"Kalau aku sih berharap anak kita nanti laki-laki, Sayang." Mas Edgar berkata demikian saat sedang fokus menyetir setir kemudi mobil.
Setelah aku ikut arisan sosialita tadi pagi, siangnya Mas Edgar mengajakku pergi ke dokter kandungan di rumah sakit yang menjadi langganan keluarga kami.Di sepanjang perjalanan Mas Edgar bercerita kalau Mbok Sum mengajak Mas Edgar bicara soal jenis kelamin. Makanya tiba-tiba dia bicara seperti tadi."Kenapa emangnya? Bukannya laki-laki atau perempuan itu sama?" tanyaku."Yah, sepertinya aku akan cocok dengan anak laki-laki dibanding anak perempuan. Anak perempuan cenderung manja dan rewel, aku gak suka itu.""Jadi bagimu aku ini manja dan rewel gitu?" Aku menatapnya dengan tatapan sengit. Kata-katanya menurutku menyakitkan. Apalagi di bagian kata 'aku gak suka itu'."Loh, kok kamu jadi mikirnya gitu sih?" Mas Edgar mengerutkan keningnya tapi tatapannya masih fokus ke arah depan."Tadi kamu bilang anak perempuan itu cenderu"Jangan bahas itu dulu ya... aku lagi capek, Sayang."Jawaban dari Mas Edgar sama sekali tidak membuat hatiku lega. Aku pun memilih diam sampai kami tiba di rumah, merasa lelah jika harus berdebat lagi dengannya.Sesampainya di rumah, Mas Edgar langsung masuk ke ruang kerjanya. Entah apa yang ingin dia lakukan padahal setahuku pekerjaannya sudah selesai. Karena tak ingin memusingkan hal tersebut, aku memilih pergi ke dapur untuk membuat minuman dingin setelah sudah mengganti baju. Di luar cuaca cukup terik apalagi percakapanku dengan Mas Edgar tadi telah membuat hawa tak nyaman di hatiku. Jadi aku ingin meredamkan pikiran dengan minuman dingin dan manis.Untung Nuning dan yang lain sedang tidak ada di tempat saat aku masuk ke dapur, jadi aku bisa menyendiri di dapur dengan tenang. Aku memilih kursi yang letaknya ada di pojok dapur. Tempatnya nyaman untuk aku melamun karena di sana ada jendela lebar yang mengarah ke halaman belakang.Saat aku baru saja dua kali m
"Kalau aku sih berharap anak kita nanti laki-laki, Sayang." Mas Edgar berkata demikian saat sedang fokus menyetir setir kemudi mobil.Setelah aku ikut arisan sosialita tadi pagi, siangnya Mas Edgar mengajakku pergi ke dokter kandungan di rumah sakit yang menjadi langganan keluarga kami.Di sepanjang perjalanan Mas Edgar bercerita kalau Mbok Sum mengajak Mas Edgar bicara soal jenis kelamin. Makanya tiba-tiba dia bicara seperti tadi."Kenapa emangnya? Bukannya laki-laki atau perempuan itu sama?" tanyaku."Yah, sepertinya aku akan cocok dengan anak laki-laki dibanding anak perempuan. Anak perempuan cenderung manja dan rewel, aku gak suka itu.""Jadi bagimu aku ini manja dan rewel gitu?" Aku menatapnya dengan tatapan sengit. Kata-katanya menurutku menyakitkan. Apalagi di bagian kata 'aku gak suka itu'."Loh, kok kamu jadi mikirnya gitu sih?" Mas Edgar mengerutkan keningnya tapi tatapannya masih fokus ke arah depan."Tadi kamu bilang anak perempuan itu cenderu
Nyatanya saat di kamar, sama sekali tidak ada pembicaraan lanjut soal kasus Lusi yang belum selesai kami perbincangkan. Hanya ada suara lenguhan dan desahan yang saling beradu memenuhi ruangan kamar.Entah kenapa saat Mas Edgar menyentuhku, aku tidak sanggup untuk menolaknya. Padahal aku masih ingin tahu soal cerita Lusi darinya. "Eh, mau kemana, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Edgar hendak masuk ke pintu penghubung setelah membersihkan diri."Aku ke ruang kerja dulu, Ya. Tadi kerjaanku tinggal dikit lagi, nanggung.""Ya udah, nanti kalau udah selesai langsung istirahat ya.""Iya, Sayang."Sepeninggalnya, aku membersihkan diri sebelum beranjak naik ke atas kasur.Malam memang belum larut, bahkan masih terbilang sore. Tapi entah kenapa tubuh ini rasanya begitu lelah, aku ingin merebahkan diri dulu sambil menunggu Mas Edgar menyelesaikan pekerjaannya. Barangkali dia masih ingin menceritakan soal Lusi padaku nanti.Tapi sebenarnya tanpa menunggu cer
"Diminum dulu tehnya, Mas."Aku menyodorkan segelas teh hangat pada Mas Edgar yang sedang duduk di halaman belakang rumah. Sore hari ini terasa sangat sejuk karena air hujan baru saja mengguyur tanah kering yang seharian terkena terik sinar matahari."Makasih ya, Sayang." Mas Edgar meletakkan ponselnya di atas meja lalu meraih teh untuk diminum.Mungkin inilah saat yang tepat untuk bertanya soal Lusi padanya. Kemarin sewaktu pulang, Mas Edgar langsung Istirahat di kamar dan bilang sedang tidak ingin diganggu. Keesokannya, tanpa basa-basi dia langsung minta jatah di atas ranjang padaku. Setelahnya mengurung diri di ruang kerja karena masih ada kerjaan yang harus diselesaikan sebelum mengambil hari libur panjang. Jadi aku belum sempat berbincang santai dengannya sampai sore ini.Setelah menyesap teh, Mas Edgar kembali sibuk pada ponselnya dan terlihat serius. Aku pun berinisiatif memijit lengannya lalu perlahan naik ke bahu. Lama kelamaan wajahnya yang tadinya kaku men
Setelah Nadya agak tenang, dia menyerahkan surat-surat yang ditulis oleh Azzam padaku untuk dibaca. Total surat hanya ada dua lembar. Setiap kalimat yang aku baca, membuat kedua tanganku bergetar karena ingatanku langsung kembali saat aku menerima surat dari Anindya.Isi suratnya hampir mirip. Sama-sama menginginkan perjodohan dengan orang yang mereka sayang, bedanya Azzam juga menitipkan harta warisannya pada Daniel.Aku jadi membayangkan bagaimana perasaan Daniel saat membaca surat-surat dari pamannya itu. Pasti dia merasa ada kesedihan dan juga berat karena harus menerima warisan yang ditinggalkan. Jika warisan yang diterima hanyalah harta, bisa dia gunakan atau habiskan. Tapi bagaimana jika warisan itu berbentuk seorang wanita yang perlu dijaga?Apalagi wanita tersebut merupakan tunangan pamannya.Tentu saja tanggung jawab di pundak Daniel jadi jauh lebih besar."Kamu tahu, Mbak? Daniel bilang surat itu sudah dia pegang selama lima tahun lamanya. Bukanny
Malam saat waktu menunjukkan pukul tujuh, aku menatap pintu kamar yang ditempati Nadya dengan penasaran. Ini sudah waktunya makan malam, tapi Nadya belum juga terlihat batang hidungnya.Padahal seharian aku tidak melihatnya keluar kamar kecuali saat di dapur tadi pagi. Aku jadi semakin yakin kalau ada sesuatu yang terjadi padanya selama aku pergi. Dengan ragu aku mengetuk pintu. "Nadya, ayo makan. Udah waktunya makan malam," kataku.Hening. Tidak ada jawaban. Aku mengetuk pintu lagi, kali ini lebih keras. "Nadya."Aku sampai menempelkan daun telingaku ke pintu, berharap dapat mendengar sesuatu dari dalam. Tapi masih hening, tidak ada suara.Tidak menyerah. Aku mengetuk pintu lagi dan memanggil namanya berulang kali. Hingga entah sudah ke-berapa kalinya aku mengetuk pintu, sampai tak sadar kalau gagang pintu sudah digerakkan dari dalam dan pintu langsung terbuka, membuatku yang sedang menempel pada pintu hampir terjatuh. Untung ada Nadya yang langsung memegangiku