"Kak Aiden?"Alsya berlari dengan cepat menuju gerbang. Teringat akan pembicaraannya bersama Aiden barusan."Sya! Tunggu, Sya!" teriak Tania diabaikan begitu saja oleh Alsya.Kelopak mata gadis itu membelalak saat melihat sepasang mobil yang bagian depannya hancur."Kak Aiden?" tanya Alsya saat mendapati mobil sama persis dengan yang Aiden bawa pagi tadi."Nggak! Nggak mungkin!" bantah gadis itu mengusap kasar air matanya.Rasa kantuk yang semula menyerang, lenyap begitu saja. Bahkan kini tenaga Alsya terkumpul penuh untuk menembus kerumunan mahasiswa dan mahasiswi yang menutupi jalan."Kak Aiden!" teriak Alsya memanggil sang suami, dan terus mengedarkan pandangan mencari sosoknya."Hiks! Nggak mungkin dia yang kecelakaan," bantah Alsya masih berusaha untuk mengintip korban yang kini tergeletak di jalan.Ia menatap ngeri bercak darah yang berada di jalan aspal tersebut, hingga tubuhnya tiba-tiba ditarik begitu saja dari arah samping."Kak!""Tunggu di mobil, aku sudah hubungi ambulans
Pria itu terus menatap keduanya dengan sorot mata membunuh. Terutama pada Alsya. Tatapannya sarat akan rasa kebencian dan dendam.“Sya, kenapa?” tanya Aiden ketika istrinya diam mematung.Alsya terkesiap, tubuhnya seketika berputar ke arah Aiden dan membelakangi lelaki itu.“Nggak papa. Ayo pulang,” ajak Alsya menarik tangan Aiden agar segera ke mobil.Hatinya tidak tenang berada lama-lama dalam satu ruangan dengan orang yang telah membuat dirinya trauma."Kita ke apartement dulu ya, nanti baru aku antar pulang," kata Aiden menoleh ke arah Alsya yang membisu.“Sya!” Aiden menepuk pundak Alsya, sampai gadis itu terperanjat.“Bisa jangan ngagetin aku nggak kak?” berang Alsya.Melihat Alsya yang langsung marah, Aiden lebih dulu mengucap maaf sebab ia sama sekali tidak bermaksud membuat sang istri terkejut.“Habisnya kamu melamun terus. Kayak orang lagi banyak pikiran. Ada masalah apa?” tanya Aiden dengan suara lembut.“Nggak lagi mikirin apa-apa kok. Cuma ngantuk aja,” elak Alsya memali
Suasana di antara keduanya kian menegang. Hawa panas dan gerah semakin terasa setelah Aiden mendengar ucapan sang istri. Tubuhnya membeku, sebelum perlahan tatapannya berubah ragu.“Kamu nggak lagi bercanda atau nyari-nyari alasan aja kan, Sya?” tanya Aiden.“Nggak guna Alsya cari-cari alasan aja, Kak. Makanya kalo Alsya cerita dengerin dulu. Jangan maunya didenger aja,” cetus Alsya sambil mendorong tubuh Aiden serta melepas cengkeramannya.Tanpa menunggu respon dari suaminya, Alsya langsung berjalan ke arah pintu. Hendak pulang menuju kost yang ia tinggali.“Sya, tunggu! Ceritain dulu semuanya dengan jelas, Sya,” pinta Aiden berlari mendahului langkah Alsya dan merentangkan kedua tangannya. Menghalangi langkah Alsya agar tidak pergi.“Awas! Aku mau pulang,” ketusnya.Aiden menggeleng cepat. Akan tetapi ia teringat jika apartement yang ia tempati hanya dapat dibuka dan dikunci menggunakan sidik jari dan sandi. Sedang wanita di hadapannya tidak tahu sandi apartement ini.“Baik. Silakan
"Nggak jadi pulang?" tanya Aiden menyadarkan Alsya yang kini terpaku di depan pintu apartement.Gadis itu cepat-cepat berjalan keluar dan bergegas menuju lift. Meninggalkan Aiden yang terkekeh pelan melihat tingkah sang istri.Di dalam lift, Alsya terus menatap angka yang semakin lama kian turun. Tidak memperhatikan Aiden hingga mereka tiba di lantai satu.Karena Alsya yang terlalu banyak pikiran, membuat dirinya menjadi tidak fokus. Ditambah Aiden begitu suka menjahilinya.***Tepat pukul setengah sembilan malam, Alsya tiba di kost-an. Tentu dengan kehadiran Bu Yati yang sudah menunggu di dekat pagar besi yang melingkupi seluruh area kost."Kamu dari mana, Sya?" tanya Bu Yati sudah seperti seorang ibu yang menunggu kepulangan anak gadisnya."Maaf, saya terlambat mengantar Alsya pulang, Bu. Tadi ada sedikit kejadian di jalan. Jadi Alsya menemani saya," jawab Aiden mewakili.Bu Yati menatap keduanya bergantian, lalu kembali fokus pada Alsya. "Benar begitu, Sya?" tanya beliau memastikan
Dengan napas terengah-engah, dan kepala yang sedikit sempoyongan, Cakra dapat melihat jika kini sang kekasih yang tengah marah menoleh ke arahnya. “Ayo balik ke aku, Sya,” lirih Cakra berharap permintaannya kali ini terkabul.Namun, baru saja matanya berbinar karena Alsya benar-benar berputar balik ke arahnya, cahaya di mata Cakra meredup, sebab gadis itu justru mengeluarkan ponsel dan terlihat sedang bicara dengan seseorang di balik telepon.*** Alsya masih tidak yakin dengan ucapan kekasihnya. Lagi pula untuk apa Cakra begadang di dekat kostnya jika tidak ada keperluan apa-apa. Tetapi, baru saja dia hendak bertanya lebih jelas, ponsel dalam tote bagnya lebih dulu berdering.“Iya, Alsya udah berangkat ke kampus,” jawab Alsya ketika sang suami ternyata sedang mencari keberadaannya.[“Kamu sudah bilang sama Cakra kalau aku mau ketemu dia?”] tanya Aiden.Alsya lalu melirik Cakra yang masih terpaku di tempatnya. Ia merentangkan kelima jarinya, meminta pria itu untuk menunggu sejenak.“H
Alsya mendelikkan mata pada Aiden, agar sang suami tidak tersinggung dengan sapaan Cakra padanya."Panggil Kak aja, Ka," ucap Alsya setelah berdeham pelan agar tidak tertawa."Ini aku udah pesanin menu untuk kamu. Nasi goreng seafood sama lemon tea," ujar Alsya menyodorkan makanan pada Cakra dan langsung disambut dengan senyuman lebar oleh kekasihnya."Makasih ya calon makmum," balas Cakra semakin membuat Aiden mengeram menahan marah.Tatapannya berubah tajam pada Alsya yang kini wajahnya merona merah. Sedang bersama dirinya, gadis itu selalu memasang raut muka sinis, tidak suka, dan wajahnya kerap merah padam."Oke, Kak Aiden," sapa Cakra memalingkan wajah dari kekasihnya dan menatap pria lain di meja mereka."Bisa kamu ceritakan tentang pria bernama David, yang kata Alsya adalah teman kamu itu?" Ucap Aiden to the point.Tidak betah duduk berlama-lama dengan kekasih istrinya. Ditambah Alsya terlihat lebih bahagia, dibandingkan saat mereka hanya berdua."Tepatnya mantan teman. Karena
"Kamu sudah siap-siap untuk jadi imam buat Alsya?" Sorot mata Aiden yang dalam, memperlihatkan dengan jelas jika kali ini dirinya serius. Keduanya dapat memahami isi hati dan pikiran satu sama lain, karena tahu jika Alsya dan keluarganya tidak sembarang memilih lelaki."Ini sambil siap-siap, Kak," aku Cakra.Pria itu sama sekali tidak menampik atau menyombongkan diri dengan berbohong di hadapan Aiden. Karena pada kenyataannya dia memang masih belajar untuk menjadi imam yang baik bagi Alsya, meski justru Alsya lah yang banyak membuat dirinya berubah.Tidak ingin membuat suasana di antara mereka menjadi dramatis, Alsya pun mencari inisiatif lain."Gimana kalo kita ke rumah sakit? Jenguk korban yang kemarin," ajak Alsya dengan mata berbinar pada Aiden dan Cakra."Jangan mengalihkan pembicaraan, Sya," peringat Aiden hanya diganggap angin lalu oleh Alsya.Gadis itu meraih tote bagnya dan beranjak dari bangku kafe."Ayo, Ka. Kamu pasti mau kan temenin aku? Kalo Kak Aiden sibuk, Alsya berd
Alsya dan Radika terlonjak mendengar bentakan Tomi kakak dari Radika."Kalian pikir uang yang kalian beri bisa mengembalikan nyawa ayah saya hah?!" sergah Tomi menunjuk tamu di hadapannya.Cakra pun tak kalah terkejut saat mengenali siapa tamu yang bertandang ke rumah almarhum Pak Sudrajat tersebut.Di sebelah Cakra, Aiden langsung mendekati Tomi dan berkata, "Sudah, Tom. Tidak enak didengar orang," bujuk Aiden menepuk pelan pundak Tomi."Dia orang tua David, Kak," ujar Cakra memberitahu Aiden.Sepasang suami istri itu lantas menoleh ke arah Cakra. Pria yang mereka anggap telah membuat anaknya menjadi berandalan seperti sekarang.Sedang di dalam bilik, Alsya dan Radika yang mendengar ucapan Cakra pun memilih untuk keluar dari persembunyian mereka.Tatapannya lalu bertemu dengan manik mata Tante Ratna—Mama David yang sempat mengatainya wanita sok suci.Meski ini merupakan pertemuan kedua mereka, dan situasi yang hampir serupa, Alsya masih dapat merasakan kebencian di mata beliau.Tidak