Home / Rumah Tangga / Suami pengganti / Sah (akad yang tak tepat)

Share

Sah (akad yang tak tepat)

last update Last Updated: 2025-06-24 19:25:42

Waktu berlalu begitu cepat sejak Arsen datang menemuiku beberapa bulan yang lalu dan kini aku kembali menemuinya dengan raut penyesalan yang begitu besar.

Rasa bersalah dihatiku mencuat kepermukaan ketika aku tengah duduk disamping ranjang pesakitan. Adikku itu tampak jauh berbeda dari terakhir kali kami bertemu. Kulitnya pucat, tubuhnya kurus dan terkulai, suara napasnya terdengar berat, diiringi suara alat bantu yang mengiringi tiap detak kehidupannya yang tersisa.

Aku terisak menggenggam tangannya, dihadapanku Amara juga nampak begitu rapuh. Matanya sembab, mungkin setiap hari ia menangisi suaminya.

Ah tidak. Lebih tepatnya mantan suaminya, ketika kabar pahit itu aku dengar dari kedua orangtuaku tadi saat mereka menelponku. Memaksa untuk datang melangsungkan akad nikah hari ini juga.

Dan kini kedua orang tuaku bersama penghulu datang memasuki ruangan. Langkah kaki mereka terdengar pelan namun berat saat memasuki ruangan. Ibu menatapku dengan mata sembab, tangannya menggenggam erat tas kecil berisi dokumen pernikahan. Ayah tampak jauh lebih tenang, namun sorot matanya tak bisa menyembunyikan duka yang menumpuk di relung terdalamnya.

Di belakang mereka, penghulu berjalan dengan wajah penuh empati, seolah tahu betul bahwa pernikahan yang akan ia saksikan bukanlah pernikahan biasa melainkan janji yang dibangun di atas kepedihan dan harapan terakhir seorang adik.

Amara menunduk dalam diam. Wajahnya tampak pasrah, namun aku bisa melihat dari caranya menggenggam kain di sisi gamisnya, bahwa ia sedang berperang dengan rasa. Ia belum benar-benar siap, dan aku pun sama. Tapi ini bukan tentang kami. Ini tentang Arsen. Tentang satu-satunya permintaan terakhirnya.

Aku berdiri perlahan, melepaskan genggamanku dari tangan Arsen. Kurasakan tubuhnya semakin dingin, napasnya semakin pelan dan berat.

Tapi matanya masih terbuka—masih menatap kami. Ia tahu. Ia menunggu.

"Mas Rafi," suara ibu bergetar saat memanggilku, "kita mulai sekarang, ya, Nak. Sebelum... sebelum Arsen benar-benar pergi."

Aku mengangguk, mencoba menguatkan diri meski tenggorokanku terasa tercekat. Sial, kali ini aku tak mampu menolak. Kali ini seorang Teunku Rafi Muhammad yang selalu menjadi pria rasional, selalu membuat keputusan dengan kepala dingin ini mendadak tak punya logika sama sekali. Rasanya tidak ada yang mampu meredakan rasa sesak di dadaku. Semua yang pernah kutolak, kini kusadari ternyata memang ini lah hal terakhir yang diinginkan adikku sebelum ia

Amara melangkah maju dengan pelan kemudian ia bersimpuh duduk bersimpuh di dekat ibu. Penghulu mulai membuka doa dengan suara lembut, dan ruangan itu berubah menjadi sakral. Hening, kecuali suara alat medis dan lirih doa yang mengalir.

Aku menarik napas panjang ketika tiba saatnya mengucap ijab kabul. Tanganku yang biasanya tegas kini gemetar saat menggenggam tangan ayah Amara. Mataku tak lepas dari wajah Arsen, memastikan bahwa ia menyaksikan ini bahwa kami menepati janji kami padanya.

"Teunku Rafi Muhammad bin Teunku Imam Muhammad… saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Amara Saqeena riza binti Reza aditya dengan maskawin seperangkat alat salat dan cincin emas seberat lima pulub gram, tunai.”

Lidahku nyaris kelu, tapi dengan suara yang pelan namun mantap, aku mengucap, "Saya terima nikah dan kawinnya, Amara Saqeena riza binti Reza aditya dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!" 

Hening. Lalu isak tertahan dari Ibu dan Amara.

Penghulu mengangguk pelan. "Sah."

Aku tertegun mendengar para saksi dan juga adikku sendiri begitu lancang mengatakan hal yang tidak seharusnya aku dengar. 

Pada akhirnya, aku menuruti keinginan Arsen setelah empat puluh hari berlalu saat Amara melahirkan anak pertama yang mereka tunggu dan sejak saat itu pula kesehatan Arsen terus menurun drastis, membuatku terpaksa untuk memenuhi permintaan terakhirnya. 

Tak ada suka cita bahagia di ruangan ini, semua menangis sedih termasuk Amara yang tergugu, di samping ibuku dan dihadapan Arsen setelah kata sah terucap. 

"Mas, ini salah. Seharusnya pernikahan ini tidak terjadi" ucap Amara di sela isak tangisnya. 

Aku terdiam, tak ada yang berani berucap setelah pernikahan kami selesai di gelar dengan begitu sangat-sangat sederhana. 

Sementara itu Arsen tersenyum, tangannya bergerak hendak meraih tangan Amara, buru-buru aku dan keluarga beranjak hendak memberikan ruang bagi mereka namun Arsen mencegahnya memintakh untuk kembali duduk disampingnya. sementara yang lain seolah paham, mereka meninggalkan kami diruangan penuh sesak ini.

"Tidak ada yang salah dengan pernikahan ini Amara. Kalian sudah sah secara agama dan negara, lagi pula aku sudah menceraikanmu saat kamu hamil muda dan masa iddah istri yang di ceraikan saat hamil ialah sampai melahirkan" jelas Arsen dengan begitu lirih. 

Amara kembali menangis, "mas ini permintaan yang konyol. Lagi pula kamu menceraikanku hanya agar aku bisa menikah dengan kakakmu kan bukan karena gak cinta. Mas, tetaplah hidup. Aku sangat mencintaimu, aku tidak ingin kehilangan kamu" lirihnya. 

Aku memilih tetap diam, tak ingin menyela. Semua yang dikatakan Amara memang benar adanya, jadi aku tidak berhak untuk berprotes di sini. 

Arsen mengangguk, tubuhnya yang terbaring lemah dengan berbagai alat yang terpasang membuat ia sesekali meringis saat hendak bergerak. "Mulai sekarang, cintailah suamimu. Baktimu padaku sudah selesai Amara, berbaktilah pada kakak ku. Aku yakin, dia akan membahagiakanmu lahir dan batin" 

Aku menelan saliva dengan susah payah mendengar penuturan adik kesayanganku. Apakah aku bisa membahagiakannya? Aku bahkan tak tau bagaimana cara membahagiakan diriku sendiri dan Amara, perempuan itu apakah bisa ia mencintai seorang teunku Rafi yang terkesan kaku dan dingin, apakah bisa perempuan itu berbakti padaku selayaknya istri? Sementara cintanya yang begitu besar telah ia tumpah ruahkan pada adikku sendiri. 

Buktinya, Amara begitu setia pada Arsen meski pun tanpa restu kedua orangtuaku dan tanpa harta keluargaku. Amara tetap menerima Arsen, ia bahkan yang menjadikan Arsen seorang juragan tanah di kampungnya dengan modal warisan kedua orang tua Amara yang sudah tiada, lalu setelah mereka sukses dan Arsen yang ternyata di vonis penyakit mematikan, gadis itu tak gentar ia bahkan rela mengorbankan seluruh hartanya demi membiayai pengobatan adikku selama ini. Bahkan dengan ikhlas di ceraikan sebagai permintaan terakhir Arsen padanya dan mau menikahiku. Bukankah itu pengorbanan yang sangat besar?

Aku menundukkan kepala, mencoba menahan perasaan yang mulai menggerogoti hati ini, entah apa. Setiap kata yang keluar dari mulut Arsen dan Amara semakin menambah beban di dadaku. Betapa besar pengorbanan Amara, dan betapa besar pula cinta yang ia miliki untuk adiknya. Sedangkan aku? Pria ini hanyalah pilihan terakhir, pengganti yang terpaksa diambil setelah segalanya berakhir begitu tragis.

"Mas tolong jaga istri dan anakku ya. Eh bukan, tepatnya mantan istriku" ujarnya lemah dengan kekehan. 

"Mas..." suaraku terhenti, dan netra yang mengembun inj menatap Arsen, yang kini tampak lebih rapuh dari sebelumnya. "Mas akan menjaga anakmu," aku berkata pelan, meski rasa ragu dan cemas menguasai diri. "Mas akan berusaha sebaik mungkin."

Arsen tersenyum tipis, meskipun wajahnya tampak semakin pucat. "Aku tahu... kamu orang baik, Mas. Kamu akan bisa membuat Amara dan anakku bahagia. Titip mereka ya Mas, aku sudah lelah pengen istirahat dengan damai"

Kepalaku menggeleng, tangan ini seketika meremas ujung kemeja dengan cukup kuat. "Kenapa kamu sepercaya diri itu, mas gak sebaik kamu. Mas ini orangnya urakan, kamu tau sendirikan? Ayolah sembuh, jangan seperti ini" kesalku.

Arsen tertawa renyah. "Se urakan apa pun Mas, mas memiliki rasa tanggungjawab yang sangat besar. Hati mas itu mulia. Aku percaya itu,"

Seketika aku terdiam, sulit bagiku untuk melawan pria lemah yang kini terbaring tak berdaya dengan penuh kesakitan disana.

"Amara, mantan istriku yang mas sayangi. Hiduplah bahagia bersamanya, jangan biarkan cintamu padaku terlalu besar. Simpan aku di memorimu, hapus aku di hatimu, gantikan dengan masku"

Lagi Amara menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin aku membuang perasaanku begitu saja Mas, setelah lima tahun kita lalui. Aku akan berusaha mencintainya tapi aku tidak akan membuang cintaku untuk mas"

"Tidak mungkin dalam satu hati ada dua manusia yang bersemayam disana. Hapuslah amara mas meminta" ujarnya dengan tegas. 

"Mas-" lirih Amara. 

"Aku ingin ketemu Arsen junior untuk terakhir kalinya, tolong panggil ibu Mas. Berikan dia padaku," ujarnya mengabaikan Amara yang kini sudah menangis meraung, menolak permintaan Arsen.

Amara terisak, suaranya terhenti ketika Arsen menyebutkan nama anak mereka. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa memberi sedikit kebahagiaan bagi mereka di tengah kesulitan ini.

"Aku... aku tidak bisa," ucap Amara dengan suara tercekat. "Aku tidak bisa melepaskanmu, Mas. Aku tidak bisa berpura-pura seolah tidak ada apa-apa setelah semua yang kita lalui."

"Amara, kamu harus bisa," suara Arsen terdengar begitu lemahnamun penuh harapan. "Kamu harus kuat untuk anak kita. Jangan biarkan hatimu terlalu terbebani oleh kenangan masa lalu. Aku ingin kamu bahagia."

Amara menundukkan kepala, air mata mengalir deras. Aku melihat Amara menggenggam tangan Arsen dengan erat, seolah itu adalah hal terakhir yang bisa ia lakukan untuk lelaki yang telah banyak memberi warna dalam hidupnya. Aku bisa merasakan betapa berat perasaan Amara, tak hanya karena kehilangan Arsen, tapi juga karena beban perasaan yang harus ia tanggung, perasaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang istri yang tidak bisa begitu saja beralih.

Saat itu juga aku mengalihkan pandanganku, rasanya hati initerasa begitu sesak. Aku ingin melakukan yang terbaik untuk mereka berdua, tapi di saat yang sama ia juga merasa seakan ia hanyalah bayangan dalam hidup Amara. Bagaimana bisa ia menggantikan posisi Arsen di hati Amara? Laki-laki itu merasa seperti menjadi pengganti yang tak pernah benar-benar diterima. Apakah setelah ini, ia bisa menjalani hidup dengan baik?

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami pengganti   ternyata nikah itu enak?

    Hari-hariku ternyata kini penuh dengan warna-warni, bak seperti pelangi setelah badai. Setiap harinya bahkan senyuman tak pernah pudar diwajahku, kebahagiaan seolah tak pernah surut dihidupku. Bahkan kini, jam pulang pada waktu kerja adalah hal yang paling aku nantikan. Rasanya aku ingin segera pulang, menemui bintang yang kini kembali menampakan sinarnya. Serta matahari kecil yang selalu menghangatkan rumahku. Begitu jam kantor menunjukkan pukul lima sore, aku langsung semangat membereskan laptop dan buru-buru keluar.“Pulang buru-buru terus, Fi? Bulan madunya panjang amat ya” celetuk Ayah dengan kekehan saat kami berpapasan di lift. Aku cuma nyengir. “Rumah udah jadi tempat paling nyaman sekarang yah,"Ayah mengangguk, ia menepuk pundakku. "Gimana rasanya nikah, Fi?" Aku terdiam sebentar. Pertanyaan Ayah itu sebetulnya sederhana, tapi entah kenapa jawabannya tak pernah sesingkat itu.Aku menghela napas kecil, lalu menatapnya dengan senyum yang tulus. "Rasanya seperti punya rumah

  • Suami pengganti   patner hidup?

    Setelah pagi itu, semuanya terasa berjalan lebih ringan. Hari-hari berikutnya Amara tak lagi selalu menyendiri di kamar. Ia mulai ikut menjemur pakaian, menyiapkan sarapan, bercengkrama dengan bi susi tanpa ku suruh bahkan beberapa kali tertangkap basah sedang tersenyum kecil saat aku bermain dengan bayinya. Dan malamnya, kami mulai membiasakan diri untuk tidur seranjang, dengan berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan kedepannya sebelum kami tidur. Meski masih ada jarak. Tidak apa-apa. Jarak bisa dijembatani, asal bukan keengganan yang dipelihara. Kami bahkan saling berbagi peran satu sama lain, saling bekerja sama untuk merawat baby Arsenio."Kak pasti capek, jangan dulu gendong baby Nio. Mandi dulu ya, air hangatnya sudah siap. Ara juga udah siapkan makan malam untuk kakak"Aku tersenyum, ketika perhatian kecil itu terlontar dari mulutnya. Ah, bahagia sekali. "Kamu udah makan, Ra?" tanyaku duduk disamping Amara yang tengah bermain bersama Arsenio. Bayi kecil itu belum tertidur

  • Suami pengganti   pagi yang hangat

    "Tapi kalau semisal Ara ingin pergi apakah kakak akan tetap mempertahankan kami?"Pertanyaan itu menggaung di gendang telingaku. menusuk seperti jarum kecil yang tidak berdarah tapi meninggalkan ngilu lama.Aku tak langsung menjawab, dadaku sesak. Lidahku kelu. Jika saja aku boleh egois, aku ingin memaksa mereka untuk tetap tinggal. Disini, dirumah yang pernah kusiapkan untuknya, tapi tak jadi ketika dia sudah memiliki tambatan hati yang lain. Adikku sendiri. Ah jangan egois kamu, Fi! Ini bukan soal mempertahankan apa yang aku mau tapi tentang memastikan dia merasa cukup aman untuk bertanya sejauh itu.Aku bangkit dari kursi, beranjak ke sampingnya, lalu berlutut tepat di sebelah kursinya. Kupandangi mata bening itu yang kini mulai menggenang air."Kalau kamu ingin pergi karena lelah, saya akan pastikan menggenggam tanganmu lebih erat."Nafasnya tercekat.Mataku terpejam sesaat. "Kalau kamu ingin pergi karena merasa bersalah, aku akan memaafkan sebelum kamu sempat minta maaf"Matanya

  • Suami pengganti   Retak yang mulai luruh

    Aku tak tau sejak kapan aku terbiasa mendengar tangisan bayi di pagi buta. Sejak kapan aku terbiasa bangun ditengah malam menggantikannya popok. Aku tidak tau. Dulu, waktu hidup sendiri, suara alarm pun sering kuabaikan. Bahkan suara jeritan bi Susi yang memintaku terbiasa untuk shalat tahajud pun, aku tak memperdulikannya. Yang penting aku tidak telat untuk melaksanakan shalat subuh.Tapi kini, bahkan suara rengekan kecil Arsenio pun bisa langsung membangunkanku. Ya, malam ini pun begitu. Sekitar pukul dua lewat lima belas, aku terbangun. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena suara rengekan dari box bayi yang tak jauh dari sofa yang kujadikan sebagai tempat tidur.Tangannya bergerak-gerak, wajahnya mengerut, mungkin popoknya penuh atau ia lapar.Amara masih terlelap. Nafasnya berat, tubuhnya menggulung selimut rapat-rapat. Beberapa hari ini, ia mulai sedikit terbuka, meski belum sepenuhnya. Sebuah kemajuan yang sangat aku nantikan. Pelan-pelan aku bangkit. Kuhampiri Arsenio dan sege

  • Suami pengganti   Es yang mulai mencair

    "jagoan papa ini udah wangi banget nak, ganteng pula" aku terkekeh gemas saat mendandani Arsenio pagi ini seusai ku mandikan bersama bi susi. Bayi kecil itu hanya bisa tertawa-tawa sambil memainkan bibirku dengan tangannya yang mungil dan basah.Sementara Amara, perempuan itu semalam demam gara-gara kelelahan mengurus Arsenio dan terlalu larut dalam kesedihan. Dan pagi ini ia bahkan masih tertidur, bergelung dengan selimut tebalnya beberapa kali aku dengar ia merintih kesakitan dengan memegangi kepalanya semalaman.Melihatnya begitu aku tidak diam, sejak ia tak menolak dengan sikap perhatianku. Aku bahkan berusaha memerankan suami yang baik untuknya, meski tidak sama seperti Arsen setidaknya Amara tidak terlalu merasa kesepian. Tapi tunggu dulu, apa sikapku ini sudah benar? Atau justru semakin menyakitinya?"Bi, tadi subuh aku buat sayur sop. Bisa tolong hangatkan? Biar nanti kalau Ara bangun bisa langsung dimakan" ujarku sambil berjalan menggendong Arsenio ke luar untuk aku jemur.

  • Suami pengganti   pelan-pelan saja

    Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai seseorang yang hatinya sedang berduka. Tapi aku tahu, mencintai bukan berarti menuntut balasan. Mencintai, kadang sesederhana memastikan dia makan hari ini, memastikan tidurnya cukup, memastikan anaknya tumbuh sehat dan bahagia. Sudah dua minggu pernikahan kami berjalan. Dan selama ini pula aku berusaha memerankan posisi suami serta ayah untuk Arsenio. Rasanya aneh, biasanya aku menjalani hari dengan datar hanya bangun untuk shalat dan bekerja tapi sekarang? Kesibukanku bertambah, aku tidak lagi hidup untuk diriku sendiri tetapi juga untuk dua orang yang aku cintai.Tunggu dulu, cinta? Bukannya ini hanya sekedar tanggung jawab?Pagi ini aku membuatkan bubur ayam. Kupakai kaldu ayam kampung, kutambahkan potongan wortel dan sedikit bayam di dalamnya. Aku tahu Amara belum punya selera makan besar, tapi tubuhnya butuh nutrisi. Apalagi ia masih menyusui Arsenio"Bi, nanti tolong ya kalau istiriku sudah bangun, tolong kasih ini ke Amara, ya?” ucap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status