Kehidupan Rafi yang tenang berubah drastis saat adiknya, Arsen, yang ternyata sedang berjuang melawan anemia kronis, memohon padanya untuk menikahi Amara, istrinya, setelah ia pergi. Arsen khawatir Amara akan kesepian dan terlantar tanpa dirinya, apalagi kini Amara sedang mengandung anak mereka. Dengan hati yang berat, Rafi dihadapkan pada permintaan yang tak terduga dan dilema besar, menerimanya demi adiknya yang sedang sekarat, atau menolaknya dan menjaga jarak dari takdir yang baru saja menyapanya. Apa yang akan dipilih Rafi?
View MoreSetelah pagi itu, semuanya terasa berjalan lebih ringan. Hari-hari berikutnya Amara tak lagi selalu menyendiri di kamar. Ia mulai ikut menjemur pakaian, menyiapkan sarapan, bercengkrama dengan bi susi tanpa ku suruh bahkan beberapa kali tertangkap basah sedang tersenyum kecil saat aku bermain dengan bayinya. Dan malamnya, kami mulai membiasakan diri untuk tidur seranjang, dengan berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan kedepannya sebelum kami tidur. Meski masih ada jarak. Tidak apa-apa. Jarak bisa dijembatani, asal bukan keengganan yang dipelihara. Kami bahkan saling berbagi peran satu sama lain, saling bekerja sama untuk merawat baby Arsenio."Kak pasti capek, jangan dulu gendong baby Nio. Mandi dulu ya, air hangatnya sudah siap. Ara juga udah siapkan makan malam untuk kakak"Aku tersenyum, ketika perhatian kecil itu terlontar dari mulutnya. Ah, bahagia sekali. "Kamu udah makan, Ra?" tanyaku duduk disamping Amara yang tengah bermain bersama Arsenio. Bayi kecil itu belum tertidur
"Tapi kalau semisal Ara ingin pergi apakah kakak akan tetap mempertahankan kami?"Pertanyaan itu menggaung di gendang telingaku. menusuk seperti jarum kecil yang tidak berdarah tapi meninggalkan ngilu lama.Aku tak langsung menjawab, dadaku sesak. Lidahku kelu. Jika saja aku boleh egois, aku ingin memaksa mereka untuk tetap tinggal. Disini, dirumah yang pernah kusiapkan untuknya, tapi tak jadi ketika dia sudah memiliki tambatan hati yang lain. Adikku sendiri. Ah jangan egois kamu, Fi! Ini bukan soal mempertahankan apa yang aku mau tapi tentang memastikan dia merasa cukup aman untuk bertanya sejauh itu.Aku bangkit dari kursi, beranjak ke sampingnya, lalu berlutut tepat di sebelah kursinya. Kupandangi mata bening itu yang kini mulai menggenang air."Kalau kamu ingin pergi karena lelah, saya akan pastikan menggenggam tanganmu lebih erat."Nafasnya tercekat.Mataku terpejam sesaat. "Kalau kamu ingin pergi karena merasa bersalah, aku akan memaafkan sebelum kamu sempat minta maaf"Matanya
Aku tak tau sejak kapan aku terbiasa mendengar tangisan bayi di pagi buta. Sejak kapan aku terbiasa bangun ditengah malam menggantikannya popok. Aku tidak tau. Dulu, waktu hidup sendiri, suara alarm pun sering kuabaikan. Bahkan suara jeritan bi Susi yang memintaku terbiasa untuk shalat tahajud pun, aku tak memperdulikannya. Yang penting aku tidak telat untuk melaksanakan shalat subuh.Tapi kini, bahkan suara rengekan kecil Arsenio pun bisa langsung membangunkanku. Ya, malam ini pun begitu. Sekitar pukul dua lewat lima belas, aku terbangun. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena suara rengekan dari box bayi yang tak jauh dari sofa yang kujadikan sebagai tempat tidur.Tangannya bergerak-gerak, wajahnya mengerut, mungkin popoknya penuh atau ia lapar.Amara masih terlelap. Nafasnya berat, tubuhnya menggulung selimut rapat-rapat. Beberapa hari ini, ia mulai sedikit terbuka, meski belum sepenuhnya. Sebuah kemajuan yang sangat aku nantikan. Pelan-pelan aku bangkit. Kuhampiri Arsenio dan sege
"jagoan papa ini udah wangi banget nak, ganteng pula" aku terkekeh gemas saat mendandani Arsenio pagi ini seusai ku mandikan bersama bi susi. Bayi kecil itu hanya bisa tertawa-tawa sambil memainkan bibirku dengan tangannya yang mungil dan basah.Sementara Amara, perempuan itu semalam demam gara-gara kelelahan mengurus Arsenio dan terlalu larut dalam kesedihan. Dan pagi ini ia bahkan masih tertidur, bergelung dengan selimut tebalnya beberapa kali aku dengar ia merintih kesakitan dengan memegangi kepalanya semalaman.Melihatnya begitu aku tidak diam, sejak ia tak menolak dengan sikap perhatianku. Aku bahkan berusaha memerankan suami yang baik untuknya, meski tidak sama seperti Arsen setidaknya Amara tidak terlalu merasa kesepian. Tapi tunggu dulu, apa sikapku ini sudah benar? Atau justru semakin menyakitinya?"Bi, tadi subuh aku buat sayur sop. Bisa tolong hangatkan? Biar nanti kalau Ara bangun bisa langsung dimakan" ujarku sambil berjalan menggendong Arsenio ke luar untuk aku jemur.
Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai seseorang yang hatinya sedang berduka. Tapi aku tahu, mencintai bukan berarti menuntut balasan. Mencintai, kadang sesederhana memastikan dia makan hari ini, memastikan tidurnya cukup, memastikan anaknya tumbuh sehat dan bahagia. Sudah dua minggu pernikahan kami berjalan. Dan selama ini pula aku berusaha memerankan posisi suami serta ayah untuk Arsenio. Rasanya aneh, biasanya aku menjalani hari dengan datar hanya bangun untuk shalat dan bekerja tapi sekarang? Kesibukanku bertambah, aku tidak lagi hidup untuk diriku sendiri tetapi juga untuk dua orang yang aku cintai.Tunggu dulu, cinta? Bukannya ini hanya sekedar tanggung jawab?Pagi ini aku membuatkan bubur ayam. Kupakai kaldu ayam kampung, kutambahkan potongan wortel dan sedikit bayam di dalamnya. Aku tahu Amara belum punya selera makan besar, tapi tubuhnya butuh nutrisi. Apalagi ia masih menyusui Arsenio"Bi, nanti tolong ya kalau istiriku sudah bangun, tolong kasih ini ke Amara, ya?” ucap
Hari ini, minggu pertama pernikahan kami, rasanya seperti berjalan diatas serpihan kaca Setiap langkah menggores diam-diam, tanpa suara, tapi berdarah juga pada akhirnya.Kami memang tinggal satu atap, satu kamar, tapi tidak benar-benar bersama. Ada batas tak kasat mata yang terus memisahkan aku dan Amara. Dia masih memanggilku "Kakak."Bukan "suami." Dan aku tidak pernah menuntut untuk disebut begitu.Minggu pertama ini bahkan aku masih memilih tidur di sofa kamar kami, memberikannya ruang untuk beradaptasi dengan kehilangan, bukan dengan kehadiranku. Aku tahu, bagi Amara, kepergian Arsen masih terlalu segar. Dan kehadiranku, meski sah secara hukum dan restu, masih terasa seperti pengkhianatan terhadap masa lalu.Kadang-kadang aku terbangun tengah malam dan mendengar isaknya. Suara pelan yang ia tahan dengan bantal, agar dunia tak tahu ia sedang rapuh. Tapi aku tahu. Aku melihat bahunya bergetar, tubuhnya membungkuk menahan pecah, sementara bayi kecil di pelukannya tetap tertidur le
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments