Share

Jawaban Alsya

“Alsya udah ambil keputusan untuk permintaan Kak Key kemarin.”

Tirta dan Maya yang tengah sarapan, tersedak mendengar ucapan putri bungsu mereka.

“Bagaimana? Apa rasanya nggak terlalu buru-buru kamu mengambil keputusan ini, Sya?” tanya Maya yang sudah rela memberikan waktu untuk putrinya berpikir.

Alsya mengangguk pelan. Menikmati sarapannya dengan tenang, bahkan sangat tenang. Seolah tidak ada hal mencengangkan yang terjadi.

“Tapi, Alsya akan jawab di rumah sakit,” ucap Alsya seraya menyudahi makan paginya.

Ia langsung beranjak dari kursi dan menyambar sling bag kecilnya yang tergeletak di meja.

“Kasih tau bunda dulu, Sya. Jangan sampai keadaan kakak kamu semakin drop, mendengar penolakan kamu.” Cegah Maya menghalangi langkah si bungsu.

Alsya menghela napas panjang. Orang tuanya tampak begitu mengkhawatirkan keadaan sang kakak, dan tidak terlalu peduli pada batinnya yang kini juga tengah terluka. Walau luka itu tak terlihat, tetapi ia yakin sorot mata dan tangisnya semalam sudah cukup untuk memperjelas itu semua. 

Seutas senyum terbit di bibir merah muda Alsya. Diraihnya tangan Maya dan berkata, “Mana mungkin Alsya kasih jawaban yang nggak sesuai dengan keinginan Kak Key dan kalian.” 

“Jadi, kamu sudah setuju dengan pernikahan ini, Sya? Alhamdulillah, makasih Sayang. Kamu memang anak bunda yang paling nurut,” puji Maya langsung merengkuh tubuh kecil Alsya.

“Makasih, kamu udah mau nurutin permintaan terakhir kakak kamu,” ujar Maya berulang kali. 

Tirta pun tak kalah haru. Kedua sudut bibirnya melengkung, sambil mengusap puncak kepala Alsya yang berbalut hijab merah muda.

“Kamu benar-benar siap, Nak? Kamu ikhlas?” tanya Tirta.

Hanya kepala Alsya yang terangguk pelan, serta senyum paksa yang ia perlihatkan.

“Alsya ikhlas, Yah,” ucap Alsya susah payah untuk bersuara.

“Alsya pamit dulu. Assalamualaikum.” Pamit Alsya berbalik membelakangi orang tuanya, dan bergegas menuju taksi online yang sudah menanti di depan gerbang.

*** 

Langit yang menyelimuti bumi pagi ini begitu kelabu. Terlihat seorang gadis menyatukan kedua tangannya yang berada dalam saku jaket bludru. Menghalau dingin yang menyusup dibalik gamis yang ia kenakan. Kaki kecilnya terus berjalan melewati banyak bangunan dengan pintu kaca besar. 

Langkahnya lantas terhenti. Mendongak ke salah satu ruangan yang berada di lantai tiga gedung yang akan ia datangi. Ingin rasanya ia berbalik, dan mengurungkan niat untuk datang ke rumah pesakitan ini. Akan tetapi, Alsya lebih tidak rela jika membiarkan kakaknya pergi dengan harapan tak sampai hingga mati.

Dengan hati yang terus dirundung gelisah dan gundah, Alsya memberanikan diri dan menyatakan jawabannya.

“Sya, bagaimana?” tanya Keyra dengan wajah pucat pasi, serta tangan yang bergerak sangat lemah.

Aiden yang saat itu juga tengah menemani sang istri, memberi ruang untuk Alsya berdekatan dengan kakaknya.

Alsya mengusap lembut punggung tangan Keyra yang terasa dingin. “Alsya mau menikah dengan Kak Aiden, Kak,” jawab Alsya.

“Syukurlah. Dengan begitu, kakak tenang meninggalkan kamu dan Mas Aiden,” ujar Keyra menatap Aiden yang langsung mendekat.

“Kamu jangan ngomong gitu, Key. Walaupun Alsya setuju, aku masih berharap kamu mampu bertahan,” pinta Aiden mengenggam tangan Keyra yang lain.

Alsya mengalihkan pandangannya dari Keyra. Menggigit kuat bibir bawahnya, guna mengalihkan rasa sakit yang kian mendera. 

‘Apa yang kuharapkan dari pernikahan ini nantinya. Kalau hati kami jelas-jelas sudah di isi dengan orang lain,’ jerit Alsya membatin.

“Jaga Alsya untuk aku, Mas. Cintai dia seperti kamu mencintaiku,” pesan Keyra menatap lelaki tercintanya.

“Aku akan jaga dia dengan baik. Kamu tenang aja.”

Senyum Keyra kian terkembang, setelah hatinya merasa tenang melihat dua sosok yang sangat ia cinta dan sayangi telah mengucap janji.

“Segera nikahi dia, setelah aku pergi. Agar kalian nggak kesepian,” pintanya lagi.

Hanya anggukan yang dapat keduanya beri, agar Keyra semakin tenang. Sebab bibir keduanya telah terkunci karena menahan pilu dan sedih.

“Udah, kamu jangan bicara lagi. Nanti kamu capek,” ujar Aiden sudah tidak sanggup mendengar segala permintaan Keyra yang begitu ikhlas melepas hidupnya.

“Iya, Kak. Kakak harus banyak istirahat. Alsya janji akan temenin Kak Key di sini. Nggak pergi-pergi lagi,” timpal Alsya semakin mengeratkan genggaman tangan mereka.

Sayangnya, Keyra justru meminta hal yang membuat air mata adiknya semakin tak dapat terbendung.

“Tuntun aku mengucap syahadat, Mas.” Suara Keyra semakin terdengar lirih.

“Nggak! Kak Key nggak boleh pergi sekarang,” bantah Alsya menggeleng kuat. Tidak terima dengan permintaan kakaknya yang seolah hendak pergi saat itu juga.

Aiden pun begitu berat menurutinya. Tetapi, wajah mereka semakin berdekatan dan Aiden mulai menuntun istrinya mengucap dua kalimat syahadat.

“Kak Key pasti masih bisa bertahan, Kak! Dia nggak akan pergi!” jerit Alsya tertahan sambil mengguncang bahu kakak iparnya.

“Kak!”

“Dokter!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status