Di kamar, sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Juwita duduk di atas kursi riasnya sedangkan Hendra menatap Juwita dari tepian ranjang. Wajah Juwita datar tanpa sedikit pun senyum yang dia tunjukkan, hal itu sudah terjadi sejak siang kemarin. Hendra tidak mengerti apa yang membuat istrinya demikian.“Katanya mau ngomong. Kok hanya diam?” Hendra mencoba mencairkan suasana yang dingin di antara mereka.Juwita menarik napas panjang. Perlu kah dia ungkapkan tentang Lilis yang berselingkuh dengan aktor itu? Lalu setelah Hendra tahu, apakah Juwi harus mengatakan Hendra sudah sangat bodoh dengan mengikuti maunya Lilis? Rasanya ingin Juwita meledak pada Hendra perihal persekongkolan mereka memerasnya.“Juwi, ada apa?” Sekali lagi Hendra berbicara, menyadarkan Juwita dari pikirannya.Lantas, Juwi mempersiapkan diri sebelum mulai berkata, “Mulai sekarang, kamu bekerja sama aku.”Padahal, Juwita ingin mengatakan soal Lilis, dan hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutnya.“Aku udah bi
Malam sudah larut dan Hendra belum bisa menutup matanya. Sementara Juwita sudah tertidur di atas sofa yang dijadikan mengganjal pintu agar Hendra tidak keluar diam-diam saat dia tertidur. Hendra tatap wajah perempuan kedua yang masuk dalam hidupnya.Setelah mendengar penjelasan dari Juwita, Hendra tidak sempat mengamuk pada Juwi. Ia berkata Juwi perempuan tamak yang tidak puas hanya memiliki setengah dari waktu Hendra untuknya. Tapi setelah Juwita berkata dia membayar uang itu agar Lilis tidak menjualnya pada perempuan lain, Hendra pun terdiam tak kuasa berkata-kata. Sekali lagi perempuan itu ternyata membelinya atas ulah Lilis sendiri. Dan perasaan Hendra tidak mampu diuangkapkan, dia hanya bisa kembali ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang.Perempuan berparas cantik itu, sebenarnya apa tujuannya membeli Hendra? Bukankah Juwi bisa mencari lelaki lain? Kenapa Juwi harus menghabiskan banyak uangnya demi membuat Hendra menjadi miliknya?Terkadang Hendra merasa dirinya berharga bagi J
Juwita melirik Hendra yang termenung di depannya. “Makanannya ga enak?” tanya Juwi. Wajahnya menunjukkan kemurungan seperti seorang istri yang takut suaminya tidak menyukai masakan itu.Hendra menggelengkan kepala dan menjawab terburu, “Nggak kok. Ini enak.”“Terus, kenapa termenung? Aku perhatiin dari tadi, sarapan kamu nggak habis-habis.”Perlu kah Hendra mempertanyakannya? Lantas jika ia bertanya, apakah Juwi akan kembali pada sifat aslinya? Sekejap Hendra termenung, bingung bagaimana akan menyikapi kepedulian Juwi yang tiba-tiba.Dan sebagai orang yang bertingkah aneh itu, Juwi juga bukan tidak tahu Hendra sedang bingung padanya. Dia sudah memikirkan hal ini sejak tadi malam. Dia harus membicarakan ini dengan Hendra sebelum semuanya menjadi semakin berantakan.“Lilis nemuin aku, dia bilang kamu suruh dia minta ijin aku,” ucap Juwi membuka pembicaraan.“Dia salah tanggap, aku nggak suruh dia minta ijin karena aku setuju ide gilanya. Aku pikir dia akan mengerti, nyatanya malah datan
"Kita ngapain ke sini, Wi?" tanya Hendra yang kebingungan melihat keanehan Juwi. Bagaimana dia tidak bingung? Juwita membawa Hendra memasuki butik besar yang menyediakan sangat banyak pakaian pria. Butik itu terlihat sangat mewah dan dipenuhi pakaian dari merek terkenal. Hendra yang datang hanya dengan pakaian ala kadarnya sampai merasa minder."Juwi, kita ngapain? Ayo pulang, ngapain di sini?" Hendra mencolek Juwita yang sedang tersenyum disambut pelayan butik."Kamu mau berubah kan? Kamu nggak mau selalu dipandang rendah dan hanya dianggap sebagai suami nggak berguna?"Hendra tertegun, dia menatap Juwita mencari maksud dari tujuan perempuan itu. Bagaimana pun Hendra masih terus berpikir Juwita bukan istri sebenarnya, lantas kenapa harus peduli? Suatu saat Juwi akan bosan dan pernikahan mereka berakhir. Tidak ada alasan untuk Juwi peduli dengan pandangan orang tentangnya. Apalagi Juwita langsung sigap memilih sangat banyak pakaian untuk Hendra, lengkap dengan setelah jas yang sanga
“Wi, kamu serius datang sama aku ke kantor?” tanya Hendra tidak percaya. Wanita yang menjadi istri keduanya itu hanya tersenyum melirik sejenak dan kembali fokus menatap ke depan.“Iya. Kenapa, memangnya salah pergi sama kamu?” sahut Juwi enteng.“Nggak salah, sih. Tapi apa nggak aneh?” lagi lagi Hendra bertanya, yang hanya dijawab senyum oleh Juwita.Hendra sudah setuju akan bekerja dengan Juwita. Dia pikir, daripada terus bekerja di pabrik memang tidak ada salahnya mengikuti perkataan Juwita. Hendra juga lelah harus bertengkar melulu dengan Juwi, hanya karena dia terus menolak ajakan bekerja di kantor. Tapi datang berdua akan menyita perhatian banyak orang, apalagi dengan status Juwita yang tidak terlalu banyak orang tahu, bisa menimbulkan pikiran buruk tentang mereka. Hendra tidak ingin Juwita menjadi tertimpah masalah karena keberadaannya.Mobil itu memasuki halaman bangunan perusahaan milik Juwita. Hendra sudah tahu keluarga istrinya lah pemilik perusahaan tersebut, dan dia sema
"Semua yang ada di sini, mungkin kalian bingung siapa Pak Hendra yang baru kalian sambut,"Juwita menatap para karyawannya. Mereka memang belum tahu siapa Hendra, hanya beberapa orang penting saja yang sudah Juwi kabarkan bahwa dia akan membawa suaminya ke kantor. Mereka semua hanya tahu nama lelaki itu adalah Hendra.Tangan Juwi terarah pada Hendra lantas berkata, "Dia suami saya, orang yang sangat berpengaruh di hidup saya. Pak Hendra yang akan membantu saya menjalankan perusahaan ini. Kalian harus melihatnya seperti melihat saya, karena dia yang akan menjadi direktur selanjutnya, dalam waktu dekat.""Baik, Bu Juwi."Keterkejutan Hendra semakin tak bisa disembunyikan, refleks dia lirik Juwita di sebelahnya. Apa maksud perempuan ini?Juwita menyadari pertanyaan di mimik wajah suaminya, dan dia tetap tenang. Juwi pun mengakhiri perkenalan suaminya pada seluruh karyawan yang ada."Baik lah, terima kasih untuk waktu kalian. Silakan lanjutkan kembali pekerjaan kalian." Dia lirik Hendra d
"Duduk di sini," ucap Juwita mendudukkan Hendra di sofa empuk di sebelahnya.Lelaki itu ragu-ragu mengikuti apa yang Juwi katakan, dia duduk dan rasanya sangat tak pantas dia berada di sana. Hendra ingin berdiri kembali tapi Juwi menekan pundaknya. Di atas meja terletak sebuah papan nama bertuliskan nama Hendra Aditya, dan di bawahnya tertulis sebagai gelar wakil direktur. Juwi sudah mempersiapkan itu sejak lama, saat dia menawarkan Hendra bekerja dengannya."Mulai sekarang, kamu jadi wakil aku. Kamu harus banyak belajar tentang perusahaan kita, sampai kamu benar-benar paham," kata Juwi, suaranya pelan dan sedikit terdengar sedih.Bayangannya suatu saat nanti Hendra yang akan duduk di singgah sananya, sedangkan Juwi bisa tinggal di rumah merawat anak-anak mereka. Harapan yang sederhana tapi terasa sangat tinggi untuk diraih."Wi, aku masih sangat baru, seharusnya aku memulai dari bawah," ucap Hendra, sungkan dia menerima kedudukan yang Juwita berikan sebagai wakil direktur. "Jangan m
Sejak Hendra bisa menerima Juwita menjadi istrinya, hubungan keduanya menjadi lebih baik setiap hari. Tak ada perasaan canggung saat keduanya berbicara, tidak terbatas seperti hubungan mereka sebelumnya. Juwi juga tidak pernah lagi menunjukkan perasaan cemburunya terhadap Lilis, sebab 24 jam sehari Hendra selalu berada di sini.Tapi, di balik kepuasan Juwi memiliki Hendra, dia tetap merasa bersalah setiap kali teringat wajah lugu Alan. Putra Hendra bersama Lilis. Ada rasa bersalah bagi Juwi yang mengatakan dirinya sangat egois tidak memberi Hendra ijin menemui anak itu. Bagaimana lagi, rasa cemburu membayangkan Hendra dan Lilis mungkin akan bermesraan saat bertemu, membuatnya terpaksa mengedepankan ego."Sudah siap sarapannya?"Hendra datang dari belakang mengejutkan Juwita yang tengah berdiri menatap meja makan. Perempuan itu segera memutar tubuhnya melihat ke belakang.Lihat lah penampilan Hendra yang sekarang. Dia sangat jauh berbeda dengan Hendra yang pertama kali saat Juwita bert