ia memutar sepasang bola matanya liar ke sebelah kiri dan kanan jalan. “Itu...” tukas Charlotte gugup. “Kamu belum tahu rumah Eyangku, ya?”Dahi Avicenna mengernyit dalam. Selama mengenal Charlotte, belum pernah sekali pun ia mengunjungi rumah sang Sahabat di Indonesia. Bahkan selepas nenek Charlotte wafat, perempuan bermanik hazel itu justru ikut bers

  • Suami Titipan   Bab 41

    “Wah, aromanya enak banget!” Telapak kaki kanan Avicenna baru saja menyentuh anak tangga terakhir lantai satu. Tetapi indera penciumannya sudah disapa oleh aroma lezat dari arah dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Lewat jarak tak lebih dari dua meter, ia dapat melihat meja kitchen island mungil rumahnya dipenuhi pelbagai sajian mengunggah.Charlotte mengangkat kepala, lalu menyunggingkan senyum simpul. “Ayo makan, mumpung masakannya masih hangat,” ucapnya lembut sembari menata peralatan makan ke atas meja.Avicenna menurut dan menarik sebuah stool chair. “Kamu pinter masak, keliatan enak banget!” “Mana ada! Aku gak jamin kamu bakal selamat setelah makan ini.” Charlotte terkikik. “Aku serius! Dari aroma sama tampilannya aja udah keliatan enak banget. Kamu masak apa aja, nih?” Avicenna meneliti setiap menu yang dimasak oleh Charlotte dengan saksama. “Cuma Lancashire Hotpot, Bubble and Squeak, terus ada Eton Mess di kulkas,”

  • Suami Titipan   Bab 40

    “Halo, Assalamu’alaikum,” sapa Charlotte ramah dengan intonasi setenang mungkin. “Wa’alaikumussalam,” balas suara di seberang. “Mbak Char! Udah sampe Bandung belum? Kok gak ngabari aku.” Suara perempuan dalam sambungan terdengar menggerutu.Charlotte terkekeh kecil. “Maaf, Mbak belum sempat buka HP. Alhamdulillah, Mbak sama Teh Senna sampai ke rumah jam delapan tadi malam,” jawabnya lugas. “Kamu gak sekolah?” “Sekolah, tapi cuma setengah hari. Aku juga baru sampe rumah, Mbak.”Charlotte mengangguk pelan kendati lawan bicaranya tak dapat melihat pergerakannya. “Gimana kabar kamu sama keluarga, sehat? Adek masih suka nangis, gak Nara?” tanyanya mengawang.Terdengar helaan napas lelah Kinara. “Masih. Kayaknya kangen, deh sama Mbak,” kekehnya.Charlotte ikut tergelak. “Masa, ah! Kayaknya Adek belum terbiasa aja di rumah,” elaknya. “Mungkin, iya. Mungkin juga kangen sama Mbak,” ujar Kinara keukeuh.Charlotte dan Kinara sama-sama tertawa. Untu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status