LOGIN
PROLOG
Gelegar guntur yang kencang dan bersahut-sahutan membuat Tony Hawthorne terlonjak. Dia sedang tidur di kabin kapal ketika guntur berikutnya meledak seperti tepat di telinganya. Beberapa detik setelah itu, tetesan hujan pertama yang besar jatuh ke atas permukaan laut.
Ombak besar bergulung-gulung, membuat kapal terombang ambing. Menggunakan jas pria keluaran terbaru Dior, Tony bangun dari tempat tidurnya dan naik ke geladak. Namun dia menyadari, dia sendirian di sana. Tidak ada siapa pun selain dirinya, dan dia berada di tengah-tengah lautan.
Badai menerjang dengan kekuatan penuh. Angin bertiup dengan kecepatan 270 km/jam, membuat kapal terbalik dan tubuh Tony jatuh kedalam perairan. Lautan yang bergolak-golak dan angin yang kencang membuat Tony tidak bisa menyelamatkan diri. Walau dia terus memeluk pecahan kayu dari badan kapal, dia terus diseret masuk ke dalam lautan, seolah lautan sedang berusaha menelannya hidup-hidup.
Dia tidak pandai berenang, dan hanya butuh beberapa menit saja, tubuhnya benar-benar menghilang dari permukaan air.
BAB SATU
Isabelle Leah Hawthorne terkenal di kalangan mahasiswa Harvard Business Scholl karena penampilannya yang supel namun menawan. Menjadi salah satu putri miliarder Tony Hawthorne memberinya privilege, dan semua orang mempermudah langkahnya dalam hal apa pun.
Namun bukan itu saja yang menarik. Dengan tingginya yang hanya 165 senti, cukup pendek untuk teman-temannya, dia tetap tampil mencolok. Rambut keemasan yang lebat, kulit seputih susu yang membuat beberapa freckless di wajahnya terlihat lebih cantik, juga bobot tubuhnya yang sempurna, adalah nilai plus bagi seorang Isabelle.
Pembawaan Isabelle yang tenang dan nyaris tak pernah membawa embel-embel nama Hawthorne di belakang namanya menjadikannya disukai banyak orang. Namun dia juga memiliki kekurangan lain, yaitu tidak pernah menerima ajakan pria mana pun. Selain cantik, Isabelle juga dikenal sebagai gadis yang suka mematahkan perasaan pria di kampusnya.
Siang itu cukup cerah, Miss Cory Clayton memanggil Isabelle secara khusus ke kantornya. Isabelle berpikir Miss Cory akan membahas tentang ayahnya lagi –karena wanita paruh baya itu selalu terobsesi menjadi istri ayahnya-. Dengan enggan, Isabelle masuk ke dalam ruangannya.
“Ada yang perlu, Miss Cory?” tanya Isabelle ramah.
Miss Cory biasanya akan berbasa-basi, menyodorkan teh dan menuangnya langsung pada Isabelle, atau memberikannya snack yang dia bawa dari perjalanan bisnisnya ke luar kota. Tapi kali ini, wajah Miss Cory mendadak muram, berbanding terbalik dengan cuaca cerah di luar sana.
“Kamu baik-baik saja, Miss? Perlu ku panggilkan dokter?” tanya Isabelle lagi.
“Tidak.” Miss Cory menggumam. Dia terlihat menghela nafas, menatap Isabelle sungguh-sungguh.
Isabelle mulai merasa sedikit curiga, perasaannya mendadak tidak nyaman. Namun dia sama sekali tidak bisa menebak hal apa yang terjadi. Hingga kemudian Miss Cory membuka mulut dan berkata, “Belle, terpaksa aku menyampaikan kabar buruk ini padamu. Ayahmu, Tony Hawthorne, ditemukan meninggal dunia dini hari tadi. Keluarga memintamu untuk kembali.”
Satu jam kemudian, Isabelle sudah terbang di atas lautan yang luas dengan pesawat pribadi keluarga Hawthorne. Dia pulang untuk melihat tubuh kaku ayahnya di New York.
Dia dijemput oleh kakak pertamanya, Julia Hawthorne Sparks, yang menikah dengan seorang perdana menteri New York, Billy Sparks. Dia memeluk Isabelle erat-erat, lalu tangisan keduanya pecah. Mereka baru berhenti menangis saat puteri kecil Julia berlari pada mereka. Julia menatap Isabelle, mengelus pipinya dan berkata, “Dad sudah menunggumu.”
Rasanya menyakitkan melihat Tony, sang ayah, terbujur kaku dalam peti mati. Dia sudah mengenakan setelan jas yang lengkap dan dia terlihat gagah. Isabelle mendekat, dengan gemetar memeluk pinggiran peti mati untuk bisa melihat wajah Tony untuk terakir kalinya. Dia melepas kain tile putih yang dijadikan sebagai penutup wajah, mengusap pipi Tony yang dingin dan kaku lalu air matanya kembali mengalir.
Pemakaman dilangsungkan dengan lancar serta dihadiri oleh para pengusaha-pengusaha terkenal, para politikus, beberapa dari kalangan selebriti dan juga keluarga besar Hawthorne. Kematian mendadak Tony memberi duka yang sangat dalam bagi mereka, khususnya Isabelle, sang puteri bungsu.
Setelah kembali dari pemakaman, Nicholes Berg, pengacara keluarga Hawthorne duduk diantara Isabelle, kakaknya Julia, suami Julia sang perdana menteri, Billy dan juga kakak iparnya yang kedua, yaitu David Castel. David menikahi kakak kedua Isabelle bernama Stephani Hawthorne, namun sayang di tahun ketiga pernikahan mereka, Stephani meninggal karena kecelakaan.
Nicholas berdiri setelah merasa anggota keluarga sudah lengkap. Dia membuka map bersampul keemasan setelah memakai kaca matanya. Pria berusia lima puluhan itu terlihat tegas, dan menatap satu per satu wajah yang hadir di sana.
“Tuan Tony memberikanku kuasa untuk membuat surat wasiat, jika sewaktu-waktu dia akan meninggalkan kalian semua.”
Nicholas menunjukkan surat yang ditulis tangan oleh Tony pada mereka sebelum dia membacanya.
“...Bahwa aku memberikan semua perusahaan pada puteri bungsuku, Isabelle Hawthorne dan dia memiliki hak penuh untuk menjalankan perusahaan sesuai kemampuannya....”
Raut wajah Billy mulai berubah. Dia terlihat tidak nyaman usai mendengar sebagian surat wasiat mertuanya, yang secara tersirat sudah bisa dia tangkap kemana arahnya. Isabelle adalah pewaris, dan istrinya Julia tidak akan mendapatkan apa pun. Tua bangka sialan, sungut Billy dalam hati.
Berbeda dengan Billy, David yang duduk di samping Isabelle malah tersenyum sambil menggenggam tangan Isabelle. Isabelle memang lebih menyukai David jika dia berbicara tentang para kakak iparnya. David lebih hangat, dekat dengannya, sering meluangkan waktu untuk menengok Tony walau Stephani sudah meninggal.
“Selamat, Belle,” bisik David, menepuk punggung telapak tangan Isabelle dengan lembut. “Dad sudah membuat keputusan yang tepat.”
Isabelle tidak bisa bahagia dengan isi surat wasiat itu. Karena usianya masih 20 tahun, dia masih kuliah dan tidak tahu apa-apa soal menjalankan perusahaan. Ini terlalu mendadak, batin Isabelle, namun dia juga tidak berani untuk menolak perintah terakhir Tony.
“Tapi Isabelle hanya boleh menjalankan semua hal yang ku sebutkan di atas dengan satu syarat, yaitu menikah dengan Tristan Theodore.”
Pengadilan memutuskan menjatuhkan hukuman mati pada David Castel dan Julia Hawthorne. Semua bukti-bukti tindakan kriminal mereka selama bertahun-tahun telah diserahkan Detektif Don pada pihak kepolisian.Pengadilan itu dilakukan secara terbuka dan disiarkan oleh TV dalam negeri maupun swasta. Kedua pasangan itu terbukti melakukan tindakan pembunuhan berencana pada Tony Hawthorne dan juga Stephani Hawthorne. Sebuah kasus yang mengguncang dunia dan menjadi topik hangat pemberitaan selama berminggu-minggu.Isabelle mematikan saluran televisi. Gadis itu pindah ke balkon, menikmati kesunyian malam yang membelai tubuhnya dengan lembut. Dia butuh pemulihan selama beberapa hari dan harus didampingi oleh psikolog. Sampai detik ini, Isabelle juga harus mengkonsumsi obat penenang agar dia bisa normal kembali.Daun pintu terbuka. Gadis itu menolah, Tristan tersenyum hangat padanya dan membawa segelas susu.“Minumlah. Kamu harus istirahat.”Keduanya belum bicara dengan terbuka sejak kejadian di vi
Ingatan Isabelle tiba-tiba memutar ulang kejadian tiga tahun lalu, ketika kakaknya Stephani menghubunginya beberapa kali, sebelum keesokan harinya dia mendapat kabar jika kakaknya itu kecelakaan. Malam itu, rupanya Stephani tidak sengaja melihat David dan Julia memadu kasih layaknya suami istri, dan dia berniat memberitahu keluarga besar Hawthorne.“Aku hanya mengutak-atik beberapa fungsi mesin mobilnya. Dan bummm, kecelakaan terjadi, dan dia mati,” bisik David tenang.Isabelle menatapnya, marah, lalu tangannya terayun untuk menampar wajah David. Air mata menggenang di wajah Isabelle, namun dia tidak terisak-isak, melainkan diam saja karena dirinya sudah dipenuhi terlalu banyak amarah dan kekecewaan.“Kamu gila!”David tertawa, mengangguk seolah dia membenarkan. “Tapi bagaimana pun juga, kematian Tristan adalah hal yang paling menakjubkan. Bayangkan, kami hanya perlu mengirim beberapa foto dan tangkapan layar percakapan yang sudah diedit, lalu dengan tanganmu sendiri, kamu menusuk tub
Detektif Don berbicara dengan sangat panjang pada dua orang petugas keamanan villa yang berjaga di gerbang tinggi itu. Dia menghabiskan waktu hingga nyaris setengah jam di sana, membujuk agar keduanya mengizinkannya bertemu Isabelle.Tapi kedua petugas itu tetap menolak.“Nona Isabelle sudah berpesan, tidak ada yang boleh masuk ke dalam villa, Tuan.”Detektif Don berdecak, setengah marah, tapi kemarahan bukanlah jalan. Pria itu menatap jauh ke dalam bangunan megah berlantai tiga itu. Dia diam sejenak, menatap kedua petugas yang tampaknya tak mau melonggarkan penjagaannya.“Jadi dia sendiri di sana? Kalian tidak takut pada keselamatannya?”Kedua pria itu saling bertukar pandang.“Kalian juga tahu kalau sekarang keadaan keluarga Hawthorne sedang kacau. Bagaimana kalau Isabelle menghadapi masalah di sana? Kalian bersedia menanggungnya?”Detektif Don masih membujuk, dan kedua pria itu masih saling bertukar tatapan.“Siapa bilang Nona sendirian di sana?”Mata Detektif Don menyipit.“Maksud
Isabelle menyendiri di villa peninggalan ibunya. Villa besar itu tidak pernah ditinggali, tapi dia menempatkan pelayan di sana untuk selalu membersihkannya setiap waktu. Ketika sedang banyak masalah, Isabelle biasanya berada di sana, menghabiskan waktu untuk memikirkan apa pun yang membuatnya gelisah.Dia sudah menangis banyak sekali, sejak malam dimana dia menghabisi nyawa Tristan dengan tangannya sendiri. Menyesal? Sudah pasti. Isabelle berpikir, kenapa dia harus impulsif? Kenapa dia tidak menunggu penjelasan Tristan?Ya, dia memang curiga. Tristan selalu ada di semua kejadian aneh yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Tapi bagaimana kalau perkataan David benar? Bagaimana kalau seseorang menjebaknya? Tapi semua foto itu bukan rekayasa, Isabelle sudah membuktikannya lewat seseorang yang ahli.Tapi ....Sesuatu yang besar hilang dari dirinya. Sesuatu membuat dadanya kosong, meninggalkan lobang yang menganga lebar, yang siap menyedot perasaan dan akal sehatnya. Kini yang tersisa dalam
Judy berdiri di kejauhan, tangannya mengepal kuat, ketika Isabelle berjalan gontai menuju pemakaman. David ada di sisinya, terlihat beberapa kali menyeka air mata di wajah Isabelle. summer mendekat, berdehem pelan hingga Judy memutar tubuh menatapnya.“Kenapa tidak mendekat?” gumam Summer.Judy diam, tidak menyahut sama sekali. Summer menghela napas, tanah yang diinjaknya sedikit lembek karena habis diguyur hujan. Gadis itu menatap punggung Judy lama sebelum akhirnya kembali bergumam, “Maaf, aku tak tahu hubunganmu dan Tristan ternyata hanya sebatas rekan kerja.”Summer memang pada akhirnya tahu, ketika Detektif Don berulang kali menyangkal hubungan ibu kandungnya itu dengan Tristan. Dan malam ketika Tristan dikabarkan meninggal, dia baru saja bertemu pria itu.Tristan mengungkapkan identitasnya pada Summer, dan menyebut jika dia tidak pernah memiliki hubungan ambigu dengan Judy. Malam itu sebelum Tristan pulang, dia menghabiskan banyak waktu untuk mendengar semua hal yang dikatakan p
“Kenapa kamu bertindak sejauh ini?”David mengelus rambut Isabelle, ketika keduanya duduk di kursi tunggu rumah sakit. Ketika David tiba, dia hanya bisa diam menyaksikan tubuh kaku Tristan tergeletak di lantai. Tanpa pikir panjang dipanggilnya pelayan untuk segera membawa Tristan ke rumah sakit.Entah apakah dia masih bisa menyelamatkan nyawa pria itu atau tidak. Tapi David tetap berusaha melakukan yang terbaik selagi dia menenangkan Isabelle.“Bukankah kamu mencintainya? Kenapa kamu melakukannya?”Isabelle diam cukup lama, jemari dinginnnya saling bertaut gelisah. David menghela napas, dia menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit. Lampu indikator ruang operasi masih menyala sejak 30 menit yang lalu, dan entah kapan lampu itu padam dan pintu akan terbuka.David memejamkan mata, lalu bergumam pelan. “Aku tidak akan menghakimimu atas apa yang kamu lakukan. Tapi, bertengkar sampai melukai Tristan, aku tidak bisa membenarkanmu atas semua ini, Belle.”“Dia berkhianat padaku,” sahut Bel







