“Menikahlah dengan suamiku, Sya.”
Kesunyian beberapa saat begitu mendominasi ruangan steril dengan aroma obat. Suara AC yang berada di sudut ruangan itu pun terdengar jelas mengiringi. Kelopak mata Alsya melebar. Tidak menyangka kedatangannya justru menuai permintaan paling berat dari sang kakak. Keyra memintanya untuk menikahi Aiden yang berstatus sebagai kakak iparnya.Alsya menatap Aiden yang membisu tepat di seberang ranjang pasien yang Keyra tempati. Keduanya saling bertukar pandang tanpa mengerti apa yang dirasakan satu sama lain.“Kak Key nggak boleh ngomong gitu. Kakak pasti sembuh,” ucap Alsya tidak mengetahui penyakit yang diidap oleh kakaknya.Hingga akhirnya Aiden menceritakan penyakit yang diidap oleh istrinya saat mereka berada di luar ruang rawat Keyra.“Kanker otak stadium akhir, Kak?” tanya Alsya berharap telinganya salah dengar.Aiden mengangguk pelan. “Iya, Sya. Kita semua sudah berusaha. Dan kamu lihat sendiri gimana keadaan Keyra sekarang. Yang bisa kita lakuin cuma menuruti permintaan-permintaan terakhir dia.”“Nggak, Kak! Untuk kali ini aku nggak bisa. Ini tentang masa depanku, Kak. Tentang laki-laki yang akan jadi imamku! Aku nggak bisa nurut gitu aja. Laki-laki itu harus kucintai dan mencintaiku pula,” tolak Alsya tegas.Hal itu sukses membuat Aiden terkejut, sekaligus merasa jika dirinya tak cukup baik untuk menjadi seorang suami. Meski saat ini hanya Keyra yang ia cinta.“Tapi, Sya. Bukannya dulu kamu…”“Dulu, Kak. Itu semua masa lalu,” sela Alsya langsung berlalu meninggalkan Aiden seorang diri di ujung anak tangga.Kepalanya langsung dipenuhi oleh sosok pria yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta untuk kedua kali, setelah cinta pertamanya dipatahkan begitu saja. Air mata sudah bercucuran membasahi wajah, seiring makin cepatnya derap langkah gadis berhijab cokelat itu melewati lorong-lorong rumah sakit. Tidak pula dia pedulikan banyak pasang mata yang menatap dirinya.Hingga akhirnya sepasang kaki kecil beralaskan sepatu kets itu berhenti di taman rumah sakit yang cukup sepi. Tak dapat Alsya bayangkan dirinya harus menoreh luka yang sama pada pria yang sangat mencintai dirinya, seperti yang dia alami dulu.Tubuh Alsya seketika berjingkat saat ponsel dalam sling bagnya berdering. Cepat-cepat ia menyambar benda pipih seukuran telapak tangan itu, menatap nama pemanggil yang tertera. Disekanya air matanya dengan cepat. Berdeham beberapa kali, dan memastikan suaranya tidak bergetar.“Assalamualaikum, calon makmum. Gimana? Kamu udah ketemu sama kakak kamu?” Panggilan sayang dari pria di telepon menggetarkan hati Alsya.Mati-matian ia menahan sesak di dadanya. “Udah, kok,” jawab Alsya singkat.“Eeum, aku mau pulang dulu. Kamu juga ada kampus kan hari ini?” tanya Alsya ingin panggilan mereka cepat diakhiri.“Ada. Ini aku sudah siap-siap mau berangkat,” balas Cakra masih ingin berlama-lama bicara dengan kekasihnya.“Ya udah. Hati-hati, aku tutup dulu ya teleponnya. Assalamualaikum,” pamit Alsya langsung memutuskan panggilan mereka sepihak.“Maafin aku Cakra. Aku nggak bisa kasih tahu kamu sekarang,” lirih Alsya tertunduk dalam, dan menutupnya dengan telapak tangan.*** Alsya tidak lagi memasuki ruang rawat Keyra, dan memilih untuk langsung pulang. Namun, bukannya merasa tenang. Gadis yang baru beranjak dewasa itu justru semakin mendapat tekanan dari orang tuanya ketika mereka berkumpul di ruang keluarga.“Jadi, Ayah sama Bunda udah tau tentang perjodohan ini?” tanya Alsya. Pandangannya berubah nanar. Tertutup oleh cairan bening yang mengkristal.“Iya, Sya. Bunda sama Ayah udah tau mengenai perjodohan kamu dan Aiden,” jujur Maya.“Terus kenapa Bunda diem aja? Kenapa nggak ada yang kasih tau Alsya tentang ini semua?” teriak Alsya tidak terima. Dia merasa seperti gadis bodoh yang tidak tahu apa-apa.Maya mendekati si bungsu dan hendak mendekapnya. Namun, dia justru menjauh dan menghalau ibunya.“Jelasin semuanya sama Alsya, Bun. Alsya nggak bisa diginiin,” desak Alsya. Cairan bening yang sejak tadi ia tahan, akhirnya tumpah seiring mengalirnya cerita dari sang ibunda.“Disamping permintaan Keyra yang ingin merahasiakan penyakit dia selama ini, bunda dan ayah juga tidak ingin menganggu konsentrasi kamu kuliah, Sya. Tapi, melihat keadaan dia yang semakin memburuk, mana mungkin ayah membiarkan adiknya terus dalam ketidaktahuan ini,” ungkap Tirta menyesal tidak memberitahu putri bungsunya sejak awal.“Dia menyayangi kamu dan Aiden, Sya. Kakak kamu nggak bisa memastikan kalian akan baik-baik aja. Jadi, dia ingin kalian saling menjaga dan saling mencintai,” jelas Maya sembari mengusap pundak Alsya yang bergetar.Hatinya benar-benar rapuh. Perasaannya sangat terguncang, hingga Alsya berharap semua yang terjadi hari ini hanyalah mimpi.“Alsya nggak bisa, Bunda,” lirih Alsya.“Jangan tergesa-gesa, Nak. Tolong, kamu pikirkan semuanya baik-baik malam ini,” bujuk Maya.“Alsya udah ambil keputusan untuk permintaan Kak Key kemarin.”Tirta dan Maya yang tengah sarapan, tersedak mendengar ucapan putri bungsu mereka.“Bagaimana? Apa rasanya nggak terlalu buru-buru kamu mengambil keputusan ini, Sya?” tanya Maya yang sudah rela memberikan waktu untuk putrinya berpikir.Alsya mengangguk pelan. Menikmati sarapannya dengan tenang, bahkan sangat tenang. Seolah tidak ada hal mencengangkan yang terjadi.“Tapi, Alsya akan jawab di rumah sakit,” ucap Alsya seraya menyudahi makan paginya.Ia langsung beranjak dari kursi dan menyambar sling bag kecilnya yang tergeletak di meja.“Kasih tau bunda dulu, Sya. Jangan sampai keadaan kakak kamu semakin drop, mendengar penolakan kamu.” Cegah Maya menghalangi langkah si bungsu.Alsya menghela napas panjang. Orang tuanya tampak begitu mengkhawatirkan keadaan sang kakak, dan tidak terlalu peduli pada batinnya yang kini juga tengah terluka. Walau luka itu tak terlihat, tetapi ia yakin sorot mata dan tangisnya semalam sudah cuku
Suara monitor yang begitu panjang, serta garis yang semula bergelombang itu perlahan membentuk garis horizontal yang semakin panjang.“Kak Key! Bangun, Kak!” teriak Alsya semakin menjadi.Beberapa orang berseragam biru, dan seorang pria dengan setelan jas putih pun berdesakkan masuk. Memaksa keduanya untuk menjauh.“Kak Key, Kak,” panggil Alsya menarik lengan kemeja Aiden dengan wajah bersimbah air mata. Berkali-kali ia memanggil sang kakak yang tidak lagi kunjung membuka mata. Dunia terasa berhenti saat itu juga. Ketika dokter menyatakan Keyra telah dinyatakan meninggal. “Nggak mungkin! Kakak saya pasti cuma tidur atau pingsan aja, Dok,” bantah Alsya mendekati sosok terbaring yang tidak lagi bernyawa itu. Ditangkupnya kedua wajah sang kakak yang kini semakin pucat dan terasa semakin dingin.“Kak Key, ayo bangun, Kak. Nggak mungkin Kakak langsung pergi setelah dengar jawaban Alsya tadi kan, Kak?” desak Alsya semakin mengguncang tubuh kakaknya.*** Mendung itu terus menggantung. Seo
“Baik. Seminggu lagi kita akan menikah,” pungkas Aiden menuruti permintaan Alsya.Bagaimana perjalanan rumah tangga mereka, tidak lagi ia pikirkan. Keduanya hanya ingin menjalankan wasiat terakhir tersebut, tanpa banyak berpikir kedepannya.Ketika membahas hal tersebut bersama keluarga pun, respon mereka tak jauh berbeda dengan Aiden sebelumnya. Namun, Alsya meminta pada Aiden untuk tidak menyinggung tentang kekasihnya, dan rencana lamaran itu.“Karena kak Key minta Alsya dan Kak Aiden segera menikah, Bun,” jawab Alsya saat keluarganya merasa pernikahan mereka terlalu cepat.“Baiklah, karena kalian berdua sudah setuju, dan kalian yang akan menikah. Kami semua tidak dapat berbuat banyak, selain memberi dukungan untuk kalian berdua,” putus Tirta tidak banyak bertanya.Akhirnya orang tua Alsya dan Aiden pun menuruti keputusan mereka. Sehingga di sela-sela waktu pengajian untuk Keyra, mereka juga menyiapkan beberapa hal penting untuk pernikahan putra dan putri mereka.*** “Saya terima ni
“Bunda!”“Ayah!” Teriakan Alsya yang begitu nyaring hingga ke lantai pertama, membuat semua orang yang berada di ruang keluarga terlonjak mendengar lengkingan suaranya.“Mas Alsya kenapa, Mas?” tanya Maya dengan wajah memucat.“Entahlah. Ayo kita coba lihat dulu,” jawab Tirta bergegas menuju kamar Alsya dan menemui putri mereka.“Sofa di kamar Alsya ke mana, Yah? Terus, meja belajar Alsya? Kenapa barang-barang di kamar Alsya banyak hilang Yah?” Berondong Alsya saat ayah dan bundanya berada di ambang pintu.Aiden pun masih terpaku setelah mengetahui sebab istri kecilnya berteriak bak orang kerasukan.“Ya ampun, Sya! Bunda kira kamu kenapa. Ternyata cuma nanya itu aja,” lontar Maya menyesal sudah sangat khawatir tadi.“Cuma juga itu barang Alsya, Bun. Ada isinya, Bunda,” terang Alsya semakin kesal.Ayah dan bundanya terlalu menyepelekan hal-hal yang menurutnya penting.“Di sana ada buku-buku Alsya, dan Alsya ada banyak tugas,” ungkap Alsya tidak lagi mampu menahan kekesalannya.“Sya, j
PLAK!Tamparan yang Alsya layangkan terdengar nyaring dalam kamar yang mereka tempati. Beruntung pintu sudah tertutup, dan semua orang tengah berada di lantai bawah, sehingga tidak ada yang mendengarnya.“Jaga omongan Kakak ya. Kakak nggak kenal Cakra, dan dia nggak seburuk yang Kakak duga.” Kecam Alsya langsung meninggalkan Aiden seorang diri di kamar pengantin mereka.“Terserah kamu mau bilang apa, Sya. Tapi, apa pun yang terjadi aku akan menepati janjiku pada Keyra untuk menjaga kamu,” janji Aiden.Deru napas Alsya begitu memburu. Dadanya terasa sesak, seakan kehabisan oksigen di kamar tidurnya sendiri, hingga ia memilih untuk pergi ke kamar Keyra yang berada tepat di seberang kamarnya.Masih dengan menenakan gaun pengantin sederhana, ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, dan menatap langit-langit kamar sang kakak.“Kenapa semuanya harus begini?” tanya Alsya seorang diri. Ia tidak menyangka jika semuanya terasa semakin berat setelah resmi menikah. Ditengah kekalutan dan pikir
“Kakak pikir dia laki-laki macam apa? Jangan Kakak kira Alsya pacaran sama cowok nggak bener, dan melanggar aturan di luar sana ya, Kak.”“Satu lagi! Kita nggak akan melakukan ‘itu’ karena Alsya cuma mau serahin kesucian Alsya ke orang yang mencintai dan Alsya cintai juga. Dan orang itu bukan kakak,” beber Alsya kemudian berjalan dengan menghentakkan kakinya ke kamar mandi.Baru bangun tidur kepalanya sudah dibuat mendidih oleh pertanyaan tidak bermutu dari suaminya.‘Baru sehari. Gimana kalo seminggu? Sebulan? Setahun? Nggak! Kayaknya pernikahan ini nggak akan bertahan lama,’ erang Alsya sambil mengguyur kepalanya di bawah shower.Aiden yang melihat istrinya berlalu begitu saja, hanya dapat mengelus dada dan berusaha sabar. Akan tetapi, ada hal yang tetap ia takutkan. Karena dirinya paham bagaimana jalan pikiran sesama pria.“Iya kalau cinta dia ke kamu memang tulus, Sya. Tapi, lain halnya kalau cinta itu berubah menjadi obsesi. Dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kam
"Ahahaha!"Derai tawa Alsya terdengar begitu renyah. Pernyataan Aiden bagai lelucon terlucu yang pernah ia dengar."Nggak ada yang lucu Alsya. Aku serius," tegas Aiden tidak terkecoh dengan tawa gadis di hadapannya.Sebab lelaki yang baru memasuki kepala tiga itu, sadar dan paham akan tanggung jawabnya sebagai seorang suami."Ooh, serius. Kirain cuma lagi membual aja," seloroh Alsya sambil menatap sekeliling."Sya, kamu bisa nggak serius sebentar?" Tatapan Aiden menajam. Memperjelas betapa penting keputusan yang Alsya lontarkan beberapa menit lalu di hadapan keluarga mereka."Alsya!"Tubuh Alsya menegang saat Aiden menarik paksa kedua bahunya hingga tatapan mereka bertemu."Kamu sekarang adalah istriku, dan aku nggak mau istriku sendirian di luar kota sana," jelas Aiden.Sorot matanya begitu dalam, dan memancarkan ketulusan. Dapat pula Alsya rasakan itu semua, karena jantungnya berdetak semakin cepat.Namun, secepat mungkin Alsya tepis perasaan itu dari kepalanya, dan yakin detak jan
Sepasang kelopak mata Alsya melebar, saat yang muncul dan membuka pintu bukanlah sosok yang ia tunggu sejak siang tadi.Alsya mengusap tengkuknya dan menyengir lebar. Memperlihatkan barisan gigi putihnya yang kecil dan rapi.Hanya dengan memasang wajah imut dan menggemaskan yang dapat Alsya lakukan untuk meredakan amarah ibunya saat ini."Eh, Bunda. Alsya kira tadi Kak Aiden," ujar Alsya dengan wajah pias melihat raut muka ibunya."Memangnya kenapa kalau Aiden? Mau makin kamu marah-marahin?" tanya Maya berkacak pinggang.Wajah Maya semakin galak, ketika mendengar si bungsu tidak menghargai lelaki yang berstatus sebagai suaminya."Nggak baik kamu ngomongnya sambil bentak-bentak, Sya. Harusnya kamu sambut dia pulang, dan tanya baik-baik dia habis dari mana. Bukan ngomel-ngomel kayak begini," saran Maya menasihati putrinya.Tak dapat beliau bayangkan rumah tangga si bungsu jika sikapnya masih kekanak-kanakan, dan terlalu emosional."Iya, Bunda. Lain kali Alsya nggak gitu lagi," kata Alsya