"Mas, kamu lebih baik pergi dari sini. Aku sudah memutuskan, aku akan mengurus surat cerai," ucapnya dengan nada tegas, seolah keputusan itu sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat.
Dion merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya runtuh. "Ran, jangan begini. Kita masih bisa membicarakannya—" "Membicarakan apa? Semua sudah jelas! Kamu tidak bisa memberiku apa-apa, Mas! Aku sudah muak hidup begini!" Rania memotong dengan nada semakin tinggi, matanya menantang. Yoga, yang berdiri di samping Rania, mendengus. "Dion, pergi sebelum aku membuatmu lebih menderita. Rania pantas mendapatkan yang lebih baik daripada kehidupan pas-pasan ini," ujarnya sambil melangkah maju. Dion menatap Rania dengan pandangan nanar, hatinya bergetar melihat istrinya memilih berdiri di sisi pria lain. "Jadi, ini keputusanmu? Baiklah, aku pergi," katanya dengan suara pelan, meski hatinya terasa hancur. Namun, sebelum dia sempat melangkah pergi, Yoga melayangkan pukulan ke arah Dion, yang segera ditangkisnya. "Kamu tidak akan pergi begitu saja," ancam Yoga, wajahnya penuh kebencian. Dion hanya bisa menangkis pukulan berikutnya, merasakan sakit setiap kali tinju Yoga menghantam tubuhnya. Dia tidak melawan, hanya berusaha bertahan, sambil terus menatap Rania. "Kenapa, Ran? Kenapa kamu melakukan ini padaku?" tanyanya, suaranya dipenuhi kesedihan. Rania menatapnya dengan dingin. "Karena aku sudah tidak tahan lagi, Mas Dion. Kamu terus-menerus mengecewakanku. Aku berhak bahagia," jawabnya, seolah tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi di depannya. Yoga kembali menyerang, dan kali ini tinjunya berhasil menghantam wajah Dion, membuatnya terjatuh ke tanah. Namun, Dion tetap menatap Rania, meskipun pandangannya mulai kabur. "Rania, tolong... ingat semua yang telah kita lalui," katanya, suaranya hampir berbisik, berharap ada sedikit cinta yang tersisa. Rania hanya memalingkan wajah, tak mau melihatnya. "Sudah cukup, Mas Dion! Pergi dari sini! Aku tidak mau melihatmu lagi!" Dion menelan rasa sakit dan kehampaan, merasa seolah semua yang dia cintai telah diambil darinya. Dalam keadaan babak belur, dia berusaha bangkit dan pergi, meninggalkan rumah yang dulu menjadi tempatnya berteduh, tetapi kini penuh luka dan pengkhianatan. Yoga yang tak sabar, menyeret kerah kemeja Dion dan menariknya kasar menuju jalanan. "Aku sudah muak melihatmu!" Setelah melemparkan Dion ke aspal, Yoga berdiri di sampingnya dengan senyum kemenangan. "Jangan pernah kembali ke sini, Dion. Rania pantas mendapatkan yang lebih baik darimu," katanya dengan nada mengejek sebelum berbalik ke arah Rania. Rania mengangguk, tampak puas dengan situasi itu. "Lupakan semua yang pernah terjadi di antara kita, Mas. Anggap saja hubungan kita kemarin hanya kenangan yang tidak pernah terjadi, karena aku pun muak kalau mengingat pernah berhubungan dengan pria miskin sepertimu! Sudah miskin, tampang nggak ada apa-apanya, tapi sok-sokan ngomongin cinta di depanku!" Yoga tergelak mendengarnya, lantas berbalik badan dan menghampiri Rania yang masih berdiri di teras. Dua orang itu masuk rumah, meninggalkan Dion sendirian terduduk lemah di jalanan. Dion merasakan sakit di seluruh tubuhnya, tetapi dia berusaha bangkit meski langkahnya terasa berat. Dengan wajah penuh debu dan darah, dia perlahan melangkah menjauh dari tempat itu. Dalam pikirannya, dia merasa seolah kehilangan segalanya. Dengan langkah terseok-seok, Dion mencari angkot di pinggir jalan. Ketika sebuah angkot berhenti di depannya, dia segera masuk dan duduk, beruntung angkot sepi sehingga tidak ada yang melihatnya dalam keadaan kacau seperti ini. Dia menyebutkan sebuah alamat, kediaman yang telah ditinggalkannya semenjak dua tahun silam. Entah Seperti apa kini rupanya, Dion juga tidak pernah datang ke sana. Seolah benar-benar melepaskan jati dirinya dari kehidupan mewah yang penuh dengan kemegahan, meniti kehidupan sederhana bersama Rania. "Tapi ternyata kamu malah membuangku, Ran. Padahal aku sudah mengusahakan untuk kehidupan kita yang lebih baik, aku juga selalu memberikanmu uang, tak pernah absen setiap hari. Tapi nyatanya ... kamu menginginkan yang lebih," batinnya. Saat angkot melaju, Dion menatap keluar jendela, memikirkan mansion megah tempatnya lahir dan tumbuh. Tempat di mana dia dulu merasa bahagia, dikelilingi oleh keluarganya. Setibanya di mansion, Dion melangkah keluar dari angkot, merasakan nostalgia yang mendalam saat melihat gedung besar di hadapannya. Dengan langkah berat, dia berjalan menuju pintu utama, berharap di tempat ini bisa menemukan ketenangan, meski di tengah kekacauan yang terjadi dalam hidupnya. Ketika dia mendekati pintu, penjaga dan pengawal yang berdiri di samping hampir tidak mengenalinya dengan penampilan kumuh dan kusam itu. Dalam dua tahun terakhir, dia pergi dari kehidupan mewahnya, menghilang seolah ditelan bumi, dan sekarang kembali dalam keadaan babak belur. Ketika Dion mendekati pintu, para pengawal senior yang masih mengenalinya segera menundukkan kepala sebagai tanda hormat. "Selamat datang kembali, Tuan Dion," ucap salah satu pengawal, meskipun terdengar ragu-ragu melihat kondisi Dion yang begitu berbeda. Dion tidak menghiraukan ucapan itu. Dia terus melangkah masuk, menahan rasa sakit di tubuhnya. Setiap langkah terasa berat, tapi dia segera menemui papanya. Di dalam mansion, suasana terasa sangat berbeda. Ruangan luas yang dipenuhi barang-barang berharga dan karya seni itu kini terasa hampa. Kenangan masa kecilnya yang ceria seolah membayangi setiap sudut, menekan dengan perasaan bersalah dan sedih. Dion bergerak menuju ruang kerja Elmer. Ketika dia sampai di depan pintu, jantungnya berdebar kencang. Dia mengetuk pintu pelan, seolah takut apa yang akan terjadi selanjutnya. "Masuk," suara Elmer terdengar tegas dari dalam. Dion menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu. Dia melihat papanya duduk di balik meja kerja, dikelilingi dokumen dan laptop. Elmer tertegun sejenak, wajahnya berubah kaget saat melihat putranya yang sudah lama tak pulang. "Dion?" tanyanya dengan nada terkejut, lalu berdiri cepat. "Papa ...," kata Dion pelan, suaranya hampir tak terdengar, penuh rasa malu dan sakit. Elmer mendekat, sorot matanya penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu kembali dalam keadaan seperti ini?" tanyanya, menatap putranya yang penuh luka. Dion menggelengkan kepala, air mata menggenang di sudut matanya. "Aku ... aku tidak tahu harus mulai dari mana, Pa. Semua yang aku lakukan tidak berjalan seperti yang kuharapkan." Elmer mengernyit, lalu mengulurkan tangan menyentuh bahu Dion. "Duduklah, kita perlu bicara," ucapnya lembut, mencoba memberi dukungan pada putranya yang sedang hancur. Dion mengangguk dan perlahan di sofa duduk. "Pertama aku mau minta maaf sama Papa, kalau seandainya aku menuruti nasihat Papa dan Mama dulu, mungkin hidupku nggak akan sehancur ini. Rania ... dia selingkuh sama pria lain, tapi aku sadar ini juga bukan sepenuhnya salahnya. Pekerjaanku setelah lepas dari Papa hanya seorang ojek online. Uang yang kudapatkan juga nggak terlalu banyak setiap hari, paling banyak aku cuma bisa kasih lima puluh ribu. Dia nggak terima, dan aku sadar itu memang salahku yang nggak bisa menuruti kebutuhannya. Entahlah, Pa ... aku menganggap semua yang aku alami hari ini adalah karma karena dulu pernah membangkang dari omongan Papa dan Mama." Elmer menggeleng tegas, seolah menolak pemikiran putranya. "Tidak! Tidak ada karma apapun yang berhak menimpamu, Nak. Kamu tenang saja, Papa yang akan membalas semua kehancuran yang kamu terima hari ini!"Beberapa hari berlalu, matahari sudah tinggi ketika Dion memutuskan untuk menyembunyikan semua pembaruan dari Adrian pagi ini. File bernama Final Weapon itu belum dirilis sepenuhnya, hanya bocoran kecil yang langsung diturunkan lewat jalur hukum. Tapi satu hal yang membuat Dion resah adalah, folder tambahan yang ditemukan Adrian, bertuliskan 'LYRAxJEREMY_SECRET.'“Jangan kasih tahu Clara dulu,” ujar Dion kepada Adrian lewat sambungan terenkripsi. “Aku harus pastikan isinya valid.”Namun takdir tak pernah mau diajak kompromi. Hari itu, Clara diam-diam membuka laptop Dion yang tertinggal di meja kerja. Rasa gelisah tak membiarkannya tinggal diam. Dan begitu ia melihat folder yang sama, jantungnya langsung mencelos."Skandal Lyra dan Lucas – Eksklusif dari Rania X? File apa ini judulnya kayak gini?!" gumamnya.Dengan tangan gemetar, Clara mengklik file itu. Video muncul, editan kasar, dengan rekaman lama yang dimanipulasi sedemikian rupa. Terlihat sosok perempuan mirip Lyra, sang Mama
Beberapa Jam Setelahnya | Markas Cyber AdrianLayar-layar berkedip. Satu notifikasi darurat muncul di server utama Adrian.[ALERT: NEW MASSIVE UPLOAD DETECTED - FROM UNREGISTERED SOURCE]Adrian mengetik cepat, matanya membelalak. "Shit. Dia udah nyebarin. Final Weapon udah rilis!"Dion yang baru saja sampai lagi di ruangan itu langsung menoleh. “Apaan maksudnya?”Adrian menampilkan tampilan layar“Gila. Ini ... deepfake. Tapi bukan cuma itu. Mereka gabungin footage lama Clara, yang dulu pernah curhat via Zoom ke sahabatnya waktu dia ditinggal pacar pertamanya terus diganti background, ganti angle, ganti lighting. Dibik
Malam Harinya | Markas Tim Cyber AdrianGedung itu tampak seperti kantor pengacakan data biasa dari luar. Tidak ada plang nama. Tidak ada papan perusahaan. Hanya sebuah gedung berlantai tiga dengan warna abu-abu pudar di pinggiran kota. Tapi di dalamnya, layar-layar monitor menyala terang dengan tampilan kode, grafik jaringan, dan puluhan jendela sistem.Pria berkacamata, rambut cepak acak-acakan, dan hoodie hitam itu menyambut Dion dengan cepat.“Kamu telat tiga puluh dua menit. Udah aku dekripsi setengah. Tapi ini ... gila, sih, Bro.”Dion duduk di kursi putar dengan cemas. “Langsung aja, jangan bertele-tele. Tunjukin!”Adrian membuka folder khusus, dan menekan enter. Sebuah jendela video muncul. Gambar pertama menampilkan Clara sedang bicara dengan seorang pria di restoran, mengenakan blouse biru laut dan riasan tipis.Dion langsung mengerutkan dahi. “Itu ... bulan lalu kayaknya. Dia ketemu klien.”“Lihat ini,” kata Adrian, lalu maju timeline-nya.Tiba-tiba audio dipotong dan dig
KEESOKAN PAGINYA.Masih dengan wajah penuh kemarahan, Dion mengacak rambutnya sekali lagi. Ia meneguk air putih dari botol yang ada di meja, mencoba menenangkan diri meski dadanya terus naik turun. Sekuat tenaga ia menahan untuk tidak membanting sesuatu lagi.Ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari Clara."Cla—""Aku udah tenang," sahut cepat Clara, suaranya masih terdengar dingin. "Dan aku nggak sebodoh netizen yang langsung percaya video tiga menit dan siluet buram. Tapi Mas Dion, ini udah kelewatan. Gimana bisa kamu nggak sadar dia nyiapin semua ini?""Dia licik, Cla. Aku pun baru tahu. Aku bahkan nggak ingat ada momen itu difilmkan. Waktu itu ... aku benar-benar buta, aku percaya sama dia sepenuhnya. Sekarang aku ngerti, ternyata dari awal dia pelan-pelan nyusun bom waktu buat ngancurin semuanya."Clara menghela napas panjang. “Mas, aku tahu kamu dulu punya masa lalu, dan aku juga tahu kamu pernah sangat mencintai dia. Tapi sekarang? Dia udah mainin nama aku, harga diri aku, bah
KEESOKAN HARINYA Dikediamannya, Rania menyeduh kopi sambil mengaktifkan notifikasi akun Instagram HotFeed.ID. Begitu layar menyala, senyumnya langsung melebar. Video dan artikel yang ia rekam bersama Lisa sudah naik sejak pukul enam pagi tadi. Dalam waktu kurang dari dua jam, unggahan itu sudah disukai lebih dari 240 ribu orang dan komentar membanjiri kolom postingan."Aku nggak nyangka secepat ini viralnya," gumamnya sambil meneguk kopi.Ia menggulir layar, menikmati tiap komentar seolah sedang menyaksikan pentas drama yang ia ciptakan sendiri.[@HotFeed.ID"AKU MASIH DICINTAI, TAPI DIBOHONGI"Eksklusif: Istri Pertama CEO Inisial D.E, Buka Suara, Menangis Ceritakan Kisah Cinta Rahasia di Balik Layar.Dalam video berdurasi 3 menit ini, R*, mantan istri sah dari D.E, menangis sambil menceritakan bahwa pria yang kini tengah dekat dengan pewaris brand fashion ternama, C.J., masih kerap datang ke rumahnya, tidur bersama, bahkan menjanjikan akan memperbaiki hubungan.“Aku pikir kami akan
[Mas Dion, aku jatuh di kamar mandi. Kepalaku kebentur. Aku sendiri di rumah. Tolong datang ke sini, Mas, aku nggak kuat berdiri.]Dion mengerjap. Pesan itu terpampang jelas. Tangannya sempat ingin membalas, tapi ia urung. Dahi Dion berkerut menahan kesalDion menurunkan ponselnya perlahan, tetapi panggilan dari Rania menyala terang di layar.Rania – Calling…Ia mendesah pelan, mencoba mengabaikan. Suara dari podium masih ramai. Pak Togar tengah menjelaskan strategi ekspansi digital di kawasan perumahan baru yang dirancang terintegrasi dengan konsep smart city."Drama apalagi ini?" batinnya. Mata Dion kembali memandangi ruangan rapat yang tengah serius mendengarkan presentasi keuangan.Ia menaruh ponsel di atas meja. Namun belum lima menit, ponsel itu kembali bergetar.Rania – Calling…Dion menekan tombol Reject.Lima menit kemudian, ponselnya kembali bergetar. Matanya melirik sekilas, lantas membuang pandangan saat nama mantan istrinya lagi yang muncul di layar.Rania – Calling…Ia