Home / Rumah Tangga / Suami pengganti / permintaan terakhir

Share

Suami pengganti
Suami pengganti
Author: AkaraLangitBiru

permintaan terakhir

last update Last Updated: 2025-02-06 23:30:11

"Mas, aku mohon. Hanya Mas Rafi lah yang bisa bantu aku. Tolong, umurku udah nggak panjang lagi kali ini. Sebagai permintaan terakhirku, Mas mau menikahi Amara ya?"

Aku tertegun. Napasku tertahan. Sial, Apa barusan aku salah dengar? Apa gendang telingaku kali ini sudah rusak?

Arsen, adikku itu kini bersimpuh di lantai ruang kerjaku dengan tiba-tiba. Air matanya kini terjatuh tanpa malu. Bahkan laki-laki itu biasanya keras kepala, penuh percaya diri, sekarang bahkan dia terlihat bak seperti seseorang yang sudah kehilangan segalanya dan ingin menitipkan sisa hidupnya kepadaku.

"Gila kamu sen, mabuk?" suaraku nyaris bergetar. Aku mulai berdiri dari kursi, berusaha menenangkan pikiran yang mulai kacau.  "Datang-datang ke kantor mintanya aneh-aneh. Gak masuk akal tau! Udah bosan jadi juragan tanah dan punya istri secantik dia? Kamu mau cari yang gimana lagi sih, mau lanjutin perusahaan ini dan duduk jadi direktur utamanya juga? Menggantikan Mas iya?"

Aku berbicara dengan nada agak kasar. Bukan, ini bukan marah tapi lebih ke panik. Sungguh, ini bukan percakapan yang biasa antara kami.

Nampak Arsen mengusap wajahnya, berdiri perlahan. Matanya merah, terlihat lelah dan sejujurnya, aku bahkan takut menatapnya lebih lama.

"Aku bahagia hidup di kampung selama lima tahun ini, Kak. Tapi, ada satu hal yang terus menghantuiku."

Mataku menyipit, menatapnya dengan tak habis pikir "Apa maksudmu?"

Ia menatap ke arah dinding tepat kepada foto keluarga kami yang digantung besar. Foto lama, sebelum semua ini berubah.

"Aku sakit, Mas."

Aku terdiam. Hening menyelimuti ruangan. Mataku otomatis mencari kursi, dan aku terduduk pelan.

"Aku divonis Anemia kronik setahun lalu. Sekarang… aku sudah tidak kuat lagi. Umurku rasanya sudah tak lama lagi"

Aku membeku. Kata-katanya seperti palu menghantam dadaku.

Apa?

Arsen... Mengidap penyakit yang parah?

Seketika aku merasa mual. Ruangan terasa berputar. Suaranya menggema di kepala. Aku mencoba menelan kenyataan itu, tapi rasanya begitu pahit dan mengganjal.

"Apa maksudmu, Arsen? Jangan bercanda!" ucapku cepat, nyaris berteriak. "Selama ini Mas lihat kamu baik-baik aja! Kamu nggak bisa main-main dengan hal kayak gini!"

"Jangan bercanda!" Lanjutku.

Aku melihat Arsen menunduk, tak ada senyum bahkan tak ada tawa. Matanya malah kembali basah lagi.

"Aku serius, Mas. Aku nggak bisa bertahan lebih lama. Aku takut… kalau aku pergi, Amara akan sendirian. Dia terlalu baik untuk aku, Mas. Terlalu kuat. Tapi aku tahu dia rapuh, apalagi sekarang, dia sedang hamil. Anak kami, tiga bulan usianya di dalam sana."

Aku menganga. Nafasku tercekat.

Amara… hamil?

Aku memejamkan mata, mencoba mengatur napas. Tubuhku gemetar halus. Jantungku rasanya berdetak terlalu cepat. Aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan lebih dulu penyakit Arsen, bayi dalam kandungan Amara, atau permintaannya yang gila itu.

Sungguh, kepalaku rasanya begitu pening.

"Mas juga," tambahnya pelan, "udah hampir kepala empat, belum nikah juga, kan? Nggak punya pacar. Amara gadis baik. Mas pasti nggak akan kerepotan."

Gila. Di saat seperti ini, dia masih sempat menggoda aku soal status jomlo. Rasanya pengen kutimpuk dengan bantal kursi.

"Menikahlah dengannya, Mas. Aku meridhoi. Jadilah ayah dari keponakanmu. Aku mohon."

Aku mematung. Semua kata-katanya berkumpul di dadaku seperti kabut tebal yang menyesakkan.

"Apa kamu yakin ini yang kamu inginkan?" suaraku parau. "Aku?menikahi Amara?" tanyaku tak percaya, kepalaku menggeleng.

Dia mengangguk, tatapannya kosong tapi penuh putus asa.

"Mas, aku enggak punya banyak waktu lagi. Aku ingin dia bahagia, ingin anakku punya ayah yang bisa diandalkan. Aku tahu Mas orang yang paling tepat. Aku tahu Mas bisa melindungi mereka, meski aku sudah enggak ada."

Aku menunduk, mencoba mencari kalimat lain untuk melawannya.

"Kamu akan sembuh. Aku akan cari dokter terbaik, rumah sakit terbaik. Berapa pun biayanya, Mas yang tanggung."

"Terlambat, Mas. Semua sawah dan ladang di kampung udah habis buat berobat. Aku nggak mau nambah beban. Amara juga udah cukup lelah mengurus aku selama ini. Kesihan, hartanya sudah aku habiskan semuanya mas. Kesihan,"

Aku merasa sesak. Marah. Tapi juga merasa bersalah. Rasanya aku menjadi kakak yang gagal.

"Kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa setiap mas atau Bapak Ibu telepon, kamu bilang kamu sehat-sehat aja?"

Wajahnya menunduk.

"Kami memang kecewa waktu kamu memutuskan untuk menikah muda, berhenti kuliah. Tapi kami enggak pernah berhenti sayang sama kamu, Sen. Asal kamu tau itu!"

Arsen terdiam. Sepertinya ia tak sanggup menatap mataku.

"Aku nggak mau kalian khawatir," ucapnya lirih. "Semua orang udah punya hidup masing-masing. Aku pikir, aku bisa hadapi ini sendiri."

Aku menggeleng, menahan air mata. "Kenapa kamu nggak kasih kami kesempatan untuk bantu kamu, Sen? Kita ini keluarga. Kita nggak akan biarin kamu berjuang sendirian."

Dia menarik napas panjang, lalu menatapku dalam, tajam, seakan memaksaku memahami.

"Sudahlah, Kak. Lupakan. Aku cuma minta satu hal sebelum aku pergi. Nikahi dia. Jaga Amara dan anakku. Aku mohon,"

Aku tak menjawab.

Hanya bisa terdiam. Tercekik dalam dilema yang belum pernah kurasakan seumur hidupku. Ini permintaan Arsen yang paling gila. Sungguh!

Menikahi Amara? Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya? Aku bahkan belum siap untuk menghadapinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami pengganti   ternyata nikah itu enak?

    Hari-hariku ternyata kini penuh dengan warna-warni, bak seperti pelangi setelah badai. Setiap harinya bahkan senyuman tak pernah pudar diwajahku, kebahagiaan seolah tak pernah surut dihidupku. Bahkan kini, jam pulang pada waktu kerja adalah hal yang paling aku nantikan. Rasanya aku ingin segera pulang, menemui bintang yang kini kembali menampakan sinarnya. Serta matahari kecil yang selalu menghangatkan rumahku. Begitu jam kantor menunjukkan pukul lima sore, aku langsung semangat membereskan laptop dan buru-buru keluar.“Pulang buru-buru terus, Fi? Bulan madunya panjang amat ya” celetuk Ayah dengan kekehan saat kami berpapasan di lift. Aku cuma nyengir. “Rumah udah jadi tempat paling nyaman sekarang yah,"Ayah mengangguk, ia menepuk pundakku. "Gimana rasanya nikah, Fi?" Aku terdiam sebentar. Pertanyaan Ayah itu sebetulnya sederhana, tapi entah kenapa jawabannya tak pernah sesingkat itu.Aku menghela napas kecil, lalu menatapnya dengan senyum yang tulus. "Rasanya seperti punya rumah

  • Suami pengganti   patner hidup?

    Setelah pagi itu, semuanya terasa berjalan lebih ringan. Hari-hari berikutnya Amara tak lagi selalu menyendiri di kamar. Ia mulai ikut menjemur pakaian, menyiapkan sarapan, bercengkrama dengan bi susi tanpa ku suruh bahkan beberapa kali tertangkap basah sedang tersenyum kecil saat aku bermain dengan bayinya. Dan malamnya, kami mulai membiasakan diri untuk tidur seranjang, dengan berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan kedepannya sebelum kami tidur. Meski masih ada jarak. Tidak apa-apa. Jarak bisa dijembatani, asal bukan keengganan yang dipelihara. Kami bahkan saling berbagi peran satu sama lain, saling bekerja sama untuk merawat baby Arsenio."Kak pasti capek, jangan dulu gendong baby Nio. Mandi dulu ya, air hangatnya sudah siap. Ara juga udah siapkan makan malam untuk kakak"Aku tersenyum, ketika perhatian kecil itu terlontar dari mulutnya. Ah, bahagia sekali. "Kamu udah makan, Ra?" tanyaku duduk disamping Amara yang tengah bermain bersama Arsenio. Bayi kecil itu belum tertidur

  • Suami pengganti   pagi yang hangat

    "Tapi kalau semisal Ara ingin pergi apakah kakak akan tetap mempertahankan kami?"Pertanyaan itu menggaung di gendang telingaku. menusuk seperti jarum kecil yang tidak berdarah tapi meninggalkan ngilu lama.Aku tak langsung menjawab, dadaku sesak. Lidahku kelu. Jika saja aku boleh egois, aku ingin memaksa mereka untuk tetap tinggal. Disini, dirumah yang pernah kusiapkan untuknya, tapi tak jadi ketika dia sudah memiliki tambatan hati yang lain. Adikku sendiri. Ah jangan egois kamu, Fi! Ini bukan soal mempertahankan apa yang aku mau tapi tentang memastikan dia merasa cukup aman untuk bertanya sejauh itu.Aku bangkit dari kursi, beranjak ke sampingnya, lalu berlutut tepat di sebelah kursinya. Kupandangi mata bening itu yang kini mulai menggenang air."Kalau kamu ingin pergi karena lelah, saya akan pastikan menggenggam tanganmu lebih erat."Nafasnya tercekat.Mataku terpejam sesaat. "Kalau kamu ingin pergi karena merasa bersalah, aku akan memaafkan sebelum kamu sempat minta maaf"Matanya

  • Suami pengganti   Retak yang mulai luruh

    Aku tak tau sejak kapan aku terbiasa mendengar tangisan bayi di pagi buta. Sejak kapan aku terbiasa bangun ditengah malam menggantikannya popok. Aku tidak tau. Dulu, waktu hidup sendiri, suara alarm pun sering kuabaikan. Bahkan suara jeritan bi Susi yang memintaku terbiasa untuk shalat tahajud pun, aku tak memperdulikannya. Yang penting aku tidak telat untuk melaksanakan shalat subuh.Tapi kini, bahkan suara rengekan kecil Arsenio pun bisa langsung membangunkanku. Ya, malam ini pun begitu. Sekitar pukul dua lewat lima belas, aku terbangun. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena suara rengekan dari box bayi yang tak jauh dari sofa yang kujadikan sebagai tempat tidur.Tangannya bergerak-gerak, wajahnya mengerut, mungkin popoknya penuh atau ia lapar.Amara masih terlelap. Nafasnya berat, tubuhnya menggulung selimut rapat-rapat. Beberapa hari ini, ia mulai sedikit terbuka, meski belum sepenuhnya. Sebuah kemajuan yang sangat aku nantikan. Pelan-pelan aku bangkit. Kuhampiri Arsenio dan sege

  • Suami pengganti   Es yang mulai mencair

    "jagoan papa ini udah wangi banget nak, ganteng pula" aku terkekeh gemas saat mendandani Arsenio pagi ini seusai ku mandikan bersama bi susi. Bayi kecil itu hanya bisa tertawa-tawa sambil memainkan bibirku dengan tangannya yang mungil dan basah.Sementara Amara, perempuan itu semalam demam gara-gara kelelahan mengurus Arsenio dan terlalu larut dalam kesedihan. Dan pagi ini ia bahkan masih tertidur, bergelung dengan selimut tebalnya beberapa kali aku dengar ia merintih kesakitan dengan memegangi kepalanya semalaman.Melihatnya begitu aku tidak diam, sejak ia tak menolak dengan sikap perhatianku. Aku bahkan berusaha memerankan suami yang baik untuknya, meski tidak sama seperti Arsen setidaknya Amara tidak terlalu merasa kesepian. Tapi tunggu dulu, apa sikapku ini sudah benar? Atau justru semakin menyakitinya?"Bi, tadi subuh aku buat sayur sop. Bisa tolong hangatkan? Biar nanti kalau Ara bangun bisa langsung dimakan" ujarku sambil berjalan menggendong Arsenio ke luar untuk aku jemur.

  • Suami pengganti   pelan-pelan saja

    Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai seseorang yang hatinya sedang berduka. Tapi aku tahu, mencintai bukan berarti menuntut balasan. Mencintai, kadang sesederhana memastikan dia makan hari ini, memastikan tidurnya cukup, memastikan anaknya tumbuh sehat dan bahagia. Sudah dua minggu pernikahan kami berjalan. Dan selama ini pula aku berusaha memerankan posisi suami serta ayah untuk Arsenio. Rasanya aneh, biasanya aku menjalani hari dengan datar hanya bangun untuk shalat dan bekerja tapi sekarang? Kesibukanku bertambah, aku tidak lagi hidup untuk diriku sendiri tetapi juga untuk dua orang yang aku cintai.Tunggu dulu, cinta? Bukannya ini hanya sekedar tanggung jawab?Pagi ini aku membuatkan bubur ayam. Kupakai kaldu ayam kampung, kutambahkan potongan wortel dan sedikit bayam di dalamnya. Aku tahu Amara belum punya selera makan besar, tapi tubuhnya butuh nutrisi. Apalagi ia masih menyusui Arsenio"Bi, nanti tolong ya kalau istiriku sudah bangun, tolong kasih ini ke Amara, ya?” ucap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status