Suara pintu yang terbanting masih menggema di dinding ruangan, seolah memantul-mantul dalam kepala Nafeeza seperti gema petir yang tak kunjung reda. Tangannya masih membalut pipi Rafa yang memar, kulitnya kemerahan dan bibirnya mengeluarkan darah tipis yang mulai mengering. Tapi mata Rafa tetap teduh, memandangnya dengan ketenangan yang menusuk.Bukan karena ia tak merasakan sakit. Tapi karena luka di wajah Nafeeza jauh lebih dalam daripada goresan di pipinya sendiri.“Maaf…” bisik Nafeeza, nyaris tak terdengar. Suaranya patah-patah seperti hatinya. “Aku tak menyangka dia akan... sekejam itu.”Rafa menyentuh punggung tangannya dengan lembut, seperti mencoba menenangkannya lewat kehangatan kecil.“Ini bukan salahmu,” ujarnya tenang. “Luka seperti itu tak tumbuh dalam semalam. Dia menyimpan dendam terlalu lama. Dan sekarang, dendam itu akhirnya menemukan celah untuk keluar.”Nafeeza hanya mengangguk, tapi matanya berkabut. Hatinya remuk. Sorot mata Arfan tadi masih terpatri kuat di inga
Langit sore di Veranza perlahan gelap, seolah semesta turut berduka atas jiwa yang terhantam keras oleh kenyataan yang tak terduga. Di dalam ruang kerjanya, Arfan berdiri membelakangi jendela. Setelan jasnya masih terlihat rapi, namun kerahnya sudah longgar, dasinya terlepas separuh. Tangan kanannya mengepal di sisi meja, menahan amukan yang seolah tak ada habisnya, amarah yang belum sempat ia keluarkan.Bayangan Nafeeza kembali datang, memantul di dalam benaknya. Sosok itu, dengan mata yang penuh luka, tak pernah meminta belas kasihan. Tidak pernah. Mungkin justru karena itu, hati Arfan semakin tak karuan. Perempuan itu, meski semua yang terjadi, masih mampu menatapnya dengan cara yang bisa membuatnya hampir runtuh.“Aku benci dia,” bisik Arfan lirih, seperti berusaha meyakinkan diri sendiri. “Tapi kenapa... wajahnya tak mau pergi?”Matanya terpejam, namun justru di saat itu wajah Nafeeza semakin jelas muncul di benaknya. Matanya, suaranya, sentuhan lembut yang dulu membuatnya percay
Arfan menunduk sesaat, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Udara di ruangan itu terasa berat, seperti diselimuti kabut tebal yang menahan tiap hembusan nafas. Dada Arfan naik turun, menahan badai emosi yang mengguncang dari dalam. Namun saat ia mendongak, sorot matanya bukan lagi amarah yang mendidih, melainkan lelah. Lelah dari pertempuran yang tak pernah benar-benar usai.“Aurel…” suaranya pelan, namun cukup untuk membuat dada Aurel berdegup tak karuan. “Kau berhak marah. Kau berhak curiga. Tapi tolong… berhenti mencurigai aku terus menerus, seolah aku tak pernah memilihmu.”Aurel terpaku. Ucapan itu, lebih dari sekadar penjelasan. Nada Arfan kali ini berbeda. Bukan defensif. Bukan pula menyudutkan. Ada ketulusan yang menetes dari setiap katanya, dan Aurel tak bisa menampiknya.“Aku tidak akan pernah melupakan apa yang Nafeeza lakukan,” lanjut Arfan. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah kota yang kini mulai dibasahi hujan malam. “Ku akui, kami memang sedang ada kerjasama
Langkah Rafa menggema pelan di sepanjang lorong rumah sakit yang sunyi. Aroma antiseptik menusuk hidungnya, tapi yang lebih menyakitkan adalah aroma kenangan yang menyeruak tanpa permisi. Hatinya dipenuhi badai rasa bersalah, menyisakan luka lama yang belum juga sembuh. Ia tak tahu, apakah kedatangannya akan disambut maaf... atau perpisahan. Tapi satu hal yang ia tahu pasti, ada bagian dari dirinya yang tertinggal di rumah itu. Dan kini, bagian itu memanggilnya kembali.Di depan ruang ICU, Pak Hendra, sekretaris pribadi keluarga selama lebih dari tiga dekade, berdiri menunggu. Begitu melihat Rafa, pria paruh baya itu langsung menghampiri dengan mata yang memerah karena kurang tidur.“Syukurlah kamu datang, Nak. Nyonya besar terus menyebut namamu sejak sadar,” ucapnya lirih.Rafa hanya mengangguk. Matanya yang tajam menatap kaca pintu ICU, menembus bayangan tubuh seorang wanita tua yang terbaring lemah di baliknya. Ibunya. Nyonya Prameswari. Pemilik yayasan amal, dan istri dari Tuan Ma
Sebelum Rafa sempat mengucapkan sepatah kata pun lagi, suara langkah berat terdengar mendekat dari arah pintu. Suara sepatu kulit menjejak lantai marmer, ritmenya mantap, dingin, seperti nada ancaman yang tak perlu diterjemahkan.Pintu kamar terbuka perlahan. Sosok pria tinggi berjas gelap itu muncul di ambang pintu, membawa serta aura yang seketika mengubah suhu ruangan.Tuan Mahendra.Matanya menyapu ruangan dengan tajam, lalu terhenti pada Rafa yang duduk di sisi ranjang, sebelum beralih ke wajah pucat Prameswari. Wajahnya tetap kaku, nyaris tanpa ekspresi. Bahkan sapaan tak ia berikan."Aku dengar keadaan mamamu membaik," ucapnya datar, mendekat tanpa benar-benar menunjukkan perhatian.“Sedikit lebih stabil,” jawab Rafa singkat, tenang tapi tak hangat.Tuan Mahendra hanya mengangguk kecil, lalu berdiri mematung di sisi ranjang. Tangan panjangnya bersedekap di dada, seperti tembok, tak tersentuh, tak tergoyahkan. Suasana di dalam kamar berubah tegang, membeku dalam hening. Kehadira
Sebelum Rafa sempat mengucapkan sepatah kata pun lagi, suara langkah berat terdengar mendekat dari arah pintu. Suara sepatu kulit menjejak lantai marmer, ritmenya mantap, dingin, seperti nada ancaman yang tak perlu diterjemahkan.Pintu kamar terbuka perlahan. Sosok pria tinggi berjas gelap itu muncul di ambang pintu, membawa serta aura yang seketika mengubah suhu ruangan.Tuan Mahendra.Matanya menyapu ruangan dengan tajam, lalu terhenti pada Rafa yang duduk di sisi ranjang, sebelum beralih ke wajah pucat Prameswari. Wajahnya tetap kaku, nyaris tanpa ekspresi. Bahkan sapaan tak ia berikan."Aku dengar keadaan mamamu membaik," ucapnya datar, mendekat tanpa benar-benar menunjukkan perhatian.“Sedikit lebih stabil,” jawab Rafa singkat, tenang tapi tak hangat.Tuan Mahendra hanya mengangguk kecil, lalu berdiri mematung di sisi ranjang. Tangan panjangnya bersedekap di dada, seperti tembok, tak tersentuh, tak tergoyahkan. Suasana di dalam kamar berubah tegang, membeku dalam hening. Kehadira
Malam merayap perlahan di langit, menggantungkan kesunyian yang menekan di antara gedung-gedung tinggi. Di dalam kontrakan kecil yang diterangi lampu kuning temaram, Nafeeza duduk di meja kerjanya, menggulung sketsa terakhirnya dengan hati yang teramat lelah. Matanya terasa berat, mengaburkan pandangan terhadap hasil kerja yang sudah selesai, meskipun tidak ada rasa kepuasan yang mengisi ruang hatinya.Danis, tertidur nyenyak di ranjang kecilnya, memeluk boneka dinosaurus penuh dengan kenangan yang mungkin hanya mereka berdua yang tahu. Nafeeza menatap anaknya, namun pikirannya tetap terjerat pada hal lain.Ia berbalik, menatap jendela yang menghadap ke luar, pada lampu-lampu kendaraan yang berlalu cepat di jalanan. Kilatan cahaya yang cepat, acak, dan tak bisa diikuti, seperti takdir yang datang tanpa bisa diprediksi. Sejak bertemu lagi dengan Rafa, segalanya berubah. Hatinya, yang semula penuh kehati-hatian dan jarang tergerak oleh apapun, kini bergetar. Kelembutan yang nyaris terl
Keesokan harinya, di lantai empat sebuah bangunan berarsitektur kontemporer, Avila Studio bekerja dalam diam yang penuh fokus. Para desainer muda sibuk menyiapkan prototipe untuk proyek klien properti terbaru: sebuah hunian futuristik di kawasan BSD yang memadukan teknologi dan estetika.Nafeeza berdiri di dekat maket utama , panel interaktif dari kayu lapis dan akrilik yang menampilkan ide mereka: Living With Light, konsep hunian dengan pencahayaan adaptif dan desain interior yang merespons cuaca. Karyanya.Suara notifikasi mengganggu pikirannya. “Feza, bisa ke ruang meeting sekarang? Kita kedatangan proposal dari Mahendra Corp. Ini besar.”Tanpa pikir panjang, Nafeeza langsung beranjak dari tempat duduknya, menuju ruang meeting.Edo menyambutnya dengan senyum hangat namun hati-hati. Di depannya terhampar dokumen presentasi digital bertuliskan:“Kemitraan Strategis Mahendra Corp & Avila Studio: Transformasi Estetika dalam Proyek Hunian Masa Depan.”“Mahendra tertarik menjadikan kit
Keesokan harinya, di lantai empat sebuah bangunan berarsitektur kontemporer, Avila Studio bekerja dalam diam yang penuh fokus. Para desainer muda sibuk menyiapkan prototipe untuk proyek klien properti terbaru: sebuah hunian futuristik di kawasan BSD yang memadukan teknologi dan estetika.Nafeeza berdiri di dekat maket utama , panel interaktif dari kayu lapis dan akrilik yang menampilkan ide mereka: Living With Light, konsep hunian dengan pencahayaan adaptif dan desain interior yang merespons cuaca. Karyanya.Suara notifikasi mengganggu pikirannya. “Feza, bisa ke ruang meeting sekarang? Kita kedatangan proposal dari Mahendra Corp. Ini besar.”Tanpa pikir panjang, Nafeeza langsung beranjak dari tempat duduknya, menuju ruang meeting.Edo menyambutnya dengan senyum hangat namun hati-hati. Di depannya terhampar dokumen presentasi digital bertuliskan:“Kemitraan Strategis Mahendra Corp & Avila Studio: Transformasi Estetika dalam Proyek Hunian Masa Depan.”“Mahendra tertarik menjadikan kit
Malam merayap perlahan di langit, menggantungkan kesunyian yang menekan di antara gedung-gedung tinggi. Di dalam kontrakan kecil yang diterangi lampu kuning temaram, Nafeeza duduk di meja kerjanya, menggulung sketsa terakhirnya dengan hati yang teramat lelah. Matanya terasa berat, mengaburkan pandangan terhadap hasil kerja yang sudah selesai, meskipun tidak ada rasa kepuasan yang mengisi ruang hatinya.Danis, tertidur nyenyak di ranjang kecilnya, memeluk boneka dinosaurus penuh dengan kenangan yang mungkin hanya mereka berdua yang tahu. Nafeeza menatap anaknya, namun pikirannya tetap terjerat pada hal lain.Ia berbalik, menatap jendela yang menghadap ke luar, pada lampu-lampu kendaraan yang berlalu cepat di jalanan. Kilatan cahaya yang cepat, acak, dan tak bisa diikuti, seperti takdir yang datang tanpa bisa diprediksi. Sejak bertemu lagi dengan Rafa, segalanya berubah. Hatinya, yang semula penuh kehati-hatian dan jarang tergerak oleh apapun, kini bergetar. Kelembutan yang nyaris terl
Sebelum Rafa sempat mengucapkan sepatah kata pun lagi, suara langkah berat terdengar mendekat dari arah pintu. Suara sepatu kulit menjejak lantai marmer, ritmenya mantap, dingin, seperti nada ancaman yang tak perlu diterjemahkan.Pintu kamar terbuka perlahan. Sosok pria tinggi berjas gelap itu muncul di ambang pintu, membawa serta aura yang seketika mengubah suhu ruangan.Tuan Mahendra.Matanya menyapu ruangan dengan tajam, lalu terhenti pada Rafa yang duduk di sisi ranjang, sebelum beralih ke wajah pucat Prameswari. Wajahnya tetap kaku, nyaris tanpa ekspresi. Bahkan sapaan tak ia berikan."Aku dengar keadaan mamamu membaik," ucapnya datar, mendekat tanpa benar-benar menunjukkan perhatian.“Sedikit lebih stabil,” jawab Rafa singkat, tenang tapi tak hangat.Tuan Mahendra hanya mengangguk kecil, lalu berdiri mematung di sisi ranjang. Tangan panjangnya bersedekap di dada, seperti tembok, tak tersentuh, tak tergoyahkan. Suasana di dalam kamar berubah tegang, membeku dalam hening. Kehadira
Sebelum Rafa sempat mengucapkan sepatah kata pun lagi, suara langkah berat terdengar mendekat dari arah pintu. Suara sepatu kulit menjejak lantai marmer, ritmenya mantap, dingin, seperti nada ancaman yang tak perlu diterjemahkan.Pintu kamar terbuka perlahan. Sosok pria tinggi berjas gelap itu muncul di ambang pintu, membawa serta aura yang seketika mengubah suhu ruangan.Tuan Mahendra.Matanya menyapu ruangan dengan tajam, lalu terhenti pada Rafa yang duduk di sisi ranjang, sebelum beralih ke wajah pucat Prameswari. Wajahnya tetap kaku, nyaris tanpa ekspresi. Bahkan sapaan tak ia berikan."Aku dengar keadaan mamamu membaik," ucapnya datar, mendekat tanpa benar-benar menunjukkan perhatian.“Sedikit lebih stabil,” jawab Rafa singkat, tenang tapi tak hangat.Tuan Mahendra hanya mengangguk kecil, lalu berdiri mematung di sisi ranjang. Tangan panjangnya bersedekap di dada, seperti tembok, tak tersentuh, tak tergoyahkan. Suasana di dalam kamar berubah tegang, membeku dalam hening. Kehadira
Langkah Rafa menggema pelan di sepanjang lorong rumah sakit yang sunyi. Aroma antiseptik menusuk hidungnya, tapi yang lebih menyakitkan adalah aroma kenangan yang menyeruak tanpa permisi. Hatinya dipenuhi badai rasa bersalah, menyisakan luka lama yang belum juga sembuh. Ia tak tahu, apakah kedatangannya akan disambut maaf... atau perpisahan. Tapi satu hal yang ia tahu pasti, ada bagian dari dirinya yang tertinggal di rumah itu. Dan kini, bagian itu memanggilnya kembali.Di depan ruang ICU, Pak Hendra, sekretaris pribadi keluarga selama lebih dari tiga dekade, berdiri menunggu. Begitu melihat Rafa, pria paruh baya itu langsung menghampiri dengan mata yang memerah karena kurang tidur.“Syukurlah kamu datang, Nak. Nyonya besar terus menyebut namamu sejak sadar,” ucapnya lirih.Rafa hanya mengangguk. Matanya yang tajam menatap kaca pintu ICU, menembus bayangan tubuh seorang wanita tua yang terbaring lemah di baliknya. Ibunya. Nyonya Prameswari. Pemilik yayasan amal, dan istri dari Tuan Ma
Arfan menunduk sesaat, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Udara di ruangan itu terasa berat, seperti diselimuti kabut tebal yang menahan tiap hembusan nafas. Dada Arfan naik turun, menahan badai emosi yang mengguncang dari dalam. Namun saat ia mendongak, sorot matanya bukan lagi amarah yang mendidih, melainkan lelah. Lelah dari pertempuran yang tak pernah benar-benar usai.“Aurel…” suaranya pelan, namun cukup untuk membuat dada Aurel berdegup tak karuan. “Kau berhak marah. Kau berhak curiga. Tapi tolong… berhenti mencurigai aku terus menerus, seolah aku tak pernah memilihmu.”Aurel terpaku. Ucapan itu, lebih dari sekadar penjelasan. Nada Arfan kali ini berbeda. Bukan defensif. Bukan pula menyudutkan. Ada ketulusan yang menetes dari setiap katanya, dan Aurel tak bisa menampiknya.“Aku tidak akan pernah melupakan apa yang Nafeeza lakukan,” lanjut Arfan. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah kota yang kini mulai dibasahi hujan malam. “Ku akui, kami memang sedang ada kerjasama
Langit sore di Veranza perlahan gelap, seolah semesta turut berduka atas jiwa yang terhantam keras oleh kenyataan yang tak terduga. Di dalam ruang kerjanya, Arfan berdiri membelakangi jendela. Setelan jasnya masih terlihat rapi, namun kerahnya sudah longgar, dasinya terlepas separuh. Tangan kanannya mengepal di sisi meja, menahan amukan yang seolah tak ada habisnya, amarah yang belum sempat ia keluarkan.Bayangan Nafeeza kembali datang, memantul di dalam benaknya. Sosok itu, dengan mata yang penuh luka, tak pernah meminta belas kasihan. Tidak pernah. Mungkin justru karena itu, hati Arfan semakin tak karuan. Perempuan itu, meski semua yang terjadi, masih mampu menatapnya dengan cara yang bisa membuatnya hampir runtuh.“Aku benci dia,” bisik Arfan lirih, seperti berusaha meyakinkan diri sendiri. “Tapi kenapa... wajahnya tak mau pergi?”Matanya terpejam, namun justru di saat itu wajah Nafeeza semakin jelas muncul di benaknya. Matanya, suaranya, sentuhan lembut yang dulu membuatnya percay
Suara pintu yang terbanting masih menggema di dinding ruangan, seolah memantul-mantul dalam kepala Nafeeza seperti gema petir yang tak kunjung reda. Tangannya masih membalut pipi Rafa yang memar, kulitnya kemerahan dan bibirnya mengeluarkan darah tipis yang mulai mengering. Tapi mata Rafa tetap teduh, memandangnya dengan ketenangan yang menusuk.Bukan karena ia tak merasakan sakit. Tapi karena luka di wajah Nafeeza jauh lebih dalam daripada goresan di pipinya sendiri.“Maaf…” bisik Nafeeza, nyaris tak terdengar. Suaranya patah-patah seperti hatinya. “Aku tak menyangka dia akan... sekejam itu.”Rafa menyentuh punggung tangannya dengan lembut, seperti mencoba menenangkannya lewat kehangatan kecil.“Ini bukan salahmu,” ujarnya tenang. “Luka seperti itu tak tumbuh dalam semalam. Dia menyimpan dendam terlalu lama. Dan sekarang, dendam itu akhirnya menemukan celah untuk keluar.”Nafeeza hanya mengangguk, tapi matanya berkabut. Hatinya remuk. Sorot mata Arfan tadi masih terpatri kuat di inga
Arfan menatap Nafeeza lama. Sorot matanya berubah. Tidak lagi sekadar marah, tapi ada kekecewaan mendalam yang tak sanggup ia tutupi. Seperti seseorang yang melihat harta paling berharganya tergelincir dari genggaman, dan tahu, kali ini ia tak punya cukup kekuatan untuk mengejarnya kembali. “Kau tak tahu rasanya ditinggalkan saat seluruh dunia mengira aku mati,” suaranya serak. “Lalu bangun, menemukan tempat tidur kosong, dan kabar bahwa istriku, perempuan yang kucintai sepenuh hidupku, telah pergi bersama pria lain.” Nafeeza mengatupkan rahangnya. Air mata menggenang di matanya, tapi ia menolak menjatuhkannya. Tidak sekarang. Tidak di hadapan lelaki yang pernah ia cintai sepenuh hati, dan yang kini mulai menjelma jadi bayangan yang menakutkan. Arfan melangkah mendekat, napasnya memburu, rahangnya mengeras. Nafeeza tetap diam di tempatnya, tak bergerak sedikit pun. Antara menantang dan pasrah. “Aku tahu aku tak akan bisa meyakinkanmu,” katanya akhirnya, suaranya gemetar namun teta