Kehidupan Rafi yang tenang berubah drastis saat adiknya, Arsen, yang ternyata sedang berjuang melawan anemia kronis, memohon padanya untuk menikahi Amara, istrinya, setelah ia pergi. Arsen khawatir Amara akan kesepian dan terlantar tanpa dirinya, apalagi kini Amara sedang mengandung anak mereka. Dengan hati yang berat, Rafi dihadapkan pada permintaan yang tak terduga dan dilema besar, menerimanya demi adiknya yang sedang sekarat, atau menolaknya dan menjaga jarak dari takdir yang baru saja menyapanya. Apa yang akan dipilih Rafi?
Lihat lebih banyak"Mas, aku mohon. Hanya Mas Rafi lah yang bisa bantu aku. Tolong, umurku udah nggak panjang lagi kali ini. Sebagai permintaan terakhirku, Mas mau menikahi Amara ya?"
Aku tertegun. Napasku tertahan. Sial, Apa barusan aku salah dengar? Apa gendang telingaku kali ini sudah rusak? Arsen, adikku itu kini bersimpuh di lantai ruang kerjaku dengan tiba-tiba. Air matanya kini terjatuh tanpa malu. Bahkan laki-laki itu biasanya keras kepala, penuh percaya diri, sekarang bahkan dia terlihat bak seperti seseorang yang sudah kehilangan segalanya dan ingin menitipkan sisa hidupnya kepadaku. "Gila kamu sen, mabuk?" suaraku nyaris bergetar. Aku mulai berdiri dari kursi, berusaha menenangkan pikiran yang mulai kacau. "Datang-datang ke kantor mintanya aneh-aneh. Gak masuk akal tau! Udah bosan jadi juragan tanah dan punya istri secantik dia? Kamu mau cari yang gimana lagi sih, mau lanjutin perusahaan ini dan duduk jadi direktur utamanya juga? Menggantikan Mas iya?" Aku berbicara dengan nada agak kasar. Bukan, ini bukan marah tapi lebih ke panik. Sungguh, ini bukan percakapan yang biasa antara kami. Nampak Arsen mengusap wajahnya, berdiri perlahan. Matanya merah, terlihat lelah dan sejujurnya, aku bahkan takut menatapnya lebih lama. "Aku bahagia hidup di kampung selama lima tahun ini, Kak. Tapi, ada satu hal yang terus menghantuiku." Mataku menyipit, menatapnya dengan tak habis pikir "Apa maksudmu?" Ia menatap ke arah dinding tepat kepada foto keluarga kami yang digantung besar. Foto lama, sebelum semua ini berubah. "Aku sakit, Mas." Aku terdiam. Hening menyelimuti ruangan. Mataku otomatis mencari kursi, dan aku terduduk pelan. "Aku divonis Anemia kronik setahun lalu. Sekarang… aku sudah tidak kuat lagi. Umurku rasanya sudah tak lama lagi" Aku membeku. Kata-katanya seperti palu menghantam dadaku. Apa? Arsen... Mengidap penyakit yang parah? Seketika aku merasa mual. Ruangan terasa berputar. Suaranya menggema di kepala. Aku mencoba menelan kenyataan itu, tapi rasanya begitu pahit dan mengganjal. "Apa maksudmu, Arsen? Jangan bercanda!" ucapku cepat, nyaris berteriak. "Selama ini Mas lihat kamu baik-baik aja! Kamu nggak bisa main-main dengan hal kayak gini!" "Jangan bercanda!" Lanjutku. Aku melihat Arsen menunduk, tak ada senyum bahkan tak ada tawa. Matanya malah kembali basah lagi. "Aku serius, Mas. Aku nggak bisa bertahan lebih lama. Aku takut… kalau aku pergi, Amara akan sendirian. Dia terlalu baik untuk aku, Mas. Terlalu kuat. Tapi aku tahu dia rapuh, apalagi sekarang, dia sedang hamil. Anak kami, tiga bulan usianya di dalam sana." Aku menganga. Nafasku tercekat. Amara… hamil? Aku memejamkan mata, mencoba mengatur napas. Tubuhku gemetar halus. Jantungku rasanya berdetak terlalu cepat. Aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan lebih dulu penyakit Arsen, bayi dalam kandungan Amara, atau permintaannya yang gila itu. Sungguh, kepalaku rasanya begitu pening. "Mas juga," tambahnya pelan, "udah hampir kepala empat, belum nikah juga, kan? Nggak punya pacar. Amara gadis baik. Mas pasti nggak akan kerepotan." Gila. Di saat seperti ini, dia masih sempat menggoda aku soal status jomlo. Rasanya pengen kutimpuk dengan bantal kursi. "Menikahlah dengannya, Mas. Aku meridhoi. Jadilah ayah dari keponakanmu. Aku mohon." Aku mematung. Semua kata-katanya berkumpul di dadaku seperti kabut tebal yang menyesakkan. "Apa kamu yakin ini yang kamu inginkan?" suaraku parau. "Aku?menikahi Amara?" tanyaku tak percaya, kepalaku menggeleng. Dia mengangguk, tatapannya kosong tapi penuh putus asa. "Mas, aku enggak punya banyak waktu lagi. Aku ingin dia bahagia, ingin anakku punya ayah yang bisa diandalkan. Aku tahu Mas orang yang paling tepat. Aku tahu Mas bisa melindungi mereka, meski aku sudah enggak ada." Aku menunduk, mencoba mencari kalimat lain untuk melawannya. "Kamu akan sembuh. Aku akan cari dokter terbaik, rumah sakit terbaik. Berapa pun biayanya, Mas yang tanggung." "Terlambat, Mas. Semua sawah dan ladang di kampung udah habis buat berobat. Aku nggak mau nambah beban. Amara juga udah cukup lelah mengurus aku selama ini. Kesihan, hartanya sudah aku habiskan semuanya mas. Kesihan," Aku merasa sesak. Marah. Tapi juga merasa bersalah. Rasanya aku menjadi kakak yang gagal. "Kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa setiap mas atau Bapak Ibu telepon, kamu bilang kamu sehat-sehat aja?" Wajahnya menunduk. "Kami memang kecewa waktu kamu memutuskan untuk menikah muda, berhenti kuliah. Tapi kami enggak pernah berhenti sayang sama kamu, Sen. Asal kamu tau itu!" Arsen terdiam. Sepertinya ia tak sanggup menatap mataku. "Aku nggak mau kalian khawatir," ucapnya lirih. "Semua orang udah punya hidup masing-masing. Aku pikir, aku bisa hadapi ini sendiri." Aku menggeleng, menahan air mata. "Kenapa kamu nggak kasih kami kesempatan untuk bantu kamu, Sen? Kita ini keluarga. Kita nggak akan biarin kamu berjuang sendirian." Dia menarik napas panjang, lalu menatapku dalam, tajam, seakan memaksaku memahami. "Sudahlah, Kak. Lupakan. Aku cuma minta satu hal sebelum aku pergi. Nikahi dia. Jaga Amara dan anakku. Aku mohon," Aku tak menjawab. Hanya bisa terdiam. Tercekik dalam dilema yang belum pernah kurasakan seumur hidupku. Ini permintaan Arsen yang paling gila. Sungguh! Menikahi Amara? Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya? Aku bahkan belum siap untuk menghadapinya."kamu yakin Ra, gak mau ikut sama kakak ke Bandung?" tanyaku kembali memastikan dengan memelas.Amara menggeleng, tangannya sibuk memasukan pakaianku ke koper. Setelah perdebatan malam itu, aku pikir Amara akan mendiamiku seperti kebanyakan. Mulai menjauh seperti saat awal pernikahan kami. Dingin. Tapi rupanya tidak, ia masih bersikap ramah padaku.Amara mendongak, ia menggeleng pelan. "Ngapain sih, yang ada ganggu kerjaan kakak kalau aku sama baby Nio ikut,"Aku menghela napas. Duduk di sisi ranjang, membiarkan koper terbuka di hadapanku dan pakaian yang belum sepenuhnya rapi tergeletak begitu saja.Kemudian aku mendesah pelan. "Ganggu apanya, Ra? Justru kakak bakal lebih tenang kerja kalau kalian ikut. Kakak jadi punya alasan pulang cepat. Punya alasan buat senyum walau seharian dikejar deadline.""Kak, bandung itu dingin. Arsenio belum terbiasa," ujarnya tepat ketika ia menutup koperku dan menarik resletingnya."Lagi pula cuma seminggu, kok jadi lebay gini?" tanyanya dengan duduk d
Waktu di jam dinding sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam, namun aku masih bergelut dimeja ruang tamu dengan setumpuk pekerjaan lembar-lembar berkas yang harus ditandatangani, laporan yang perlu direvisi, dan notulen rapat yang harus kukaji ulang sebelum kubawa ke pertemuan esok pagi. Bahkan hingga kini, aku belum sempat menyapa Amara dan bayinya.Samar-samar aku mendengar langkah pelan dari arah dapur. Suara air mengalir dari kran, diikuti dengan denting gelas yang bersentuhan. Tak lama kemudian, langkah itu makin dekat, lalu berhenti tepat di belakangku. Namun, aku masih tetap memfokuskan diri pada pekerjaan. Sungguh aku ingin pekerjaan ini cepat selesai. "Kak," suara itu terdengar pelan, kemudian aku rasakan Amara tengah duduk disebelahku. "Hmmm," kujawab dengan gumaman, bukannya apa-apa. Fokusku kali ini pada satu dokumen yang hampir selesai, setelahnya aku akan terbebas. "Kak," panggilnya lagi, lebih lembut. Ada jeda di antara suaranya, seolah sedang memilih untuk lan
"Ra, baby nya udah tidur?" tanyaku ketika aku baru saja memasuki kamar sehabis dari menunaikan shalat magrib di mesjid kompleks. Amara menoleh dengan meletakan jari telunjuk di mulutnya. "Pelan-pelan ngomongnya, kak. Dia baru tidur," ujarnya. Aku mengangguk. Melepaskan peci, lalu menaruhnya diatas nakas. "Mas mau makan sekarang, ayo Ara temanin" ajaknya dengan berjalan lebih dulu keluar dari kamar kami. "Kita makan diluar aja ya? Malam ini kata Bi Susi ada pasar malam di dekat kantor kelurahan," aku mengajaknya ragu. Pasalnya ini baru pertama kali aku mengajaknya jalan. Satu alis Amara terangkat. "Pasar malam?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Iya. Katanya ramai. Banyak jajanan juga. Selama kamu pindah kerumah ini kakak belum pernah lihat kamu keluar rumah bahkan belum ngerasa kamu minta kakak untuk temanin kamu jalan-jalan. Kamu gak jenuh apa, tiap hari dirumah. Ngerjain pekerjaan rumah sama bi Susi, momong baby Arsenio juga. Kakak rasa kamu butuh refreshing deh,"Amara terseny
Hari-hariku ternyata kini penuh dengan warna-warni, bak seperti pelangi setelah badai. Setiap harinya bahkan senyuman tak pernah pudar diwajahku, kebahagiaan seolah tak pernah surut dihidupku. Bahkan kini, jam pulang pada waktu kerja adalah hal yang paling aku nantikan. Rasanya aku ingin segera pulang, menemui bintang yang kini kembali menampakan sinarnya. Serta matahari kecil yang selalu menghangatkan rumahku. Begitu jam kantor menunjukkan pukul lima sore, aku langsung semangat membereskan laptop dan buru-buru keluar.“Pulang buru-buru terus, Fi? Bulan madunya panjang amat ya” celetuk Ayah dengan kekehan saat kami berpapasan di lift. Aku cuma nyengir. “Rumah udah jadi tempat paling nyaman sekarang yah,"Ayah mengangguk, ia menepuk pundakku. "Gimana rasanya nikah, Fi?" Aku terdiam sebentar. Pertanyaan Ayah itu sebetulnya sederhana, tapi entah kenapa jawabannya tak pernah sesingkat itu.Aku menghela napas kecil, lalu menatapnya dengan senyum yang tulus. "Rasanya seperti punya rumah
Setelah pagi itu, semuanya terasa berjalan lebih ringan. Hari-hari berikutnya Amara tak lagi selalu menyendiri di kamar. Ia mulai ikut menjemur pakaian, menyiapkan sarapan, bercengkrama dengan bi susi tanpa ku suruh bahkan beberapa kali tertangkap basah sedang tersenyum kecil saat aku bermain dengan bayinya. Dan malamnya, kami mulai membiasakan diri untuk tidur seranjang, dengan berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan kedepannya sebelum kami tidur. Meski masih ada jarak. Tidak apa-apa. Jarak bisa dijembatani, asal bukan keengganan yang dipelihara. Kami bahkan saling berbagi peran satu sama lain, saling bekerja sama untuk merawat baby Arsenio."Kak pasti capek, jangan dulu gendong baby Nio. Mandi dulu ya, air hangatnya sudah siap. Ara juga udah siapkan makan malam untuk kakak"Aku tersenyum, ketika perhatian kecil itu terlontar dari mulutnya. Ah, bahagia sekali. "Kamu udah makan, Ra?" tanyaku duduk disamping Amara yang tengah bermain bersama Arsenio. Bayi kecil itu belum tertidur
"Tapi kalau semisal Ara ingin pergi apakah kakak akan tetap mempertahankan kami?"Pertanyaan itu menggaung di gendang telingaku. menusuk seperti jarum kecil yang tidak berdarah tapi meninggalkan ngilu lama.Aku tak langsung menjawab, dadaku sesak. Lidahku kelu. Jika saja aku boleh egois, aku ingin memaksa mereka untuk tetap tinggal. Disini, dirumah yang pernah kusiapkan untuknya, tapi tak jadi ketika dia sudah memiliki tambatan hati yang lain. Adikku sendiri. Ah jangan egois kamu, Fi! Ini bukan soal mempertahankan apa yang aku mau tapi tentang memastikan dia merasa cukup aman untuk bertanya sejauh itu.Aku bangkit dari kursi, beranjak ke sampingnya, lalu berlutut tepat di sebelah kursinya. Kupandangi mata bening itu yang kini mulai menggenang air."Kalau kamu ingin pergi karena lelah, saya akan pastikan menggenggam tanganmu lebih erat."Nafasnya tercekat.Mataku terpejam sesaat. "Kalau kamu ingin pergi karena merasa bersalah, aku akan memaafkan sebelum kamu sempat minta maaf"Matanya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen