Share

Akhir Penantian Keyra

Suara monitor yang begitu panjang, serta garis yang semula bergelombang itu perlahan membentuk garis horizontal yang semakin panjang.

“Kak Key! Bangun, Kak!” teriak Alsya semakin menjadi.

Beberapa orang berseragam biru, dan seorang pria dengan setelan jas putih pun berdesakkan masuk. Memaksa keduanya untuk menjauh.

“Kak Key, Kak,” panggil Alsya menarik lengan kemeja Aiden dengan wajah bersimbah air mata. Berkali-kali ia memanggil sang kakak yang tidak lagi kunjung membuka mata. 

Dunia terasa berhenti saat itu juga. Ketika dokter menyatakan Keyra telah dinyatakan meninggal. 

“Nggak mungkin! Kakak saya pasti cuma tidur atau pingsan aja, Dok,” bantah Alsya mendekati sosok terbaring yang tidak lagi bernyawa itu. Ditangkupnya kedua wajah sang kakak yang kini semakin pucat dan terasa semakin dingin.

“Kak Key, ayo bangun, Kak. Nggak mungkin Kakak langsung pergi setelah dengar jawaban Alsya tadi kan, Kak?” desak Alsya semakin mengguncang tubuh kakaknya.

*** 

Mendung itu terus menggantung. Seolah ikut berduka atas kepergian Keyra Laviana. Seperti dua keluarga yang kini tengah diselimuti kedukaan. Sepanjang hari hanya isak tangis, dan ucapan belasungkawa yang Alsya dengar dari orang-orang terdekat mereka. 

Prosesi pemakaman telah selesai beberapa jam lalu. Sosok gadis berkacamata hitam yang bertengger di batang hidungnya, mengambil sebuah bingkai foto yang berada di atas lemari. Alsya menatap foto masa kecilnya bersama Keyra. Masih tidak menyangka jika sang kakak telah pergi untuk selamanya.

“Bunda, janji yang Alsya ucap ke kak Key, bisa dibatalin nggak?” tanya Alsya pada Maya yang menjadi sandaran kepalanya.

“Nak, ucapan kakak kamu itu adalah wasiat terakhir. Kamu juga sudah menyanggupinya. Jadi, wajib hukumnya kamu menjalani wasiat itu,” jawab Maya berusaha memberi pengertian pada putrinya.

Alsya bergeming. Meletakkan kembali bingkai foto tersebut di tempatnya.

“Ada apa?” tanya Maya menangkup kedua pipi Alsya.

“Kalau gitu, selepas tujuh hari meninggalnya Kak Key. Alsya siap untuk menikah dengan Kak Aiden.” 

Suara Alsya terdengar begitu datar. Hatinya terasa hampa dan kosong. Tak ada lagi air mata maupun emosi yang mampu ia gambarkan. Jawaban bundanya sudah lebih dari cukup, untuk dia membayangkan hari-harinya kedepan.

Netra Alsya menyapu seluruh penjuru ruangan. Mencari calon suaminya untuk membahas pernikahan. Sayangnya, batang hidung lelaki itu sama sekali tidak kelihatan. Tidak tahu di mana dia menempuhkan kesedihan.

“Tante, Kak Aiden di mana?” tanya Alsya pada Liana—Ibunda Aiden.

“Aiden di rumah dia sendiri, Sya. Ada apa?” 

“Nggak papa, Tan. Alsya pergi keluar sebentar,” pamit Alsya pada Liana.

Ia bergegas mengambil kunci mobil dan pergi menuju garasi. Dengan wajah dan mata yang masih sembab, Alsya memberanikan diri menyetir mobil seorang diri dan menemui calon suami pilihan kakaknya.

“Kak Aiden!” panggil Alsya setelah beberapa kali menekan bel dan mengucap salam. Tetapi lelaki itu tak kunjung muncul.

Tak lama kemudian, terdengar derap langkah seseorang dari dalam dan pintu di hadapan Alsya terbuka.

“Ada apa, Sya?” tanya Aiden dengan suara parau dan mata memerah.

“Alsya mau ngomongin pernikahan kita,” jujur Alsya.

Kedua alis Aiden tertarik ke dalam. Menimbulkan lipatan-lipatan kecil pada dahinya, lalu berdecak pelan. “Kamu bercanda? Kakak kamu baru dikuburkan beberapa jam lalu, dan tanahnya pun masih basah. Kamu mau bahas soal itu? Di mana pikiran kamu, Sya?” cecar Aiden.

Bola mata Alsya berputar. Tidak perlu diperjelas pun ia tahu. “Alsya minta pernikahan kita dilangsungkan setelah tujuh hari pemakaman kak Key. Kita nggak perlu adain apa-apa. Cukup nikah di KUA, dan dihadiri keluarga kita aja sebagai saksi. Alsya cuma mau tepatin janji dan penuhi wasiat kak Key.”

Karena sejatinya Alsya tidak berharap banyak dalam pernikahan mereka. Bayang-bayang pernikahan impian yang ada dalam imajinasinya pun telah pupus dan sirna.

“Bukan gitu. Oke, duduk dulu. Kita bicara baik-baik,” ajak Aiden duduk di kursi yang berada samping mereka.

“Apa nggak terlalu cepat, Sya? Kenapa tiba-tiba gini?” tanya Aiden mencoba untuk mengontrol emosi dan suasana hatinya yang kian memburuk.

Alsya mencengkeram jahitan pinggir gamis hitam yang ia kenakan. Hatinya bagai tersayat sembilu dengan masalah yang tengah ia hadapi.

“Biar sakitnya nggak berlarut-larut, Kak. Bahkan Alsya harus merelakan hati lain yang juga akan ikut terluka setelah pernikahan kita,” aku Alsya.

“Maksud kamu?”

“Sama seperti saat pernikahan kalian, begitu pula yang akan terjadi dalam pernikahan kita,” ungkap Alsya memperjelas alasannya menolak perjodohan mereka di awal.

“Kamu punya pacar?” tanya Aiden.

Kepala Alsya bergerak pelan. “Dia siap untuk melamar Alsya bulan depan. Karena itu Alsya minta pernikahan kita segera dilangsungkan, dan Alsya sendiri yang akan menyelesaikan hubungan Alsya dan dia,” urai Alsya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status