Setelah mendengar ada yang ingin bertemu dengan suamiku dan raut wajah suamiku terlihat terkejut, aku punya firasat kuat bahwa orang itu adalah seseorang yang kemarin menelepon Mas Dewangga.
Mas Dewangga meraih tanganku dengan lembut, matanya menatapku penuh dengan kasih sayang. "Zoya, sayang ... pulanglah. Aku tidak mau kamu khawatir di sini," bisiknya pelan, suaranya begitu lembut. "Aku tidak bisa, Mas," balasku pelan. "Aku ingin tetap di sini menemanimu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama." Suamiku tersenyum tipis, meski aku bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia membelai pipiku dengan penuh kehangatan. "Aku tahu, Zoya. Tapi tolong kali ini pulanglah dulu, ya? Aku janji semua akan baik-baik saja. Aku tidak mau kamu dan Abiyan lelah karena terlalu lama di sini." Hati kecilku menolak, tetapi sentuhannya membuatku ragu. Mas Dewangga jarang memohon seperti ini. Akhirnya, dengan berat hati aku mengangguk, meski sebenarnya aku ingin tetap di sini. "Baiklah, Mas ... aku pulang." Akhirnya aku dan Abiyan pun melangkah keluar dari ruang kunjungan. Tepat di saat aku hampir keluar dari ruangan, seorang pria berjas hitam terlihat terburu-buru masuk. Langkahnya cepat dan tegas, seolah dia sedang mengejar waktu. Di tangannya juga terdapat map plastik yang dia genggam erat. Setiap gerakannya menunjukkan bahwa dia bukan orang biasa, dan ada sesuatu yang mendesak dalam tujuannya. "Apa itu orang yang ingin menemui Mas Dewangga?" pikirku, rasa penasaran mulai tumbuh dalam diri. Tanpa sadar, aku menghentikan langkahku dan mencoba mengikuti pria itu dengan pandangan mataku. Sesuatu dalam diri ini menolak untuk langsung pulang. Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, seorang petugas polisi yang berjaga menahanku dengan sopan. Dengan berat hati, aku pun mengalah dan melangkah pergi, meski perasaanku tak karuan dan pikiranku masih tertinggal di ruang kunjungan. *** Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak berjualan gorengan. Pikiranku kacau, tubuhku ikut lelah. Aku hanya mengantar Abiyan ke sekolah dan akan menjemputnya nanti. "Huh ... semuanya terlihat membingungkan, seperti potongan puzzle yang tidak bisa kusatukan." Aku menghela napas panjang saat memikirkan segala yang terjadi dalam tiga hari terakhir ini. Mulai dari seseorang yang menelepon Mas Dewangga dengan suara penuh rahasia, uang parkir yang entah mengapa tiba-tiba berjumlah lebih banyak, hingga suamiku yang tiba-tiba masuk penjara. Semua terasa terlalu aneh. Lalu yang terakhir, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mas Dewangga di penjara. "Mas, apa yang sebenarnya terjadi? Apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku?" desahku penuh tanya. Perasaanku semakin kalut, seperti tersesat dalam labirin tanpa petunjuk. Tok tok tok! Suara ketukan pintu tiba-tiba memecah lamunanku. Dengan langkah malas aku menyeret kakiku menuju pintu. Saat pintu kubuka, dunia di sekitarku terasa berhenti sejenak. Jantungku berdetak semakin kencang, dan tubuhku terpaku saking terkejutnya. "K-Kak Dirfan?" Suaraku terdengar parau dan terbata. Mataku memindai sosok pria itu dari atas hingga ke bawah, berharap semua ini hanyalah salah lihat. Namun, harapan itu menguap begitu saja saat dia tersenyum padaku. "Halo, Zoya," sapa Kak Dirfan santai, melambaikan tangannya dengan senyum terlukis di wajahnya. "Dari mana Kak Dirfan tahu rumahku?" batinku penasaran. Rasa panik mulai merayap, tetapi aku tetap berusaha terlihat tenang meskipun perasaan was-was mulai menyelimutiku. Bagaimana mungkin dia bisa berdiri di sini, di depan rumahku, tanpa peringatan apa pun? "Kenapa Kakak ada di sini? Dan dari mana Kakak tahu rumahku?" tanyaku bertubi-tubi tanpa membalas sapaannya. "Aku hanya ingin mampir. Apa tidak boleh?" Kak Dirfan masih mempertahankan senyum di wajahnya. Namun, entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan senyumnya. Seperti ada niat terselubung di dalamnya. "Tidak boleh! Suamiku sedang di luar. Lebih baik datang lain kali saat suamiku di rumah. Aku tidak ingin tetangga berpikiran aneh-aneh saat mereka melihatku dan Kakak," jawabku panjang lebar. Harapanku sederhana—pria di depanku ini mengerti dan segera pergi. "Zoya?" Sebuah suara yang sangat familiar tiba-tiba menyusup ke dalam percakapan. Aku menoleh, dan di sana berdiri Ibuku, berjalan menuju arah kami. Sekilas rasa lega menyelimutiku—Ibuku datang di saat yang tepat. Dengan bantuannya, aku yakin Kak Dirfan akan pergi. Namun, harapan itu seketika hilang, seolah tertelan bumi, ketika ibu tiba-tiba berkata dengan nada yang tak kuduga. "Zoya, persilakan Dirfan masuk," ucap Ibu dengan senyum yang membuat jantungku merosot ke tanah. Aku menatap Ibu, tertegun. Apa yang ibu pikirkan? Dengan cepat aku menghalangi pintu dengan tubuhku. "Ibu, aku tidak mau menerima tamu pria saat Mas Dewangga tidak di rumah." "Minggir, Zoya! Ibu tidak pernah mengajarimu untuk bersikap kurang ajar pada tamu!" bentak Ibu sambil mendorong tubuhku dengan kasar, membuatku mundur beberapa langkah. Setelah sukses membuatku mundur, Ibu langsung mengajak Kak Dirfan masuk, seolah-olah dia yang punya kuasa penuh atas rumah ini. "Ayo, Dirfan, duduklah. Anggap saja ini rumah sendiri." "Zoya, cepat buatkan teh dan siapkan camilan untuk Dirfan. Jangan sampai tamu merasa tidak dihormati di rumah ini!" perintah Ibu dengan nada tajam. Dengan enggan, aku menyeret kakiku ke dapur, tak punya pilihan. Dari dapur, aku bisa mendengar mereka bercakap-cakap dengan akrab, suara tawa Ibu terdengar begitu lepas. Aneh, padahal seingatku mereka tak pernah saling kenal saat aku sekolah dulu. Ketika teh dan camilan siap, aku membawa semuanya ke ruang tamu. Aku bisa merasakan tatapan Kak Dirfan yang terarah padaku, dan itu membuatku tidak nyaman. "Zoya, kalau saja kamu lebih pintar memilih pria yang mapan seperti Dirfan ini, hidupmu pasti jauh lebih baik daripada bergantung pada lelaki tak berguna seperti Dewangga," kata Ibu dengan nada mengejek. "Ah, Ibu terlalu memuji," balas Kak Dirfan tersenyum penuh kesombongan. "Bisnis saya memang baru berkembang, tapi saya yakin, dalam waktu dekat usaha ini akan meroket." Ibu tertawa kecil, menepuk bahunya. "Ibu yakin itu, Dirfan. Setidaknya kamu punya masa depan yang cerah. Tidak seperti Dewangga, pria miskin yang sekarang mendekam di penjara." "Zoya, kamu bercerai saja dengan Dewangga," kata Ibu dengan nada enteng. Aku tertegun, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Apa maksud Ibu? Aku tidak mau! Ibu bicara seperti itu seolah-olah sudah ada calon lain saja!" jawabku dengan nada tinggi. Dadaku terasa mendidih, amarah dan kekecewaan bercampur aduk mendengar ucapan Ibu yang begitu santainya menyuruhku bercerai dari Mas Dewangga. Namun, yang Ibu katakan selanjutnya membuat tubuhku lemas, seolah seluruh energiku terhisap ke Bumi.Sesampainya di rumah, aku langsung turun dari mobil setelah dibukakan pintu oleh sopir pribadi yang tadi menyamar menjadi pelanggan di toko. Aku mengangguk singkat sebagai ucapan terima kasih, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Aku mengedarkan pandangan ke ruang tamu, dan sesuai dugaan, Mas Dewangga belum tiba.Daripada diam, aku memilih naik ke kamar dan merebahkan diri di sofa panjang sambil membuka buku bacaan yang belum sempat kuselesaikan. Sesekali aku mengelus perutku, sambil membayangkan raut wajah Mas Dewangga nanti saat tahu 'permainanku' dengan Alex tadi berhasil.Satu jam berlalu.Suara pintu kamar terbuka, membuatku refleks menoleh. Dan di sana Mas Dewangga berdiri dengan napas agak memburu. Matanya langsung mengunci pandangan ke arahku. Aku tersenyum, meletakkan buku di atas meja, lalu bangkit berdiri.Mas Dewangga melangkah cepat menghampiriku. Belum sempat aku bersuara, tubuhku sudah dipeluk erat olehnya."Mas!" Aku spontan memukul pelan punggungnya. "Perutku, Mas!
Sebelum Alex bicara lagi, Nara datang dengan nampan berisi kopi dan kue red velvet pesanan milik Alex.Pria itu menyesap kopi pahitnya yang baru datang. Tatapannya tak lepas dariku, seolah sedang menilai celah dari setiap kata dan ekspresi yang kutunjukkan."Saya mengerti perasaanmu, Bu Zoya," katanya pelan. "Terkadang laki-laki itu semakin banyak tekanan, semakin suka memendam. Bukannya tidak sayang, tapi mereka merasa harus tangguh, harus kuat ... sampai-sampai lupa bagaimana cara terbuka pada istrinya sendiri."Aku diam, seolah larut dalam kata-katanya."Hanya saja, hati-hati juga ... jangan sampai Bu Zoya terlalu menunggu seseorang yang bahkan mungkin sudah tidak seperti dulu lagi," lanjutnya. "Dewangga itu ... saya sudah mengenal dia cukup lama. Dia pandai menyembunyikan sesuatu, bahkan dari orang terdekatnya."Aku menunduk, pura-pura menelan ucapan itu."Kalau Bu Zoya terus menunggu Dewangga terbuka, takutnya Bu Zoya makin sakit sendiri. Mungkin Anda perlu mulai berpikir untuk m
Pagi itu, setelah selesai sarapan, Mas Dewangga mengantarku ke toko kue. Sepanjang jalan, dia terus mengingatkanku untuk berhati-hati, bahkan dia sampai turun dari mobil dan mengantarkanku ke depan toko."Kalau ada apa-apa, langsung kabari," pesannya lagi.Aku mengangguk. "Iya, Mas. Aku akan baik-baik saja. Fokus jaga saham perusahaan, ya."Dia tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memelukku dan berjalan kembali ke mobil. Begitu mobilnya menjauh, aku menarik napas panjang dan membuka pintu toko."Naraaa," panggilku pelan.Suara langkah cepat mendekat, lalu muncullah Nara dengan celemek bermotif stroberi tergantung di pinggang."Bu Zoya!" serunya ceria sambil memelukku. "Bu Zoya, saya rindu!"Aku tertawa pelan. "Aku juga rindu kalian." Nara melepaskan pelukannya dan berkata, "Bu Zoya jangan bekerja sampai kelelahan. Ibu cukup diam dan memantau saja, oke?"Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, Nara. Aku tidak akan melakukan hal-hal yang berat.""Bagus! Saya sudah diberi tahu oleh Pak Dewangg
"Baiklah. Jadi ...." Mas Dewangga menarik napas. "Aku dan Pak Arwin sepakat untuk membiarkan Alex terus berjalan dengan rencananya. Kita pura-pura tidak tahu apa-apa."Aku mengernyit. "Maksudnya ... kamu akan membiarkan dia terus merusak reputasimu, Mas?""Bukan 'membiarkan', tapi mengarahkan. Kita berencana memberikan informasi yang sudah disiapkan, tentunya itu data palsu. Kalau dia terus memakan umpan itu, kita bisa tahu siapa yang bekerja sama dengan dia, dan ke mana arah penyebaran infonya," jelas suamiku panjang lebar.Aku mengangguk pelan, mulai menangkap alurnya. "Jadi kamu akan membuat jebakan informasi?""Iya," jawabnya singkat. "Dan bagian IT akan melacak pergerakan file itu. Sekali dia membuka atau mentransfer file tersebut, alamat IP dan perangkatnya bisa kita identifikasi. Bahkan kalau dia hapus, kita tetap punya log-nya."Aku terdiam sejenak. Otakku mencerna rencana suamiku yang ternyata sudah cukup matang."Lalu, kamu mau tangkap dia langsung?" tanyaku hati-hati."Kala
"Eh, Mas. K-kamu belum tidur?" tanyaku, berusaha terdengar setenang mungkin agar suamiku tak curiga jika aku sedikit menguping pembicaraannya barusan."Belum. Tadi aku menerima telepon dulu." Mas Dewangga berjalan mendekat ke arahku dan memelukku, kemudian berkata, "Ayo kita tidur. Sudah larut malam."Aku mengangguk dan kami berdua berjalan menuju ranjang. Setelah berbaring di sana, aku segera menutup mata. Pikiranku segera melayang ke percakapan Mas Dewangga di telepon tadi.Aku ingin bertanya, tetapi aku tidak ingin membuat Mas Dewangga lebih terbebani. Jadi, aku putuskan untuk bertanya nanti saat suasananya sudah membaik.***Esok paginya, aku terbangun dan mendapati sisi ranjang di sebelahku kosong. Aku celingukan memandangi setiap sudut kamar, berharap sosok Mas Dewangga muncul dari balik pintu kamar mandi atau dari balik lemari. Namun, tidak ada siapa-siapa. Hening. Bahkan terlalu hening untuk ukuran pagi.Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi untuk mem
"Zoya, ada apa?" tanya Mas Dewangga di sampingku tiba-tiba.Suara suamiku membuatku sedikit tersentak. Aku menelan ludah sebelum mengangkat telunjuk, menunjuk ke arah trotoar di luar jendela mobil. "Mas, lihat itu ..." bisikku.Mas Dewangga mengikuti arah telunjukku, lalu tiba-tiba tubuhnya menegang. Rahangnya mengeras, sorot matanya berubah tajam. Aku melihat bagaimana jemarinya mengepal, seolah menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya."Berhenti di sini," perintahnya tegas pada sopir. Mobil melambat, lalu berhenti di tepi jalan tak jauh dari tempat sosok itu berdiri.Alex.Pria itu tampak seperti sedang menunggu seseorang. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya, pandangannya sesekali beralih ke kanan dan kiri, seperti memastikan keadaan sekitar.Aku menoleh ke arah Mas Dewangga yang kini sudah mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat, suamiku menekan nomor dan menempelkan ponsel ke telinganya."Aku butuh kau ke sini sekarang," ucapnya dengan nada dingin. "Aku kirim l
Mas Dewangga mulai menceritakan masalahnya, sementara aku mendengarkan dengan saksama, jemariku mengelus punggung tangannya dengan lembut. Ada ketegangan di wajahnya yang tak bisa Mas Dewangga sembunyikan, seolah kata-kata yang hendak diucapkannya begitu berat. Sesekali dia menarik napas dalam, seakan berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum melanjutkan.Aku tetap diam, membiarkan suamiku mengungkapkan semua yang selama ini membebani pikirannya. Dari ekspresi wajahnya, dari perubahan nada suaranya, aku bisa merasakan beban yang dia pikul. Ini bukan sekadar masalah bisnis biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih menusuk."Aku curiga ada seseorang yang sengaja ingin menjatuhkan aku," ucapnya pelan, tetapi ada nada tegas di sana. "Bukan hanya ingin menggagalkan proyekku, tapi benar-benar ingin menghancurkan semuanya."Mendengar hal itu, aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat."Maksud Mas?" tanyaku pelan, berusaha memastikan aku tidak salah mendengar.Mas Dewangga menatap lu
Mas Dewangga pergi tanpa menjelaskan apa pun, meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke kamar dengan perasaan khawatir, kesal, sekaligus sedih. Aku memutuskan untuk beristirahat di sana sambil menunggu suamiku yang entah kapan dia akan pulang.***Aku duduk termenung di atas ranjang sambil memeluk lutut. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Mas Dewangga belum juga pulang. Pikiranku kalut memikirkan ke mana dia pergi sore tadi tanpa memberi penjelasan apa pun. Berbagai skenario buruk berkecamuk dalam benakku, tetapi aku mencoba menepis semuanya."Aku harus tenang," gumamku pada diri sendiri, meski dalam hati aku tahu itu mustahil.Jam sebelas lewat, suara pintu kamar terbuka, menampilkan sosok suamiku yang kutunggu-tunggu kedatangannya. Aku segera bangkit dari ranjang, tak sabar untuk menuntut penjelasan.Aku bisa melihat wajah suamiku yang terlihat lelah. Dia bahkan tak sempat melepas jasnya ketika matanya bertemu dengan tatapanku y
"Bu Zoya?" tanya pria itu sambil tersenyum tipis. "Kenapa berhenti di sini? Ada masalah?"Aku ragu sejenak, lalu menjawab, "Mobilnya mogok, Pak Alex."Dia turun dari mobilnya, menghampiriku dengan langkah santai. "Butuh bantuan? Saya bisa antar," tawarnya.Aku menggeleng cepat. "Tidak perlu. Sopir sudah pesan ojek online."Alex memasukkan tangannya ke saku celana, tampak tidak terganggu oleh penolakanku. "Kalau begitu, saya temani saja sampai ojeknya datang. Bahaya kalau berdiam diri di pinggir jalan begini."Aku hanya tersenyum kaku. Tidak tahu harus berkata apa, aku memilih menatap jalan raya, berharap ojekku segera tiba."Ngomong-ngomong," Alex memecah keheningan. "Dewangga suami Anda, ya?""Iya," jawabku singkat tanpa menoleh padanya."Saya baru tahu jika Dewangga ternyata sudah menikah. Dia tidak mengatakan apa pun pada saya," kata Alex.Aku hanya mengangguk, bingung mau merespons apa."Kalian baik-baik saja, kan?" tanya Alex lagi.Kali ini aku menoleh padanya sambil mengerutkan