Tiga mobil polisi meluncur cepat menuju kawasan elit di Jakarta Selatan. Salah satunya ditumpangi oleh Kompol Yudha dan Arfan. Wajah Arfan tampak kaku, penuh amarah dan luka. Ia tak berbicara sepatah kata pun selama perjalanan. Hanya tatapan kosong, namun dalam, menyimpan dendam yang mulai menyala.Mobil berhenti tepat di depan gerbang besi rumah Arlena. Salah satu petugas menekan bel pagar dengan nada tegas.Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh seorang pembantu. Wajahnya tampak bingung melihat rombongan polisi.“Selamat siang. Kami dari Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Kami ingin bertemu dengan Nona Arlena,” ucap salah satu petugas.Seketika, suara langkah tinggi terdengar dari dalam rumah. Arlena muncul dengan gaun panjang berwarna krem, riasan wajah sempurna seperti biasanya. Tapi sorot matanya menyimpan kegelisahan. “Ada apa ini? Mengapa datang seenaknya ke rumah saya?” tanyanya dengan nada tinggi namun masih menjaga citra anggun.Kompol Yudha menunjukkan surat. “Kami datang de
Satu jam kemudian..Di dalam kamarnya, Arlena berjalan mondar-mandir, gelisah. Di tangannya, ponsel yang terhubung ke ponsel Aurel."Arfan meneleponku," ucap Arlena panik.Aurel diujung telepon. “Dan?”“Dia lihat aku keluar dari apartemenmu. Aku sempat bilang aku cuma rapat... tapi dia tahu aku bohong.”Aurel meneguk anggurnya. “Dia mulai mencurigaimu?”“Bukan cuma itu.” Arlena menarik nafas panjang. “Dia mengancam akan membatalkan semuanya kalau tahu aku berbohong... Bahkan menyeretku ke pengadilan.”Aurel tertawa sinis. “Itulah Arfan. Selalu jadi pahlawan. Terutama untuk Nafeeza dan anak kecil itu.”“Danis,” desis Arlena. “Selama anak itu ada… Nafeeza akan terus ada di hidupnya. Tak peduli dia sudah menikah atau tidak.”Aurel mengangguk, suaranya berubah dingin. “Makanya kita buat dia... menghilang. Aku bantu kamu karena kita punya musuh yang sama.”“Tapi jangan pernah lupa, Aurel. Pada akhirnya... hanya salah satu dari kita yang akan berdiri di sisi Arfan,” potong Arlena tegas.Aur
Di lantai atas, Nafeeza duduk di samping tempat tidur, bersandar pada lemari kaca. Tubuhnya membungkuk, bahunya bergetar. Di tangannya, sebuah foto Danis yang telah lecek karena terus ia peluk sepanjang hari.Air mata terus mengalir tanpa henti. Nafasnya pendek-pendek, dan suara lirihnya nyaris tak terdengar saat ia berbisik, "Maafkan Mama, Nak… maaf…”Pintu kamar terbuka perlahan.Rafa berdiri di ambang pintu, menatap istrinya dengan perih. Ia tak pernah melihat Nafeeza selemah ini. Perempuan yang selama ini tegar meski dunia menghujaninya dengan prasangka, kini remuk di lantai rumah mereka sendiri.Perlahan, Rafa mendekat dan berlutut di sampingnya.“Nafeeza…”Nafeeza menoleh. Matanya bengkak, wajahnya lelah. Tapi saat melihat Rafa, ia langsung menyandarkan kepala di bahunya, seperti menemukan tempat terakhir yang masih bisa ia percaya.“Aku… gagal jadi ibu…” ucapnya terputus-putus.“Jangan katakan itu,” bisik Rafa, membelai rambutnya dengan lembut. “Kamu sudah lebih dari cukup, Na
Beberapa menit setelah Arfan pergi...Pintu apartemen menutup keras. Aurel berdiri mematung, rahangnya mengeras. Lalu pelan-pelan, kemarahan yang semula terpendam mulai menyeruak dari dada."Dasar penghianat?!" bisiknya dengan nada menggigil.Tiba-tiba, ia menghentakkan gelas teh yang baru ia siapkan ke lantai. Pecahannya melayang, menyebar seperti serpihan frustasi. Aurel menjerit, melemparkan vas bunga, buku-buku di rak, bahkan bantal sofa ke segala arah. Ruangan mewahnya kini porak-poranda."ARLENA!!!" teriaknya histeris, seolah nama itu membakar lidahnya.Ia menjatuhkan diri ke lantai, napasnya tersengal, rambutnya berantakan. Tapi matanya tetap menyala, bukan dengan air mata... tapi dengan amarah yang membakar.“Aku yang ciptakan permainan ini... tapi dia yang mainkan kartunya lebih dulu?”Ia bangkit perlahan, menatap cermin besar di dinding. Wajahnya merah, pelipisnya berdenyut.“Baik, Lena. Kau mau buka perang? Kita lihat siapa yang jatuh lebih dulu.”Tangannya meraih ponsel. D
Di dalam rumah, Arfan berdiri mematung di ruang tengah. Nafeeza sudah pergi dengan Rafa beberapa jam lalu, namun kata-katanya masih menghantam telinga dan dadanya seperti gemuruh tak henti.Danis hilang.Anaknya.Diculik.Dan semua mata seolah mengarah padanya.Ia menatap ibunya yang duduk di sofa, berusaha bersikap tenang dengan secangkir teh yang nyaris tak tersentuh. Tapi dari sorot matanya, Arfan tahu: ada sesuatu yang disembunyikan.Arfan mengepalkan tangan."Aku hanya akan tanya satu kali," ucapnya tajam. "Apakah Mama... punya andil dalam penculikan Danis?"Yuliana mendongak pelan. "Apa maksudmu, Fan? Mama tidak tahu apa-apa."Arfan melangkah maju, wajahnya gelap. “Jangan ulangi kebohongan yang sama, Ma. Kau dulu paksa Nafeeza keluar dari hidupku. Kau sebar fitnah soal dia berselingkuh. Sekarang, anakku hilang… dan satu-satunya orang yang paling terobsesi mengambil Danis dari Nafeeza adalah Mama.”Wajah Yuliana mulai pucat.“Itu hanya karena Mama takut Danis dibesarkan jauh dari
Beberapa hari setelah pertemuan itu...Di sebuah unit apartemen mewah milik Aurel, dua perempuan kembali duduk berhadapan. Kali ini tanpa basa-basi, tanpa sapaan basa. Hanya dingin dan hitam dalam tatapan.Arlena menatap jendela sejenak, lalu berkata pelan, "Aku sudah pikirkan cara paling efektif memutus semua keterikatan Arfan dengan Nafeeza."Aurel menyesap anggurnya, lalu mendongak malas. "Kau selalu punya rencana kotor. Ayo, buat aku terkejut."Arlena menoleh cepat. Tatapannya tajam. "Kita culik Danis."Hening panjang menyelimuti ruangan. Bahkan jam di dinding seakan berhenti berdetak.Aurel meletakkan gelasnya. "Kau... bercanda?""Aku sangat serius." Arlena condong ke depan. "Selama Danis ada, Arfan akan selalu kembali menoleh ke Nafeeza. Tapi kalau anak itu menghilang... semua akan berubah."Aurel memicingkan mata. "Kau tidak takut Arfan akan semakin membenci kita?"Arlena tersenyum tipis. “Bukan kita. Hanya ‘penculik yang tak dikenal’. Kita cukup bayar orang yang paham cara ber