"Yakin kamu turun di sini, Lis?"
"Iya, yakin kok, aku memang mau ke sana," sahut Lilis tanpa merasa ada yang ganjil. Dia masih bisa tersenyum meski wajah Steve kelihatannya bingung. "Kenapa sih? Memang salah ya aku turun di sini?"
"Ya nggak gitu, sih. Tapi kan ini toko mainan anak-anak, loh. Kamu mau beli manan anak?"
Sampai Steve mengatakan pertanyaan itu, baru lah Lilis seperti tersadar dia sudah membuat kesalahan.
'Ya ampun, Lilis... kamu ini kok ceroboh banget, sih! Steve belum tau kamu punya anak, kok malah ke tempat mainan anak-anak. Bodoh... bodoh!' Lilis mengumpat dirinya sendiri di dalam pikiran.
Awalnya Lilis tidak memikirkan tentang itu. Dia hanya teringat pada Alan dan berpikir mungkin ibunya juga masih ada di apartemennya. Lilis tidak ingin mendengar pertanyaan cerewet dari sang ibu, karena itu dia berpikir membawakan Alan mainan saja. Dengan begitu dia akan punya alasan mengatakan pada sang ibu kehilangannya tiga hari ini
“Dia Steve, dia itu aktor. Uangnya banyak, punya rumah dan mobil mewah, dan yang pasti... dia seorang yang mapan. Aku merasa beruntung banget bisa kenal sama dia, Hen. Terus, dia juga akan bantu kenalin aku sama para sutradara. Pokoknya dia hebat banget!” Lilis memuji Setev sangat banyak, mulutnya terus berceloteh mengatakan tentang Steve yang seorang aktor terkenal. Wajahnya bersinar dan semangatnya penuh saat terus memuji laki-laki yang baru dia kenal itu. Perasaan bercampur aduk memenuhi dada Hendra, mendengar semua cerita dari istrinya. Mata yang berbinar itu jelas-jelas bahwa Lilis tengah memuja lelaki itu. Hendra merasa dirinya seperti orang bodoh mendengar semua perkataan Lili. “Ya ampun, Hen. Aku nggak nyangka loh, rejeki kita datang bertubi-tubi! Aku senang banget....” “Lis, apa-apaan sih kamu ini?” potong Hendra tidak senang. “Kamu kenal di mana sama dia? Kenapa bisa satu mobil dengan laki-laki itu, itu yang aku tanyakan.” “Kenapa, sih
Kepulangan Hendra pada Lilis sangat menyita pikiran Juwita. Dia tak bisa santai, pekerjaan pun banyak yang terbengkalai. Rasanya sudah sangat lama sejak Hendra pergi tadi, tapi belum juga kelihatan batang hidungnya sampai sekarang. “Ben, kalian sudah pulang?” Dia hubungi supir yang membawa Hendra. “Belum, Bu. Pak Hendra masih di atas, saya menunggu di parkiran apartemen Bu Lilis.” Ponselnya Juwita letakkan kasar, dia kesal mendengar laporan dari supirnya. “Ngapain, sih, lama-lama di sana?” Juwita bayangkan Hendra dan Lilis mungkin tengah bermesraan sekarang. Lilis yang menyebalkan, tamak dan berlaku sok kaya itu pasti tengah menikmati hidupnya yang enak. Kemudian Lilis pasti berkata dia sudah sukses menipu Juwita, hanya untuk mendapatkan uangnya. Atau mungkin keduanya justru saat ini tengah berpesta? Menikmati indahnya menjadi orang kaya dan bercinta di atas ranjang empuk. Hendra dan Lilis mungkin tengah menertawakan Juwita yang dengan
Hendra sempat hanya diam mendengar Juwita mengomelinya. ‘Kenapa dengan Juwita?’ pikir Hendra, menatap baju kaus yang sekarang di tangan Juwita. Sampai Juwita berdiri sangat dekat, saat itu lah dia sadar apa yang Juwita inginkan. Kewajiban sebagai suami, pekerjaannya sebagai laki-laki yang sudah dibeli sudah saatnya Juwita menagih itu.“Aku istrimu, perlakukan aku layaknya istri.” Tangan Juwita gemetar menyentuh dada polos Hendra, dia terlihat gugup sampai tangan kirinya mencengkram kaus milik Hendra. Terlalu lama hidup dalam kesendirian membuat Juwita gugup saat berhadapan dengan lelaki.Juwita menunduk. Sebagai perempuan yang masuk ke dalam rumah tangga Hendra, terkadang dia merasa rendah diri. Tapi... Juwita tidak bisa mengelak bahwa dirinya menginginkan Hendra. Entah sejak kapan rasa itu datang, Juwita juga ingin diperhatikan oleh Hendra.“Lihat aku sebagai istri keduamu, bukan sebagai Lilis.”Paham maksud Juwi
Saat Hendra terbangun di pagi hari, Juwita sudah duduk di sebelahnya. Wanita itu baru saja selesai mandi, terlihat dari rambut panjang yang masih sangat basah. Wanginya sangat manis membuat Hendra tertegun untuk beberapa saat.“Udah bangun?” Juwi menyapa dengan seulas senyum di bibirnya. “Kamu mau mandi dulu atau langsung sarapan ke bawah?”“Maaf aku terlambat bangun.” Hendra mengangkat punggungnya meninggalkan kasur empuk itu. Dia raih handuk yang disodorkan oleh Juwita, lantas melingkarkannya di pinggang.“Aku mandi dulu aja. Maaf.”Kenapa selalu meminta maaf? Padahal Juwi tidak mempermasalahkannya mau mandi duluan atau sarapan, itu tidak jadi masalah.Keperian Hendra ke kamar mandi menyisakan senyum di bibir Juwita. Percintaan mereka tadi malam memberi rasa hangat di dalam batinnya, hingga ingin Juwi tersenyum setiap saat. Sentuhan lembutnya, perlakuan Hendra yang mengecup keningnya sebelum d
"Dikasih kerjaan bagus, bukannya senang malah nolak."Sangat kesal Juwi pada Hendra pagi tadi. Dia sudah berniat baik memberi pekerjaan yang lebih layak, tapi Hendra masih saja berkeras akan kembali ke pabrik. Entah dia tidak bisa melihat niat baik Juwi, atau Hendra masih ingin menjaga jarak darinya. Entah lah. Hanya Hendra yang tahu apa isi kepalanya.Ketika pulang dari kantor, sengaja Juwi tidak langsung kembali ke rumah. Dia masih malas bertemu Hendra, lebih baik ke studio zumba bertemu teman-temannya. Lagian, sejak menikah Juwita tak pernah melatih otot tubuhnya lagi."Jeng Juwi!" sapa Vanny, berlari mendatangi Juwita dan memeluknya. "Aduh, apa kabar? Sejak nikah kamu nggak pernah datang. Aku pikir udah lupa studio....""Namanya juga pengantin baru, Jeng Van. Kayak nggak paham aja. Lagi mesra-mesranya dong itu...." Teman lainnya turut menggoda Juwita yang hanya tersenyum simpul.Lilis juga datang hari ini. Dia baru saja keluar dari
Hampir saja studio zumba itu menjadi ring perkelahian Juwi dan Lilis, jika Vanny tidak segera menghengtikan mereka. Pelatih senam pun terpaksa menghentikan berjalannya zumba sebab semua orang sudah menjadi rusuh. Lilis yang paling besar suaranya, seperti preman pasar yang tersenggol gerobak."Udah lah, Lis... ngapain sih ribut-ribut mulu? Malu tau nggak, sih?" Vanny mengingatkan Lilis untuk tidak terus mengoceh."Ngapain aku harus malu? Dia sendiri kan yang cari gara-gara. Orang cuma kena sedikit udah melotot ngancem-ngancem!" Lilis menyela ucapan Vanny.Kenapa jadi Juwita yang dituduh mengancam? Dia sendiri yang berkata akan membeberkan siapa suami Juwita agar mempermalukannya di sana. Juwita geram melihat perempuan yang tidak sadar diri itu."Ya udah, deh saling maafan aja. Nggak baik musuhan dalam satu kelompok. Selama ini kita adem-adem aja, bisa-bisanya kalian jadi ribut perkara kecil doang.""Dia dong yang minta maaf sama aku! Jangan mentang-
Shock. Ya, itu yang Juwi rasakan sekarang. Dia tidak menyangka perempuan yang tadinya sangat polos, ternyata bisa bermain gila di belakang suaminya. Juwita ingat Lilis banyak diam saat pertama-tama perempuan itu masuk kelar zumba, dan mulai ikut dalam lingkup pertemananya.Laki-laki itu pun Juwita mengenalnya. Steve Jordan. Walau Juwi tidak pernah menonton sinetronnya yang disiarkan di televisi, Juwita mengenal lelaki itu saat mereka pernah bekerja sama. Steve pernah menjadi model yang mengiklankan salah satu mini market milik keluarga Juwi, yang baru buka cabang.Sampai Lilis dan Steve menghilang ke dalam mobil yang membawa keduanya pergi, Juwita masih melongo seperti orang bodoh. Dia benar-benar tidak menduga pada Lilis.“Aku pikir uangnya akan digunakan untuk memperbaiki kehidupannya. Ternyata seperti ini akhirnya. Ck!” Juwita mendecih.Harus kah dia menyesal membeli Hendra sebagai suaminya? Rasanya Juwi tak rela uang yang dia berikan dipak
Sempat Hendra ragu mendengar permintaan Juwi. Dia terdiam beberapa detik sampai Juwita memiringkan cangkir itu hingga teh di dalamnya menyentuh bibir Hendra. Saat itu lah dia berani mencicipi teh yang seharusnya untuk Juwi.“Enak?” tanya Juwi, suaranya yang lembut menyejukkan telinga yang mendengarnya, membawa rasa sejuk itu merambat ke hati Hendra.“Enak, kok. Gulanya pas, nggak terlalu manis dan nggak hambar, seperti kesukaan kamu,” kata Hendra, setelah mencicip dua kali tehnya.Juwita mengambil cangkir itu kembali. Dia putar dengan tangan kirinya lantas meminum dari bekas bibir Hendra. Juwi merasa tersanjung, belum lama dia menikah dengan Hendra tapi suaminya tahu selera Juwi.“Gimana, pas nggak?”“Ini enak, sangat enak.” Juwi tersenyum sangat manis, lebih manis dari rasa teh yang Hendra buatkan. Selama menjadi suami, Hendra tidak pernah mendapat perhatian seperti ini. Dia adalah suam