"Kamu kenapa ngomongin nasi uduk? Kenapa ngomongin jengkol? Kenapa bilang suka jengkol? Kenapa? Aku sama Papah gak suka makanan itu. Bau!"
Mulai dah, bos kampret merepet. Kalian tahu kenapa aku bilang dia bos kampret? karena bos galak itu selalu pulang malam dari kantor. Kalau dia pulang malam, aku juga pulang malam. Gak pernah tuh pulang sore apalagi masih siang. Aneh, jadi bos tapi jam kerjanya melebihi karyawan. Aku tak menanggapi ucapannya. Lebih memilih menikmati roti tawar panggang selay kacang. Ternyata rasanya sangat mantap. Jujur, baru kali ini merasakan roti panggang. Biasanya Aku makan roti tawar tanpa dipanggang. "Harusnya kamu bilang aja, gak suka jengkol. Enggak biasa ke pasar. Enggak biasa makan uduk! Sukanya makan steak, sukanya ke swalayan." Ngomel aja terus. Ya anggap aja, nyanyian di pagi hari. Aku tetap diam, sesekali tersenyum menikmati lezatnya roti tawar panggang. Ya emang norak, tapi memang beginilah aku. "Anabel! Kamu denger aku gak?" Kunyahanku seketika terhenti, menoleh padanya sembari berdehem. Kuambil botol air mineral, meneguk hingga setengah. "Awal mula yang bilang nasi uduk siapa? Kan Bos yang pertama bilang aku suka nasi uduk. Yang pertama ngomongin jengkol siapa? Kan Tante Salsa yang pertama bilang. Aku sih cuma nanggapin aja. Aku minta maaf, kalau aku ada salah." Lebih baik mengalah, lebih baik aku yang minta maaf dari pada dia terus-terusan ngomel. Lelaki yang duduk di balik kemudi itu mencebik, memalingkan wajah ke arah lain. Setelah itu, mulutnya bungkam. Ya paling ngoceh laginya setelah sampai kantor. Tapi jujur saja, aku masih penasaran, ibu kandung Sadam itu berasal dari mana? Apakah tante Salsa berasal dari keluarga terhormat seperti keluarga Adiwilaga? Atau keluarga bangsawan? Rasanya tidka mungkin kalau tante Salsa berasa dari keluarga yang sederhana atau dari kampung. Tapi, masa iya, seorang anak dari keturunan bangsawan suka jengkol? ___ Tiba di area parkir, Aku langsung mencari keberadaan sepeda motor. "Bos, motor saya mana? Kok gak ada?" Apa jangan-jangan taro di gudang?" "Tadi subuh aku udah telepon security, suruh mereka jual motormu!" "Apa?" Nih orang keterlaluan banget. Main jual motorku aja. Dia gak tau, motor itu cicilannya aku bayar dengan keringat sendiri. Aku menggigit bibir, menahan rasa sedih. Begini amat jadi orang miskin? Jadi orang yang bergantung pada orang kaya raya. Kalau bukan karena nenekku yang butuh biaya pengobatan, aku ingin berhenti kerja di sini. "Enggak usah sedih begitu! Mukamu tambah jelek. Nanti sore kita ke showroom, kamu pilih sendiri mobil yang kamu inginkan!" Seketika mendongak, tapi Bos Sadam sudah lebih dulu jalan meninggalkanku. Setengah berlari, berusaha mensejajari langkahnya. "Bos, seriusan mau beliin saya mobil? Dalam rangka apa?" Tanyaku saat kami masuk ke dalam lift. "Bonus. Karena kamu mau bertahan kerja di tempat ini selama hampir 2 tahun." Masya Allah tabarakallah, aku gak. Nyangka kalau bos Sadam mau beliin mobil. Pengen peluk dia, tapi pasti marah. Lelaki yang berdiri di sampingku tatapannya lurus ke depan. "Makasih, Bos." "Sama-sama." Wah jadi semangat kerja kalau begini. Di dalam ruangan si Bos, aku langsung menyalakan laptop, begitu pula dengannya. Kami sama-sama fokus melihat bahan materi yang nantinya akan disampaikan saat meeting. Melirik arloji, sudah jam tujuh pagi. Tidak berselang lama, suara dering handphone terdengar. Aku mengambil handphone, menerima panggilan telepon atas nama kontak, Bos Jagat. "Siapa yang telepon kamu pagi-pagi?" "Bos Jagat. Yang mau meeting sama kita nanti." "Jangan diangkat! mau ngapain dia telepon segala. Cek lagi materi presentasinya!" "Iya, Bos." *** "Selamat pagi, Bella." "Pagi, Pak Jagat." ucapku hendak menjabat telapak tangannya, namun Sadam justru menarik tanganku agar tidak menyambut uluran tangan lelaki berambut klimis itu. "Jangan salaman! Kalian bukan muhrim." Idih, amit-amit punya bos modelan kayak gini. Angkat telepon Pak Jagat gak boleh, salaman juga gak boleh. Pak Jagat tak menimpali ucapan Sadam, duduk di salah satu kursi meeting. "Anabel, duduk sini!" "Iya, Bos." Aku duduk dekat Sadam. Lelaki itu wajahnya jarang sekali terlihat senyum kalau di hadapan klien. Kadang aku meminta dirinya belajar tersenyum supaya terkesan ramah. Tapi yang ada, marah-marah, merepet kayak kampret. Usai meeting, tanpa kuduga, Pak Jagat yang usianya sebaya dengan Sadam datang menghampiri. "Bella, malam minggu nanti kamu ada acara gak?" Wah, mau ngapain nih Pak Jagat yang ramah dan murah senyum nanyain kayak gitu. Jangan-jangan dia sebenarnya naksir sama aku. "Malam Minggu besok perusahaan kami ada acara. Dia harus datang karena sekretaris saya." Bukan aku yang jawab. Tapi, bos kampret yang tiba-tiba udah berdiri di sampingku. Sorot mata Sadam begitu tajam menatap Bos Jagat. Aku yang masih duduk di antara kedua lelaki yang saling menatap tajam jadi salah tingkah. Sadam tadi bilang, ada acara perusahaan? Acara perusahaan apa? "Oh begitu. Oke, gak masalah." Pandangan Jagat beralih padaku. "Bella?" "Iya, Pak Jagat?" sahutku tersenyum tipis. "Kalau kamu ada waktu senggang, segera hubungi saya." "Gak ada waktu senggang buat dia! Dia sekarang sibuk! Kalau kamu mau ngajak kencan wanita, cari wanita lain. Jangan dia!" Pak Jagat tertawa lepas mendengar ucapan Bos Sadam. Bos aku ini emang memalukan. Posesif dan protektif banget. Enggak ada waktuku untuk menyendiri. Hampir setiap hari kecuali hari Minggu, selalu bersamanya sampe malam. Ada aja pekerjaan yang harus aku kerjakan. "Tingkahmu ini kayak pacarnya aja, Sadam. Apa kamu takut jadi pecundang lagi setelah dulu Juwita lebih memilihku?" desis Bos Jagat. Kedua mataku membeliak mendengar nama itu. Ya aku tahu, Juwita adalah mantan kekasih Sadam sejak dia sekolah SMA dulu. Tapi, aku dengar-dengar, sejak saat itu Sadam tidak mau membuka hati untuk wanita lain. "Lebih baik dibilang pecundang dari pada hidung belang. Anabel, ke ruangan saya sekarang!" Bos Sadam menarik tanganku agar menghindari Bos Jagat. Lelaki berambut klimis itu tercenung mendengar ucapan Sadam. "Anabel, jadi cewek itu jangan gampangan! Mau-maunya salaman sama si Jagat. Dia itu cowok hidung belang. Suka mainin perempuan sampe gila! Kamu tau gak, bagaimana kondisi Juwita sekarang gara-gara menjalin hubungan sama dia?" Aku tak menyangka Sadam sangat marah dengan sikapku pada bos Jagat. Padahal menurutku biasa saja. "Tau gak?" Sentaknya lagi karena aku hanya diam. "Enggak." Sadam mendekatkan diri padaku. Wajah kami hanya berjarak beberapa centi, embusan napasnya sangat aku rasakan. "Sekarang Juwita menjadi pasien rumah sakit jiwa gara-gara kelakuan si b4jingan Jagat Indragiri."Dua bulan sejak kepergian Jacky, Anna menyibukkan diri bekerja, menemani suaminya seperti biasa. Sebetulnya Salsa sempat melarang Anna bekerja, menyarankan agar menjadi ibu rumah tangga saja supaya tidak terlalu capek. Anna menolak dengan halus. Dirinya yang sudah terbiasa bekerja, akan merasa bosan jika hanya di rumah. Namun, sejak pulang kerja kemarin, tubuh Anna sangat lemas dan kepala terasa pusing. Awalnya Anna pikir karena terlalu padat pekerjaan hingga kondisi tubuhnya seperti sekarang. "Kepalamu masih pusing?" tanya Sadam ketika mereka hendak tidur. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi kedua mata Anna belum juga terpejam. "Iya. Aku mau tidur dulu." Anna menarik selimut sebatas dada. Memejamkan kedua mata. Berharap rasa pusing segera hilang jika sudah bangun nanti. "Kita ke dokter saja. Wajahmu juga makin pucat," kata Sadam lagi. Meletakkan punggung tangan di atas kening istrinya. "Besok pagi aja ke dokternya," ucap Anna suaranya terdengar lemah. "Sekar
Jacky berdiri, memandangi lima orang yang tubuhnya bersimbah darah. Setelah bertahun-tahun lamanya, baru sekarang ia membunvh orang lagi. Kepala Jacky terasa pusing melihat genangan darah, tubuhnya limbung ke belakang. Damian dan kedua body guardnya yang baru datang dari arah belakang terkejut setengah mati. "Jack!" Damian berlari menghampiri sahabatnya yang duduk di atas sofa mewah ruang keluarga. Bram dan Toni seketika tercenung melihat lima mayat yang bergeletakan di atas lantai marmer putih. "Jack, kenapa kamu membunuh mereka?" Damian terlihat panik melihat korban dari kejahatan yang dilakukan Jacky. "Dari pada mereka mau membunuh anakku? Sebelum itu terjadi, lebih baik mereka lebih dulu yang aku bunuh. Uhuk, uhuk!" Jacky terbatuk-batuk. Sudut bibirnya mengeluarkan darah segar."Kamu ngeluarin darah, Jack. Wajahmu juga memucat." Tidak hanya panik, Damian juga sangat cemas melihat kondisi sahabatnya. "Dam, panggil polisi. Suruh mereka semua datang ke sini menangkapku. Cepat, D
Angel menelisik wajah wanita muda yang berdiri di hadapannya. Ia terpaku melihat kemiripan wajah wanita itu dengan Jacky. "Saya anaknya Papa Jacky. Hm, sebaiknya Anda pulang dulu. Nanti sore barulah kembali lagi kalau mau jenguk Papa. Permisi." Anna hendak menutup pintu namun Angel menahannya. "Tunggu! Tunggu sebentar." Anna terkejut, memicingkan kedua mata. Entah siapa wanita yang datang ke rumah papanya. "Ada apa, Tante?""Jangan!" ralat Angel cepat. "Jangan panggil aku Tante. Aku ini Mama kamu!" ucap Angel tegas. Pandangannya tak beralih dari wajah Anna. Anna tercenung, keningnya mengkerut."Mama? Mama aku?" Tangan Anna terlepas dari handle pintu. Memandang intens wanita yang bermake up tebal. "Iya, Nak. Kalau kamu anaknya Jacky, berarti kamu anakku yang hilang. Anakku yang diculik baby sitter.""Bohong!" Suara berat seorang lelaki dari belakang Anna membuat keduanya menoleh. Jacky berjalan cepat menghampiri dua wanita yang baru pertama kali bertemu. "Anna, kamu jangan percay
Hari ini Jacky sudah diperbolehkan pulang. Anna izin tidak masuk kantor, ingin menemani papanya di rumah dulu. Sedangkan Sadam dan Damian masuk kantor. Damian menghandle pekerjaan menantunya. Dia akan membantu Sadam menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda. "Pa, apakah Papa udah tau tentang hubungan Jagat dengan Fernandes?" tanya Sadam ketika mereka masuk ruangan direktur utama. "Udah. Bram udah dapat informasi tentang mereka," jawab Damian sembari membuka layar laptop, dan menyalakannya. "Apa, Pa?" Sadam penasaran, ia sampai menegakkan tubuh menghadap papa kandungnya. "Ternyata dulu, papanya Jagat adik tirinya Fernandes. Jadi mereka itu keponakan. Jujur saja, Sadam. Papa menduga kalau Jagat akan direkrut Fernandes untuk bergabung di bisnis hitamnya apalagi perusahaan Jagat sekarang sudah banyak kehilangan klien. Papa dengar, perusahaan itu mulai kolaps," papar Damian, pandangannya justru fokus pada layar laptop. Berbeda dengan Sadam, suami Anna itu justru menatap serius papa
"Enggak ada," jawab Jacky santai. "Enggak ada apa?" Damian mengubah posisi duduk lebih menghadap sahabatnya. "Enggak ada yang aku sembunyiin. Si Fernandesnya saja yang ingin membunuhku. Udahlah, kamu jangan mikir macam-macam. Kalau kamu mau pulang, pulang saja," cetus Jacky masih bersikukuh tidak ingin berterus terang akan pertanyaan yang disampaikan Damian. Namun, Damian tetap curiga kalau Jacky menyembunyikan sesuatu. "Kamu enggak takut kalau Anna yang jadi korban?"Tatapan Jacky langsung beralih pada Damian. kedua matanya melebar, keningnya mengkerut. "Kamu kasih tau Fernandes kalau Anna adalah anak kandungku?" Kedua mata Jacky hampir melompat. "Sialan kau, Dam!" maki Jacky hendak mencekal kerah kemeja yang dikenakan Damian. "Kamu pikir aku sekejam itu, heuh? Enggak, Jack! Makanya kamu jujur saja. Biar aku cari solusinya. Biar aku bisa antisipasi semuanya. Paling enggak, sebelum si Fernandes beraksi, aku udah cegah langkah dia. Paham kamu?" Damian mulai naik pitam menghadapi
Damian terkejut mendengar kejujuran yang terucap dari mulut Jacky. Dia pikir, Jacky tidak tahu kalau istri Fernandes adalah Angel. "Sejak kapan kamu tau kalau Angel sekarang istrinya Fernandes?" Damian jadi penasaran. Kalau memang Jacky sudah tahu Angel adalah istri Fernandes, kenapa sampai sekarang ia masih mengharapkan cinta Angel?"Udah lama. Sekitara lima tahun lalu. Enggak sengaja lihat mereka jalan. Aku ikuti, aku tanya warga sekitar, katanya dia istri Fernandes. Udahlah, Dam. Aku mau istirahat. Kamu pulang saja."Jacky memejamkan kedua mata, mengingat kembali pertemuannya bersama Angel serta Fernandes. Mereka tampak mesra. Bahkan Angel pernah menghina dan merendahkannya sewaktu diam-diam Jacky menarik lengan Angel. "Ngapain kamu sama Fernandes, Angel?" tanya Jacky lima tahun lalu. Kedua tangan Angel bersidekap, memalingkan wajah ke arah. "Bukan urusanmu, pecundang!" Jawaban Angel membuat Jacky sangat murka. "Kamu selingkuh?" tanya Jacky pelan tapi penuh penekanan. "Kalau