Pertengkaran Lilis dan Hendra masih terus berlanjut. Alan yang menangis kencang tak mengurunkan niat Lilis mendesak Hendra untuk keinginannya. Sampai kapan mereka akan terus bertengkar, apa tidak malu sama tetangga? Juwita sangat gemas melihat Lilis yang bersitegang memaksa Hendra menceraikannya.
“Buruan ceraikan aku!” Lilis mendorong Hendra yang hanya menatap istrinya tajam.
“Jangan berharap. Sampai kapan pun, aku nggak bakal mau pisah sama Alan!”
“Oke, nggak apa-apa. Kalo gitu, kamu ambil Alan buat kamu dan aku yang pergi dari rumah ini!”
“Lis!”
“Nggak! Aku nggak mau dengar apa pun. Kalo kamu mau aku tetap di sini, kamu harus ikuti omongan aku!” Lilis berlari ke kamar dan mulai menyusun pakaian lagi ke dalam tasnya. “Aku nggak mau miskin sampai mati! Aku juga mau menikmati hidup seperti orang-orang.”
Keduanya kembali saling merampas tas yang di tangan Lilis. Benar-bena
“Me-menikah?” Lilis masih tidak percaya dengan pendengarannya. “Kamu mau menikah dengan suami aku?” “Kenapa, kamu keberatan? Kalo gitu, aku nggak jadi beli suami kamu.” “Bu-bukan begitu!” seru Lilis, takut jika Juwita akan menarik lagi ucapannya. “Kamu yakin mau menikah dengan Hendra? Tiga miliar bukan uang yang sedikit, loh!” ucapnya penuh tekanan. “Yakin. Atau mungkin itu kurang? Oke, aku tambahi dengan satu unit apartemen.” Napas Lilis hampir berhenti. Dia sangat tidak percaya, bagaikan tertimbun reruntuhan uang yang sangat banyak. Bayangkan saja, uang 3 miliar pun sudah sangat besar, dan masih ditambah dengan satu unit apartemen? Astaga, mimpi apa Lilis kemarin malam! “Kamu keberatan?” tanya Juwita, melihat Lilis yang terdiam sangat lama seperti sedang mempertimbangkan. ‘Tiga miliar. Tiga miliar.' Lilis mengulang-ulang nominal yang Juwita ucapkan, di kepalanya. Hanya syarat menikah? Ah, itu mah kecil! Lilis nggak akan m
Beberapa saat Hendra terpaku di depan pintu kamarnya. Ada rasa takut jika Lilis akan benar melakukan apa yang tadi diucapkannya. Tentu saja itu menakutkan, Hendra tidak ingin istrinya menjadi nekad melakukan bunuh diri. Tak ada pilihan, dia pun membuka pintu kamar untuk memastikan istrinya baik-baik saja.Tapi fakta yang Hendra lihat sekarang adalah, Lilis tengah meletakkan sebilah pisau di atas pergelangan kirinya, dan menatap Hendra dengan tajam.“Kamu nggak mau nikah, kan? Berarti kamu juga harus rela aku mati!”“Lilis, jangan, Lis!” Hendra yang terkejut lantas memeluk sang istri untuk menghentikan perbuatan gila itu. Dia pegangi kedua tangan Lilis dan mendorongnya ke dinding rumah. “Jangan lakuin itu, jangan aneh!”“Lepasin aku! Aku nggak mau hidup begini terus-terusan! Kalo kamu nggak mau nikah sama Juwita, kamu juga harus rela lihat aku mati di depan kamu!” jerit Lilis bersama tangisan dari mulut
Senam zumba kali ini sangat spesial bagi Lilis. Dia bergerak penuh semangat mengingat jawaban suaminya tadi malam. Rasanya tidak sabar agar musik itu segera berhenti lantas dia akan menemui Juwita dan mengatakan bahwa Hendra sudah setuju.“Satu, dua, tiga, empat....”Juwita sebagai instruktur mereka terus menghitung, bersahutan dengan musik yang sangat kencang di arena yang dikelilingi cermin besar. Lilis terus menari dengan semangat sembari menatap dirinya di pantulan cermin di sebelahnya.‘Sebentar lagi aku bakalan kaya! Aku bisa beli baju-baju bagu, sepatu bagus, juga perhiasan mahal kayak punya kalian!’ batinnya terus berbicara dan sesekali menatap teman-temannya.Hingga olahraga zumba itu berakhir, semua anggota duduk di atas lantai untuk meregangkan tubuh mereka. Lilis sama sekali tidak merasa lelah seperti biasa, mungkin karena terlalu senang akan menjadi orang kaya?“Lis, mau ganti bareng, nggak?” Vanny m
“Ada apa sih, Lis... ini mau ngapain?” tanya Hendra tidak mengerti, saat Lilis memaksanya mengenakan pakaian rapi. Tidak biasanya Lilis sangat perhatian seperti ini, mengambilkan baju dari lemari, membantu Hendra mengenakannya, bahkan sekarang menyisir rambutnya. Tidak seperti Lilis yang biasanya.“Lis, jawab dulu, dong. Ini ada apa aku harus pake baju bagus? Cuma mau tidur juga.”“Kamu harus ketemu Juwita, Sayang. Tadi sore dia bilang, dia mau ketemu kamu dulu. Inget, ya, di sana nggak usah banyak ngomong. Bilang aja kamu setuju nikah sama dia, tentukan tanggal nikahnya biar urusan cepat kelar.”Sontak hal itu membuat Hendra terkejut bukan main. Ternyata kebaikan istrinya tidak lah tulus seperti yang dia bayangkan. Lilis melakukan semua ini masih tetap demi... uang yang Juwita tawarkan.“Tapi, Lis-““Nggak ada tapi-tapian! Ingat, kamu udah janji kemarin malam,” serga Lilis memotong ucapan
Hendra berdiri di depan bangunan dua lantai nan mewah itu. Di pintunya dipasangi lampu led membentuk sebuah tulisan ‘Union Cafe’, tempat yang disuruh Lilis untuk dia datangi. Ya, dia akhirnya datang ke tempat itu setelah perdebatan dengan istri dan ibu mertuanya.Bagi Hendra, harga dirinya sudah tak ada. Dan demi memuaskan hati Lilis juga Ratna, Hendra akan melakukan apa yang mereka minta.“Pak Hendra?” sapa seorang berpakaian pelayan ‘Bagaimana dia bisa tahu namaku?’ pikir Hendra sejenak. Seakan paham isi kepala Hendra, pelayan itu tersenyum sebelum kembali berbicara. “Silakan, Pak. Bu Juwita menunggu Bapak di dalam.”Ternyata perempuan itu yang menyuruh pelayan ini. Sebenarnya... seberapa kaya dan hebatnya perempuan bernama Juwita itu, sampai dia tahu Hendra sudah berada di luar sini? Sambil mengikuti pelayan berkemeja putih itu, Hendra terus memikirkan siapa Juwita sebenarnya dan kenapa dia tertarik pada Hendra.
“Gimana? Apa kata Juwita sama kamu? Dia setuju nikah sama kamu kan, Hen? Juwita nggak batalin ucapannya malam itu, kan?”Baru saja Hendra tiba di rumah, Lilis sudah menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Istrinya itu bahkan tidak melihat suasana wajah Hendra yang kusut oleh beratnya beban pikiran. Hendra merasa kecewa pada sikap Lilis yang sangat keterlaluan, tapi hanya pasrah yang bisa dia lakukan.“Kok bengong, sih, Hen? Kamu nggak pergi ke mana-mana, kan? Kamu beneran nemuin Juwita atau malah ke mana, sih?” tanya Lilis sekali lagi.Rasanya tak ada gunanya Hendra berharap Lilis akan sedikit mengerti perasaannya. Wanita yang dia nikahi ini sudah tidak seperti wanita yang dulu Hendra kenal.“Ayo dong, Hen... kamu kenapa hanya diam? Bilang sama aku, apa yang Juwita ucapkan di pertemuan kalian,” paksa Lilis tak menyerah. Suaranya merengek dibuat seperti ingin menangis.“Dia bilang, besok kami menikah. Gima
Hendra masih bergeming, sementara Lilis uring-uringan memikirkan mungkin uangnya akan kembali Juwita ambil saat pernikahan itu berakhir. Lihatlah wajah Lilis yang bengis dengan bibir mencibir, membuat Hendra ingin menjerit karenanya.“Juwita nggak bilang begitu, dia juga nggak bilang mengurangi uang yang kalian janjikan.” Tapi sekali lagi, Hendra tahan gemuruh di dalam dadanya untuk membuat semuanya tetap baik-baik saja.Lilis tersenyum sumringah, kekhawatirannya hilang seketika. “Bagus, dong. Hanya lima tahun, dari mana lagi kita bisa dapat uang dan apartemen mewah? Itu justru menguntungkan kita, Hen! Setelah pernikahan kalian berakhir, kita bisa hidup layak tanpa gangguan siapa pun, benar kan?”Bayangkan saja. Lima tahun bukanlah waktu yang sedikit jika dibandingkan akan segala yang dia dapatkan. Bahkan jika Hendra bekerja sampai tua pun belum tentu mereka akan mendapatkan uang tiga miliar dan apartemen mewah. Lilis tidak keberatan, jus
Lilis masih terlelap saat Hendra terjaga dari tidurnya. Dia tatap wajah wanita yang sudah tiga tahun menjadi istrinya, tampak sangat lugu dengan wajah tidak berdosa. Wajah lugu itu pula lah dulu yang membuat Hendra begitu mencintai Lilis, bahkan sampai detik ini.Bukan hanya wajahnya, tapi sifat apa adanya yang Lilis miliki pun alasan Hendra yakin untuk menikahi Lilis tiga tahun yang lalu. Hendra benar-benar tidak menyangka istri lugunya itu kini sudah sangat berubah, bahkan rela menggadaikan Hendra pada wanita lain. Mendesah, Hendra lantas bangkit dari atas ranjang, tak tahan memikirkan sifat Lilis yang kini tergila-gila akan uang.Hendra adalah lelaki pekerja keras. Pekerjaan apa pun dia lakukan untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah. Seperti hari ini, seharusnya Hendra bisa beristirahat menikmati hari liburnya. Tapi Hendra sudah berniat akan mendapatkan uang dari pekerjaan lain di luar sana. Karena itulah Hendra tetap berangkat meski Lilis tidak menyiapkan sarapan un