"Terus baiknya dibawa ke mana, Pak," tanya Daniel.
"Ke UGD saja, Pak. Di sana, Ibu bisa langsung diperiksa secara menyeluruh. Dan tindakan yang diambil lebih cepat. Tapi ya itu terserah Bapak-Bapak. Ini tadi cuma saran saya saja."Tadi Pak sopir sempat bercerita kalau misal ada anggota keluarganya yang sakit mendadak pada jam-jam di mana kebanyakan dokter tidak membuka praktik pribadinya, dia akan membawa anggota keluarga tersebut langsung ke UGD.Kalau aku mah bodo amat. Terserah mau dibawa kemana karena rasa sakit yang kurasakan membuatku tak dapat berpikir lagi.Akhirnya setelah Mas Edgar dan Daniel berdiskusi sebentar, aku dibawa ke UGD. Saat sampai di depan UGD, seorang satpam membantuku untuk turun. Pak satpam mendorongku masuk ke ujung karena di bagian dekat pintu, agak gaduh. Ada pasien kecelakaan yang sedang membutuhkan pertolongan cepat. Lalu tak lama, dokter jaga menghampiriku untuk meneliti sakit yang kurasakan. Para perawat juga cekatan membantu dokter uTiga minggu kemudian. Suasana bulan madu yang kami rasakan masih terasa membahagiakan. Menjelang pulang ke Jakarta, aku memeriksakan diri lagi ke dokter spesialis kandungan yang menanganiku di UGD waktu itu. Aku dan Mas Edgar merasa lega saat dokter berkata kalau kandunganku sudah sehat dan janinnya masih terus tumbuh dan berkembang di dalam rahimku. Karena perjalanan Solo-Jakarta tak sampai satu jam lamanya, dokter memberi izin untuk aku naik pesawat.Sekarang aku telah kembali pulang ke Jakarta dengan pria yang mencintaiku dan yang sangat kucintai. Saat kami berdua turun dari mobil, kulihat ketiga pembantu rumah tangga kami sudah siap membantu mengangkat barang-barang kami. Untungnya di dalam koper baru ada oleh-oleh untuk mereka. Kebanyakan isinya ada makanan khas Solo dan blus batik dengan macam-macam model.Aku sempat melihat pandangan terheran-heran dari ketiga pembantu kami saat melihat Mas Edgar langsung mengangkatku begitu kami turun dari mobil. Tak heran,
Mas Edgar nampak tersipu malu. "Terus cara yang kedua gimana?""Yang kedua, Mas harus bisa memperlakukanku dengan lembut dan mesra." Kini ganti aku yang tersipu malu."Loh, emang biasanya aku bersikap kasar sama kamu?"Aku mendengus keras. "Mas hanya bersikap lembut dan mesra saat kita berhubungan badan aja, selebihnya Mas cuek. Aku harap setelah ini, sikapmu bisa mesra dan lembut di saat yang lain.""Baiklah, aku akan belajar, Sayang," kata Mas Edgar sambil memelukku.Aku girang dalam hati setelah mendengar rayuannya yang baru sekali itu kudengar. Lucu, kaku, dan menggelikan. Tetapi aku menyukainya. Jadi kubalas pelukannya. "Aku mencintaimu, Mas," bisikku.Mas Edgar semakin kuat memelukku, aku lekas menegurnya."Jangan terlalu kencang meluknya," kataku. Dengan segera Mas Edgar melepaskan tubuhku. Kemudian matanya mengarah ke atas meja--tepatnya obat dan vitamin yang harus kuminum."Obatnya diminum dulu, ya," ujarnya sambil mengambil obat dan vit
"Semua badanku rasanya sakit, Mas. Apalagi perut, pinggang dan juga perasaanku," sahutku sedikit terisak. Sikap Mas Edgar yang bossy, membuatku enggan untuk segera menceritakan padanya apa yang sebenarnya terjadi."Sikapmu yang masih arogan menambah rasa sakitku. Jadi tinggalin aku, Mas. Pulanglah ke Jakarta. Biarin aku istirahat di sini dengan tenang. Dokter tadi bilang kalau aku harus patuh. Istirahat total dan rileks supaya-""Dari tadi cuma itu-itu aja yang kamu bilangin ke aku," Mas Edgar memotong perkataanku dengan tak sabar. "Tapi kamu gak jelasin sebenarnya apa sakitmu.""Jadi Mas beneran ingin tahu apa penyakitku? Tapi kenapa waktu pulang dari rumah sakit tadi Mas gak tanya apa-apa? Bahkan kayaknya Mas nganggap sakitku ini gak serius."Setelah mendengar ucapanku, mendadak wajahnya berubah jadi pucat. Dia mencengkeram telapak tanganku."Aku pikir sakitmu gak serius," katanya dengan suara bergetar. "Kamu gak apa-apa, kan?"Melihat kecemasannya, ak
"Jadi, pulanglah besok sama Daniel. Aku akan balik ke rumah Ibuk untuk beristirahat," sambungku kemudian."Di Jakarta kamu bisa istirahat dengan lebih nyaman. Ada banyak orang yang akan melayanimu. Di sini, kamu akan merepotkan Ibumu.""Ada Nadya dan Mbok Ijah yang biasa bantu-bantu Ibuk di rumah sampai sore. Lagian aku ini bukan anak manja dan cerewet. Jadi gak usah khawatir. Pokoknya aku gak mau pulang.""Nara, jangan kayak anak kecil!" bentak Mas Edgar dengan nada tinggi."Mas Edgar, Nara, kayaknya aku mau balik dulu ke kamar." Daniel yang jadi merasa tidak enak berada di antara kami yang sedang beradu kata, lekas-lekas keluar kamar. "Kalau perlu bantuanku, telepon saja." Daniel berkata padaku dengan bahasa isyarat. Aku hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.Sepeninggal Daniel, aku menoleh ke arah Mas Edgar kembali. "Gak semua orang yang ingin ditemani ibunya itu kayak anak kecil," kataku. "Aku ini sakit, Mas. Sedang butuh kasih sayang dan kehangatan dar
"Terus baiknya dibawa ke mana, Pak," tanya Daniel."Ke UGD saja, Pak. Di sana, Ibu bisa langsung diperiksa secara menyeluruh. Dan tindakan yang diambil lebih cepat. Tapi ya itu terserah Bapak-Bapak. Ini tadi cuma saran saya saja."Tadi Pak sopir sempat bercerita kalau misal ada anggota keluarganya yang sakit mendadak pada jam-jam di mana kebanyakan dokter tidak membuka praktik pribadinya, dia akan membawa anggota keluarga tersebut langsung ke UGD.Kalau aku mah bodo amat. Terserah mau dibawa kemana karena rasa sakit yang kurasakan membuatku tak dapat berpikir lagi.Akhirnya setelah Mas Edgar dan Daniel berdiskusi sebentar, aku dibawa ke UGD. Saat sampai di depan UGD, seorang satpam membantuku untuk turun. Pak satpam mendorongku masuk ke ujung karena di bagian dekat pintu, agak gaduh. Ada pasien kecelakaan yang sedang membutuhkan pertolongan cepat. Lalu tak lama, dokter jaga menghampiriku untuk meneliti sakit yang kurasakan. Para perawat juga cekatan membantu dokter u
"Enggak.""Aku dapat undangan dari rekan bisnisku, Nara. Ayolah, temani aku datang," katanya memohon."Pergi aja sendiri. Aku gak mau.""Nara, jangan kekanakan. Undangan itu untuk kita berdua dan mereka ingin mengenal lebih bagaimana istriku. Jadi kamu harus datang mendampingiku. Gak pantas rasanya kalau aku datang sendirian.""Memangnya siapa yang mengharuskan?" Mataku kuangkat tinggi-tinggi. "Demi nama baikmu, demi reputasimu atau demi apa?""Jangan cari gara-gara lagi, Nara. Aku udah capek berdebat terus sama kamu.""Emangnya kamu aja yang capek? Badanku yang sakit ini juga karena kelelahan psikis. Ada banyak penyakit fisik yang disebabkan karena persoalan psikologis," kataku dengan sengit. "Jadi, biarin aku istirahat dulu untuk sementara waktu di Solo kalau kamu menganggap perceraian merupakan aib. Tapi aku gak bisa jamin apa aku bakalan balik ke Jakarta atau enggak. Biarkan waktu yang menjawabnya.""Kamu ini keras kepala, Nara. Gak mau dengerin omong