Share

Suami kedua Lebih Berasa
Suami kedua Lebih Berasa
Penulis: Mimi Lita

Bab 1. Bukan Biduk yang Sempurna

Bab 1. Bukan Biduk yang Sempurna

“Mas, yakin besok mau berangkat?” tanyaku kepada suamiku yang sedari pulang kantor tadi sudah sibuk mempersiapkan segala keperluannya.

“Iya, pekerjaan ini sama sekali tidak bisa di tunda lagi Sayang, kamu tahu ‘kan bagaimana aku membangun usaha ini? Bagaimana susahnya kita waktu itu?” jawabnya yang membalikkan pertanyaan kepadaku dan mengingatkan aku akan betapa kerasnya perjuangan kamu dahulu saat membangun perusahaan yang nyaris tumbang.

Hanya saja, selama ini ada sesuatu yang mengganjal yang sama sekali tidak berani aku ungkapkan. Itu semua mengenai beberapa kali transaksi ke rekening pribadi seseorang yang tak sengaja aku temukan saat membuang sampah. Memang suamiku sering melakukan transfer, tapi untuk menggunakan rekening pribadi? Biasanya transaksi keuangan perusahaan itu juga dilakukan dengan rekening perusahaan dan divisi keuangan yang bertanggung jawab atas ini. Tetapi kali ini lain.

“Iya Mas, aku tahu. Kali ini ke mana tujuannya?” tanyaku padanya yang sebenarnya hanya ingin berbasa-basi saja.

Jujur saja aku masih kesal kepadanya. Karena besok adalah ulang tahun anak kami Gaffi, putra kami. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa berbuat banyak untuk anakku yang merengek agar ayahnya tidak pergi.

“Kali ini aku harus menemui klien ke Bali. Dia orang asing, jadi ya … aku harus sedikit mengalah kepadanya untuk tempat kami bertemu. Karena proyek ini sangat penting dan dia adalah rekan lama sekaligus relasi terbaik,” katanya yang membuatku merasa percaya.

“Sini, biar aku gendong Gaffi, kamu bersih-bersih dulu, aku mau minta jatahku sebelum berangkat. Oke?” ucapnya sambil mengedipkan mata dan menghadiahi keningku dengan kecupan manis.

Inilah dia sosok suamiku yang sering sekali aku banggakan di sosial media. Aku sering sekali memposting kebersamaan kami. Aku sering sekali menuliskan kata-kata manis dan ucapan terima kasih atas semua jerih payahnya. Dia pun sama, sering dia melakukan itu entah dengan tulus atau sekedar menutupi sesuatu. Bila sudah begini aku pikir tidak akan ada celah untuk orang ke tiga.

Seperti malam-malam biasanya, sebelum melakukan suatu hubungan kami selalu mempersiapkan diri. Aku dengan baju haram itu, dan dia selalu menghujaniku dengan cumbu rayu. Terdengar manis di telinga hingga membuatku berkali-kali memanjatkan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Aku bersyukur telah mempunyai suami seperti dia yang mungkin saja di luaran sana begitu banyak wanita yang mendambanya.

“Kamu selalu tampil cantik Sayang, terima kasih,” ucapnya dengan lembut membuai hatiku lalu merengkuh tubuhku ke dalam hangat peluknya.

“Terima kasih juga sudah menjadi ayah dan suami yang baik selama ini Mas,” balasku kepadanya dengan bibirku yang bergerak mencium dada bidangnya.

Diusia pernikahan kami yang tujuh tahun ini, kami masih mempertahankan bentuk fisik kami. Kami saling dukung dan menguatkan. Tidak ada makian atau hinaan. Demi kesehatan dia mengatakan agar aku terus menjaga berat badan. Aku, aku menurutinya menjalankan itu sesuai keinginannya.

Malam ini kamu habiskan dengan saling peluk dan tidur bersama. Hingga, pagi harinya sudah tidak ku dapati lagi suamiku di sisiku, dia sudah pergi dengan alasan pekerjaannya dan meninggalkanku sendirian di ranjang.

“Oh, dia udah berangkat rupanya,” gumamku yang kemudian turun menapaki lantai marmer rumah kami dan menuju kamar putra kami.

“Dia masih tidur, nanti saja ku bangunkan kalau aku sudah mandi,” gumamku seorang diri di ambang pintu kamar Gaffi.

Sayup-sayup, terdengar adzan subuh di telingaku, aku mulai mengguyur tubuhku dan membersihkan sisa-sisa percintaan kami semalam. Bibirku selalu tersungging saat mengingat segala pujian yang ia tujukan di telingaku. Berbisik merdu hingga selalu membuatku tersipu malu.

Selesai dengan itu semua, ku hampiri putraku. Ternyata dia sudah bangun dengan wajah malasnya. Wajah putraku begitu mirip denganku. Jangankan itu, postur tubuhnya saja sama persis denganku. Pun dengan rambutnya.

“Gaffi, sudah bangun Sayang? Masih malas enggak? Kita sholat yuk,” ajakku kepadanya yang masih terlihat lesu.

“Yang jadi imam, ayah atau Gaffi Bun?” tanyanya kepadaku yang duduk di sampingnya sambil mengusap rambutnya.

“Gaffi dong, ayah ‘kan sudah bilang dari kemarin kalau ada pekerjaan, jadi seminggu ini Gaffi deh yang jadi imam,” kataku padanya yang seketika itu wajahnya terlihat murung.

Aku tidak tega melihat bujang kecilku mengusap air matanya secara diam-diam. Dia selalu menyembunyikan wajah cengengnya dariku. Dia ingin terlihat tegar seperti ayahnya. Kenyataannya, dia tetaplah sosok anak kecil yang membutuhkan dekapan hangat dan usapan lembut untuk meredakan tangisnya.

“Ayah udah enggak sayang Gaffi Bun, kemarin saja waktu ada pentas di sekolah, ayah tidak datang. Ayah teman-teman Gaffi datang semua Bun,” ucapnya mengadukan apa yang selama ini mengganjal di hatinya.

“Hustt… jangan ngomong gitu Sayang. Ayah itu Sayang sama Gaffi, hanya saja ayah Gaffi sibuk dan tidak seperti ayah teman-teman Gaffi lainnya,” kataku memberikan alasan agar anakku ini tidak membenci ayahnya hanya karena masalah kecil seperti ini.

“Bunda tidak tahu, Gaffi rasakan ayah itu berubah Bun,” ucapnya yang membuatku mengurai pelukanku lalu menatapnya lurus.

“Ayah, ayah, ayah tidak suka main lagi sama Gaffi. Kalau di rumah ayah selalu sibuk sama ponselnya. Bukan hanya ponselnya yang mau di ajak ngomong Bun, tapi Gaffi juga. Ayah juga udah enggak mau gendong Gaffi, ayah bilang Gaffi berat,” adunya kepadaku yang membuat sedih hatiku saat mendengarkan curahan hatinya.

“Iya deh, bunda yang minta maaf. Semuanya Bunda yang gantikan bagaimana? Em ... atau di ulang tahun ini Gaffi mau minta tambahan hadiah apa?” tanyaku padanya dengan berusaha membujuknya agar tidak larut dalam kemarahan.

Aku tahu saat ini putraku sedang marah, dia bahkan menangis tanpa suara dan itu sungguh membuatku tersayat. Seolah saat ini aku sedang berada di antara dua jurang terjal. Antara membela suami atau anakku.

“Beda Bun, ayah ya ayah, bunda ya bunda. Gaffi tidak mau ada apa-apa. Gaffi tidak mau ada pesta ulang tahun!” tukasnya yang kemudian berbaring dan menutup rapat tubuhnya dengan selimut.

“Jangan begitu dong sayang, kasihan kan itu bi Niah sudah masak banyak, teman-teman Gaffi sudah diundang, lalu Bunda juga sudah membeli kue yang Gaffi mau. Jangan marah ya sayang ya?” bujukku kepadanya yang tengah merasa diabaikan ayah kandungnya.

“Jangan paksa Gaffi Bun, Gaffi tidak mau!” serunya sambil menangis.

Marah? Tentu saja aku marah, tapi aku tidak pernah berbuat kasar kepada putraku yang penurut ini. Aku memaklumi dan memahami kemarahannya saat ini. Memang jika di pikir-pikir, suamiku akhir-akhir ini sangatlah sibuk. Dia saja sampai tidak punya waktu akhir pekan untuk kami. Hari liburnya saja masih ia habiskan untuk pergi membahas pekerjaan. Begitu pamitnya kepadaku.

“Bunda minta maaf mewakili ayah ya?” bisikku kepada putraku yang hanya dibalas tangisan dan gelengan.

Aku hanya bisa menghela napasku kemudian pergi sambil mencoba membicarakan ini dengan suamiku. Sayangnya, berkali-kali aku menghubungi sama sekali tidak ada jawaban. Aku memutuskan untuk menenangkan diri sendiri dan memilih berpikiran positif untuk kemudian menunaikan ibadah subuhku.

Ku bentangkan sajadah dan di sana aku banyak bercerita dan bersyukur kepada Rabb-ku. Selalu saja aku sebut nama suamiku di dalam doaku agar dia selalu berada dalam lindungan-Nya. Sesuatu yang sangat ku harapkan, semuanya baik-baik saja sampai kami menua bersama.

Satu minggu setelah kejadian itu, setelah di hari ulang tahun anakku aku disuguhkan dengan kekacauan pesta ulang tahun dan diakhiri dengan acara pembagian makanan. Sebab, yang berulang tahun sama sekali tidak mau menemui para tamunya. Putraku mengurung diri di kamar.

Suamiku pulang sambil menggeret kopernya. Seperti biasa ia langsung memelukku dan mencium keningku. Bibirnya tidak berhenti bercerita tentang pekerjaannya. Entah itu benar adanya atau hanya sekedar mengada-ada aku juga tidak tahu faktanya. Aku sudah menahan diri dan mencoba menguji satu hal yang dikatakan oleh putraku.

Selama kepergiannya Gaffi yang tidur bersamaku sering mengigau dan mengatakan bahwa ayahnya sudah tidak menyayanginya lagi. Kalimat itu mengusik batin dan jiwaku. Pikiranku pun menjadi tidak tenang. Biasanya batin anak-anak yang masih suci itu lebih peka dan bisa merasakan semuanya.

“Lancar kerjaannya?” tanyaku padanya sambil menarik kopernya. Dia merangkul pinggangku lali mencium pipiku sebelum berbicara.

“Alhamdulillah, baik semuanya lancar,” jawabnya sambil tersenyum. Namun, aku merasa ada yang kurang di mana dia sama sekali tidak menanyakan keberadaan Gaffi.

“Kamu enggak kangen Gaffi Mas? Dari tadi kamu enggak nanyain dia, dan juga mana oleh-oleh atau kado buat dia?” cecarku kepadanya yang membuat langkah kami terhenti.

“Astaga…, iya Bun aku lupa. Gimana dong? Jadwalnya padet banget Bun, sampai aku enggak ada waktu buat keluar. Gimana kalau nanti malam kita makan di luar sekalian beliin apapun yang dia minta?” Dia berbicara dengan raut penyesalan.

“Ya, coba kamu bicara langsung sama dia. Aku sih nurut aja apa mau kalian,” kataku yang kemudian mendahuluinya.

Lagi-lagi dia menyusulku dan merangkul pinggangku. “Oke, aku akan ngomong sama dia, tapi sebelumnya aku mau ambil jatahku boleh?” tanyanya padaku dengan tatapan menggoda.

“Badanku capek banget ini, kalau dikeolonin sama kamu pasti bakalan cepet segar lagi,” ucapnya sambil membopong tubuhku menaiki anak tangga.

Menyusulku, disela-sela itu, aku menangkap sesuatu yang aneh. Bau parfumnya berbeda dan juga ada beberapa helai rambut panjang di bajunya. Rambut siapa yang berwarna pirang begini? Namun aku hanya memilih diam, menepis pikiran buruk dan mencoba berpikir positif.

“Rambut siapa ini? Apa benar apa yang sering anakku katakan kalau ayahnya sudah berubah? Mungkinkah bidukku ini bukanlah biduk yang sempurna?” hatiku gelisah. Pekerjaan macam apa yang sampai membuat rambut wanita tersangkut di kemejanya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status