“Bu, kapan ibu balik ke rumah?” tanya Lilis pada Ratna.
Wanita yang tengah menemani cucunya menonton televisi, memutar kepala menatap Lilis di sofa.
“Pulang ke mana? Ibu kan udah di sini, mau dipulangin ke mana lagi, Lis?”
Mendapat desakan dari Steve membuat Lilis tidak punya pilihan. Dia tidak mau Steve berpikir dirinya istri seseorang lantas lelaki itu akan meninggalkannya begitu saja. Lilis tidak rela, dia sudah sangat menyukai Steve sejak pertama kali mendengar lelaki itu seorang aktor terkenal.
Tapi tetap saja tidak mungkin dia membawa Steve kalau Ratna dan Alan ada di rumah itu. Lilis berencana menyuruh ibunya kembali ke rumah lamanya bersama Alan.
“Ya ke rumah ibu, lah. Kan ibu punya rumah sendiri. Gimana sih?”
“Lilis!” Ratna kesal. Baru saja merasakan hidup yang enak tinggal di apartemen mewan, anaknya sudah menyuruhnya kembali ke rumah itu. “Kamu kan tau, Lis. Rumah itu udah bany
‘Apa Hendra dengar aku cium-cium di hp?’ Lilis masih tetap diam. Pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan, apakah benar suaminya mendengar semua yang dia ucapkan di telepon tadi? Lilis khawatir jika Hendra benar mendengarnya, mungkin rumah tangga mereka akan hancur. ‘Mampus deh kalo dia sampe tau, bisa habis kamu, Lis... Lis!’ Tapi kalau pun tahu, memangnya apa yang bisa Hendra lakukan? Semua uang ada di tangan Lilis, atas nama Lilis sendiri. Apartemen dan mobil yang Juwita kasih pun, semua atas nama Lilis. Hendra tidak bisa mengambil semua itu dari dia, tanpa persetujuan Lilis sendiri. Lagian toh mereka sama. Lilis sudah mencarikan wanita lain untuk Hendra, bahkan sah jadi istrinya. Kenapa Lilis tidak boleh memiliki lelaki lain? Jika Hendra ingin bercerai bukannya malah bagus? Dia bisa bebas bersama Steve tanpa perlu bersembunyi-sembunyi lagi. Lilis akan hidup bahagia jika dia menikah dengan aktor terkenal. “Apaan sih, Hen?” Lilis memasang wajah juteknya. “Aku telponan sama
Sejak menikah dengan Juwita ini pertama kali Hendra menginap di rumah istri pertamanya. Hendra begitu senang mendapat perlakuan Lilis yang lebih baik dari padanya. Lilis benar-benar berubah, bahkan sangat jauh dari Lilis yang sebelum, saat mereka hidup di rumah kontrakan lama.Bukan sekedar seperti saat pengantin baru saja. Meski tadi malam Lilis dan Hendra sempat cek cok perkara Juwita, kemudian istrinya itu menjadi sangat baik dan lembut. Hendra dipijiti sampai benar-benar merasa tubuhnya lebih baik.Ketika bangun pagi pun, Lilis sudah menyiapkan sarapan di atas nakas. Dia bangunkan Hendra dengan kecupan-kecupan manja yang membuat Hendra merasa dirinya benar-benar menjadi suami sejati. Lalu sekarang keduanya tengah menikmati sarapan pagi sambil menikmati indahnya pemandangan dari apartemen tempat tinggal mereka.“Hen, maafin aku, ya,” kata Lilis tiba-tiba. Wajahnya sedih, tampak sangat menyesal.“Minta maaf untuk apa sih, Lis? Bukannya masalah tadi malem kita udah lupain?” sahut He
“Hendra, tunggu, Hendra!”Lilis mengejar Hendra yang bergegas keluar dari kamar mereka. Suaranya sangat keras sampai asisten rumah tangga di rumah itu ketakutan semuanya. Lilis jika mengamuk sangat menakutkan, tidak bisa mengontrol omongannya. Para asisten rumah tangga sering mendapat bentakan dari perempuan itu.“Hendra, jangan begini, dong! Bukannya kamu udah setuju mau ubah hidup kita ke depan nanti?”“Nggak, aku nggak setuju kalo begitu caranya!” Hendra menolak permintaan Lilis yang sangat menjengkelkan, dia tidak habis pikir istrinya akan meminta Hendra melakukan hal menjijikkan lagi setelah yang sudah terjadi.“Ini udah terlanjur, kamu nggak boleh mundur!” Lilis memegangi daun pintu sebelum Hendra keluar dari unit apartemen mereka, Matanya menatap Hendra sangat garang. “Aku udah terlanjur ngomong sama orangnya, kamu nggak boleh nolak!”Alan menangis di kamarnya. Baby sitter yang menjaga anak itu tidak mampu mendiamkan Alan yang terkejut mendengar keributan kedua orang tuanya. He
"Loh, Hendra? Bukannya kamu seharusnya di rumah Lilis? Atau... mungkin ada sesuatu yang ketinggalan?" Juwita sedikit terkejut melihat suaminya duduk di kursi teras. Kemarin malam Hendra sudah berpamitan akan ke rumah istri pertamanya, sebab memang sudah jadwalnya dia ke sana. Ini masih terlalu pagi jika pun Hendra datang sekedar ingin mengambil sesuatu ke rumah Juwi.Tanpa berkata-kata, Hendra langsung memeluk Juwita. "Juwi, maafin aku," katanya lemah. Dia peluk perempuan itu seperti tidak rela melepaskannya.Juwita tertegun. Ada apa dengan Hendra? Dia tidak merasa Hendra membuat kesalahan, lantas kenapa meminta maaf? Tapi merasakan tangan Hendra yang begitu erat di tubuhnya, Juwita menjadi diam. Tak ingin dia tanyakaln apa yang membuat lelaki itu meminta maaf. Juwi berpikir pasti ada sebuah masalah di rumah Lilis.Untuk beberapa saat Hendra memeluk tubuh Juwita, sampai akirnya dia lepaskan perempuan itu. Wajah sendunya menatap Juwi sejenak."Kamu akan ke kantor?"Juwita mengangguk s
Kepala Juwita seperti ditimpah beban puluhan ton, dadanya sesak, sangat sulit dirasa untuk bernapas. Bagaimana seorang istri tega ingin menjual suaminya untuk yang kedua kali? Yakin lah Lilis pasti tidak punya hati! "Aku udah bilang ke Hendra, tapi dia bilang nggak bisa ambil keputusan. Karena sekarang kamu juga jadi istri kedua suami aku, kamu harus ikut kasih dia ijin."Belum lagi Juwi bisa mencerna kalimat pertama Lilis, perempuan itu sudah kembali berbicara di depannya. Hati yang tadi sesak penuh amarah pada Lilis, kini juga kecewa. Juwita sangat kecewa mendengar penjelasan dari perempuan di depannya itu."Hendra bilang begitu?" tanya Juwita, dia harus meyakinkan apa yang baru saja didengarnya."Iya. Hendra nggak mau ambil keputusan sendiri karena nggak mau kamu marah. Tapi gimana pun, kamu nggak bisa marah, Juwita. Hendra punya keluarga yang sebenarnya dan dia harus membiayai kami."Dadanya semakin sesak, sakitnya semakin terasa. Juwita sampai kehabisan kata-kata untuk kalimat
Mimpi apa Lilis tadi malam? Tampaknya Dewi Fortuna selalu berpihak padanya belakangan ini. Semua yang Lilis inginkan selalu terpenuhi tanpa capek bekerja seperti orang lain. Hanya dengan meminta pada Hendra, lalu datang pada Juwita untuk memastikan, dan semua pun terwujud begitu saja."Padahal aku cuma nge-test Hendra doang, nggak nyangka jadi beneran gini. Heran... heran, mana ada perempuan yang mau beli Hendra sampe dua ratus juta? Itu cuma akal-akalan aku doang, loh!" Sejak pulang menemui Juwita, Lilis terus berbicara sendiri. Awalnya dia hanya ingin mendengar jawaban dari Hendra, tapi suaminya itu justru menyuruh Lilis meminta ijin pada Juwita. Penolakan secara tidak langsung itu membuat Lilis nekad datang pada Juwita berniat untuk membuat Juwi kesal, tapi nyatanya Juwi malah mengabulkan permintaannya.Lilis heran apa yang membuat Juwi begitu sangat berminat pada Hendra, padahal di luar sana masih banyak laki-laki yang lebih baik dari lelaki itu."Kayaknya mata Juwita picek deh,
[Mana uangku? Bukannya kamu bilang mau bayar hari ini? Aku udah nunggu sejak pagi, loh.][Kamu nggak pura-pura lupa ‘kan? Kemarin udah janji kasih sekarang, tapi nggak ada kabar. Kontraknya udah aku siapin ini....][Juwita, kamu jangan macem-macem, deh! Seharusnya sekarang giliran Hendra sama aku, tapi karna kamu bilang mau bayar dia full makanya aku kasih dia balik ke sana. Kamu kalo nggak datang sekarang juga, aku bakal ke sana jemput Hendra!]Entah sudah berapa banyak pesan yang masuk ke ponsel Juwita, sejak pagi tadi. Lilis mengirimkan alamat di mana mereka akan bertemu, juga menyuruh Juwi agar membawa uang sesuai perjanjian kemarin. Juwita hanya bisa menarik napas panjang melihat pesan-pesan yang banyak berjejer itu. Dia memang tidak menyimpan nomor Lilis di ponselnya, tapi sudah pasti pesan itu dari Lilis.Tadi malam, ingin rasanya Juwi bertanya apa yang menyebabkan Hendra mau mengikuti lagi keinginan perempuan itu. Tapi bagaimana pun, Juwita sadar Hendra bukan suaminya sendiri.
Lilis berpikir keras bagaimana harus menyetujui permintaan Juwita. Jika dia tidak bisa bertemu Hendra, akan sulit bagi Lilis mencari alasan untuk mendapatkan uang tambahan dari lelaki itu. Apalagi Hendra sendiri juga masih bekerja, meski gaji nggak banyak tapi lumayan lah buat tambah-tambah uang jajan. Tapi jika Lilis tidak setuju, uang besarnya akan menghilang. Hal itu adalah pilihan yang sedikit memberatkan bagi Lilis.‘Makin nyebelin banget sih ini orang!’ sindir Lilis dalam hati, menurutnya Juwita semakin banyak maunya.‘Tapi kalo nggak setuju, dari mana aku dapet duit dua ratus juta, ya? Mana setiap dua bulan lagi. Gaji Hendra kalo dikumpulin juga nggak bisa sebanyak itu dalam satu tahu.’Akhirnya Lilis mengalah pada permintaan Juwita, walau hatinya setengah jengkel.“Ya udah, deh, terserah kamu aja. Sini, biar aku tambahkan di bawahnya.” Muka Lilis cemberut mengambil kertas itu dari Juwita dan menambahkan tulisan baru dengan pena. “Nih, sesuai permintaan kamu.” Dia serahkan kemb