"Ibu memang sudah mempersiapkan calon suami barumu," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Kamu bisa melihatnya di depanmu."
Jari Ibu mengarah lurus ke Kak Dirfan yang duduk dengan santai, tersenyum penuh kemenangan. "A-apa maksud, Ibu?" seruku tak percaya. Mataku terbelalak, dan jantungku berdegup kencang, terpacu oleh keterkejutan yang begitu mendadak. "Kamu ini cantik dan masih muda. Akan lebih cocok jika kamu—" "Tidak mau! Sampai kapan pun aku tidak akan mau bercerai dengan Mas Dewangga!" potongku cepat, suaraku bergetar. Tanpa berpikir panjang, aku buru-buru berjalan keluar dari rumah. Langkahku terasa berat dan terburu-buru, sementara suara Ibu dan Kak Dirfan terus memanggilku dari belakang. Namun, aku menulikan telinga. Semua yang mereka katakan membuat hatiku semakin kacau. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh tanpa bisa kucegah. "Bagaimana bisa Ibu memintaku menceraikan Mas Dewangga dan menyuruhku menikah dengan Kak Dirfan?" gumamku geram. Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Masih kuingat, Mas Dewangga ditahan di kantor polisi atas tuduhan yang tak masuk akal, dan sekarang, Ibu malah menekan agar aku meninggalkannya. Aku berhenti sejenak di pinggir jalan, mencoba memikirkan langkah selanjutnya. Dengan air mata yang belum kering, aku mengedarkan pandangan, mencari tukang ojek. Aku harus segera ke kantor polisi—menjenguk Mas Dewangga. Dengan langkah yang tergesa-gesa, aku melambai pada tukang ojek yang kebetulan lewat. Tanpa ragu, aku segera menaiki motornya dan menyebutkan tujuanku. Setibanya di kantor polisi, aku menjalani prosedur seperti biasa. Begitu Mas Dewangga muncul setelah dipanggil oleh petugas, aku langsung berlari dan memeluk tubuh tegapnya. Dalam dekapannya, aku kembali menangis. "Sayang, kenapa kamu menangis?" tanyanya lembut, jemarinya mengelus kepalaku. Aku hanya bisa sesenggukan di pelukannya. Mas Dewangga menggiringku ke tempat duduk dengan penuh perhatian, lalu melepaskan pelukan dan memegang kedua pipiku. Tatapan kami bertemu. "Zoya, Sayang. Ada apa? Ceritalah padaku." Senyum lembutnya terlukis di wajah tampannya. Dengan napas yang masih berat, aku menceritakan semuanya. Mulai dari kedatangan Kak Dirfan, hingga permintaan Ibu yang membuat hatiku tersayat—memintaku meninggalkan suamiku dan menikahi Kak Dirfan. Begitu cerita itu selesai, aku melihat perubahan di mata suamiku. Pandangannya menajam, rahangnya mengeras, dan tangannya terkepal kuat. Aku menelan ludah, merasa gugup. Ini pertama kalinya aku melihat Mas Dewangga seperti ini. Biasanya, dia hanya akan diam jika marah, atau memilih tidur untuk meredakannya. Namun, kali ini aku tahu amarahnya jauh lebih besar dari yang pernah kulihat. "M-Mas, aku mau ke toilet dulu sebentar," kataku sedikit gemetar. "Ah, iya, Sayang," jawab Mas Dewangga dengan senyum tipis. Aku tahu, senyum itu dipaksakan. Matanya masih menyiratkan amarah yang coba dia kendalikan. Aku segera berjalan menuju toilet. Di sana, aku membasuh wajahku, berharap air dingin dapat menyegarkan pikiranku. Jujur saja, itu hanya alasan kedua. Alasan utamaku adalah aku takut ... takut melihat sosok suamiku yang berbeda hari ini—terlihat marah besar. "Ini pertama kalinya aku melihatnya semarah itu," bisikku pelan sambil memandang diri di depan cermin. Tanganku sedikit gemetar saat menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Astaga, Zoya. Tenanglah. Wajar jika suamimu semarah itu. Itu artinya dia mencintaimu," ucapku pada diri sendiri, berusaha meyakinkan, meski hati ini masih berdebar. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Setelah merasa cukup kuat, aku kembali melangkah menuju ruang kunjungan. "Aku sudah membuang banyak waktu. Mas Dewangga pasti menungguku," gumamku. Namun, saat aku mendekati ruang kunjungan, langkahku tiba-tiba terhenti. Di sana, aku melihat seorang pria berjas hitam tengah duduk di depan suamiku, berbicara dengan serius. Rasa penasaran segera menguasai diriku. Aku menarik diri, bersembunyi di balik tembok, dan menguping. Aku tidak bisa melihat wajah pria itu karena posisinya membelakangi arahku. Namun, dari caranya berbicara dan gestur tubuhnya, aku bisa merasakan bahwa pria itu sangat menghormati suamiku. "Pak, tolong tanda tangani dokumen ini. Kami memerlukannya agar proyek berjalan dan selesai sesuai tenggat waktu," ucap pria berjas hitam dengan nada hormat, suaranya tegas dan penuh kesopanan. "Baik, mana lagi yang harus kutanda tangani?" jawab Mas Dewangga tenang, seolah percakapan ini adalah hal biasa baginya. "Proyek? Dokumen? Apa yang mereka bicarakan?" pikirku. Aku merasa seperti dunia ini berhenti berputar sejenak. Rasa cemas dan penasaran bercampur menjadi satu. Bagaimana mungkin seorang tukang parkir sederhana seperti Mas Dewangga bisa dihadapi dengan sikap hormat seperti itu? Pria berjas hitam ini jelas bukan orang sembarangan. Lalu proyek? Apa yang suamiku sembunyikan selama ini? "Kita bicarakan ini lagi nanti. Oh, satu lagi, minta perpanjangan waktu pada petugas agar aku bisa lebih lama bersama istriku," kata Mas Dewangga dengan tenang dan penuh kewibawaan pada pria di depannya. Aku terkejut mendengar permintaan itu. Rasanya aneh dan tak terduga bahwa suamiku bisa meminta hal seperti itu. Namun, di sisi lain ada debaran di dada yang sulit kuabaikan. Mas Dewangga yang kukenal selama ini hanya seorang tukang parkir, tetapi hari ini dia menunjukkan sisi yang sama sekali berbeda. "Baik, Pak. Saya permisi," sahut pria berjas hitam itu dengan hormat sebelum berbalik dan berjalan pergi. Jantungku hampir melompat keluar saat menyadari pria itu akan berjalan ke arahku. Sontak, aku berpura-pura berjalan menuju toilet lagi agar tidak terlihat mencurigakan. Ketika pria itu sudah tidak terlihat, aku mengembuskan napas panjang, merasa lega sekaligus bingung. Untuk sesaat, aku hanya berdiri di tempat, berusaha mencerna apa yang barusan kulihat dan dengar. Ada begitu banyak hal yang tidak kupahami. Potongan-potongan puzzle yang semakin banyak ini membuat kepalaku pusing, dan semakin aku mencoba menyusunnya, semakin frustasi rasanya. Setelah dua menit berdiam diri, aku akhirnya memutuskan untuk kembali menemui Mas Dewangga, berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. "Mas, maaf aku lama di toilet. Perutku tiba-tiba sakit," kataku dengan senyum kecil. Namun, di dalam hatiku, aku merasa sangat bersalah. Berkali-kali aku meminta maaf dalam hati karena telah membohongi suamiku, padahal aku diam-diam mendengar percakapan mereka tadi. "Tidak masalah, Sayang. Bagaimana perutmu sekarang?" tanya Mas Dewangga dengan lembut, sambil mengelus perutku dengan perhatian. "Sudah lebih baik," jawabku cepat. Di detik berikutnya, tiba-tiba saja Mas Dewangga memelukku. Aku pun balas memeluknya. Tidak ada percakapan di antara kita. Hanya embusan napas yang terdengar. Di balik senyum dan sapaan lembutnya, ada begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya suamiku? Mengapa pria itu begitu menghormatinya? Dan proyek apa yang mereka bicarakan? Namun, aku menahan diri untuk tidak bertanya. Entah kenapa, ada bagian dari diriku yang belum siap mendengar jawabannya.Aku dan Alex pun akhirnya berjalan menuju restoran. Tak lupa juga aku memberi kode pada orang suruhan Mas Dewangga untuk mengikuti kami, sambil terus menjaga jarak tentunya.Langkah kaki kami terdengar teratur di sepanjang trotoar yang teduh. Alex berjalan di depanku. Aku sengaja mengambil jarak yang cukup jauh karena aku tidak ingin dekat-dekat dengan pria ular sepertinya."Jika bukan karena misi, aku tidak mau melakukannya. Mas Dewangga, tolong aku, huhuhu," batinku sembari meremas ujung pakaian yang membuatnya sedikit kusut."Setelah dari sini, kita hanya perlu belok ke kiri," katanya tiba-tiba. "Tempatnya tidak terlalu ramai, tapi makanannya enak. Saya biasa ke sana kalau sedang bosan dengan catering kantor."Aku hanya mengangguk kecil meski Alex tak dapat melihatnya. Begitu berbelok, kami tiba di depan restoran dengan papan nama bergaya klasik. Kaca depannya memperlihatkan interior sederhana bergaya semi-rustik dengan dominasi kayu dan lampu gantung hangat.Kami pun masuk. Suara
Seperti biasa, pagi ini aku berangkat ke toko kue seperti kemarin. Tentunya untuk melancarkan misi yang tengah kulakukan dengan suamiku.Toko tampak berjalan normal seperti kemarin. Beberapa pelanggan datang silih berganti, dan para karyawan—termasuk Nara—sibuk melayani sambil sesekali melempar senyum ke arahku. Meski suasananya terlihat wajar, aku tahu sebagian besar dari mereka bukan pelanggan biasa. Beberapa dari mereka adalah bagian dari skenario yang sudah disusun Mas Dewangga.Jam demi jam berlalu, dan tanpa terasa waktu sudah mendekati jam makan siang. Aku mulai merasa suntuk, bukan karena pekerjaannya, tetapi karena suasana yang terlalu aman dan monoton. Saat itulah muncul ide di benakku untuk keluar sebentar, mencari udara segar, dan mungkin mencari sedikit inspirasi."Nara, aku akan keluar sebentar, tolong jaga toko, ya," pintaku pada Nara sebelum keluar."Biar saya temani Anda ya, Bu," tawar Nara, tangannya bergerak untuk melepaskan celemek, tetapi aku buru-buru menahanny
Sesampainya di rumah, aku langsung turun dari mobil setelah dibukakan pintu oleh sopir pribadi yang tadi menyamar menjadi pelanggan di toko. Aku mengangguk singkat sebagai ucapan terima kasih, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Aku mengedarkan pandangan ke ruang tamu, dan sesuai dugaan, Mas Dewangga belum tiba.Daripada diam, aku memilih naik ke kamar dan merebahkan diri di sofa panjang sambil membuka buku bacaan yang belum sempat kuselesaikan. Sesekali aku mengelus perutku, sambil membayangkan raut wajah Mas Dewangga nanti saat tahu 'permainanku' dengan Alex tadi berhasil.Satu jam berlalu.Suara pintu kamar terbuka, membuatku refleks menoleh. Dan di sana Mas Dewangga berdiri dengan napas agak memburu. Matanya langsung mengunci pandangan ke arahku. Aku tersenyum, meletakkan buku di atas meja, lalu bangkit berdiri.Mas Dewangga melangkah cepat menghampiriku. Belum sempat aku bersuara, tubuhku sudah dipeluk erat olehnya."Mas!" Aku spontan memukul pelan punggungnya. "Perutku, Mas!
Sebelum Alex bicara lagi, Nara datang dengan nampan berisi kopi dan kue red velvet pesanan milik Alex.Pria itu menyesap kopi pahitnya yang baru datang. Tatapannya tak lepas dariku, seolah sedang menilai celah dari setiap kata dan ekspresi yang kutunjukkan."Saya mengerti perasaanmu, Bu Zoya," katanya pelan. "Terkadang laki-laki itu semakin banyak tekanan, semakin suka memendam. Bukannya tidak sayang, tapi mereka merasa harus tangguh, harus kuat ... sampai-sampai lupa bagaimana cara terbuka pada istrinya sendiri."Aku diam, seolah larut dalam kata-katanya."Hanya saja, hati-hati juga ... jangan sampai Bu Zoya terlalu menunggu seseorang yang bahkan mungkin sudah tidak seperti dulu lagi," lanjutnya. "Dewangga itu ... saya sudah mengenal dia cukup lama. Dia pandai menyembunyikan sesuatu, bahkan dari orang terdekatnya."Aku menunduk, pura-pura menelan ucapan itu."Kalau Bu Zoya terus menunggu Dewangga terbuka, takutnya Bu Zoya makin sakit sendiri. Mungkin Anda perlu mulai berpikir untuk m
Pagi itu, setelah selesai sarapan, Mas Dewangga mengantarku ke toko kue. Sepanjang jalan, dia terus mengingatkanku untuk berhati-hati, bahkan dia sampai turun dari mobil dan mengantarkanku ke depan toko."Kalau ada apa-apa, langsung kabari," pesannya lagi.Aku mengangguk. "Iya, Mas. Aku akan baik-baik saja. Fokus jaga saham perusahaan, ya."Dia tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memelukku dan berjalan kembali ke mobil. Begitu mobilnya menjauh, aku menarik napas panjang dan membuka pintu toko."Naraaa," panggilku pelan.Suara langkah cepat mendekat, lalu muncullah Nara dengan celemek bermotif stroberi tergantung di pinggang."Bu Zoya!" serunya ceria sambil memelukku. "Bu Zoya, saya rindu!"Aku tertawa pelan. "Aku juga rindu kalian." Nara melepaskan pelukannya dan berkata, "Bu Zoya jangan bekerja sampai kelelahan. Ibu cukup diam dan memantau saja, oke?"Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, Nara. Aku tidak akan melakukan hal-hal yang berat.""Bagus! Saya sudah diberi tahu oleh Pak Dewangg
"Baiklah. Jadi ...." Mas Dewangga menarik napas. "Aku dan Pak Arwin sepakat untuk membiarkan Alex terus berjalan dengan rencananya. Kita pura-pura tidak tahu apa-apa."Aku mengernyit. "Maksudnya ... kamu akan membiarkan dia terus merusak reputasimu, Mas?""Bukan 'membiarkan', tapi mengarahkan. Kita berencana memberikan informasi yang sudah disiapkan, tentunya itu data palsu. Kalau dia terus memakan umpan itu, kita bisa tahu siapa yang bekerja sama dengan dia, dan ke mana arah penyebaran infonya," jelas suamiku panjang lebar.Aku mengangguk pelan, mulai menangkap alurnya. "Jadi kamu akan membuat jebakan informasi?""Iya," jawabnya singkat. "Dan bagian IT akan melacak pergerakan file itu. Sekali dia membuka atau mentransfer file tersebut, alamat IP dan perangkatnya bisa kita identifikasi. Bahkan kalau dia hapus, kita tetap punya log-nya."Aku terdiam sejenak. Otakku mencerna rencana suamiku yang ternyata sudah cukup matang."Lalu, kamu mau tangkap dia langsung?" tanyaku hati-hati."Kala